Oleh Sayyid Muhammad Baqir as Shadr (Penerjemah: Muhammad Nur Mufid)
Bab 6: Prinsip Kausalitas
Salah satu proposisi
primer yang diketahui manusia dalam kehidupan sehari-harinya adalah prinsip
kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu memiliki sebab. Ia termasuk di
antara prinsip-prinsip yang niscaya lagi rasional.
Karena, manusia mendapati di kedalaman wataknya suatu pendorong yang mendorongnya berupaya menjelaskan apa yang ditemuinya dan alasan keberadaannya dengan mengungkapkan sebab-sebabnya. Dorongan tersebut ada secara fitri dalam watak manusia. Bahkan ada pada beberapa jenis hewan juga. Hewan seperti itu akan memperhatikan sumber gerak secara instinktif, untuk mengetahui sebab gerak tersebut, dan akan mencari sumber suara untuk mengetahui sebabnya. Itulah sebabnya manusia selamanya menghadapi pertanyaan: “Mengapa …?” berkenaan dengan setiap wujud dan fenomena yang diinderainya, sehingga kalau kita tidak mendapatkan sebab tertentu (wujud atau fenomena itu), ia yakin akan adanya sebab tak diketahui yang melahirkan peristiwa tersebut.
Pada prinsip kausalitas
bergantung: pertama, pembuktian realitas objektif persepsi inderawi; kedua,
semua teori dan hukum ilmiah yang bersandarkan Pada eksperimen; ketiga,
kemungkinan penyimpulan dan kesimpulan-kesimpulannya dalam bidang filsafat
maupun ilmu.
Kalau saja tidak karena prinsip dan hukum-hukum kausalitas, tentu tidak mungkin memaparkan objektivitas persepsi inderawi, tidak pula teori ilmu dan hukum ilmu apa pun, dan tentu tidak mungkin menyimpulkan dalam bidang pengetahuan manusia apa pun berdasarkan bukti apa pun. Berikut penjelasan mengenai hal itu.
Kalau saja tidak karena prinsip dan hukum-hukum kausalitas, tentu tidak mungkin memaparkan objektivitas persepsi inderawi, tidak pula teori ilmu dan hukum ilmu apa pun, dan tentu tidak mungkin menyimpulkan dalam bidang pengetahuan manusia apa pun berdasarkan bukti apa pun. Berikut penjelasan mengenai hal itu.
Kausalitas dan Objektivitas Persepsi Inderawi
Dalam bab “Teori
Pengetahuan”, telah kami jelaskan bahwa persepsi inderawi tidak lebih daripada
bentuk konsepsi. Ia adalah hadirnya bentuk sesuatu yang terinderai dalam fakultas-fakultas
inderawi, dan tidak memiliki karakter suatu pengungkapan sejati tentang
realitas luar. Karena itu, dalam kasus penyakit tertentu, manusia dapat
memiliki persepsi inderawi tentang hal-hal tertentu, tanpa menetapkan adanya
hal-hal itu. Jadi, persepsi inderawi bukanlah dasar yang memadai untuk
menetapkan, menilai atau mengetahui realitas objektif.
Dengan demikian,
permasalahan yang kita hadapi adalah bahwa kalau persepsi inderawi itu sendiri
bukanlah bukti bagi adanya sesuatu yang terinderai yang ada di luar batas-batas
kesadaran dan pengetahuan, maka bagaimana kita dapat menetapkan adanya realitas
objektif? Jawabnya ada pada telaah kami tentang teori pengetahuan. Begini.
Menetapkan adanya suatu realitas objektif alam adalah penetapan yang niscaya lagi
primer. Ia, karena itu, tidak membutuhkan bukti. Tetapi penetapan niscaya itu
menunjukkan hanya adanya suatu realitas-luar alam secara global. Sedangkan
realitas .objektif setiap persepsi inderawi tidak diketahui .secara niscaya.
Karena itu, dibutuhkan bukti untuk membuktikan objektivitas setiap persepsi
inderawi tertentu. Bukti itu adalah prinsip dan hukum-hukum kausalitas.
Terjadinya (dalam indera) bentuk sesuatu tertentu di dalam kondisi dan keadaan
tertentu mengungkapkan, sesuai dengan prinsip ini, adanya sebab luar sesuatu
itu. Kalau tidak karena prinsip tersebut, tentu persepsi inderawi atau adanya
sesuatu di dalam indera tidak dapat mengungkapkan adanya sesuatu itu di tempat
lain. Karena itulah, dalam keadaan sakit tertentu manusia dapat menginderai
hal-hal tertentu, atau membayangkan bahwa ia melihat hal-hal itu tanpa
mengetahui realitas-objektif hal-hal tersebut. Ini karena prinsip kausalitas
tidak membuktikan adanya realitas tersebut, selama dimungkinkan untuk
menerangkan persepsi inderawi melalui keadaan sakit tertentu itu. Tetapi, ia
membuktikan realitas objektif persepsi inderawi jika tidak ada keterangan
tentangnya berdasarkan prinsip kausalitas kecuali dengan realitas objektif yang
melahirkan persepsi inderawi itu.
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan tiga proposisi berikut: Pertama, persepsi inderawi itu sendiri
tidak mengungkapkan adanya realitas objektif. Karena, ia adalah konsepsi, dan
adalah bukan tugas konsepsi (tak soal dengan jenisnya) untuk memberikan
pengungkapan yang benar. Kedua, mengetahui adanya realitas alam secara global
adalah suatu ketetapan (judgement) yang niscaya lagi primer yang tidak
membutuhkan bukti; yakni, tidak perlu tahu terlebih dahulu. Inilah yang
memisahkan idealisme dari realisme. Ketiga, mengetahui suatu realitas objektif
persepsi inderawi ini atau itu dapat terjadi dengan berdasarkan prinsip
kausalitas.
Kausalitas dan Teori-Teori Ilmiah
Teori-teori ilmiah, dalam
berbagai lapangan eksperimen dan observasional, secara umum bergantung secara
mendasar pada prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Jika kausalitas dan sistem
tertentunya terhapus dari alam semesta, maka penciptaan teori ilmiah dalam
lapangan apa pun akan menjadi sulit sekali. Untuk menjelaskan hal ini, harus
dipaparkan sejumlah hukum kausal dari himpunan (hukum) filosofis yang menjadi
sandaran ilmu pengetahuan. Hukum-hukum ini adalah sebagai berikut:
(1) Prinsip kausalitas
yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab; (2) Hukum keniscayaan
yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akibat alaminya, dan
bahwa, tidak mungkin akibat terpisah dari sebabnya; (3) Hukum keselarasan
antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara
esensial selaras mesti pula selaras dengan sebab dan akibatnya. Berdasarkan prinsip
kausalitas ini kita tahu, misalnya, bahwa radiasi yang memancar dari atom
radium mempunyai sebab, yaitu pemecahan internal dalam kandungan atom itu.
Berdasarkan hukum keniscayaan, kita dapati bahwa keterbagian tersebut, ketika
kondisi-kondisi niscayanya telah terpenuhi, niscaya melahirkan radiasi
tertentu. Adanya kondisi-kondisi ini dan pelahiran radiasi ini tidak mungkin
dapat dipisahkan. Berdasarkan asas hukum keselarasan itu kita dapat
menggeneralisasikan fenomena radiasi dan membuat keterangan tertentu mengenai
semua atom radium. Dengan demikian kita katakan bahwa selama segala atom elemen
tersebut secara esensial selaras, mereka mesti juga selaras dengan sebab-sebab
dan akibat-akibat mereka. Nah, kalau eksperimen ilmiah menyingkapkan radiasi pada
beberapa atom radium, dapatlah kiita menganggap radiasi ini sebagai fenomena
umum semua atom yang serupa dalam kondisi-kondisi tertentu.
Adalah jelas bahwa dua
hukum terakhir tersebut – hukum keniscayaan dan hukum keselarasan – muncul dari
prinsip kausalitas. Kalau saja di dalam alam semesta ini tidak ada kausalitas
antara sebagian hal dan sebagian lainnya, (yakni) jika segala sesuatu terjadi
secara serampangan dan kebetulan – tidak akan niscaya bila ada suatu atom
radium, terdapat radiasi pada derajat tertentu, dan tentu semua atom elemen
tersebut tidak niscaya bagi fenomena radiasi tertentu. Tetapi, selama prinsip
kausalitas ditiadakan dari alam semesta, bisa jadi bahwa radiasi berhubungan
dengan satu atom, bukan atom lainnya, hanya disebabkan oleh keserampangan dan
kebetulan. Jadi, keniscayaan dan kesesuaian berpangkal pada prinsip kausalitas.
Sekarang, mari kita
kembali – sesudah menjelaskan masalah mendasar: kausalitas, keniscayaan dan
keselarasan – kepada ilmu-ilmu dan teori-teori ilmiah. Akan kita dapati dengan
sangat jelas bahwa semua teori dan hukum yang terlibat dalam ilmu-ilmu
pengetahuan itu pada hakikatnya maujud berdasarkan masalah-masalah mendasar
tersebut, dan berdiri di atas prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Nah, kalau
prinsip tersebut tidak diambil sebagai kebenaran filsafat yang pasti, tentu
tidaklah mungkin didirikan suatu teori apa pun dan tidak mungkin pula dibangun
hukum ilmiah apa pun yang mempunyai sifat umum dan komprehensif. Hal itu karena
eksperimen yang dilakukan seorang ilmuwan alam di dalam laboratoriumnya, tidak
bisa menjamah semua bagian alam. Tetapi hanya menjamah beberapa bagian terbatas
yang pada hakikatnya selaras. Lantas eksperimen itu mengungkapkan bahwa
bagian-bagian itu memiliki fenomena tertentu. Sekiranya sang ilmuwan itu merasa
yakin dengan kebenaran, ketepatan serta objektivitas eksperimennya, segeralah
ia membuat suatu teori atau hukum yang dapat diterapkan pada segala bagian alam
yang sama dengan objek eksperimennya. Generalisasi tersebut, yang merupakan
syarat mendasar bagi didirikannya ilmu alam, tidak dibenarkan kecuali oleh
hukum-hukum kausalitas secara umum – terutama hukum keselarasan yang (seperti
telah dijelaskan) menyatakan bahwa setiap himpunan yang pada hakikatnya selaras
harus pula selaras dalam sebab dan akibatnya. Apabila di alam semesta tidak ada
sebab dan akibat, dan segala sesuatu terjadi semata-mata karena kebetulan,
tentu seorang ilmuwan alam tidak akan bisa mengatakan bahwa apa yang dikukuhkan
dalam penelitian tertentunya berlaku pula tanpa batasan atas segala bagian
alam. Untuk hal itu, mari kita ambil contoh yang sederhana tentang ilmuwan alam
yang dengan eksperimen membuktikan bahwa benda-benda memuai bila dalam keadaan
panas. Eksperimennya tentu saja tidak meliputi segala benda di alam semesta.
Tetapi, ia hanya melakukan eksperimennya terhadap sejumlah benda yang
bermacam-macam, misalnya roda-roda mobil kayu, di mana paa roda-roda itu
diletakkan kerangka-kerangka besi yang lebih kecil dibandingkan bila dalam
keadaan panas. Begitu didinginkan, kerangka-kerangka itu kemudian mengerut dan
menjadi sangat mengetap kayu. Mari kita anggap bahwa ilmuwan tersebut
mengulangi eksperimen ini beberapa kali atas benda-benda lain. Ia, pada akhir
eksperimennya, tidak akan bisa melepaskan diri dari menghadapi pertanyaan ini:
“Selama Anda tidak mencakup segala benda tertentu, maka bagaimana bisa Anda
mempercayai bahwa kerangka-kerangka besi lain yang tidak Anda uji itu, juga
memuai karena panas?” Jawaban satu-satunya atas pertanyaan tersebut adalah
prinsip dan hukum-hukum kausalitas. Akal, yang tidak menerima keserampangan dan
kebetulan, tetapi menerangkan alam semesta berdasarkan kausalitas dan
hukum-hukumnya, termasuk hukum keniscayaan dan keselarasan, mendapati, dalam
eksperimen-eksperimen yang terbatas, cukup alasan untuk menerima teori umum
yang menyatakan memuainya benda-benda karena panas. Karena, pemuaian yang
dingkapkan eksperimen tersebut bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi adalah
hasil atau akibat panas. Karena hukum keselarasan dalam kausalitas menyatakan
bahwa satu himpunan tunggal dalam alam selaras dalam sebab dan akibatnya, maka
tidaklah aneh kalau setiap alasan yang memberlakukan fenomena pemuaian atas
segala benda itu dapat diterima.
Dengan demikian kita tahu
bahwa membuat teori umum, tanpa berangkat dari prinsip kausalitas, tidaklah
mungkin. Jadi, prinsip kausalitas adalah asas pertama semua ilmu pengetahuan
dan teori-teori , eksperimental. Kesimpulannya, teori-teori eksperimental tidak
mendapatkan sifat ilmiah, selama tidak digeneralisasikan untuk mencakup
bidang-bidang di luar batas-batas eksperimen tertentu, dan dijadikan sebagai
kebenaran umum. Tidak mungkin dijadikan demikian kecuali berdasarkan prinsip
dan hukum-hukum kausalitas. Karena itu, ilmu-ilmu pengetahuan secara umum harus
menganggap prinsip kausalitas dan kedua hukumnya yang berkaitan erat, yaitu
hukum keniscayaan dan hukum keselarasan, sebagai kebenaran-kebenaran yang
secara mendasar diterima, dan menerimanya sebelum semua teori dan hukum
eksperimental ilmu-ilmu pengetahuan.
Kausalitas dan Inferensi
Prinsip kausalitas adalah
dasar tumpuan segala usaha pemaparan dalam segala bidang pemikiran manusia.
Ini, karena pemaparan dengan bukti tentang sesuatu berarti bahwa jika bukti itu
benar, maka adalah sebab bagi mengetahui sesuatu itulah yang merupakan objek
pemaparan. Ketika kita membuktikan suatu kebenaran tertentu dengan eksperimen
ilmiah atau dengan suatu hukum filsafat atau dengan persepsi inderawi
sedernana, sebenarnya kita hanya berusaha agar bukti tersebut menjadi sebab diketahuinya
kebenaran itu. Nah, kalau tidak karena prinsip kausalitas dan (hukum)
keniscayaan tentu kita tidak akan dapat berbuat hal itu. Karena, kalau kita
membuang hukum-hukum kausalitas dan tidak mempercayai keniscayaan adanya
sebab-sebab tertentu bagi setiap kejadian, tentu tidak akan ada hubungan antara
bukti yang kita sandari dan kebenaran yang kita usahakan mendapatkannya dengan
bukti ini. Tetapi kemungkinan bahwa bukti itu benar tanpa memandu ke hasil yang
dikehendaki, karena hubungan kausal antara bukti dan hasil, antara sebab dan
akibat, itu telah terputus.
Demikianlah, menjadi jelas
bahwa setiap upaya pemaparan bergantung pada diterimanya prinsip kausalitas.
Kalau tidak, tentu upaya itu hanya sia-sia. Bahkan pemaparan untuk menolak
prinsip kausalitas, yang diusahakan oleh sebagian filosof dan ilmuwan, juga
berdasarkan prinsip kausalitas. Karena, mereka yang mencoba mengingkari prinsip
tersebut dengan bersandarkan pada suatu hujah tertentu, tidaklah melakukan
usaha itu, kalau mereka tidak mempercayai bahwa hujah yang mereka sandari itu
adalah- sebab yang memadaiuntuk mengetahui kepalsuan prinsip kausalitas. Tetapi
hal itu sendiri adalah suatu penerapan literal (harfiah) prinsip itu.
Mekanika dan Dinamika
Berdasarkan uraian di
atas, dapatlah dibuat kesimpulan-kesimpulan berikut:
(1) Prinsip kausalitas
tidak mungkin dibuktikan dan dipaparkan secara empirik. Karena, indera tidak
mendapatkan sifat objektif, kecuali jika berdasarkan prinsip tersebut. Kita
membuktikan realitas objektif persepsi inderawi kita berdasarkan prinsip
kausalitas. Jadi, tidaklah mungkin bahwa untuk pemaparannya prinsip itu
bergantung pada indera.
Tetapi, adalah prinsip rasional indera-indera eksternallah yang orang terima secara mandiri.
Tetapi, adalah prinsip rasional indera-indera eksternallah yang orang terima secara mandiri.
(2) Prinsip kausalitas
bukanlah teori ilmiah eksperimental. Tetapi, ia adalah hukum filsafat rasional
di atas eksperimen. Karena, semua teori ilmiah bergantung padanya. Ini tampak
dengan sangat jelas setelah kita mengetahui bahwa setiap deduksi (penyimpulan)
ilmiah yang berdiri di atas eksperimen menghadapi persoalan keumuman
(generalitas) dan kemencakupan (komprehensif). Yaitu bahwa eksperimen yang
menjadi dasar penyimpulan ilmiah itu terbatas. Maka, bagaimana ia itu sendiri
dapat menjadi dalil bagi teori umum? Kita juga telah mengetahui bahwa solusi
satu-satunya bagi problem ini hanyalah prinsip kausalitas, karena ia adalah
dalil atas generalitas dan kekomprehensifan kesimpulan itu. Kalau kita
asumsikan bahwa prinsip kausalitas itu sendiri berdasarkan eksperimen, maka
adalah niscaya kalau kita menghadapi lagi problem generalitas dan
kekomprehensifan. Eksperimen itu tidak menjamah keseluruhan alam semesta; nah,
bagaimana ia dianggap dalil atas teori umum? Kita bisa memecahkan problem itu,
ketika kita menghadapinya berkenaan dengan berbagai teori ilmiah, dengan
bersandarkan pada prinsip kausalitas, sebab prinsip ini adalah bukti yang
memadai mengenai keumuman kesimpulan dan kekomprehensifannya. Sedangkan jika
prinsip itu sendiri dianggap eksperimental dan kita menghadapi permasalahan
yang sama di dalamnya, kita sepenuhnya tidak akan pernah bisa memecahkan
permasalahan ini. Jadi, prinsip kausalitas haruslah berada di atas eksperimen
dan kaidah dasar penyimpulan-penyimpulan eksperimental secara umum.
(3) Pinsip kausalitas
tidak mungkin ditolak dengan hujah apa pun. Karena, setiap usaha seperti ini
justru menyebabkan pengakuan terhadap prinsip itu sendiri. Jadi, prinsip ini
adalah tetap kukuh sebelum dibuktikan manusia.
Ikhtisar
kesimpulan-kesimpulan itu adalah: Prinsip kausalitas bukanlah prinsip
eksperimental, tapi adalah prinsip yang niscaya lagi rasional. Berdasarkan hal
tersebut, dapatlah kita membuat pembedaan antara mekanika dan dinamika, dan
antara prinsip kausalitas dan prinsip kebebasan (indeterminasi). Penafsiran
mekanik terhadap kausalitas itu berdasarkan anggapan bahwa kausalitas adalah
prinsip eksperimental. Prinsip ini, dalam pandangan materialisme mekanik, tidak
lain adalah hubungan material di antara fenomena-fenomena material dalam
lapangan eksperimental, dan diungkapkan dengan metode-metode ilmiah. Karena itu
adalah wajar (jika) kausalitas mekanik tumbang ketika eksperimen tidak mampu
mengungkapkan, dalam bidang-bidang ilmiah tertentu, sebab-sebab fenomena itu.
Karena, kausalitas ini tidak bisa tercapai kecuali berdasarkan eksperimen. Nah,
kalau eksperimen itu bekerja sebaliknya, dan penerapan praktis tidak
membuktikannya, maka ia tidak dapat memperoleh kepercayaan dan pertimbangan
ilmiah.
Adapun dalam pendapat kita
tentang kausalitas, yang menyatakan bahwa ia adalah prinsip rasional di atas
eksperimen, maka situasinya menjadi berbeda sekali berkenaan dengan beberapa
segi: Pertama, kausalitas tidak terbatas pada fenomena-fenomena alam yang
tampak di dalam eksperimen, tetapi ia adalah hukum umum keberadaan pada
umumnya, yang mencakup fenomena-fenomena alam, yaitu materi itu sendiri, serta
apa yang ada di balik materi, yaitu macam-macam keberadaan; Kedua, sebab, yang
keberadaannya dikukuhkan oleh prinsip kausalitas, tidaklah perlu dieksperimen,
atau merupakan sesuatu material; Ketiga, tidak adanya pengungkapan eksperimen
mengenai sebab tertentu bagi perkembangan tertentu atau fenomena tertentu,
tidak berarti gagalnya prinsip kausalitas. Karena, prinsip itu tidak
berdasarkan eksperimen, yang akan terguncang kalau tidak ada eksperimen. Meskipun
eksperimen tidak mampu mengungkapkan sebab tersebut, kepercayaan filosofis
terhadap keberadaan sebab tersebut tetap kuat, sesuai dengan prinsip
kausalitas. Kegagalan eksperimen mengungkapkan sebab, disebabkan oleh dua hal:
karena eksperimen itu terbatas dan tidak menjangkau realitas material dan
terjadinya ikatan-ikatan tertentu; atau karena sebab yang tak diketahui itu ada
di luar pikiran empirikal dan ada di luar dunia alam dan materi.
Dengan uraian di atas,
dapatlah kita membedakan perbedaan-perbedaan mendasar antara gagasan kita
tentang prinsip kausalitas dan gagasan mekanik prinsip ini, dan juga melihat
bahwa keragu-raguan yang timbul sekitar prinsip kausalitas tidak lain adalah
hasil dari penafsiran tentangnya yang sesuai dengan konsep mekanik yang tidak
sempurna.
Prinsip Kausalitas dan Mikrofisika
Berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan di atas berkenaan dengan prinsip kausalitas, kita dapat
mematahkan serangan-serangan kuat yang dilancarkan dalam mikrofisika terhadap
hukum keniscayaan, dan gilirannya juga terhadap prinsip kausalitas itu sendiri.
Di dalam fisika atomik, terdapat kecenderungan yang menyatakan bahwa
regularitas niscaya yang ditekankan kausalitas dan hukum-hukumnya tidak berlaku
dalam tingkat mikrofisika. Kiranya benar bahwa sebab-sebab itu sendiri
melahirkan akibat-akibat itu sendiri pada tingkat fisika skolastik atau fisika
kasat mata. Selanjutnya, pengaruh sebab-sebab yang mempengaruhi kondisi-kondisi
tertentu yang sama niscaya haruslah memandu ke hasil-hasil yang sama, sehingga
kita dapat meyakini watak dan keniscayaan hasil-hasil itu karena mcmpelajari
sebab-sebab dan kondisi-kondisi alami itu. Namun, segala sesuatu nampak tidak
seperti itu, kalau kita berusaha menerapkan prinsip kausalitas pada alam atom.
Karena itu, Heisenberg, [220] seorang pakar fisika, menyatakan bahwa
mustahil kita bisa mengukur secara tepat kuantitas gerak benda sederhana, dan
sekaligus menentukan posisi benda sederhana itu dalam gelombang yang
berhubungan dengannya sesuai dengan mekanika positif yang dikumandangkan Louis
de Broglie. [221] Semakin tepat pcngukuran posisi benda itu maka
pengukuran semakin merupakan faktor di dalam pengaturan kembali kuantitas
gerak, dan pada gilirannya juga dalam pengaturan kembali kecepatan benda kecil
itu secara tak terduga-duga. Dan semakin tepat pengukuran gerak itu, semakin
tidak pasti posisi benda itu jadinya. [222] Jadi, realitas-realitas
fisikal dalam lapangan atomik tidak dapat diukur kecuali bila melibatkan
kekacauan (disorder) tertentu yang tidak bisa diukur. Semakin mendalam akurasi
kita mengenai ukuran-ukuran ilmiah, semakin jauh kita jadinya dari realitas
objektif peristiwa-peristiwa tersebut. Artinya, tidak mungkin memisahkan
sesuatu yang terobservasi dalam mikrofisika dari perangkat ilmiah yang
digunakan ilmuwan untuk mempelajari sesuatu itu, sebagaimana tidak mungkin
memisahkan sesuatu itu dari pengamat itu sendiri. Karena, beberapa peneliti
yang berbeda-beda yang, dengan menggunakan perangkat yang sama meneliti objek
yang sama bisa sampai pada pengukuran-pengukuran yang berbeda-beda. Dari sini
timbullah gagasan indeterminasi yang bertentangan sekali dengan prinsip
kausalitas dan kaidah-kaidah pokok yang mengatur fisika sebelumnya. Ada
upaya-upaya menukar kausalitas niscaya dengan apa yang dinamakan “hubungan-hubungan
ketakpastian” atau “hukum-hukum kemungkinan” yang dikumandangkan Heisenberg:
bahwa ilmu-ilmu alam – seperti ilmu manusia – tidak dapat meramalkan dengan
pasti ketika melihat elemen sederhana. Tetapi, yang dapat dilakukannya hanyalah
membentuk suatu kemungkinan.
Sebenarnya, semua keraguan
dan kecurigaan ilmiah yang dibangkitkan para pakar di dalam mikrofisika itu
berdasarkan paham tertentu tentang prinsip kausalitas dan hukum-hukumnya yang
tidak sesuai dengan paham kita tentang prinsip dan hukum-hukum ini. Kami tidak
hendak menolak mereka berkenaan dengan eksperimen-eksperimen mereka, atau
mengajak mereka supaya tidak ambil pusing terhadap penemuan-penemuan yang
dibuat melalui eksperimen-eksperimen ini. Kami juga tidak hendak mengecilkan
arti dan pentingnya penemuan-penemuan itu. Tetapi, kami berbeda dengan mereka
dalam paham umum kami tentang prinsip kausalitas. Berdasarkan perbedaan ini,
segenap upaya untuk menumbangkan prinsip kausalitas dan hukum-hukumnya tersebut
menjadi tidak berarti.
Selanjutnya, kalau prinsip
kausalitas adalah prinsip ilmiah yang berdasarkan eksperimen-eksperimen dan
observasi-observasi dalam lapangan fisika biasa, tentu ia bergantung pada
eksperimen untuk pembuktian dan keumumannya. Nah, kalau tak dicapai
aplikasi-aplikasi hal itu secara jelas dalam lapangan atom dan tak bisa
mengungkapkan suatu sistem niscaya dalam lapangan ini yang bisa mengungkapkan
suatu sistem niscaya dalam lapangan ini yang berdasarkan prinsip dan
hukum-hukum kausalitas, maka adalah hak kita untuk meragukan nilai prinsip itu
sendiri serta sejauh mana kebenaran dan keumumannya. Tapi, kami telah
menjelaskan dalam uraian terdahulu, bahwa dapat diterapkannya prinsip
kausalitas pada lapangan-lapangan fisika biasa, dan kepercayaan bahwa
kausalitas adalah suatu sistem umum alam semesta dalam lapangan-lapangan ini,
itu bukan hasil bukti eksperimental semata; bahwa prinsip kausalitas adalah
prinsip niscaya di atas eksperimen. Kalau tidak demikian tentu ilmu alam tidak
akan berdiri tegak sama sekali tidak akan berdiri tegak sama sekali apabila ini
sudah jelas bagi kita, dan kita meletakkan prinsip kausalitas pada tempatnya
yang wajar dalam rantai pemikiran manusia, maka tidak mampunya kita
menerapkannya secara eksperimental dalam sebagian lapangan alam, dan tidak mampunya
kita mengungkapkan sistem niscaya yang sempurna di bidang-bidang ini dengan
metode-metode ilmiah, tidak akan mengguncangkan prinsip kausalitas ini. Semua
observasi yang dikumpulkan para pakar, berdasarkan eksperimen mikrofisika
mereka itu, tidak serta merta berarti bahwa hujah ilmiah telah membuktikan
kesalahan prinsip dan hukum-hukum kausalitas dalam bidang eksak ini, yang
adalah salah satu dari banyak bidang alam Adalah jelas bahwa tidak memadainya
kecakapan ilmiah dan eksperimental itu tidak mempengaruhi prinsip kausalitas,
sebagian maupun keseluruhan, karena prinsip ini adalah niscaya dan di atas
eksperimen. Nah, mengenai gagalnya eksperimen-eksperimen ilmiah dalam upaya
mengungkap misteri- misteri sistem niscaya atom, terdapat dua keterangan:
Pertama, keterbatasan
metode-metode ilmiah dan tidak memadainya perangkat-perangkat eksperimen yang
memungkinkan seorang pakar untuk mempelajari semua kondisi material. Seorang
ilmuwan dapat menggarap objek yang sama beberapa kali dengan perangkat yang
sama. Namun, (mungkin) ia sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda,
bukan lantaran objek tersebut bebas dari sistem niscaya, tetapi karena
sarana-Sarana eksperimen yang tersedia itu tidak mencukupi untuk mengungkapkan
kepada ilmuwan itu kondisi-kondisi material yang eksak, yang perbedaan
kondisi-kondisi ini membawa hasil yang berbeda-beda. Adalah wajar sarana-sarana
eksperimen dalam lapangan-lapangan atom dan peristiwa-peristiwanya itu lebih
tidak sempurna dibandingkan sarana-sarana eksperimen yang digunakan dalam
lapangan- lapangan fisikawi lain yang lebih sedikit samarnya dan lebih banyak
terangnya.
Kedua, terpengaruhnya
suatu objek – berkat kehalusan dan kecilnya objek itu – oleh
pengukuran-pengukuran dan perangkat-perangkat ilmiah. Pengaruh ini kritikal dan
tidak dapat diukur dan dipelajari secara ilmiah. Sarana-sarana ilmiah bisa saja
mencapai puncak akurasi, kesempurnaan dan kedalaman, tetapi, meski begitu,
seorang ilmuwan masih menghadapi problem yang sama. Karena, ia mendapati
dirinya dihadapkan pada peristiwa-peristiwa fisikawi yang ia tidak dapat
mengukurnya tanpa memasukkan di dalamnya kekacauan yang tidak dapat diukur.
Dengan begitu, posisinya terhadap peristiwa-peristiwa tersebut berbeda dengan
posisinya terhadap eksperimen-eksperimen fisika yang kasat mata. Karena, di
dalam eksperimen-eksperimen tersebut ia dapat melaksanakan
pengukuran-pengukurannya tanpa melakukan pelurusan kembali sesuatu yang diukur
itu. Bahkan ketika meluruskan kembali hal itu, pelurusan kembali ini sendiri
dapat diukur. Sedangkan dalam mikrofisika, ketepatan dan kekuatan perangkat itu
sendiri justru akan menjadi sebab kegagalan perangkat itu, karena ia
menyebabkan berubahnya objek yang diamati. Karena itu, objek itu tidak mungkin
dipelajari secara objektif lagi mandiri. Oleh sebab itu, John Louis Destoches[223]
berkata, sehubungan dengan jasad kecil, bahwa bukannya intensitas cahaya yang
penting tetapi panjangnya gelombang cahayanya yang penting. Setiap kali kita
menyoroti jasad kecil itu dengan gelombang pendek – yakni dengan gelombang yang
mempunyai frekuensi yang besar – maka gerak jasad itu menjadi terkacaukan.
Kedua kasus tersebut berpangkal pada kegagaian sarana-sarana dan
observasi-observasi ilmiah untuk mengatur objek yang diamati dengan segala
syarat dan kondisi materialnya atau untuk mengukur dengan tepat pengaruh yang
ditimbulkan eksperimen itu sendiri pada objek itu. Semua ini menegaskan
ketidakmampuan orang untuk melihat sistem niscaya yang menguasai, misalnya,
jasad-jasad kecil dan gerak-geraknya, dan untuk memperkirakan jalur yang
ditapaki jasad-jasad tersebut secara tepat. Dan hal itu tidak membuktikan
kebebasannya dan tidak membenarkan dimasukkannya indeterminasi ke dalam
lapangan materi, dan peniadaan hukum-hukum kausal dari alam semesta.
Mengapa Segala Sesuatu Butuh Sebab-Sebab?
Sekarang kami akan
membahas segi baru dari prinsip kausalitas, yaitu menjawab pertanyaan berikut:
“Mengapa segala sesuatu membutuhkan sebab atau lantaran, dan segala sesuatu tak
kan ada tanpanya? Sebab hakiki apakah yang membuat segala sesuatu tersebut
bergantung pada sebab-sebab dan lantaran-lantaran itu? Ini adalah pertanyaan
yang kita hadapi sesudah kita menerima prinsip kausalitas. Selama segala
sesuatu secara umum di alam ini tunduk pada prinsip kausalitas, dan maujud
sesuai dengan hukum-hukum kausalitas, maka kita harus mempertanyakan misteri
ketundukannya pada prinsip tersebut. Nah, apakah ketundukan itu dinisbahkan
kepada sesuatu yang esensial pada sesuatu tersebut, yang tidak memungkinkan
sepenuhnya bebas darinya? Atau dinisbahkan kepada sebab eksternal yang membuat
sesuatu itu membutuhkan sebab atau lantaran? Baik ini atau itu yang benar,
(pertanyaan tetap) mengenai batas-batas misteri ini yang menjadi sandaran
kausalitas. Apakah umum atau tidak bagi segala wujud.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut telah membuahkan empat teori untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut).
Teori Wujud (Eksistensi)
Teori ini mengatakan bahwa
agar wujud itu maujud, ia membutuhkan sebab. Kebutuhan itu adalah esensial bagi
wujud. Karena itu, tidaklah mungkin kita mengkonsepsikan wujud yang bebas dari
kebutuhan tersebut karena kebutuhan akan sebab itu adalah misteri yang
tersembunyi di dalam kemaujudan terdalam wujud. Akibatnya adalah bahwa setiap
wujud adalah bersebab. Beberapa filosof Marxis mengambil teori ini, sambil
bersandarkan, dalam pembenarannya secara ilmiah terhadapnya, pada
eksperimen-eksperimen yang, dalam berbagai lapangan alam semesta, menunjukkan
bahwa wujud, dengan berbagai corak dan bentuknya, yang diungkapkan melalui
eksperimen, tidak bisa terlepas dari sebabnya dan mesti membutuhkannya. Jadi,
kausalitas adalah hukum umum wujud, sebagaimana dikukuhkan
eksperimen-eksperimen ilmiah. Beramsumsi bahwa wujud tidak memiliki sebab
bertentangan dengan hukum tersebut. Karena itu, asumsi seperti itu adalah
semacam kepercayaan terhadap adanya kebetulan, yang baginya tidak ada ruang
dalam sistem umum alam semesta.[224]
Dengan demikian, mereka
berusaha menuduh filsafat ketuhanan (teologi) mempercayai kebetulan, sebab
teologi meyakini adanya sebab pertama yang tidak bersebab atau yang tidak
didahului oleh sebab apa pun. Karena wujud ini, yang katanya diterima teologi,
terlepas dari prinsip kausalitas, maka ia adalah hasil dari kebetulan. Namun
ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa tidak ada kebetulan di dalam wujud.
Karenanya, tidak mungkin menerima sebab ketuhanan yang diyakini metafisika.
Demikianlah, sekali lagi
mereka melakukan kesalahan, ketika hendak mengungkapkan misteri dibutuhkannya
sebab, dan ketika hendak mengetahui batas-batas kausalitas dan sejauh mana
keluasan batas-batas itu melalui eksperimen-eksperimen ilmiah, seperti
sebelumnya mereka melakukan kcsalahan dalam upaya menyimpulkan prinsip
kausalitas itu sendiri, khususnya dari eksperimen dan induksi ilmiah terhadap
alam semesta. Eksperimen-eksperimen ilmiah tidak berlaku kecuali di dalam
lapangannya sendiri, yaitu alam materi yang terbatas. Yang dapat diungkapkan
eksperimen adalah tunduknya segala sesuatu dalam alam tersebut kepada prinsip
kausalitas. Maka ledakan, mendidih, terbakar, panas, gerak maupun fenomena lain
alam, tidak bisa maujud tanpa sebab-sebab. Bukanlah dalam kemungkinan ilmiah
eksperimen untuk menunjukkan bahwa misteri kebutuhan akan sebab itu terletak
dalam jantung wujud secara umum. Bisa jadi misteri itu ada dalam bentuk-bentuk
khusus wujud, dan bahwa segala sesuatu yang tampak di dalam lapangan eksperimen
itu adalah dari bentuk-bentuk khusus tersebut.
Jadi, menganggap eksperimen sebagai hujah bahwa wujud secara umum itu tunduk kepada sebab-sebab, itu tidak benar, selama eksperimen tidak berhubungan langsung dengan apa pun kecuali alam material wujud. Dan selama aktivitasnya adalah dalam alam langsung yang dijamahnya itu, maka hal itu tidak lebih dari penjelasan tentang sebab dan akibat yang bergerak dari sebab-sebab itu ke pengungkapan tentang sebab yang membuat akibat-akibat itu membutuhkan sebab-sebab tadi. Nah, apabilah eksperimen dan sarana-sarananya yang terbatas itu tidak mampu menciptakan jawaban yang jelas dalam persoalan tersebut, maka persoalan tersebut harus dipelajari berdasarkan asas-asas rasional dan dengan cara filosofis yang mandiri. Prinsip kausalitas itu sendiri adalah termasuk prinsip-prinsip filosofis murni – seperti telah Anda ketahui – demikian pula penelaahan-penelaahan yang berhubungan dengannya dan teori-teori yang mendiagnosis batas-batasnya.
Perlu kami paparkan bahwa
tuduhan bahwa gagasan sebab pertama itu adalah semacam kepercayaan pada
kebetulan, itu mengandung kesalahpahaman terhadap gagasan tersebut dan
paham-paham yang menjadi sandarannya. Hal itu karena kebetulan tak lain adalah
wujud sesuatu tanpa sebab yang berkenaan dengannya itu wujud dan nonwujud itu
sama saja. Jadi, segala sesuatu yang mengandung kemungkinan wujud dan
kemungkinan tidak wujud secara seimbang, lalu maujud tanpa sebab, adalah
kebetulan. Tetapi gagasan sebab pertama ini berasal dari pendapat bahwa ada dan
tidak ada itu tidak sama dalam sebab pertama. Karena itu, sebab ini tidak
mungkin ada dan tidak mungkin tidak ada, tetapi adanya itu niscaya, dan tidak
adanya itu tidak mungkin. Adalah intuitif bahwa kepercayaan terhadap maujud
niscaya yang diwataki seperti itu tidak mengandung pembenaran terhadap
kcbetulan sama sekali.
Teori Penciptaan
Yaitu teori yang
menganggap bahwa butuhnya segala sesuatu akan sebabnya itu bersandarkan pada
penciptaan hal-hal itu. Ledakan, gerak dan panas, misalnya, menuntut adanya
sebab, karena semua itu adalah hal-hal yang terjadi (ada) sesudah tidak ada.
Jadi, pemaujudannya yang membutuhkan sebab, dan yang merupakan pendorong utama
yang membuat kita melontarkan pertanyaan: “Mengapa ia ada?” berkenaan dengan
setiap realitas yang ada bersama kita di dalam alam semesta ini. Berdasarkan
teori tersebut, prinsip kausalitas menjadi terbatas pada peristiwa-peristiwa
tertentu. Nah, jika sesuatu itu maujud secara terus-menerus dan permanen, dan
tidak mengada sesudah tidak ada, maka padanya tidak akan terdapat kebutuhan
akan sebab, dan tidak akan masuk ke dalam alam khas kausalitas.
Teori ini berlebihan dalam
membatasi kausalitas, sebagaimana teori terdahulu berlebihan dalam
menggeneralisasikannya, dan ia tidak memiliki pembenarannya dari segala
filsafat. Sebenarnya, menisbahkan mengada kepada adanya sesuatu itu sesudah
tidak adanya adalah seperti adanya hangat di dalam air yang sebelumnya tidak hangat.
Tidak soal bagi akal apakah hangat itu maujud sesudah tidak maujud, atau maujud
secara permanen; akal, bagaimanapun juga, menuntut adanya sebab bagi hangat
itu. Jadi, naiknya umur sesuatu dan merentangnyasejarahnya ke masa-masa yang
jauh sekali, tidak akan membenarkan adanya sesuatu itu, dan tidak menjadikannya
tidak membutuhkan sebab. Dengan kata lain, karena mengadanya hangat itu
membutuhkan sebab, maka memperpanjang hangat itu (terus-menerus) tidak cukup
untuk membebaskannya dari kebutuhan ini. Karena, pemanjangannya akan menjadikan
kita mempertanyakan lagi sebabnya, sejauh mana pun proses pemanjangan itu.
Teori Kemungkinan Esensial dan Kemungkinan
Eksistensial
Dua teori ini menyatakan
bahwa yang membuat sesuatu membutuhkan sebabnya adalah kemungkinan. Namun,
masing-masing kedua teori itu memiliki pahamnya sendiri-sendiri tentang
kemungkinan, yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan antara keduanya itu
adalah manifestasi perbedaan filosofis yang sangat dalam sekitar esensi dan
wujud. Karena, ruang lingkup buku ini bukanlah membicarakan dan menelaah
perbedaan tersebut, maka kami akan membatasi dengan hanya menelaah teori
kemungkinan eksistensial, disebabkan fakta bahwa teori itu bertumpu pada
pendapat yang mengatakan fundamentalitas wujud (yakni pendapat yang benar
tentang perbedaan filosofis yang sangat dalam yang disebutkan di atas).
Teori kemungkinan eksistensial dikemukakan filosof Islam besar, Sadruddin Asy-Syirazi. Ia memulai teori ini dengan menganalisis prinsip kausalitas itu sendiri. Analisis ini membuatnya mengetahui rahasianya. Pcngetahuannya mengenai sebab hakiki kebutuhan segala sesuatu akan sebab-sebabnya tidak menuntut darinya apa pun selain pemahaman filosofis yang mendalam tentang prinsip kausalitas.
Teori kemungkinan eksistensial dikemukakan filosof Islam besar, Sadruddin Asy-Syirazi. Ia memulai teori ini dengan menganalisis prinsip kausalitas itu sendiri. Analisis ini membuatnya mengetahui rahasianya. Pcngetahuannya mengenai sebab hakiki kebutuhan segala sesuatu akan sebab-sebabnya tidak menuntut darinya apa pun selain pemahaman filosofis yang mendalam tentang prinsip kausalitas.
Sekarang, kita mulai,
seperti Sadruddin memulai, dengan mempelajari dan meneliti kausalitas. Tak
diragukan bahwa kausalitas adalah hubungan antara dua wujud, sebab dan akibat.
Ia adalah semacam hubungan antara dua hal. Hubungan itu memiliki beberapa macam
dan corak. Pelukis berhubungan dengan kanvas yang ia melukis di atasnya.
Penulis berhubungan dengan pena yang dengannya ia menulis. Pembaca berhubungan
dengan buku yang dibacanya. Singa berhubungan dengan rantai besi yang
dikalungkan pada lehernya. Demikian itu pula dengan semua hubungan di antara
segala sesuatu. Tetapi, pada semua contoh hubungan yang kami kemukakan itu, ada
sesuatu hal yang sangat jelas: yaitu bahwa masing-masing dari dua hal yang
berhubungan itu memiliki wujud khusus yang mendahului hubungannya dengan yang
lainnya. Kanvas dan pelukis keduanya ada sebelum ada proses pelukisan. Penulis
dan pena keduanya maujud sebelum yang satu berhubungan dengan lainnya. Demikian
pula pembaca dan buku, keduanya ada secara mandiri, kemudian terjadilah
hubungan pada keduanya. Jadi, dalam semua contoh di atas ada hubungan yang
terjadi pada dua hal setelah keduanya ada. Karena itu, hubungan adalah satu
hal, sedang wujud keduanya adalah suatu hal lain. Jadi, pada hakikatnya, kanvas
tidak berhubungan dengan pelukis, dan pelukis pada hakikatnya bukan semata-mata
berhubungan dengan kanvas. Tetapi, hubungan adalah sifat yang maujud pada
keduanya setelah maujudnya masing-masing keduanya itu secara mandiri.
Perbedaan antara hakikat
hubungan dan keberadaan mandiri kedua hal yang berhubungan itu tampak pada
setiap jenis hubungan,dengan pengecualian satu jenis, yaitu hubungan antara dua
hal melalui hubungan kausalitas. Kalau, misalnya, B berhubungan dengan A secara
kausalitas, dan kalau B merupakan akibat A, tentu kita akan memiliki dua hal
yang salah satunya adalah akibat, yaitu B, dan yang lain adalah sebab, yaitu A.
Kausalitas antara keduanya itu, di sisi lain, adalah jenis hubungan salah
satunya dengan yang lain. Persoalannya adalah apakah eksistensi B itu terlepas
dari hubungannya dengan A, lantas terjadi hubungan, sebagaimana halnya hubungan
kanvas dengan pelukis? Tidak membutuhkan banyak studi untuk menjawab sebaliknya
(tidak). Jika B benar-benar ada sebelum berhubungan dengan sebabnya, tentu ia
tidak menjadi akibat A. Karena, selama kemaujudannya terlepas dari hubungannya
dengan A, maka ia tidak mungkin akibat atau hasil dari A. Jadi, kausalitas,
menurut wataknya, menghendaki agar akibat tidak memiliki realitas sebelum ia
berhubungan dengan sebabnya. Kalau tidak demikian, tentu ia bukan akibat sebabnya.
Kalau tidak demikian, tentu ia bukan akibat. Dengan demikian, jelaslah bahwa
eksistensi, yang adalah akibat, tidak memiliki realitas, kecuali berhubungan
dengan sebab dan bergantung pada sebab itu sendiri. Inilah perbedaan asasi
antara hubungan akibat dengan sebabnya, dan hubungan kanvas dengan pelukis,
pena dengan penulis, atau buku dengan pembaca. Kanvas, pena dan buku adalah
hal-hal yang tersifati oleh hubungan dengan pelukis, penulis dan pembaca.
Sedang B bukanlah sesuatu yang memiliki hubungan dengan sebab. Karena,
menganggapnya memiliki hubungan seperti itu menuntut agar ia memiliki
eksistensi yang mandiri, yang dengannya hubungan-hubungan terjadi, sebagaimana
itu terjadi pada kanvas di tangan pelukis, dan dengan begitu B berhenti sebagai
akibat. Tetapi ia itu adalah hubungan itu sendiri, dalam arti bahwa
eksistensinya adalah eksistensi penghubung. Karena itu, me- mutuskan
hubungannya dengan sebabnya berarti menghancurkannya dan meniadakan
eksistensinya, karena eksistensinya tecermin dalam hubungan tersebut.
SebaIiknya, kalau kanvas tidak berhubungan dengan pelukis dalam proses
pelukisan tertentu, ia tidaklah kehilangan eksistensi khususnya.
Nah, kalau dari analisis atas prinsip kausalitas itu kita dapat menarik kesimpulan penting, dapatlah kita segera membuat jawaban atas persoalan asasi kita dan mengetahui misteri kebutuhan segala sesuatu akan sebab-sebab mereka. Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa misteri dari hal ini adalah bahwa realitas-realitas luar, yang atas mereka berlaku kausalitas, pada dasarnya tidak lain adalah hubungan-hubungan. Karena itu, hubungan-hubungan itu membentuk adanya hal-hal ini. Dan adalah jelas bahwa jika realitas itu relasional, yakni jika ia adalah hubungan itu sendiri, tentu ia tidak bisa terlepas dari sesuatu yang dengannya ia pada hakikatnya berhubungan. Sesuatu itulah sebab atau lantarannya, karena tidak mungkin eksistensinya terlepas dari itu.
Dengan demikian kita tahu
bahwa misteri butuhnya realitas-realitas eksternal akan sebab bukanlah
mengadanya mereka bukan pula kemungkinan esensi (mahiyyah) mereka. Tetapi,
misteri itu tersembunyi di dalam struktur eksistensial mereka dan di kedalaman
maujud mereka. Realitas luarnya adalah hubungan itu sendiri. Sedang hubungan
mustahil tidak membutuhkan sesuatu yang dengannya ia berhubungan. Pada waktu
yang sama kita juga tahu bahwa jika realitas luar bukan realitas hubungan, maka
prinsip kausalitas tidak berlaku padanya. Jadi, wujud luar, sebagai suatu
keseluruhan, tidak diatur prinsip kausalitas. Tetapi, prinsip kausalitas
menentukan wujud-wujud relasional yang realitas mereka mengungkapkan hubungan.
Fluktuasi antara Prinsip Kontradiksi dan Kausalitas
Meski Marxisme mengambil,
sebagai modelnya, kontradiksi-kontradiksi dialektika dalam telaah-telaah
analitiknya atas berbagai segi alam semesta, kehidupan dan sejarah, ia tidak
bisa sepenuhnya lepas dari ketakpastian antara kontradiksi-kontradiksi
dialektika dan prinsip kausalitas. Sebagai dialektika ia menekankan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan timbul dari kontradiksi-kontradiksi dalam, seperti
telah dijelaskan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu. Jadi, kontradiksi
internal cukup untuk menerangkan setiap fenomena di alam semesta tanpa
membutuhkan sebab yang lebih tinggi. Tetapi di sisi lain ia mengakui hubungan
sebab dan akibat, dan menerangkan fenomena ini atau itu dengan sebab-sebab
luar, bukan dengan kontradiksi-kontradiksi yang ada di kedalaman fenomena itu.
Mari kita ambil contoh
ketakpastian tersebut dari analisis historis Marxis. Ia menekankan bahwa adanya
kontradiksi-kontradiksi internal di dalam maujud terdalam fenomena sosial
adalah cukup untuk perkembangan fenomena itu dalam gerak yang dinamik. Ia juga
menekankan bahwa bangunan masyarakat yang luar biasa itu berdiri sebagai suatu
keseluruhan di atas satu prinsip, yaitu kekuatan produksi, dan bahwa
situasi-situasi pemikiran dan politis dan lain-lain sebagainya itu tidak lain
hanyalah superstructure (suprastruktur) bangunan besar tersebut, dan hanyalah
cermin, dalam bentuk lain, dari metode produksi yang di atasnya bangunan itu
berdiri. Ini berarti bahwa hubungan antara suprastruktur dan kekuatan produksi
adalah hubungan akibat dengan sebab. Jadi, tidak ada kontradiksi dalam, tetapi
yang ada adalah kausalitas.[225]
Marxisme seolah-olah
menyadari bahwa posisinya berada di antara kontradiksi-kontradiksi dalam dan
prinsip kausalitas. Ia mencoba mengkompromikan dua hal itu. Maka ia
memberlakukan sebab dan akibat itu sebagai konsep dialektik, dan menolak konsep
mekaniknya. Berdasarkan ini, Marxisme membiarkan dirinya menggunakan dalam
analisisnya prosedur sebab dan akibat dalam kerangka dialektik Marxis. Karena
itu, Marxisme menolak kausalitas yang berjalan lurus, yang di dalamnya sebab
tetap di luar akibatnya, dan akibat tidak berhubungan dengan sebabnya. Karena,
kausalitas seperti itu bertentangan dengan dialektika, yaitu dengan proses
pertumbuhan yang esensial di dalam alam. Karena, akibat yang sesuai dengan
kausalitas tersebut tidak mungkin lebih “kaya” dan lebih maju daripada
sebabnya, karena bertambahnya “kekayaan” dan perkembangan tak akan dapat
diterangkan. Tetapi yang dimaksudkan Marxisme dengan sebab dan akibat itu
adalah begini. Akibat dilahirkan dari lawannya; lantas ia berkembang dengan
gerak dalam, sesuai dengan kontradiksi-kontradiksi yang dibawa sertanya, agar
ia kembali ke lawannya yang melahirkannya, dengan demikian ia berinteraksi
dengannya, dan melalui persatuan dengannya ia membentuk susunan baru yang lebih
cukup-diri dan kaya daripada sebab dan akibat secara sendiri-sendiri. Paham ini
sesuai dengan dialektika dan mengungkapkan trinitas dialektika: tesis,
antitesis dan sintesis. Sebab adalah tesis, dan akibat adalah antitesis, dan
persatuan yang merupakan hubungan keduanya adalah sintesis. Kausalitas di sini
adalah proses perkembangan dan menyempurna melalui pelahiran akibat dari sebab,
yakni antitesis dari tesis. Akibat, dalam proses itu, tidak dilahirkan secara
negatif, tetapi dilahirkan dengan disertai kontradiksi-kontradiksi dalamnya
yang menopang pertumbuhannya dan melestarikan sebabnya dalam komposisi yang
lebih tinggi dan lebih sempurna.
Dalam pembicaraan kita
tentang dialektika, telah disebutkan pendapat kami tentang
kontradiksi-kontradiksi internal ini yang persatuan dan perjuangannya di dalam
suatu maujud menyebabkan tumbuhnya maujud itu. Kini kita bisa mengetahui,
berdasarkan konsep Marxisme yang lebih dalam tentang hubungan antara sebab dan
akibat, kesalahan Marxisme dalam konsepnya tentang kausalitas dan tumbuhnya
akibat, yang ke sini bentuk kausalitas mengarah, dan juga menyempurnanya se-
bab melalui persatuan dengan akibatnya. Karena akibat itu adalah semacam
hubungan dengan sebabnya, maka tidak mungkin sebab itu menjadi sempurna dalam
komposisi yang lebih tinggi melalui akibat. Pada halaman 23 dalam buku Ekonomi
Kita (Iqtishaduna), kami telah mengemukakan beberapa penerapan konsep dialektik
Marx tentang kausalitas pada tingkat sejarah, di mana Marx berusaha membuktikan
bahwa sebab itu terlengkapi oleh akibatnya dan menyatu dengannya dalam susunan
yang lebih “kaya”. Dalam pembahasan kami tersebut, kami dapat menjelaskan bahwa
penerapan tersebut timbul dari ketidaktepatan filosofis dan tidak tepatnya
dalam mendefinisikan sebab dan akibat. Dapat ada dua sebab dan dua akibat.
Masing-masing dari kedua akibat itu menyempurnakan sebab dari akibat yang lain.
Nah, kalau kita tidak cermat dalam membedakan dua sebab tersebut, maka akan
tampak seolah-olah akibat itu menyempurnakan sebabnya sendiri. Juga akibat
menjadi sebab adanya salah satu syaratnya untuk mengada. Tetapi syarat-syarat
untuk mengada itu bukanlah sebab yang melahirkan wujud tersebut. Untuk lebih
jelasnya, lihat pembahasan dalam buku Ekonomi Kita.
Kesemasaan antara Sebab dan Akibat (Cause and Effect)
Karena sekarang kita sudah
tahu bahwa eksistensi akibat itu pada esensinya berkaitan dengan adanya sebab,
maka kita dapat memahami keniscayaan sebab bagi akibat, dan memahami bahwa
akibat harus “semasa” dengan sebab, agar maujud dan keberadaannya berkaitan
dengan sebab itu. Jadi, tidak mungkin akibat itu maujud sesudah tiadanya sebab,
atau tak mungkin ia tetap ada setelah sebabnya hilang. Inilah yang kami ingin
mengungkapkannya dengan “hukum kesemasaan antara sebab dan akibat”. Sekitar
hukum tersebut, muncul dua argumen untuk membuktikan bahwa akibat mungkin
langgeng sesudah sebabnya itu hilang. Yang pertama adalah argumen mutakallimin
(para ahli kalam) dan yang kedua adalah argumen beberapa pakar mekanika modern.
Argumentasi Teologis (Kalamiah)
Argumen ini bersandar pada
dua gagasan: Pertama, memaujud adalah sebab butuhnya hal-hal akan sebab-sebab
hal-hal itu. Sesuatu itu membutuhkan sebab agar ia maujud. Kalau ia sudah
maujud, maka kemaujudannya sesudah itu tidak membutuhkan sebab. Ini berdasarkan
teori memaujud, yang telah kami tunjukkan kesalahannya dalam pembahasan terdahulu.
Kita telah mengetahui bahwa kebutuhan sesuatu akan sebab bukan untuk maksud
memaujud, tetapi karena kemaujudannya secara esensial berhubungan dengan sebab
khususnya.
Kedua, hukum kesemasaan
antara sebab dan akibat itu tidak sesuai dengan beberapa fenomena di alam
semesta yang dengan jelas mengungkapkan keterusmenerusan keberadaan akibat
sesudah keterputusan sebab. Bangunan pencakar langit yang dibangun para
pembangun dan dalam pembangunannya itu ribuan pekerja ikut ambit bagian, tetap
ada sesudah berakhirnya proses pembangunan, meski para pekerja telah
meninggalkannya dan meski tak seorang pun yang masih hidup. Mobil yang
diproduksi pabrik tertentu dengan bantuan para teknisi tetap berfungsi, dan
tetap terjaga sistem mekaniknya, meski pabrik itu telah rubuh, dan para
teknisinya telah meninggal dunia. Memoar yang dicatat seseorang tetap ada
beratus-ratus tahun kemudian sepeninggal penulis itu, yang mengungkapkan kepada
manusia kehidupan dan sejarah orang tersebut. Fenomena-fenomena tersebut
membuktikan bahwa akibat memiliki kebebasan setelah maujud, dan tak lagi
membutuhkan sebabnya.
Sebenarnya mengemukakan
fenomena-fenomena tersebut sebagai contoh bebasnya akibat dari sebabnya setelah
akibat itu terjadi, timbul dari tiadanya pembedaan antara sebab dan hal-hal
lain. Kalau kita mengetahui sebab hakiki hal-hal tersebut – seperti bangunan
rumah dan kontruksi sistem mobil, dan penulisan memoar – nyatalah bagi kita
bahwa hal-hal tersebut membutuhkan sabab pada saat hal-hal itu ada dan bahwa
setiap akibat alami akan tidak ada pada saat ia kehilangan sebabnya. Bagaimana
akibat kerja para pekerja yang membuat bangunan? Itu adalah proses pembuatan
bangunan itu sendiri. Proses ini tak lain adalah sejumlah gerak yang dibuat
para pekerja untuk maksud mengumpulkan bahan-bahan baku bangunan, seperti bata,
besi, bambu, kayu dan seterusnya, untuk pembangunan. Agar gerak-gerak tersebut
ada, tidak mungkin tidak dibutuhkan para pekerja. Sungguh, gerak-gerak itu
benar-benar terputus pada waktu para pekerja itu berhenti bekerja. Kondisi yang
terjadi pada bahan-bahan bangunan sebagai akibat proses pembangunan itu, dalam
keberadaan dan keterusmenerusannya adalah akibat karakteristik bahan-bahan
bangunan tersebut dan kekuatan alam pada umumnya yang mengharuskan dijaganya
kondisi dan posisi bahan itu. Demikian pula halnya dengan contoh-contoh yang
lain tersebut. Maka lenyaplah ilusi yang baru saja disebutkan itu, jika setiap
akibat itu kita kaitkan dengan sebabnya, dan jika kita tidak membuat lagi
kesalahan berkenaan dengan hubungan akibat dengan sebabnya.
Oposisi Mekanik
Ini adalah sanggahan para
ahli mekanika modern berdasarkan hukum-hukum gerak mekanik ciptaan Galileo[226]
dan Newton. Berdasarkan hukum-hukum itu, para ahli mekanika mengklaim bahwa
apabila gerak itu terjadi karena suatu sebab, maka niscaya ia bersinambung. Dan
keterusmenerusannya tidak membutuhkan sebab, berbeda dengan hukum filsafat yang
telah kami sebutkan di atas.
Kalau kita menelaah dengan
cermat sanggahan ini, kita dapati bahwa pada hakikatnya ia segera mendatangkan
pengabaian terhadap prinsip kausalitas. Ini karena realitas gerak – sebagaimana
telah diuraikan pada pembahasan-pembahasan terdahulu – hanyalah substitusi atau
suksesi. Karena itu, ia adalah pemaujudan terus menerus, yakni pemaujudan yang
berkaitan dengan pemaujudan. Setiap tahapan dari tahapan-tahapannya adalah
suatu pemaujudan baru, dan suksesi yang mengikuti suksesi lain. Nah, kalau
gerak itu bisa terus berlangsung tanpa sebab, maka gerak itu bisa terjadi tanpa
sebab, dan segala sesuatu bisa maujud tanpa sebab. Karena, keterusmenerusan
gerak selalu melibatkan pemaujudan baru. Jadi, tidak membutuhkannya ia akan
sebab berarti memaujud itu juga tak memerlukan sebab.
Agar tak dapat
diterangkannya sanggahan itu menjadi jelas, kami harus membicarkan hukum
ketakberdayaan esensial di dalam mekanika modern yang menjadi landasan
sanggahan tersebut. Pemikiran tentang gerak yang berlaku sebelum Galileo adalah
bahwa gerak itu mengikuti kekuatan penggerak dalam keterusmenerusan dan
kemaujudannya. Dengan demikian, gerak terus terjadi selama kekuatan penggerak
itu ada. Kalau kekuatan ini hilang, diamlah benda. Tetapi mekanika modern
membuat hukum baru tentang gerak. Gagasan tentang hukum itu ialah: benda-benda
diam dan bergerak itu tetap demikian (diam atau bergerak), sampai muncul
pengaruh kekuatan lain yang lebih besar dan memaksanya mengubah keadaannya.
Sandaran ilmiah hukum
tersebut adalah eksperimen yang menjelaskan bahwa jika sistem mekanik yang
bergerak pada jalan lurus dengan kekuatan tertentu terpisah dan kekuatan luar
pcnggerak tersebut, maka ia terus bergerak dengan ukuran gerak tertentu setelah
keterpisahan tersebut, sebelum ia diam sama sekali. Adalah mungkin menambah
panjang gerak ini yang terjadi sesudah terpisahnya sistem itu dan kekuatan luar
penggerak dengan meminyaki bagian-bagian sistem itu, memperhalus jalan, serta
meringankan tekanan luarnya. Hanya saja hal-hal tersebut tidak dapat melakukan
apa-apa, kecuali mengurangi hal-hal yang menghalangi gerak seperti menghentikan
dan lain sebagainya. Nah, kalau kita dapat melipatgandakan hal-hal yang
mengurangi alangan itu, kita juga akan dapat melipatgandakan gerak. Dan apabila
kita andaikan hilangnya semua pengalang dan tekanan luar, itu berarti
keterusmenerusan gerak tanpa akhir dengan kecepatan tertentu. Maka,
diketahuilah dan hal tersebut bahwa jika gerak terjadi pada suatu benda yang
tidak dialangi kekuatan luar yang berbenturan dengannya, maka gerak itu akan
tetap terjadi dengan kecepatan tertentu, meski telah terputus kekuatan luar
penggerak tersebut. Jadi, kekuatan luar mempengaruhi batas alami perubahan
kecepatan, baik mengurangi maupun menambahnya. Karena itu, tingkat kecepatan
tersebut – dalam arti kelajuan, kelemahan dan kelambatan – bergantung pada
tekanan luar yang searah atau yang sebaliknya. Sedang gerak itu sendiri dan
keterusmenerusannya dalam kecepatan alaminya itu tidak bergantung pada
faktor-faktor luar.
Adalah jelas bahwa kalau
eksperimen tersebut benar, tidak berarti bahwa akibat tetap ada tanpa sebab,
juga tidak berlawanan dengan hukum filsafat yang telah kami sebutkan.
Eksperimen itu tidak menjelaskan sebab hakiki gerak itu, agar kita mengetahui
apakah sebab itu telah terputus sementara gerak terus terjadi. Mereka yang
mencoba memanfaatkan eksperimen tersebut untuk membuktikan batalnya hukum
filsafat mengklaim bahwa sebab hakiki gerak adalah kekuatan luar penggerak.
Karena hubungan kekuatan tersebut dengan gerak itu telah terputus dan meski
begitu gerak tetap terjadi, maka hal ini menunjukkan keterusmenerusan gerak
setelah putusnya sebabnya. Tetapi sesungguhnya eksperimen itu tidak menunjukkan
bahwa kekuatan luar pendorong adalah sebab hakiki, sehingga mereka dapat
menarik kesimpulan ini. Bahkan mungkin bahwa sebab hakiki gerak adalah sesuatu
yang maujud terus menerus. Para filosof Islam percaya bahwa gerak aksidental –
termasuk gerak mekanik benda – lahir dari kekuatan yang ada pada benda itu
sendiri. Kekuatan tersebut adalah kekutan penggerak hakiki. Sedangkan
sebab-sebab luar hanyalah bekerja untuk membangkitkan kekuatan tersebut dan
mempersiapkannya sebagai sebab. Berdasarkan hal ini, berdirilah prinsip gerak
substansial, seperti telah kami jelaskan pada bagian terdahulu dari pembahasan
ini. Sekarang, kami tidak hendak membicarakan hal ini. Tetapi, maksud kami
adalah memberikan penjelasan bahwa eksperimen ilmiah, yang menjadi tumpuan
hukum ketakberdayaan esensial, tidak bertentangan dengan hukum-hukum
kausalitas, dan sama sekali tidak membuktikan sebaliknya dari hukum-hukum ini.
Kesimpulan
Untuk sampai pada
kesimpulan, hanya perlu ditambahkan hukum keterbatasan (qanun al-nihayah),
yaitu hukum yang menyatakan bahwa sebagian dan sebab-sebab yang menaik, secara
filosofis, muncul dan sebagian yang lain yang harus memiliki permulaan: yakni
sebab pertama (prima causa) yang tidak muncul dan sebab yang mendahuluinya. Tak
mungkin rantai sebab-sebab tersebut tanpa hingga. Karena, setiap akibat –
seperti telah disebutkan – tak lain hanyalah hubungan dengan sebabnya. Jadi,
semua akibat yang ada adalah hubungan-hubungan. Hubungan membutuhkan realitas
yang berdiri sendiri, yang di sini hubungan berhenti. Kalau deretan sebab-sebab
itu tidak memiliki awal, tentu semua bagian dari rantai itu adalah akibat. Nah,
jika ia akibat, maka ia berhubungan dengan hal lainnya. Lantas timbul
pertanyaan: Hal apakah itu yang segenap bagian tersebut berhubungan dengannya.
Dengan kata lain, jika rantai sebab-sebab tersebut melibatkan satu sebab yang
tidak tunduk pada prinsip kausalitas dan tidak membutuhkan sebab, maka ini adalah
prima causa yang membentuk awal rantai itu, karena sebab ini tidak muncul dari
sebab lain yang mendahuluinya. Apabila setiap maujud di dalam rantai itu, tanpa
kecuali, membutuhkan sebab – sesuai dengan prinsip kausalitas – maka semua
maujud menjadi membutuhkan sebab. Dan timbul pertanyaan: Mengapa demikian?
Pertanyaan niscaya ini berkenaan dengan wujud secara umum. Tidak mungkin kita
menghindar dan pertanyaan tersebut, selain dengan mengasumsikan prima causa
yang bebas dari prinsip kausalitas. Dengan demikian, kita menisbahkan adanya
sesuatu kepada prima causa itu, tanpa menghadapi pertanyaan: Mengapa sebab ini
ada? Karena, pertanyaan ini yang kita hadapi berkenaan dengan hal-hal yang
tunduk pada prinsip kausalitas khususnya.
Mari kita ambil air
mendidih sebagai contoh. Ia adalah fenomena alami yang membutuhkan sebab,
sesuai dengan prinsip kausalitas, dan menganggap panasnya air itu sebagai sebab
mendidih tersebut. Panas itu, seperti mendidih, membutuhkan sebab yang
mendahuluinya. Nah, kalau kita ambil mendidih dan panas itu sebagai dua bagian
dari rantai wujud atau suksesi lantaran-lantaran dan sebab-sebab, kita
mendapati keniscayaan untuk menambahkan pada rantai ini bagian lain lagi;
karena masing-masing dari dua bagian itu membutuhkan sebab. Maka, tidak mungkin
keduanya itu tidak membutuhkan bagian ketiga. Tiga bagian itu bersama-sama
menghadapi permasalahan yang sama. Mereka membutuhkan penyebab adanya mereka,
karena masing-masing tunduk pada prinsip kausalitas. Inilah selamanya keadaan
rantai sebab itu, meskipun ia mengandung bagian-bagian yang tak berhingga. Nah,
karena setiap bagiannya membutuhkan sebab, maka rantai itu sendiri membutuhkan
sebab. Pertanyaan: “Mengapa ia maujud?” terus timbul di sepanjang bagian-bagian
dari rantai itu. Tidak mungkin mengajukan jawaban yang pasti terhadap
pertanyaan ini selama suksesi di dalam rantai itu tidak memandu ke suatu bagian
yang mandiri dan tidak membutuhkan sebab, sehingga bagian ini mengakhiri
suksesi dan memberikan permulaan azali pertamanya[227] kepada rantai
tersebut.
Sampai di sini kita telah
mengumpulkan (bukti) yang cukup untuk membuktikan bahwa alam ini maujud dari
suatu maujud yang pada esensinya niscaya, mandiri dan tidak membutuhkan sebab.
Karena, beginilah yang diniscayakan oleh penerapan prinsip kausalitas terhadap
alam, sesuai dengan hukum-hukum kausalitas yang telah disebutkan. Kalau
kausalitas merupakan prinsip niscaya alam semesta, dan jika gerak mundurnya
yang tak berhingga adalah mustahil, maka ia harus diterap- kan pada alam
semesta secara komprehensif dan menaik, sampai alam semesta berhenti pada sebab
pertama yang niscaya.
Pada akhir pembahasan ini,
baiklah kami tunjukkan satu pemikiran material yang diajukan oleh sementara
penulis modern untuk menolak sebab pertama. Menurut pemikiran ini, pertanyaan
tentang sebab pertama adalah tunamakna. Penafsiran ilmiah atau kausal selamanya
menuntut dua hal yang satu berkaitan dengan lainnya. Dua hal itu adalah sebab
dan akibat, atau sebab dan yang disebabkan. Karena itu ungkapan “sebab pertama”
adalah kontradiksi dalam hal-hal, karena, kata “sebab” menuntut dua hal,
seperti telah kita lihat, sedang kata “pertama” menuntut satu hal. Jadi, sebab
tidak mungkin menjadi pertama dan sekaligus menjadi sebab. Ia bisa menjadi
pertama tanpa menjadi sebab, atau sebab tanpa menjadi pertama.
Saya tidak tahu siapa yang
mengatakan kepada penulis-penulis ini bahwa kata “sebab” menuntut sebab
sebelumnya. Memang penafsiran kausal selamanya menuntut dua hal: sebab dan
akibat. Dan memang juga bahwa adalah kontradiksi kalau kita mengkonsepsikan
sebab tanpa akibat yang dihasilkan dari sebab dari kalau kita mengopsikan itu
bukanlah sebab, tetapi sesuatu yang mandul. Demikian pula, adalah salah kalau
kita mengkonsepsikan akibat yang tidak bersebab. Masing-masingnya (sebab dan
akibat) menuntut sesuatu yang lain. Tetapi, sebab, sebagai sebab, tidak
menuntut sebab sebelumnya, tetapi ia menuntut akibat. Jadi, kedua hal itu ada
dalam asumsi “sebab pertama”. Karena, sebab pertama memiliki akibat yang muncul
dan sebab itu, dan akibat memiliki sebab pertamanya. Akibat tak selalu menuntut
akibat yang lahir darinya, karena suatu fenomena bisa muncul dan sebab tanpa
sesuatu yang baru yang muncul dan fenomena itu. Begitu pula, sebab tidak
menuntut sebab yang mendahuluinya, tetapi ia menuntut akibat dan dirinya
sendiri.[228]
Catatan:
220. Werner Heisenberg
adalah filosof sekaligus fisikawan Jerman (1901-1976). Memenangkan Hadiah Nobel
untuk fisika pada 1932. Sumbangan terpentingnya adalah di bidang mekanika kuantum.
Terkenal dengan paham “hubungan-hubungan ketakpastian” yang juga dikenal
sebagai “prinsip indeterminasi Heisenberg”. Menurut paham ini, benda-benda
mikroskopis tidak dapat diukur secara kuantitatif dengan koordinat-koordinat
ruang-waku. Posisi dan momentum suatu partikel tidak dapat dirinci secara
serempak. Karya-karya utamanya adalah The Physical Principles of Quantum Theory
dan Physics and Philosophy.
221. Prince Louis-Victor de Broglie, fisikawan Prancis (1892- ). Pada 1929 ia menerima Hadiah Nobel untuk fisika. Ia membuktikan bahwa setiap partikel disertai gelombang. Gelombang itu memiliki panjang gelombang yang secara terbalik berkaitan dengan momentum partikel yang bergantung pada massa dan kecepatan partikel.
222. Hadzihi Hiya Ad-Dialaktikiyyah, h. 132.
223. Destouches, John-Louis.
224. Jabr wa Ikhtiyar, h. 5.
225. Untuk kejelasan, lihat pembahasan tentang materialisme historis dalam Iqtishaduna.
226. Galileo Galilei, astronom Florentina (1564-1642). Ia mempelajari benda-benda yang jatuh, dan menetapkan bahwa kecepatan jatuhnya suatu benda tidak proporsional dengan bobot benda itu, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles; tapi proporsional dengan waktu yang diambil jatuhnya.
Karya utamanya adalah Dialogue concerning the Two Chief World Systems. Dalam karyanya ini, pandangan-pandangan Ptolemius dan Copernicus dipaparkan. Pandangan. pandangan Copernicus dikemukakan secara lebih baik daripada pandangan-pandangan Ptolemius.
227. Dalam ungkapan filsafat yang tepat, sesuatu tidak ada kecuali jika segenap aspek noneksistensi mustahil baginya. Di antara seganap aspek noneksistensi itu adalah noneksistensinya sesuatu, disebabkan oleh noneksistensinya segenap sebabnya. Aspek ini bukan mustahil kecuali jika suatu maujud yang niscaya pada dirinya ada di antara segenap sebab dan sesuatu itu.
228. Dr. Muhammad Abdurrahim Marhaba, Al-Mas’alah Al-Falsafiyyah, Mansyurat ‘Uwaydah, h. 80.
221. Prince Louis-Victor de Broglie, fisikawan Prancis (1892- ). Pada 1929 ia menerima Hadiah Nobel untuk fisika. Ia membuktikan bahwa setiap partikel disertai gelombang. Gelombang itu memiliki panjang gelombang yang secara terbalik berkaitan dengan momentum partikel yang bergantung pada massa dan kecepatan partikel.
222. Hadzihi Hiya Ad-Dialaktikiyyah, h. 132.
223. Destouches, John-Louis.
224. Jabr wa Ikhtiyar, h. 5.
225. Untuk kejelasan, lihat pembahasan tentang materialisme historis dalam Iqtishaduna.
226. Galileo Galilei, astronom Florentina (1564-1642). Ia mempelajari benda-benda yang jatuh, dan menetapkan bahwa kecepatan jatuhnya suatu benda tidak proporsional dengan bobot benda itu, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles; tapi proporsional dengan waktu yang diambil jatuhnya.
Karya utamanya adalah Dialogue concerning the Two Chief World Systems. Dalam karyanya ini, pandangan-pandangan Ptolemius dan Copernicus dipaparkan. Pandangan. pandangan Copernicus dikemukakan secara lebih baik daripada pandangan-pandangan Ptolemius.
227. Dalam ungkapan filsafat yang tepat, sesuatu tidak ada kecuali jika segenap aspek noneksistensi mustahil baginya. Di antara seganap aspek noneksistensi itu adalah noneksistensinya sesuatu, disebabkan oleh noneksistensinya segenap sebabnya. Aspek ini bukan mustahil kecuali jika suatu maujud yang niscaya pada dirinya ada di antara segenap sebab dan sesuatu itu.
228. Dr. Muhammad Abdurrahim Marhaba, Al-Mas’alah Al-Falsafiyyah, Mansyurat ‘Uwaydah, h. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar