Oleh
Afifah Ahmad (penulis & travelog)
Malam
itu, Muhammad kecil tak dapat
memejamkan mata, lantaran suara rintihan para budak yang kehausan. Tangan kaki
dirantai, sementara pakaian mereka kumal dan tubuh menggigil. Muhammad yang tak
kuasa menyaksikan pemandangan itu menghabiskan malamnya dengan mengisi gerabah
air dan menuangkannya ke dalam mulut-mulut kering mereka. Dari balik tabir
tenda, Aminah, sang bunda, menyaksikan
dengan mata berkaca-kaca.
Di
bagian lain, terlihat saat Muhammad yang mulai beranjak remaja tengah
menggembalakan kambing-kambing di padang sabana. Suara gaduh pertengkaran
perempuan dan laki-laki menggelisahkannya. Berjalanlah ia mendekati arah suara.
Ternyata, mereka pasangan suami istri yang sedang meributkan kelahiran bayi
perempuan. Si ayah yang merasa itu aib ingin menguburkan bayi hidup-hidup,
namun sang Ibu yang susah payah mengandung dan melahirkannya tak rela dengan
perbuatan si suami. Muhammad datang menggendong bayi perempuan cantik yang
hampir di kubur hidup-hidup. Dengan lemah lembut, ia menunjukkan kepada si ayah
betapa cantik bayi perempuannya itu. Ajaib, amarah lelaki itu mulai
mereda.
Dua
potongan film "Muhammad Rasulullah" ("Muhammad: The Messenger of God") ini, seperti
mewakili janji Majid Majidi, sang
sutradara, untuk menampilkan kehidupan Rasulullah yang welas asih. Delapan
tahun lalu, ia terluka oleh penayangan film yang menghina Nabi Muhammad di Denmark. Ia pun tak memenuhi
undangan festival film di kota itu, karena penghormatannya kepada baginda Nabi.
Di tahun yang sama, ia berjanji untuk membuat film sisi kehidupan Nabi Muhammad yang tak banyak diketahui kaum Barat.
Setelah melakukan riset selama tiga tahun melalui berbagai sumber sejarah, baik
dari kalangan Sunni maupun Syiah, serta empat tahun pengambilan gambar, film
ini akhirnya bisa dinikmati masyarakat luas.
Sebulan
setelah penayangan perdana di bioskop-bioskop Teheran pada 26 Agustus lalu,
Film "Muhammad Rasulullah" ("Muhammad: The Messenger of God") masih
diserbu oleh ribuan penonton. Saya sendiri terpaksa harus datang dua kali ke
bioskop Kourosh. Malam pertama, setelah mengantri cukup panjang, saya harus
pulang dengan tangan kosong karena hanya tersisa tiket yang tayang jam 12
malam. Sementara durasi film hampir 3 jam. Terbayang, bisa-bisa saya tidur di
bioskop. Untunglah, beberapa hari kemudian saya mendapat tiket dengan membeli
secara online. Jam di ponsel saya
menunjukkan angka 20.20 saat film tentang Nabi Muhammad
mulai tayang di gedung teater 10 Kourosh.
Film
tentang Nabi Muhammad ini termasuk
salah satu film relijius dengan kemasan sekelas Hollywood. Di beberapa bagian
kita akan melihat perpaduan gambar dan musik yang luar bisa, seperti saat
penyerangan pasukan Gajah ke kota Mekkah, saat melukiskan suasana khidmat
kelahiran Nabi Muhammad, atau episode menjelang akhir, saat para sahabat
berjalan membawa lampu-lampu tempel dengan latar suara wahyu dari langit.
Benar-benar membawa emosi kita seolah masuk dan menjadi bagian dari potongan
film itu.
Majid Majidi tidak bekerja sendiri, ia menggandeng beberapa sineas
internasional yang pernah memenangkan Academy award dan Oscar seperti, Vittorio
Storaro dan AR Rahman sebagai sinematografer dan penata musik. Tempat
pengambilan gambar juga dibangun khusus selama hampir satu tahun. Kota Mekkah
dan Madinah buatan itu benar-benar terlihat seperti di kawasan jazirah Arabia,
padahal lokasinya di wilayah Iran, dekat jalan tol antara Teheran-Qom. Film ini
diperkirakan menelan biaya sekitar US$40 juta (Rp560 miliar lebih) sekaligus
menjadi film termahal dalam sejarah Iran.
Di
sisi lain membuat film dengan latar sejarah Nabi memang tidak mudah.
Adegan-adegan dalam film akan dengan mudah tertebak oleh penonton. Apalagi,
film ini merupakan satu bagian dari trilogi film Nabi Muhammad yang hanya
menampilkan kisah kanak-kanak Nabi hingga remaja. Ini merupakan tantangan
tersendiri bagi sutradara. Namun, Majid Majidi
menyiasatinya dengan membuat alur flashback. Film diawali
dengan makar kaum Quraisy yang ingin mendesak Abu
Thalib agar berpihak pada mereka dalam peristiwa pemboikotan
ekonomi di Syi’ib. Di tengah kegalauan itulah Abu
Thalib, yang diperankan oleh Mehdi
Pakdel, teringat berbagai mukjizat Nabi sebelum kelahiran
hingga masa remaja.
Potongan-potongan
kehidupan Nabi Muhammad kecil pun
mengalir dalam layar, sejak kehadiran sosok Halimah
Sadiyah yang sangat signifikan dalam sejarah sampai ramalan
sang pendeta Buhaira Kristen tentang kenabian beliau. Bahkan, berbagai ekspresi
kesedihan maupun kebahagiaan Aminah yang sulit kita
resapi saat membaca buku sejarah, tergambar secara utuh dalam film ini. Atau
bagaimana welas asih yang ditunjukkan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib, bisa kita rasakan secara jelas.
Sulit mendeskripsikan potongan-potongan ini kecuali Anda menyaksikannya sendiri.
Munculnya, Samuel, tokoh antagonis yang
selalu berusaha memburu Nabi sejak beliau baru dilahirkan, menambah seru film
ini. Bagaimana petualangan dan akhir cerita Samuel?
Dari
seluruh bagian film, saya menangkap pesan humanistik menjadi benang merah yang
merekatkan episode demi episode. Dan memang begitulah kehidupan nyata Nabi yang
kerap disalahpahami oleh media Barat. Sejak kecil Nabi telah memiliki rasa
empati yang dalam agar kelak saat diangkat menjadi Nabi mampu memimpin umat
dengan cinta, menjadi pelindung dan rahmat bagi seluruh alam.
Sayangnya,
film yang memiliki pesan dalam ini, sejak awal telah mendapat sambutan buruk
dari berbagai kalangan, terutama para ulama konservatif di beberapa negara
Arab. Di antara alasan yang kerap dilontarkan adalah munculnya sosok Nabi Muhammad dalam film itu, dianggap mengurangi
kesakralan Nabi. Walaupun sebenarnya, kekhawatiran itu tidak terlalu mendasar,
karena meskipun sosok kanak-kanak Nabi ditampilkan, hanya tampak belakang dan
samping, sementara bagian muka tetap tidak diperlihatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar