Selasa, 31 Maret 2015

Kisah Penaklukan Konstantinopel




Oleh Orhan Basarab

Semenjak hari pertama menjadi sultan, Mehmed II telah mematrikan tekad untuk mewujudkan cita-cita leluhurnya, menaklukkan Konstantinopel. Oleh karena itu, ia segera menyiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan cita-cita itu. Birokrasi kerajaan ia rapikan. Tentara perang ia tata. Strategi ia matangkan.

Bagi Mehmed II menaklukkan Konstantinopel memang tidak mudah. Sebagai benteng Kristen di Eropa dan Asia, tentu pasukan Salib akan berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan diri. Ini terbukti bahwa sejak kakek buyutnya penaklukan Konstantinopel tak pernah bisa terwujud. Sudah ratusan ribu pasukan telah dikerahkan, namun benteng Konstantinopel tak bisa ditembus. Pada masa kakeknya misalnya, pasukan Turki Ottoman telah berhasil mengepung Konstantinopel sehingga bisa memaksa Kaisar Konstantinopel pada waktu itu menyerah. Akan tetapi, keberhasilan yang sudah berada di depan mata itu akhirnya berantakan ketika tentara Mongol yang dipimpin Timurlenk menyerang Turki Ottoman.

Menghadapi kondisi yang sulit tersebut maka mau tak mau kakek Mehmed II, Bezayid, menarik pasukannya dari Konstantinopel. Belajar dari kegagalan demi kegagalan tersebut maka selain mempersiapkan kekuatan militer, Mehmed II juga mempelajari segala hal tentang Konstantinopel. Salah satu yang ia pelajari adalah mitologi tentang kota tua itu. Sepanjang hari ia habiskan waktunya di perpustakaan. Buku-buku kuno ia buka dan baca halaman demi halaman. Ia berusaha terus mencari rahasia di balik benteng-benteng Konstantinopel sehingga kota itu tak mudah dirobohkan.

Setelah sekian lama menyusuri isi buku demi buku akhirnya Mehmed II menemukan apa yang dicarinya. Dalam sebuah buku dijelaskan tentang keyakinan rakyat Konstantinopel. Mereka, rakyat Konstantinopel, percaya bahwa kota mereka akan selalu dilindungi oleh bulan purnama. Bagi mereka bulan purnama ibarat payung suci yang akan selalu memberikan berkah pada Konstantinopel. Pertama kali membaca mitologi ini awalnya Mehmed II tidak begitu hirau. Akan tetapi, setelah merenungkannya akhirnya ia memperoleh pelajaran yang cukup berharga, yang kelak pelajaran tersebut akan ia gunakan ketika menyerang Konstantinopel. Begitu mendapatkan apa yang telah dicarinya, rasa percaya Mehmed II semakin bertambah. Ia yakin Konstantinopel akan dapat dikuasai.

Kini secara mental Mehmed II telah siap. Sekarang tinggal bagaimana ia mempersiapkan pasukannya. Turki Ottoman memang telah memiliki yanisari, sebuah pasukan khusus yang andal. Tapi Mehmed II menyadari kalau hal ini tidak akan cukup untuk bisa mengalahkan Konstantinopel. Maka ia mengundang beberapa ahli pembuatan mesiu dan pengolahan logam. Selama beberapa hari mereka mengadakan diskusi yang mendalam tentang pembuatan senjata baru. Dan, akhirnya mereka mampu mengembangkan meriam jenis baru. Meriam ini diberi nama Orhan. Para sejarawan mencatat bahwa meriam yang dibuat tersebut–diberi nama Meriam Raja–merupakan meriam terbesar pada masa itu, beratnya ratusan ton dan memerlukan ratusan tentara untuk mengangkatnya.

Jam telah berganti hari. Hari berganti bulan. Dan, persiapan pun semakin matang. Pada titik akhir persiapan Mehmed II telah berhasil mengumpulkan 250.000 pasukan, jumlah ini lebih besar dari kekuatan militer manapun. Selama bertahun-tahun pasukan tersebut telah dilatih untuk menghadapi segala macam medan pertempuran.

Setelah persiapan militer ia anggap cukup, Mehmed II membuat perjanjian damai dengan musuh-musuhnya. Perjanjian yang dibuat antara lain dengan Kerajaan Galata. Strategi ini ternyata cukup ampuh. Adanya perjanjian-perjanjian tersebut membuat Bizantium panik. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau mereka mencoba membujuk Mehmed II agar menghentikan serangan. Akan tetapi, usaha itu sia-sia. Mehmed II bergeming. Ia teguh pada pendiriannya.

Strategi selanjutnya yang dilakukan Mehmed II adalah menguasai kota Rumeli. Kota ini terletak di Selat Bhosphorus, di antara tebing yang memisahkan Eropa dan Asia. Sejak lama kota ini mempunyai peran yang penting bagi pelayaran dunia. Kapal dari Eropa yang hendak ke Asia, dan begitu sebaliknya, selalu melalui kota ini. Dengan direbutnya kota tersebut oleh pasukan Mehmed II maka jalan untuk menguasai Konstantinopel tinggal sejengkal lagi.

Penyerangan
Pasukan telah dikerahkan meninggalkan ibu kota Turki Ottoman. Di barisan paling depan panji-panji bulan sabit berkibar-kibar tertepa angin. Di belakangnya para prajurit berjalan dengan tatapan penuh dengan keyakinan. Ketika kaki-kaki mulai meninggalkan gerbang kota, rakyat berdiri di pinggir jalan, memberikan semangat pada pasukan yang akan maju berperang. Hal ini tentu saja menambah semangat para prajurit semakin bergemuruh. Mereka semakin yakin kalau kemenangan itu akan datang.

6 April 1453 dan hari-hari berikutnya
Pasukan Turki Ottoman sampai di pintu gerbang Konstantinopel. Begitu sampai di tempat tersebut Sultan Mehmed II segera berpidato pada pasukannya. Dalam pidatonya Sultan Mehmed II menyampaikan bahwa tinggal selangkah lagi mengalahkan Konstantinopel, dan tinggal umat Islam sendiri mau atau tidak mewujudkan impian itu. Pidato itu disambut dengan suka cita oleh para pasukan. Semangat mereka membuncah. Suara teriakan mereka membelah cakrawala Konstantinopel.

Keesokan harinya, Sultan Mehmed II membagi pasukannya menjadi tiga lapis. Lapis pertama terdiri dari kesatuan Yanisari dan pasukan terlatih lainnya. Mereka ini bertugas menembus benteng Konstantinopel. Kemudian lapisan kedua dan ketiga terdiri dari pasukan penyangga yang bertugas membantu pasukan lapisan pertama. Dengan posisi ini diharapkan serangan dapat dilakukan secara terus-menerus.

Sejarah Yanisari tak bisa dilepaskan dari munculnya Kapikulu. Kapikulu merupakan pasukan khusus yang pada awalnya digunakan untuk mengawal dan melindungi keluarga kerajaan. Sebagian besar anggota Kapikulu merupakan tawanan perang yang kemudian memeluk agama Islam. Mereka ini kemudian dilatih untuk menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dengan tugas utama mengawal raja dan keluarga kerajaan dari ancaman musuh. Nah, dari anggota Kapikulu yang terbaik inilah kemudian direkrut menjadi anggota Yanisari.

Keanggotaan Yanisari semakin meningkat ketika Murad II (Mehmed I, ayah Mehmed II) naik tahta. Selain untuk melawan kekuatan Orde Naga, pasukan khusus yang dimiliki pasukan Salib, Yanisari juga digunakan untuk melindungi sang sultan dari serangan lawan-lawan politik—masa Murad II merupakan masa perang saudara yang berlangsung cukup lama. Sebagai anggota Yanisari selain mengambil prajurit terbaik dari Kapikulu, Murad II juga merekrut pemuda-pemuda Turki dan sanak keluarganya.

Sebagai pasukan khusus dan organisasi rahasia, perekrutan Yanisari sangat tertutup. Siapapun yang menjadi anggota Yanisari maka keluarganya tidak ada yang mengetahui. Dan, kerahasiaan tersebut akan dijaga sampai ajal menjemput. Guna menjaga agar kerahasiaan tersebut tetap terjaga maka sistem perekrutan yang digunakan adalah berdasarkan sistem keluarga. Misalnya, ketika sang bapak menjadi anggota Yanisari maka ia akan merekrut anak tertuanya. Biasanya sang anak akan benar-benar direkrut setelah menginjak usia 24 atau 25. Tradisi inilah yang terus dijaga oleh Yanisari sampai berabad-abad kemudian.

Anggota Yanisari mendapatkan gaji tetap dari kerajaan yang akan dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Mereka juga diberikan semacam lencana khusus oleh sultan untuk membedakan dengan prajurit lainnya. Lencana inilah yang akan diwariskan kepada anaknya bila si bapak akan pensiun. Sebagai pasukan khusus, anggota Yanisari dilengkapi dengan senjata api. Pada masanya, senjata api merupakan senjata paling modern, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menggunakannya. Selain senjata api mereka juga dilengkapi dengan granat tangan.

Selain dilatih cara berperang, anggota Yanisari juga dilatih ketrampilan lainnya. Ketrampilan-ketrampilan yang diajarkan adalah cara memasak, mengobati, menyiapkan senjata, memasang tenda, dan kerja-kerja teknis yang lainnya. Dengan kemampuan yang beragam tersebut diharapkan anggota Yanisari mampu bertahan dalam segala situasi. Komando Yanisari dipegang langsung oleh sultan, Dan, hanya sultan pula yang mengetahui siapa saja yang menjadi anggota Yanisari. Dengan sistem ini tak mengherankan kalau Yanisari berkembang sangat solid dan rahasia.

Sementara itu di laut, kapal-kapal Turki Ottoman telah disiapkan pula. Empat ratus kapal sudah siap melakukan serangan dari lautan. Dari kejauhan kapal-kapal tersebut mirip dengan kotak korek api yang tertata dengan rapi. Persiapan yang dilakukan di laut memang tak semulus di daratan. Ketika akan memasuki Tanjung Emas, kapal-kapal tersebut terhalang oleh rantai-rantai besar yang dipasang oleh Bizantium. Sehingga banyak kapal yang berada di tempat tersebut terjebak dan akhirnya karam. Angkatan laut Turki Ottoman berusaha mematahkan rantai-rantai tersebut, tapi tak berhasil. Situasi semakin sulit ketika pasukan salib dari Eropa datang untuk membantu angkatan laut Bizantium. Perang panah pun terjadi di lautan. Anak-anak panah melesat seperti ribuan burung srigunting.

Kegagalan di laut tak membuat pasukan Turki Ottoman yang berada di daratan patah arang. Mereka mulai melakukan serangan. Benteng Konstantinopel selain dihujani dengan anak panah juga dengan hantaman peluru yang berasal dari meriam. Akibatnya, beberapa bagian benteng Konstantinopel roboh. Tentu saja situasi ini membuat pasukan Bizantium panik karena selama ini belum ada yang bisa merobohkan benteng Konstantinopel. Situasi yang semakin kritis membuat Kaisar Bizantium berusaha terus-menerus memberikan semangat pada prajuritnya. Ia meyakinkan kalau Konstantinopel tidak akan jatuh karena akan dilindungi oleh Yesus dan Maria. Ia pun melakukan misa di gereja Hagia Sophia.

Hampir selama satu bulan pasukan Bizantium bisa mempertahankan benteng Konstantinopel. Serangan-serangan yang dilakukan oleh pasukan Turki Ottoman memang berhasil membuat beberapa bagian benteng roboh, tapi tetap tidak bisa menembus benteng. Inilah yang membuat semangat pasukan Bizantium meningkat. Mereka meyakini kata-kata kaisar mereka bahwa Konstantinopel akan selalu dilindungi oleh Yesus dan Maria.

Selama masa penyerangan pasukan Turki Ottoman ini, Kaisar Bizantium berusaha untuk membujuk Sultan Mehmed II. Ia menawarkan daerah-daerah lain yang dimilikinya asalkan Sultan Mehmed II menghentikan serangan terhadap Konstantinopel. Akan tetapi, tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan Mehmed II. Sang sultan menjawab tawaran tersebut dengan mengirimkan surat. Surat itu berbunyi:

“Wahai Kaisar Bizantium, jika engkau rela menyerahkan Konstantinopel maka aku bersumpah bahwa tentaraku tidak akan mengancam nyawa, harta, dan kehormatan rakyat Konstantinopel. Aku akan melindungi rakyatmu yang ingin tinggal dan hidup di Konstantinopel. Dan, bagi rakyatmu yang akan meninggalkan Konstantinopel maka keamanan mereka akan dijamin.”

Karena tidak ada titik temu maka pertempuran pun terus berlanjut. Pada tanggal 18 April pasukan Turki Ottoman kembali melakukan serangan besar-besaran. Serangan ini mampu merobohkan benteng Konstantinopel yang berada di Lembah Lycos. Selain serangan darat, pasukan Turki Ottoman juga menggencarkan serangan dari laut. Armada laut Turki Ottoman berusaha untuk menerobos rantai-rantai bergerigi yang dipasang oleh pasukan Bizantium. Akan tetapi, usaha ini belum juga menemukan keberhasilan.

Akibatnya banyak kapal perang Turki Ottoman yang tenggelam. Hal ini menyebabkan sebagian besar pasukan yang ada di laut pupus harapan. Pada kondisi seperti ini Sultan Mehmed II segera memberikan suntikan semangat pada prajuritnya. Ia berkata, “Kalian tawan semua kapal Bizantium atau kalian semua tenggelam.” Selesai mengucapkan kata-kata itu ia memacu kudanya sampai ke bibir pantai. Lecutan semangat dari sang sultan itu mampu membangkitkan kembali moral pasukan Turki Ottoman. Mereka kembali bertempur, berusaha menerjang rantai-rantai di lautan. Namun sekali lagi usaha ini tidak berhasil. Pasukan laut Bizantium yang telah bergabung dengan pasukan Salib berhasil menghadang gerak maju pasukan Turki Ottoman.

Kegagalan serangan laut itu membuat gusar Sultan Mehmed II. Ia segera memecat panglima angkatan laut, Palta Oglu, menggantikannya dengan Hamzah Pasha. Sementara itu, moral prajurit Turki Ottoman kembali meluruh. Keadaan inilah yang mendorong Khalil Pasha, wazir Turki Ottoman, mengusulkan pada Sultan Mehmed II untuk membatalkan serangan dan menerima kesepakatan yang ditawarkan oleh Kaisar Konstantinopel. Jelas, usul tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan Mehmed II. Sebagai pewaris Kesultanan Turki Ottoman ia tidak akan menyerah begitu saja. Maka ia berpikir keras agar jalan buntu itu bisa diurai. Ia mempunyai keyakinan pasti ada jalan keluar untuk bisa menerobos Tanjung Emas. Dan benar, setelah berpikir dengan serius akhirnya Sultan Mehmed II menemukan ide yang menakjubkan, yaitu memindahkan kapal dari lautan lewat darat.

Begitu mendapatkan ide “gila”, pada malam harinya Sultan Mehmed II memerintahkan agar prajuritnya memindahkan kapal perang dari laut ke darat. Awalnya ide ini dijalankan dengan setengah hati oleh para prajurit Turki Ottoman karena mengira sultan mereka telah gila akibat tidak berhasil melakukan serangan dari laut. Akan tetapi, setelah Sultan Mehmed II menjelaskan secara rinci bagaimana cara memindahkan kapal-kapal itu, mereka mulai bisa menerima.

Awalnya Sultan Mehmed II memerintahkan pada prajuritnya untuk mengumpulkan kayu gelondongan dan minyak goreng. Kayu-kayu tersebut kemudian diolesi dengan minyak goreng sehingga menjadi licin. Setelah semuanya siap kemudian sang sultan memerintahkan agar kapal-kapal perang mulai ditarik ke daratan dengan menjadikan kayu-kayu gelondongan sebagai rodanya. Para prajurit bekerja keras menjalankan perintah sultannya. Mereka terus bekerja sepanjang malam.

Pada malam itu, dengan diterangi bintang gemintang, kapal-kapal perang Turki Ottoman mulai berlayar di daratan. Kapal-kapal tersebut melintasi lembah dan bukit. Sebuah peristiwa yang kelihatannya tidak masuk akal. Akhirnya, berkat kerja keras pasukan Turki Ottoman, ketika pagi telah pecah di ufuk timur, 70 kapal perang Turki Ottoman telah berpindah lokasi, berhasil melintasi Tanjung Emas lewat daratan, melintasi Besiktas ke Galata.

Rakyat Bizantium begitu terkejut melihat peristiwa “kapal-kapal yang berlayar di daratan”. Mereka tak percaya dengan kejadian yang mereka lihat. Karena tak percaya, sebagian dari mereka menggosok-gosok mata, dan sebagian yang lain mencubit diri mereka sendiri untuk memastikan bahwa semuanya bukan mimpi. Tapi kenyataan memang kenyataan. Setelah yakin bahwa peristiwa yang mereka lihat adalah kenyataan, tuduhan-tuduhan pun mulai terlontar. Sebagian dari mereka berpandangan bahwa pasukan Turki Ottoman pastilah dibantu oleh jin dan setan. Sementara itu, Yilmaz Oztuna, penulis buku “Osmanli Tarihi”, menceritakan bagaimana seorang ahli sejarah Bizantium berkata:

“Tidaklah kami pernah melihat atau mendengar hal ajaib seperti ini. Muhammad al-Fatih telah menukar darat menjadi lautan, melayarkan kapalnya di puncak gunung dan bukannya di ombak lautan. Sesungguhnya Muhammad al-Fatih dengan usahanya ini telah mengungguli yang pernah dilakukan Alexander!” Begitulah keajaiban itu terjadi. Sampai saat ini usaha Sultan Mehmed II tersebut masih dikenang.

Ide Sultan Mehmed II yang awalnya dianggap sebelah mata oleh orang-orang terdekatnya, ternyata setelah berhasil berdampak luar biasa. Rasa percaya diri pasukan Turki Ottoman kembali terlecut. Mereka tak lesu lagi dan siap melancarkan serangan kembali. Serangan mematikan pun tinggal menunggu waktu.

Ketika purnama telah berlalu Sultan Mehmed II merencanakan serangan itu dilancarkan. Mengapa ia memilih serangan pada saat ini? Dari membaca buku-buku tentang mitologi masyarakat Konstantinopel ia mendapatkan bahwa mereka percaya bahwa selama bulan purnama maka kota mereka akan selalu dilindungi. Karena kepercayaan ini maka baik prajurit maupun masyarakat Konstantinopel akan yakin bahwa mereka tak akan bisa dikalahkan. Inilah yang menyebabkan mereka sulit dikalahkan. Oleh karena itu, ketika purnama telah berlalu Sultan Mehmed II melancarkan serangan terakhir.

Sebelum serangan dilancarkan, Sultan Mehmed II memerintahkan agar dibuat terowongan untuk menembus benteng Konstantinopel. Maka ketika serangan diputuskan, pasukan Turki Ottoman mulai memasuki terowongan.

27 Mei 1453
Sebelum serangan dimulai, Sultan Mehmed II dan pasukannya menjalankan shalat. Seusai shalat mereka kemudian berdoa, meminta kepada Allah swt agar kemenangan yang sudah berada di depan mata itu menjadi kenyataan. Sementara itu, penduduk Konstantinopel juga melakukan hal serupa. Mereka menggelar misa di gereja Hagia Sophia.

29 Mei 1453
Malam telah melewati ambang. Hanya gemintang yang menemani malam. Tak ada secuil pun cahaya purnama. Pada saat inilah pasukan Turki Ottoman melakukan serangan besar-besaran. Pasukan Turki Ottoman berusaha memasuki benteng Konstantinopel. Kali ini pasukan Turki Ottoman terdiri dari tiga lapis. Lapis pertama terdiri dari pasukan yang berasal dari Anatolia, sedangkan lapis kedua dan ketiga merupakan kesatuan Yanisari.

Melihat serangan besar-besaran ini, Giustiniani–salah satu panglima Bizantium–menyarankan agar Constantine mundur. Akan tetapi, saran tersebut ditolak oleh Constantine. Beberapa ahli sejarah menceritakan bahwa Constantine melepas baju perang dan kemudian bertempur bersama pasukannya. Dan, setelah perang usai jasadnya tidak pernah ditemukan.

Akhirnya, setelah berperang selama sebulan pasukan Turki Ottoman bisa menguasai kota Konstantinopel melalui pintu Edinerne. Begitu memasuki kota Konstantinopel, Sultan Mehmed II dalam pidatonya menyatakan akan melindungi seluruh penduduk kota itu yang menyerahkan diri. Ia juga berjanji melindungi tempat-tempat ibadah, baik milik orang-orang Kristen maupun Yahudi. Rupanya ia mengikuti yang dilakukan Saladin ketika menaklukkan Yerusalem. Pidato yang terkenal ini disampaikan Sultan Mehmed II di pelataran Hagia Sophia, di hadapan penduduk Konstantinopel.

Ketika Konstantinopel benar-benar bisa direbut, Mehmed II berkata, “…sesungguhnya kalian melihat aku gembira sekali. Kegembiraanku ini bukanlah semata-mata karena kejayaan kita menaklukkan kota ini. Akan tetapi karena di sisiku hadir syeikhku yang mulia, dialah pendidikku, asy-Syeikh Ak Semsettin.” Konstantinopel telah berhasil ditaklukkan. Ramalan itu terwujud sudah. Benteng Salib pun telah berhasil dipatahkan oleh Sang Penakluk.

(Sumber: “Sultan Mehmed II Sang Pembantai Dracula”, Yogyakarta: Darul Ikhsan, Cet. I, Januari 2008)

Minggu, 22 Maret 2015

Al-Qur’an dan Kosmologi Modern



Radar Banten, 23 Maret 2015

Dalam tulisannya yang membahas tentang nilai penting fisika dan kerja saintifik Albert Einstein, Kim Michaels menyatakan: “Fisikawan Kuantum telah menunjukkan (melalui percobaan yang tak terhitung jumlahnya) bahwa apa yang kita sebut partikel sub-atomik dapat berperilaku baik sebagai gelombang maupun partikel. Apakah mereka berperilaku sebagai satu atau yang lain, tampaknya tergantung pada bagaimana kita ingin mengamati mereka. Dengan kata lain, jika seorang fisikawan sedang mencari sebuah partikel, entitas sub-atomik berperilaku sebagai sebuah partikel. Jika fisikawan sedang mencari gelombang, entitas sub-atomik berperilaku sebagai gelombang”.

Kita tahu, dalam dunia fisika kita mengenal adanya dimensi ekstra, di mana menurut fisika partikel setidaknya ada sepuluh dimensi ruang dan demensi waktu yang ada dalam penciptaan alam semesta. Jika ruang yang kita tempati ini adalah ruang material tempat planet-planet dan galaksi-galaksi, maka dimensi di luar dimensi kita adalah ruang immaterial. Sementara itu dunia kita adalah tiga dimensi ruang dan waktu –dunia yang kita tempati saat ini, hingga kita bisa melihat benda-benda yang berada di dimensi kita. Sedangkan enam dimensi lainnya ada di alam semesta sebagai dimensi yang sangat kompak yang membungkus dimensi kita. 

Ruang 3 dimensi dibungkus oleh ruang 4 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan pertama. Ruang 4 dimensi dibungkus oleh ruang 5 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan kedua. Ruang 5 dimensi dibungkus oleh ruang 6 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan ketiga. Ruang 6 dimensi dibungkus oleh ruang 7 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan keempat. Ruang 7 dimensi dibungkus oleh ruang 8 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan kelima. Ruang 8 dimensi dibungkus oleh ruang 9 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan keenam. Ruang 9 dimensi dibungkus oleh ruang 10 dimensi, anggap saja ini adalah lapisan ketujuh.

Berdasarkan hal itu, misalnya, makhluk di ruang dimensi 3 tidak akan bisa melihat makhluk yang ada di ruang dimensi 4, tetapi ini tidak berlaku sebaliknya, sedangkan makhluk di ruang dimensi 4 bisa melihat makhluk di ruang dimensi 3, begitu seterusnya –yang pada dasarnya makhluk di suatu dimensi tidak akan mampu melihat makhluk yang berada di dimensi yang lebih tinggi, sedangkan makhluk di dimensi yang lebih tinggi akan mampu melihat makhluk yang berada di dimensi lebih rendah. Dengan demikian misalnya ada makhluk di ruang dimensi 5, maka dia bisa melihat makhluk di ruang dimensi 4 dan 3. Dan begitulah seterusnya.

Untuk Mempermudah Memahaminya Dapat Kita Uraikan Seperti Ini: Bayangkan kita sebagai pengamat alam semesta yang di dalamnya hanya berisi dua dimensi ruang (katakanlah x dan y), sehingga perlu satu dimensi lagi (katakanlah z) dari pada makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya di dua alam dimensional ini. Katakanlah Budi memandang Roni, maka Budi hanya melihat satu sisi Roni dalam satu waktu (bagian depan, bagian belakang, samping kiri ataukah samping kanan) tergantung di mana posisi Budi, yang bentuknya hanya bidang, Budi tidak akan mampu melihat Roni secara utuh dalam satu waktu. Untuk mengetahui Roni secara utuh maka Budi harus mengelilingi Tubuh Roni, sehingga gambaran tubuh Roni secara utuh hanya ada pada pikiran Budi. Meskipun demikian, sebagai pengamat, dari dunia tiga dimensional kita bisa melihat Budi dan Roni secara keseluruhan. Andai Budi atau Roni bersembunyi di dalam kamar, maka kita sebagai pengamat masih bisa melihatnya karena dinding temboknya tidak meluas ke dimensi kita, tetapi mereka tidak bisa melihat kita sebagai pengamat.

Dengan memahami tentang ruang dimensional ini, kita bisa memahami mengapa malaikat dan Tuhan tidak bisa kita lihat. Sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-An’am ayat 103 Allah SWT berfirman: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dia yang Maha halus lagi Maha mengetahui.” Demikianlah, jika kita percaya dan menyakini bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, maka kesepuluh dimensi yang membentuk alam semesta dijalankan oleh Tuhan. Karena Dia yang telah menciptakan Dimensi Ruang dan Dimensi Waktu di alam semesta ini. Kita yang berada di ruang dimensi 3 dan waktu, tidak akan mampu melihat segala sesuatu yang berada di ruang dimensi 4 sampai dengan 10, kecuali jika ada makhluk dari dimensi lain yang masuk ke dalam dimensi kita. Apalagi melihat yang menjalankan dan menciptakan dimensi-dimensi ruang dan waktu tersebut, yaitu Tuhan. Tuhan tidak butuh dimensi untuk memempatkan di mana diri-Nya, karena Dia ada sebelum dimensi ruang dan waktu tercipta dan Tuhan Kuasa untuk melihat seluruh makhluknya tanpa terkecuali. 

Hal itu pun selaras dengan Teori Medan Kuantum yang menggambarkan bahwa semua benda yang ada merupakan keadaan atau pola dari energi yang terisolasi dan dinamis. Keadaan latar belakang dari energi yang tidak tereksitasi juga disebut hampa kuantum (Quantum Vacuum). Suatu benda ketika diikat menjadi banyak ikatan (dieksitasi menjadi berbagai energi), akan tampak sebagai manifestasi yang banyak. Semua benda yang ada adalah hasil eksitasi ruangan hampa kuantum, sehingga ruang hampa ada sebagai pusat dari segala benda. Energi ruangan hampa mendasari sekaligus menembus kosmos. Karena diri kita sendiri bagian dari kosmos, energi ruang hampa pasti mendasari dan memasuki diri kita. Tidak ada pusat kosmik tertentu dalam fisika Newton, gaya gravitasi hanyalah kekuatan yang hadir di antara benda atau materi di mana pun berada. Di sini, kita perlu merenungkan firman Allah swt yang (terjemahannya) berbunyi: “Sesungguhnya urusan (–perintahNya), apabila Dia menghendaki sesuatu (terjadi dan menjadi), Dia berfirman, “Jadilah!”. Maka jadilah" (–sesuatu itu) (al Qur’an Surah Yaasin: 82).

Singkatnya, sebelum menyudahi tulisan ini, kita perlu merenungkan sabda Nabi Muhammad saw yang menegaskan bahwa kita, ummat Islam, dapat mengenali Tuhan kita dengan melihat dan memikirkan atau merenungkan ayat-ayat (tanda-tandaNya), baik yang tekstual maupun yang kauniyah, bukan dengan memikirkan zat-Nya.

Sulaiman Djaya 


Senin, 16 Maret 2015

Hafiz di Era Demokrasi dan Kapitalisme Liberal (Bagian Pertama)




Jika disaintifikasi, dapat dikatakan puisi lahir dari “rumah bathin” sekaligus “pengalaman empirik” yang sifatnya interaktif satu sama lainnya, meski kadang puisi ditulis sebagai sebuah perlawanan atas kenyataan empirik itu sendiri. Dan sejauh menyangkut puisi kaum darwis, allegory-nya acapkali mengandung pedagogi “moral” yang nilai dan jangkauannya universal.

Sementara itu, karena yang dibahas dalam esai singkat ini adalah salah seorang pujangga dari negeri Persia (Iran), maka tak ada salahnya kita simak sejenak komentar Terence Ward dalam bukunya yang berjudul Searching for Hassan itu, menyangkut tempat dan posisi puisi bagi bangsa Persia (Iran), bahwa: “Sebagaimana opera bagi bangsa Italia, puisi adalah semangat berseni yang dimiliki oleh seluruh bangsa Iran”, yang berarti dapat kita katakan bahwa puisi adalah “jiwa” bangsa Iran itu sendiri.

Dan tentang Hafiz, rasanya tak lengkap bila kita tak menyertakan penghormatan yang diberikan oleh pujangga Jerman, Goethe, melalui puisinya yang diterjemahkan oleh Berthold Damshauser dan Agus R Sarjono berikut, yaitu “Tak Terbatas”:

Bahwa kau tak bisa usai, kau gemilang,
Bahwa kau tak juga mulai, itu nasibmu.
Lagumu berulang bagai kubah gemintang,
Awal dan akhir senantiasa sama,
Dan yang di tengah pun ternyata
Sama belaka dengan akhir dan mula.

Kau sumber sukacita pujangga sejati,
Darimu ombak tak henti-henti.
Kaulah mulut yang siap bercium,
Dendang di dada merdu mengalir,
Tenggorok tergiur tuk meminum,
Jiwa meluap luhur membanjir.

Biar dunia runtuh lintang pukang,
Wahai Hafiz, hanya dengan kau seorang
Ingin aku bertanding! Nikmat dan siksa
Bagi sang kembar, kita berdua!
Bercinta bagai kau, minum bagai kau
Menjadi hidupku menjadi marwahku.

Dengan api sendiri, kini berdendanglah, lagu!
Sebab kau lebih tua, sebab kau lebih baru.

Penghormatan Goethe, pujangga Jerman yang oleh James Joyce disebut sebagai salah-satu dari tiga penghuni Olympus Eropa bersama Dante Alighieri dan William Shakespeare itu, sudah cukup bagi kita untuk menilai posisi Hafiz dan karya-karyanya, selain komentar dan penilaian-penilaian yang diberikan oleh para penulis dan pujangga lain, semisal oleh Ralph Waldo Emerson.

Sejumlah puisi Hafiz, yang bernama asli Syamsuddin Muhammad ini, bagi saya sebagai pembaca, memiliki ciri “meditatif kedalam”, sementara yang lainnya menyuarakan pedagogi moral dan “ajaran” religius bagi para pembacanya, utamanya kepada mereka yang dimaksudkan sebagai “sasaran” sindiran alegoris puisinya, semisal:

“Ketika aku mampu melihat dengan begitu jelas
telah engkau bangun dengan penuh kasih sayang
bilik yang begitu besar –untuk rumah
segala kesenanganmu.
Bahkan engkau telah membentengi tempat lusuhmu
dengan pasukan-pasukan bersenjata
dan anjing-anjing ganas
untuk melindungi hasratmu”.

Lagi-lagi bagi saya, contoh puisi Hafiz tersebut masih relevan dan mendapatkan konteks “suaranya” untuk jaman atau era material dan komsumtif masyarakat kapitalis saat ini, yang urat nadi kehidupan kesehariannya telah terkepung oleh “imperatif pasar” yang telah menggiring ummat manusia pada kecenderungan materialistik dan tak bosan-bosan untuk membeli komoditas yang diiklankan oleh sejumlah reklame dan mesin-mesin pemasaran, yang juga telah mengepung kita di segala sudut dan sisi kehidupan dan keberadaan kita, utamanya melalui instrumen media.

Hal lain yang dapat kita bayangkan adalah bahwa anggaplah puisi tersebut merupakan kritik dan sindiran terhadap fenomena korporasi, contohnya korporasi persenjataan dan tekhnologi perang dan pertahanan, yang salah-satunya, menghalalkan perang dan pertumpahan darah demi terjualnya komoditas-komoditas dan produk-produk yang mereka produksi itu, persis ketika kita membaca bait, parafrase, atau kalimat yang berbunyi: “Bahkan engkau telah membentengi tempat lusuhmu dengan pasukan-pasukan bersenjata dan anjing-anjing ganas untuk melindungi hasratmu”.

Anggap saja anjing-anjing ganas di situ sebagai mesin-mesin perang dan persenjataan yang diproduksi korporasi dunia saat ini demi melayani interest atau kepentingan politis, ekonomis, singkatnya hasrat materialis, para korporat alias para pemiliki pabrik, industri, dan infrastruktur-infrastruktur yang memproduksi senjata dan tekhnologi “perang dan pertahanan” super canggih di jaman kita saat ini.

Dengan demikian, nilai “universal” puisi tersebut tak lain karena suaranya seakan datang dari hari dan jaman kita saat ini, dari sebuah dunia dan situasi yang kita alami dan kita ketahui saat ini. Persis ketika konflik berdarah dan perang di sejumlah Negara dan belahan dunia, di Bumi kita ini, ternyata tak dapat dilepaskan dari interest para korporat, yang dapat dikatakan sebagai para penguasa sesungguhnya dari kekuasaan dan pemerintahan-pemerintahan Negara, bahkan organisasi-organisasi dunia.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya