Oleh
Marylin Ferguson (Penulis buku
"The Aquarian Conspiracy",
yang menjadi buku klasik dari gerakan New Age)
Dalam suatu konferensi
kecil di Stanford belum lama berselang, Pribram diundang untuk berdebat dengan
seorang lawan tentang teori holografis. Ia diserang secara efektif pada
beberapa segi teknis, yang menunjukkan bahwa holografi otak dapat dipastikan
merupakan varian dari holografi optik, dan bukan analogi yang eksak. “Saya
bertahan cukup baik, tetapi mereka berhasil menyudutkan saya di sana-sini,”
ingatnya. Setelah itu, seorang anak muda datang menghampirinya dan bertanya
kepadanya, bagaimana ia bisa merasa begitu yakin. Bagaimana ia bisa bicara
terus, bertahan terhadap argumen-argumen yang disiapkan secara matang?
“Sederhana saja, ” jawab Pribram. “Ini sudah saya alami dari sejak saya terjun
ke dalam sains–dan selama ini saya ternyata benar.” Dia bilang, jika Anda
berada di garis depan, Anda tidak dapat menerangkan segala sesuatu. “Jika Anda
tahu semuanya, itu bukan garis depan”.
Ilmuwan fisika terkemuka, Niels Bohr, pernah berkata, bila muncul inovasi besar, pada mulanya ia tampak kacau dan aneh. Ia tidak dipahami sepenuhnya oleh penemunya, dan merupakan misteri bagi orang lain. Bila suatu ide tidak tampak aneh pada mulanya, ide itu tidak punya harapan di masa depan. Pribram berkata, kita sekarang berada di zaman yang di situ hanya kecanggihan teknologis yang mendapat ganjaran, peneliti tidak boleh membuat ekstrapolasi, atau berpikir. “Orang Eropa lebih berorientasi teoretik. Orang Amerika paling banyak menguji hipotesis, dan lupa bahwa hipotesis itu muncul dari tesis. Bahkan di dalam sains kita yang sangat sukses, kita biasanya tidak lebih dari mencapai deskripsi tentang suatu wilayah. “Itu cukup bagi banyak orang,” kata Pribram. “Mereka bilang, ‘Nah, kita sudah menjawab pertannyaannya.’ Mereka tampaknya merasa bahwa mereka tidak berani untuk memahami, terutama jika mereka harus masuk ke bidang ilmu yang tidak mereka kuasai sepenuhnya. Mereka takut sains mereka akan salah.” Pribram sendiri tidak memperlihatkan kekerdilan seperti itu, ia berupaya memahami ilmu fisika lebih baik dan mengikuti kuliah-kuliah pasca-sarjana tentang metode matematis lanjut. Jika fakta-faktanya harus membawanya ke dalam jurang, ia akan terjun dengan persiapan penuh.
Pada tahun 1970 atau 1971, suatu pertanyaan terakhir yang mengganggu mulai menghantui pikirannya. Jika otak ini memang mengetahui dengan cara menyusun hologram–yakni dengan mentransformasikan secara matematis frekuensi-frekuensi yang datang dari “alam luar”–siapa di dalam otak yang menafsirkan hologram itu? Ini adalah pertanyaan tua yang terus menghantui. Para filsuf sejak zaman Yunani telah berspekulasi tentang “roh di dalam mesin”, “orang kecil di dalam orang kecil”, dan seterusnya. Di manakah sang “aku”, entitas yang memakai otak? Siapakah yang melakukan tindakan memahami itu? Atau, seperti dirumuskan oleh Santo Fransiskus dari Asisi, “Apa yang kita cari adalah yang mencari.” Ketika memberikan ceramah pada suatu malam di sebuah simposium di Minnesota, Pribram menyampaikan renungannya, bahwa mungkin jawabannya terletak di bidang psikologi gestalt, sebuah teori yang mengatakan bahwa apa yang kita persepsikan “di alam luar” adalah sama—isomorphic dengan–proses pikiran kita sendiri. Tiba-tiba ia menyeletuk, “Barangkali alam semesta ini sebuah hologram juga!” Ia berhenti, sedikit tertegun memikirkan implikasi dari apa yang dikatakannya. Apakah hadirin yang duduk di depannya semuanya hologram–perwujudan dari frekuensi-frekuensi, yang ditafsirkan oleh otaknya dan oleh otak masing-masing? Jika hakekat realitas itu sendiri bersifat holografis, dan otak bekerja secara holografis, maka alam semesta ini sesungguhnya–seperti dikatakan oleh agama-agama di Timur–adalah maya: tontonan sihir. Kekonkritan alam ini adalah ilusi. Tidak lama kemudian, ia melewatkan seminggu bersama anak laki-lakinya, juga seorang fisikawan, mendiskusikan ide-idenya dan mencari kemungkinan jawabannya di dalam disiplin fisika. Anaknya menyebutkan bahwa seorang fisikawan terkemuka, David Bohm, sudah beberapa lama berpikir dengan cara yang mirip. Beberapa hari kemudian, Pribram membaca karya-karya kunci dari Bohm, yang menyarankan suatu tatanan baru dalam fisika. Pribram merasa seperti disengat listrik. Bohm menguraikan suatu alam semesta yang holografis.
Menurut Bohm, apa yang tampak sebagai alam yang stabil, teraba, terlihat, terdengar, adalah suatu khayalan. Alam itu bersifat dinamis dan kaleidoskopis–tidak sungguh-sungguh “ada”. Yang kita lihat sehari-hari adalah tatanan yang eksplisit, atau terbabar (unfolded), seperti kalau kita menonton film. Tetapi ada suatu tatanan lain yang mendasarinya, yang merupakan cikal-bakal dari tatanan generasi kedua ini. Dinamakannya tatanan yang lain itu ‘implicate’ atau ‘enfolded’ (terserap). Tatanan terserap itu mengandung realitas kita sesungguhnya, seperti DNA di dalam inti sel mengandung potensial kehidupan dan menentukan pembabarannya.
Bohm menggambarkan suatu tetesan tinta yang tak larut di dalam cairan gliserin. Jika cairan itu perlahan-lahan diputar dengan suatu alat mekanis, demikian rupa sehingga tidak terjadi difusi, tetesan tinta itu akhirnya akan tertarik memanjang menjadi benang tipis yang tersebar di dalam seluruh sistem, demikian rupa sehingga tak terlihat oleh mata. Jika alat mekanis itu diputar dengan arah berlawanan, benang itu akan perlahan-lahan menggumpal kembali sampai tiba-tiba gumpalan itu muncul sebagai tetesan tinta semula.
Sebelum terjadi penggumpalan, tetesan itu dapat dikatakan “terserap” ke dalam cairan kental, dan kemudian terbabar lagi. Lalu, bayangkanlah ada beberapa tetesan serupa yang telah diputar dalam cairan kental dengan sejumlah putaran yang berbeda dan berada di tempat-tempat yang berbeda. Jika sistem itu diputar ke arah berlawanan dengan cukup cepat, akan tampak seolah-olah ada satu tetesan tinta yang permanen yang bergerak berpindah tempat di dalam cairan. Sesungguhnya obyek seperti itu tidak ada. Contoh lain: sederetan lampu listrik pada sebuah billboard iklan yang berkedip hidup dan mati dengan presisi tertentu, sehingga memberi kesan ada cahaya yang bergerak membentuk anak panah yang meluncur, kartun animasi, dan sebagainya, yang memberikan ilusi suatu gerakan yang kontinyu. Seperti itu pula, semua yang tampak sebagai zat dan gerakan adalah khayalan. Mereka muncul dari suatu tatanan alam lain yang lebih primer. Bohm menyebut fenomena ini holomovement (gerakan-holo).
Katanya, sejak zaman Galileo, kita memandang alam semesta ini melalui berbagai lensa. Tindakan kita mengobyektivasikan, seperti dalam sebuah mikroskop elektron, mengubah apa yang ingin kita lihat. Kita ingin menemukan pinggirnya, membuatnya diam untuk sesaat, padahal hakekat sebenarnya adalah suatu tatanan lain dari realitas, suatu dimensi lain, yang di situ tidak ada benda-benda. Seolah-olah kita memfokuskan sesuatu yang kita “amati”, seperti Anda memfokuskan suatu gambar, padahal kekaburan sebetulnya lebih tepat untuk menggambarkan realitas. Kekaburan itu sendiri adalah realitas dasar.
Ilmuwan fisika terkemuka, Niels Bohr, pernah berkata, bila muncul inovasi besar, pada mulanya ia tampak kacau dan aneh. Ia tidak dipahami sepenuhnya oleh penemunya, dan merupakan misteri bagi orang lain. Bila suatu ide tidak tampak aneh pada mulanya, ide itu tidak punya harapan di masa depan. Pribram berkata, kita sekarang berada di zaman yang di situ hanya kecanggihan teknologis yang mendapat ganjaran, peneliti tidak boleh membuat ekstrapolasi, atau berpikir. “Orang Eropa lebih berorientasi teoretik. Orang Amerika paling banyak menguji hipotesis, dan lupa bahwa hipotesis itu muncul dari tesis. Bahkan di dalam sains kita yang sangat sukses, kita biasanya tidak lebih dari mencapai deskripsi tentang suatu wilayah. “Itu cukup bagi banyak orang,” kata Pribram. “Mereka bilang, ‘Nah, kita sudah menjawab pertannyaannya.’ Mereka tampaknya merasa bahwa mereka tidak berani untuk memahami, terutama jika mereka harus masuk ke bidang ilmu yang tidak mereka kuasai sepenuhnya. Mereka takut sains mereka akan salah.” Pribram sendiri tidak memperlihatkan kekerdilan seperti itu, ia berupaya memahami ilmu fisika lebih baik dan mengikuti kuliah-kuliah pasca-sarjana tentang metode matematis lanjut. Jika fakta-faktanya harus membawanya ke dalam jurang, ia akan terjun dengan persiapan penuh.
Pada tahun 1970 atau 1971, suatu pertanyaan terakhir yang mengganggu mulai menghantui pikirannya. Jika otak ini memang mengetahui dengan cara menyusun hologram–yakni dengan mentransformasikan secara matematis frekuensi-frekuensi yang datang dari “alam luar”–siapa di dalam otak yang menafsirkan hologram itu? Ini adalah pertanyaan tua yang terus menghantui. Para filsuf sejak zaman Yunani telah berspekulasi tentang “roh di dalam mesin”, “orang kecil di dalam orang kecil”, dan seterusnya. Di manakah sang “aku”, entitas yang memakai otak? Siapakah yang melakukan tindakan memahami itu? Atau, seperti dirumuskan oleh Santo Fransiskus dari Asisi, “Apa yang kita cari adalah yang mencari.” Ketika memberikan ceramah pada suatu malam di sebuah simposium di Minnesota, Pribram menyampaikan renungannya, bahwa mungkin jawabannya terletak di bidang psikologi gestalt, sebuah teori yang mengatakan bahwa apa yang kita persepsikan “di alam luar” adalah sama—isomorphic dengan–proses pikiran kita sendiri. Tiba-tiba ia menyeletuk, “Barangkali alam semesta ini sebuah hologram juga!” Ia berhenti, sedikit tertegun memikirkan implikasi dari apa yang dikatakannya. Apakah hadirin yang duduk di depannya semuanya hologram–perwujudan dari frekuensi-frekuensi, yang ditafsirkan oleh otaknya dan oleh otak masing-masing? Jika hakekat realitas itu sendiri bersifat holografis, dan otak bekerja secara holografis, maka alam semesta ini sesungguhnya–seperti dikatakan oleh agama-agama di Timur–adalah maya: tontonan sihir. Kekonkritan alam ini adalah ilusi. Tidak lama kemudian, ia melewatkan seminggu bersama anak laki-lakinya, juga seorang fisikawan, mendiskusikan ide-idenya dan mencari kemungkinan jawabannya di dalam disiplin fisika. Anaknya menyebutkan bahwa seorang fisikawan terkemuka, David Bohm, sudah beberapa lama berpikir dengan cara yang mirip. Beberapa hari kemudian, Pribram membaca karya-karya kunci dari Bohm, yang menyarankan suatu tatanan baru dalam fisika. Pribram merasa seperti disengat listrik. Bohm menguraikan suatu alam semesta yang holografis.
Menurut Bohm, apa yang tampak sebagai alam yang stabil, teraba, terlihat, terdengar, adalah suatu khayalan. Alam itu bersifat dinamis dan kaleidoskopis–tidak sungguh-sungguh “ada”. Yang kita lihat sehari-hari adalah tatanan yang eksplisit, atau terbabar (unfolded), seperti kalau kita menonton film. Tetapi ada suatu tatanan lain yang mendasarinya, yang merupakan cikal-bakal dari tatanan generasi kedua ini. Dinamakannya tatanan yang lain itu ‘implicate’ atau ‘enfolded’ (terserap). Tatanan terserap itu mengandung realitas kita sesungguhnya, seperti DNA di dalam inti sel mengandung potensial kehidupan dan menentukan pembabarannya.
Bohm menggambarkan suatu tetesan tinta yang tak larut di dalam cairan gliserin. Jika cairan itu perlahan-lahan diputar dengan suatu alat mekanis, demikian rupa sehingga tidak terjadi difusi, tetesan tinta itu akhirnya akan tertarik memanjang menjadi benang tipis yang tersebar di dalam seluruh sistem, demikian rupa sehingga tak terlihat oleh mata. Jika alat mekanis itu diputar dengan arah berlawanan, benang itu akan perlahan-lahan menggumpal kembali sampai tiba-tiba gumpalan itu muncul sebagai tetesan tinta semula.
Sebelum terjadi penggumpalan, tetesan itu dapat dikatakan “terserap” ke dalam cairan kental, dan kemudian terbabar lagi. Lalu, bayangkanlah ada beberapa tetesan serupa yang telah diputar dalam cairan kental dengan sejumlah putaran yang berbeda dan berada di tempat-tempat yang berbeda. Jika sistem itu diputar ke arah berlawanan dengan cukup cepat, akan tampak seolah-olah ada satu tetesan tinta yang permanen yang bergerak berpindah tempat di dalam cairan. Sesungguhnya obyek seperti itu tidak ada. Contoh lain: sederetan lampu listrik pada sebuah billboard iklan yang berkedip hidup dan mati dengan presisi tertentu, sehingga memberi kesan ada cahaya yang bergerak membentuk anak panah yang meluncur, kartun animasi, dan sebagainya, yang memberikan ilusi suatu gerakan yang kontinyu. Seperti itu pula, semua yang tampak sebagai zat dan gerakan adalah khayalan. Mereka muncul dari suatu tatanan alam lain yang lebih primer. Bohm menyebut fenomena ini holomovement (gerakan-holo).
Katanya, sejak zaman Galileo, kita memandang alam semesta ini melalui berbagai lensa. Tindakan kita mengobyektivasikan, seperti dalam sebuah mikroskop elektron, mengubah apa yang ingin kita lihat. Kita ingin menemukan pinggirnya, membuatnya diam untuk sesaat, padahal hakekat sebenarnya adalah suatu tatanan lain dari realitas, suatu dimensi lain, yang di situ tidak ada benda-benda. Seolah-olah kita memfokuskan sesuatu yang kita “amati”, seperti Anda memfokuskan suatu gambar, padahal kekaburan sebetulnya lebih tepat untuk menggambarkan realitas. Kekaburan itu sendiri adalah realitas dasar.
Terlintas dalam pikiran
Pribram bahwa matematika otak mungkin juga merupakan sebuah lensa. Transformasi
matematis ini menciptakan obyek-obyek dari frekuensi-frekuensi yang kabur,
membuatnya menjadi suara dan warna dan rasa kinestetik (rabaan), bau dan
citarasa.
“Mungkin realitas ini bukan seperti yang kita lihat dengan mata kita,” kata Pribram. “Jika kita tidak memiliki lensa itu–matematika yang dilakukan oleh otak–mungkin kita akan melihat sebuah alam yang diorganisasikan menurut domain frekuensi. Tidak ada ruang, tidak ada waktu–yang ada hanyalah peristiwa (events).
Dapatkah realitas dibaca dari domain itu? Ia menawarkan bahwa pengalaman transendental–keadaan mistikal—mungkin memberikan kepada kita akses langsung kepada alam itu. Sungguh, laporan-laporan subyektif dari keberadaan seperti itu sering kali terdengar mirip deskripsi realitas kuantum, suatu kebetulan yang membawa sementara fisikawan untuk berspekulasi ke arah itu. Dengan memintasi cara persepsi kita sehari-hari yang bersifat menyempitkan–yang oleh Aldous Huxley dinamakan nilai yang mereduksikan–kita dapat menyetel kesadaran kita dengan sumber atau matriks dari realitas dan pola-pola interferensi syaraf otak, proses-proses matematisnya, mungkin identik dengan keberadaan primer dari alam semesta. Artinya, proses-proses mental kita secara efektif terbuat dari prinsip pengorganisasian yang sama. Para fisikawan dan ahli astronomi kadang-kadang berkata bahwa hakekat alam semesta yang sejati bersifat imaterial tetapi tertib. Einstein menyatakan ketakjuban mistikal melihat harmoni ini. Ahli astronomi James Jeans berkata bahwa alam semesta ini lebih mirip sebuah pikiran besar daripada sebuah mesin besar, dan ahli astronomi Arthur Eddington berkata, “Bahan alam semesta ini adalah bahan batin.” Lebih belakangan, ahli sibernetika David Foster menggambarkan “alam semesta yang cerdas”, yang kekonkritannya yang tampak sehari-hari dihasilkan–merupakan efek–dari data kosmik dari suatu sumber terorganisir yang tak dapat dikenal.
“Mungkin realitas ini bukan seperti yang kita lihat dengan mata kita,” kata Pribram. “Jika kita tidak memiliki lensa itu–matematika yang dilakukan oleh otak–mungkin kita akan melihat sebuah alam yang diorganisasikan menurut domain frekuensi. Tidak ada ruang, tidak ada waktu–yang ada hanyalah peristiwa (events).
Dapatkah realitas dibaca dari domain itu? Ia menawarkan bahwa pengalaman transendental–keadaan mistikal—mungkin memberikan kepada kita akses langsung kepada alam itu. Sungguh, laporan-laporan subyektif dari keberadaan seperti itu sering kali terdengar mirip deskripsi realitas kuantum, suatu kebetulan yang membawa sementara fisikawan untuk berspekulasi ke arah itu. Dengan memintasi cara persepsi kita sehari-hari yang bersifat menyempitkan–yang oleh Aldous Huxley dinamakan nilai yang mereduksikan–kita dapat menyetel kesadaran kita dengan sumber atau matriks dari realitas dan pola-pola interferensi syaraf otak, proses-proses matematisnya, mungkin identik dengan keberadaan primer dari alam semesta. Artinya, proses-proses mental kita secara efektif terbuat dari prinsip pengorganisasian yang sama. Para fisikawan dan ahli astronomi kadang-kadang berkata bahwa hakekat alam semesta yang sejati bersifat imaterial tetapi tertib. Einstein menyatakan ketakjuban mistikal melihat harmoni ini. Ahli astronomi James Jeans berkata bahwa alam semesta ini lebih mirip sebuah pikiran besar daripada sebuah mesin besar, dan ahli astronomi Arthur Eddington berkata, “Bahan alam semesta ini adalah bahan batin.” Lebih belakangan, ahli sibernetika David Foster menggambarkan “alam semesta yang cerdas”, yang kekonkritannya yang tampak sehari-hari dihasilkan–merupakan efek–dari data kosmik dari suatu sumber terorganisir yang tak dapat dikenal.
Secara singkat, superteori holografis mengatakan bahwa otak kita secara matematis mengkonstruksikan realitas “keras” dengan menafsirkan frekuensi-frekuensi dari suatu dimensi yang mengatasi waktu dan ruang. Otak ini sebuah hologram, menafsirkan suatu alam semesta holografik.
Pribram secara menarik kadang-kadang mengakui, “Saya harap Anda menyadari bahwa saya tidak mengerti semua ini.” Pengakuan ini biasanya menghasilkan desah kelegaan bahkan di kalangan pendengar yang paling saintifik, yang di situ setiap orang kecuali para fisikawan–yang lebih tahu—mencoba menerapkan proses berpikir linear dan logis terhadap dimensi yang non-linear. Anda tidak dapat menggunakan cara berpikir sebab-akibat untuk memahami peristiwa-peristiwa yang tak terikat oleh waktu dan ruang.
Fenomena psikis tidak lain adalah hasil-samping dari matriks yang “serentak-ada di mana-mana” ini. Otak individual adalah “pecahan” dari hologram yang lebih besar. Masing-masing mempunyai akses dalam kondisi tertentu kepada semua informasi yang terkandung dalam keseluruhan sistem sibernetika itu. Sinkronisitas–peristiwa-peristiwa bersamaan yang tampak mempunyai tujuan atau keterkaitan yang lebih tinggi–juga cocok dengan model holografis. Kebetulan-kebetulan yang bermakna itu berasal dari hakekat matriks yang bertujuan, berpola, dan mengorganisasikan. Psikokinesis, batin yang mempengaruhi materi, mungkin adalah hasil alamiah dari interaksi di tingkat dasar. Model holografis memecahkan teka-teki lama dari ‘psi’: ketidakmampuan instrumen untuk menjejaki transfer energi yang tampaknya terjadi dalam telepati, penyembuhan, dan clairvoyance. Jika peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam suatu dimensi yang mengatasi waktu dan ruang, tidak perlu energi untuk pergi dari sini ke sana. Seperti dikatakan oleh seorang peneliti, “Tidak ada suatu tempat tertentu di mana pun juga.” Selama bertahun-tahun, mereka yang tertarik pada fenomena batin manusia telah meramalkan bahwa suatu teori terobosan akan muncul, bahwa teori itu akan disusun dari matematika untuk menegakkan bahwa hal-hal adikodrati adalah bagian dari alam. Model holografis adalah teori integral seperti itu, yang meliputi seluruh hal-hal yang ganjil dari sains dan roh. Teori ini mungkin merupakan paradigma paradoksikal, tanpa tepi, yang dicari oleh sains.
Kemampuannya menjelaskan memperkaya dan memperluas banyak disiplin, memberi makna pada fenomena-fenomena lama dan menampilkan pertanyaan-pertanyaan baru yang urgen. Yang tersirat dalam teori itu adalah asumsi bahwa keadaan kesadaran yang harmonis dan koheren lebih sesuai dengan tingkat realitas dasar, yakni suatu dimensi ketertiban dan keselarasan. Kesesuaian itu akan dirintangi oleh amarah, kecemasan dan ketakutan, dan diperlancar oleh cinta dan empati. Ini mempunyai implikasi bagi proses belajar, lingkungan, keluarga, seni, agama dan filsafat, penyembuhan dan penyembuhan-diri. Apakah yang memecah-belah kita? Apakah yang membuat kita utuh? Uraian tentang suatu rasa mengalir, tentang kerjasama dengan alam—dalam proses kreatif, dalam kinerja atletik yang luar biasa, dan kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari–apakah uraian seperti itu menandai kesatuan kita dengan sumber? Makin banyak orang bereksperimen dengan ‘keadaan kesadaran yang berubah’ (altered states of consciousness). Apakah mereka menciptakan masyarakat yang lebih koheren, resonan, dengan menanamkan ketertiban ke dalam hologram sosial yang besar, seperti “kristal benih”? Mungkin ini adalah proses misterius dari evolusi kesadaran.
Model holografis juga membantu menjelaskan kekuatan aneh dari gambar (image)–mengapa peristiwa dipengaruhi oleh apa yang kita bayangkan, apa yang kita visualisasikan. Suatu gambar yang dipegang dalam keadaan transendental mungkin dijadikan nyata. Keith Floyd, psikolog dari Virginia Intermont College, berkata tentang kemungkinan holografis, “Bertentangan dengan apa yang diketahui banyak orang, mungkin bukan otak yang menghasilkan kesadaran—melainkan sebaliknya, kesadaranlah yang menciptakan apa yang terlihat sebagai otak–materi, ruang, waktu, dan segala sesuatu lain, yang dengan senang hati kita tafsirkan sebagai alam fisik”.
Bila suatu paradigma bergeser, kata Pribram, sains sering kali dipaksa memeriksa kembali konsep-konsep terdahulu yang pernah ditolak. Leibniz, filsuf dan ahli matematika abad ke-17 M, yang temuannya kalkulus integral memungkinkan dikembangkannya holografi, pernah mempostulatkan suatu alam dari monad-monad–yakni unit-unit yang mengandung informasi dari keseluruhan. Leibniz menyatakan bahwa perilaku cahaya yang amat tertib mengisyaratkan adanya tatanan realitas yang berpola dan radikal yang mendasarinya.
Ada banyak kasus pemikir-pemikir di zaman dahulu menjelaskan apa yang seharusnya tak dapat dijelaskan pada zaman mereka. Misalnya, para ahli mistik kuno dengan tepat melukiskan fungsi kelenjar epifisis (pineal) berabad-abad sebelum sains membenarkannya. “Bagaimana ide-ide seperti ini muncul berabad-abad sebelum kita mempunyai alat untuk memahaminya?” tanya Pribram. “Mungkin di dalam keadaan holografis–domain frekuensi–empat ribu tahun yang lalu adalah esok hari.” Begitu pula, Henri Bergson pernah berkata pada tahun 1907 bahwa realitas yang paling dasar adalah suatu jaringan koneksi yang menjadi landasan, dan bahwa otak menyaring sebagian besar realitas yang ada. Pada tahun 1929, Alfred North Whitehead, filsuf dan ahli matematika, melukiskan alam sebagai pusat peristiwa-peristiwa yang besar dan mengembang yang di luar persepsi indera. Kita hanya mengira bahwa materi dan batin ini berbeda, padahal faktanya keduanya saling jalin-menjalin.
Bergson menyatakan bahwa para artis, seperti para ahli mistik, mempunyai akses kepada elan vital, yakni suatu impuls kreatif yang mendasar. Sajak-sajak T.S. Eliot penuh dengan gambar-gambar holografis: “Titik diam dari dunia yang berputar” yang bukan daging bukan pula tanpa daging, bukan berhenti bukan pula bergerak, “Dan jangan namakan itu keadaan yang tetap, yang di situ masa lampau dan masa depan terkumpul. Kecuali titik itu, titik diam itu. Tak akan ada lagi tarian, dan yang ada hanyalah tarian”.
Ahli mistik Jerman, Meister Eckhart, menyatakan bahwa “Tuhan menjelma dan lenyap kembali.” David Hume, filsuf abad ke-18 M, mengantisipasi teori David Bohm tentang gerakan-holo, dengan berkata bahwa manusia tidak lain dari sekumpulan persepsi “yang susul-menyusul dengan kecepatan tak terbayangkan, dan berada dalam pusaran dan gerakan yang abadi.” Ahli mistik Sufi, Jalaluddin Rumi, berkata, “Batin manusia melihat sebab-sebab kedua, tetapi hanya para nabi yang melihat tindakan dari Sebab Pertama.” Dan, barangkali suatu uraian kuno paling luar biasa tentang realitas holografis terdapat dalam sebuah Sutra Buddhis:
Di kahyangan Indra katanya
terdapat jaringan mutiara yang tersusun demikian rupa, sehingga jika Anda
memandang satu mutiara saja, Anda melihat seluruh mutiara itu terpantul di
dalamnya. Secara itu pula, setiap obyek di dunia ini bukan hanya dirinya
sendiri, melainkan juga mengandung semua obyek yang lain, bahkan sesungguhnya
adalah setiap obyek yang lain.
Sejak perkembangan berangsur-angsur dari sintesis Pribram antara otak holografis dengan alam semesta holografis dari David Bohm, ide itu telah menarik minat banyak filsuf dan ahli psikologi humanistik. Perkumpulan Psikologi Humanistik mensponsori dua simposium satu-hari melalui undangan pada bulan Desember tahun lalu [1977] di San Francisco, agar Pribram dapat menjelaskan sepenuhnya konsep-konsep itu kepada suatu kelompok antar-disiplin. Di antara mereka yang hadir, terdapat George Leonard, Jean Houston, Charles Tart, Rollo May, Bob Samples, John Perry, Stanley Krippner, Arthur Deikman, Enoch Callaway, Huston Smith dan Sam Keen. Teori ini baru-baru ini juga ditayangkan dalam film dokumenter oleh Canadian Broadcasting Corporation, yang menghasilkan tanggapan penonton paling besar dalam sejarah jaringan itu. “Kita berada di sini merayakan terjadinya pergeseran paradigma,” kata Pribram dengan riang. Ketika dia mengatakan bahwa teori ini melihat segala sesuatu sebagai getaran, hadirin tertawa, dan dia berkata, “Saya rasa saya tidak perlu mengatakan itu kepada Anda.” Otak yang dulu dengan itu ia dibesarkan adalah sebuah komputer, kata Pribram kepada hadirin di San Diego pada tahun 1976, tetapi “otak yang kita kenal sekarang memungkinkan pengalaman yang dilaporkan dari displin spiritual.” Baru-baru ini, dalam sebuah konferensi besar atas undangan yang disponsori oleh Gereja Unification, Pribram membahas pendekatannya terhadap fisika kesadaran di dalam suatu sesi dengan lima orang pemenang Hadiah Nobel.
Bagaimana proses-proses batin dapat diubah untuk memungkinkannya mengalami langsung domain frekuensi masih merupakan dugaan. Hal itu mungkin menyangkut suatu fenomena persepsi yang dikenal–yakni “proyeksi” yang memungkinankan kita mengalami, misalnya, suara stereofonik tiga dimensi yang penuh, seolah-olah suara itu datang dari suatu titik di tengah-tengah di antara dua buah pengeras suara, alih-alih datang dari dua sumber suara. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa indera kinestetik dapat juga dipengaruhi seperti itu; rangsangan rabaan pada kedua tangan pada suatu frekuensi tertentu akhirnya dapat menyebabkan orang yang bersangkutan merasa seolah-olah ia mempunyai tangan ketiga, yang terletak di tengah-tengah di antara kedua tangan aslinya. Pribram mengatakan adanya kemungkinan keterlibatan jaringan otak yang berpusat di bagian yang dinamakan amygdala, yang telah dikenal sebagai tempat terjadinya gangguan patologis yang disebut deja vu (“pernah melihat”), dan tampaknya juga terlibat dalam “kesadaran tanpa isi” yang merupakan pengalaman mistikal. Beberapa perubahan frekuensi dan hubungan fase yang terjadi dalam struktur ini mungkin merupakan mantra pembuka bagi keadaan transendental.
Pribram berkata, pengalaman mistikal tidak lebih aneh daripada banyak peristiwa alam, seperti misalnya derepresi selektif dari DNA untuk membentuk mula-mula suatu alat tubuh, dan kemudian alat tubuh yang lain. “Jika kita memperoleh ESP [extrasensory perception--persepsi tanpa indera] atau fenomena paranormal lain–atau fenomena nuklir dalam fisika—itu sekadar berarti kita membaca dari suatu dimensi lain pada saat itu. Dalam keadaan sehari-hari, kita tidak dapat memahaminya”.
Pribram mengakui bahwa model ini tidak mudah dicernakan –paham ini terlalu radikal menjungkirbalikkan semua sistem kepercayaan kita sebelumnya, pemahaman akal sehat kita tentang benda dan waktu dan ruang. Suatu generasi baru akan tumbuh yang terbiasa akan cara berpikir holografis, dan untuk memudahkan itu, Pribram menganjurkan agar siswa di sekolah belajar tentang paradoks sejak sekolah dasar, oleh karena temuan-temuan ilmiah yang baru selalu penuh dengan kontradiksi.
Pada tahun 1977, Pribram meramalkan bahwa ‘sains lunak’ pada masa kini akan menjadi titik pusat dari ‘sains keras’ dalam waktu 10 – 15 tahun lagi, persis seperti psikologi kognitif, yang dulu pernah dianggap “lunak”, kini mengatasi psikologi perilaku (behaviorism). Ia juga meramalkan lahirnya holisme yang jelas, yakni suatu pergesaran paradigma yang mencakup semua bidang sains.
Para ilmuwan yang produktif harus siap membela roh sebagai data. “Inilah sains sebagaimana dibayangkan semula: yakni mencari pemahaman,” kata Pribram. “Hari-hari kaum teknokrat yang berhati dingin dan berkepala batu tampaknya bisa dihitung dengan jari”.
Sumber: “The Holographic Paradigm and Other Paradoxes: Exploring the Leading Edge of Science”, Ken Wilber (editor).
Sejak perkembangan berangsur-angsur dari sintesis Pribram antara otak holografis dengan alam semesta holografis dari David Bohm, ide itu telah menarik minat banyak filsuf dan ahli psikologi humanistik. Perkumpulan Psikologi Humanistik mensponsori dua simposium satu-hari melalui undangan pada bulan Desember tahun lalu [1977] di San Francisco, agar Pribram dapat menjelaskan sepenuhnya konsep-konsep itu kepada suatu kelompok antar-disiplin. Di antara mereka yang hadir, terdapat George Leonard, Jean Houston, Charles Tart, Rollo May, Bob Samples, John Perry, Stanley Krippner, Arthur Deikman, Enoch Callaway, Huston Smith dan Sam Keen. Teori ini baru-baru ini juga ditayangkan dalam film dokumenter oleh Canadian Broadcasting Corporation, yang menghasilkan tanggapan penonton paling besar dalam sejarah jaringan itu. “Kita berada di sini merayakan terjadinya pergeseran paradigma,” kata Pribram dengan riang. Ketika dia mengatakan bahwa teori ini melihat segala sesuatu sebagai getaran, hadirin tertawa, dan dia berkata, “Saya rasa saya tidak perlu mengatakan itu kepada Anda.” Otak yang dulu dengan itu ia dibesarkan adalah sebuah komputer, kata Pribram kepada hadirin di San Diego pada tahun 1976, tetapi “otak yang kita kenal sekarang memungkinkan pengalaman yang dilaporkan dari displin spiritual.” Baru-baru ini, dalam sebuah konferensi besar atas undangan yang disponsori oleh Gereja Unification, Pribram membahas pendekatannya terhadap fisika kesadaran di dalam suatu sesi dengan lima orang pemenang Hadiah Nobel.
Bagaimana proses-proses batin dapat diubah untuk memungkinkannya mengalami langsung domain frekuensi masih merupakan dugaan. Hal itu mungkin menyangkut suatu fenomena persepsi yang dikenal–yakni “proyeksi” yang memungkinankan kita mengalami, misalnya, suara stereofonik tiga dimensi yang penuh, seolah-olah suara itu datang dari suatu titik di tengah-tengah di antara dua buah pengeras suara, alih-alih datang dari dua sumber suara. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa indera kinestetik dapat juga dipengaruhi seperti itu; rangsangan rabaan pada kedua tangan pada suatu frekuensi tertentu akhirnya dapat menyebabkan orang yang bersangkutan merasa seolah-olah ia mempunyai tangan ketiga, yang terletak di tengah-tengah di antara kedua tangan aslinya. Pribram mengatakan adanya kemungkinan keterlibatan jaringan otak yang berpusat di bagian yang dinamakan amygdala, yang telah dikenal sebagai tempat terjadinya gangguan patologis yang disebut deja vu (“pernah melihat”), dan tampaknya juga terlibat dalam “kesadaran tanpa isi” yang merupakan pengalaman mistikal. Beberapa perubahan frekuensi dan hubungan fase yang terjadi dalam struktur ini mungkin merupakan mantra pembuka bagi keadaan transendental.
Pribram berkata, pengalaman mistikal tidak lebih aneh daripada banyak peristiwa alam, seperti misalnya derepresi selektif dari DNA untuk membentuk mula-mula suatu alat tubuh, dan kemudian alat tubuh yang lain. “Jika kita memperoleh ESP [extrasensory perception--persepsi tanpa indera] atau fenomena paranormal lain–atau fenomena nuklir dalam fisika—itu sekadar berarti kita membaca dari suatu dimensi lain pada saat itu. Dalam keadaan sehari-hari, kita tidak dapat memahaminya”.
Pribram mengakui bahwa model ini tidak mudah dicernakan –paham ini terlalu radikal menjungkirbalikkan semua sistem kepercayaan kita sebelumnya, pemahaman akal sehat kita tentang benda dan waktu dan ruang. Suatu generasi baru akan tumbuh yang terbiasa akan cara berpikir holografis, dan untuk memudahkan itu, Pribram menganjurkan agar siswa di sekolah belajar tentang paradoks sejak sekolah dasar, oleh karena temuan-temuan ilmiah yang baru selalu penuh dengan kontradiksi.
Pada tahun 1977, Pribram meramalkan bahwa ‘sains lunak’ pada masa kini akan menjadi titik pusat dari ‘sains keras’ dalam waktu 10 – 15 tahun lagi, persis seperti psikologi kognitif, yang dulu pernah dianggap “lunak”, kini mengatasi psikologi perilaku (behaviorism). Ia juga meramalkan lahirnya holisme yang jelas, yakni suatu pergesaran paradigma yang mencakup semua bidang sains.
Para ilmuwan yang produktif harus siap membela roh sebagai data. “Inilah sains sebagaimana dibayangkan semula: yakni mencari pemahaman,” kata Pribram. “Hari-hari kaum teknokrat yang berhati dingin dan berkepala batu tampaknya bisa dihitung dengan jari”.
Sumber: “The Holographic Paradigm and Other Paradoxes: Exploring the Leading Edge of Science”, Ken Wilber (editor).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar