Oleh Sayyid Muhammad Baqir as Shadr (Penerjemah: Muhammad Nur Mufid) dan Disunting Kembali Oleh Sulaiman Djaya
Dalam pemaparan kami
mengenai posisi teologi, kami berangkat dan materi, dengan arti ilmiahnya, yang
kualitas-kualitas umum dan aksidentalnya dalam kaitannya dengannya telah
dibuktikan ilmu pengetahuan. Sekarang, kami ingin menelaah posisi teologi
berdasarkan konsep filsafat tentang materi. Untuk itu, kita wajib mengetahui
apakah materi itu, dan bagaimanakah konsep ilmiah dan filosofisnya?
Yang dimaksudkan dengan “materi sesuatu” adalah prinsip pembentuk sesuatu itu. Materi dipan (tempat tidur) adalah kayu, dan materi baju adalah bulu domba (wol) dan materi kain adalah katun, dengan artian bahwa kayu wol dan katun adalah hal-hal-pembentuk dipan baju dan kain itu. Kita sering merinci materi sesuatu, kemudian kita kembali ke materi tersebut, untuk berusaha mengetahui materinya, yaitu prinsip pembentuknya. Lantas kita ambil prinsip tersebut, dan juga membicarakan materi dan prinsipnya. Nah, kalau kita ditanya dari apa desa terdiri, kita jawab bahwa ia terdiri dari sejumlah bangunan, kebun, jalan dan tempat lainnya. Jadi, bangunan, kebun, jalan dan tempat lainnya itu adalah materi suatu desa. Dan pertanyaan tentang apa materi bangunan berulang. Jawabannya adalah bahwa ia tersusun dari kayu, bata dan besi. Dengan demikian kita menempatkan materi pada setiap sesuatu, lantas kita membuat suatu prinsip bagi materi, yang dari prinsip itu terbentuklah materi. Dalam deretan (tasalsul) ini, kita musti berhenti pada suatu materi primer. Yaitu materi yang tidak mungkin dikatakan bahwa ia tersusun dan materi lain. Dari hal tersebut timbullah dalam lingkaran filsafat dan ilmu pengetahuan pertanyaan tentang materi asasi dan primer alam, yang padanya analisis atas prinsip-prinsip dan materi-materi segala sesuatu berhenti. Pertanyaan tersebut dianggap sebagai salah satu pertanyaan terpenting dalam pemikiran manusia, baik ilmiah maupun filosofis. Yang dimaksudkan dengan “materi ilmiah” adalah materi paling primer yang diungkapkan eksperimen. Ia adalah prinsip paling primer (yang dicapai) dalam analisis-analisis ilmiah. Dan yang dimaksudkan dengan “materi filosofis” adalah materi paling primer alam, baik ia bisa nampak dalam lapangan eksperimen maupun tidak. Dalam pembahasan tentang materi ilmiah, kita telah mengetahui bahwa materi paling primer yang dicapai ilmu pengetahuan adalah atom dengan nucleus dan elektron-elektronnya yang merupakan suatu kepadatan tertentu energi. Dalam arti ilmiah, materi kursi adalah kayu dan materi kayu adalah elemen-elemen sederhana yang membentuk kayu itu. Yaitu oksigen, karbon dan hidrogen. Materi elemen-elemen itu adalah atom-atom, dan materi atom adalah bagian-bagian tertentunya, seperti proton, elektron dan (partikel-partikel subatomik)[240] lain. Himpunan atom, atau muatan-muatan listrik yang padat, adalah materi ilmiah yang paling primer yang ditunjukkan ilmu pengetahuan dengan metode-metode eksperimental. Mengenai materi filosofis, mari kita lihat apakah pada hakikatnya atom adalah materi alam paling primer dan tersederhana, atau ia, pada gilirannya, juga tersusun dan materi dan bentuk? Kursi, seperti telah kita ketahui, tersusun dan materi, yaitu kayu, dan bentuk, yaitu rupa tertentunya. Air tersusun dan materi, yaitu atom oksigen dan hidrogen, dan bentuk, yaitu kualitas fluiditas yang terjadi pada komposisi kimiawi antara dua gas. Nah, apakah atom-atom yang sangat kecil tersebut adalah juga materi filosofis alam? [241] Pendapat filosofis yang berlaku adalah bahwa materi filosofis itu lebih primer daripada materi ilmiah dalam arti bahwa materi yang pertama dalam eksperimen-eksperimen ilmiah bukanlah materi yang paling asasi dalam pandangan filsafat. Tetapi, ia tersusun dan suatu materi yang lebih sederhana daripadanya, dan bentuk. Materi lebih sederhana tersebut tidak mungkin ditunjukkan dengan eksperimen. Tetapi, keberadaannya itu dapat dibuktikan secara filosofis.
Koreksi atas Beberapa
Kesalahan
Berdasarkan uraian di
atas, dapatlah kita mengetahui bahwa teori atom Demokritus yang menyatakan
bahwa prinsip primer alam tak lain adalah atom-atom fundamental yang tidak
terbagi-bagi, itu memiliki dua sisi: sisi ilmiah dan sisi filosofis. Sisi
ilmiahnya adalah bahwa struktur benda-benda itu tersusun dari atom-atom kecil
yang terdapat ruang kosong di antaranya. Benda bukanlah massa yang rapat-padat,
meski nampak demikian bagi indera-indera kita. Satuan-satuan kecil tersebut
adalah materi semua benda. Sisi filosofisnya adalah bahwa Demokritus mengklaim
bahwa satuan-satuan atau atom-atom tersebut tidak tersusun dari materi dan
bentuk, karena mereka tidak memiliki materi yang lebih primer dan lebih
sederhana daripada mereka. Karena itu, satuan-satuan atau atom-atom itu adalah
materi filosofis, yakni materi alam yang paling primer dan sederhana.
Dua sisi dari teori itu telah terkacaukan oleh banyak pemikir. Nampak bagi mereka bahwa alam atom, yang ditemukan ilmu pengetahuan modern dengan metode-metode eksperimental, membuktikan kebenaran teori atomistik itu. Maka, tidak mungkin menyalahkan Demokritus dalam penafsirannya tentang benda-benda, sebagaimana diyakini filosof-filosof terdahulu, setelah alam atom baru tampak jelas bagi ilmu pengetahuan, meskipun pemikiran ilmiah modern berbeda dengan pemikiran Demokritus dalam hal mengestimasi besarnya atom dan dalam hal menggambarkan strukturnya. Tetapi, faktanya adalah bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah modern tentang atom hanya menunjukkan kebenaran sisi ilmiah teori Demokritus. Mereka menunjukkan bahwa benda tersusun dari satuan-satuan atomik yang mengandung kekosongan di antara satuan-satuan atom-atom tersebut, dan karena itu tidak rapat-padat seperti digambarkan indera kita. Ini adalah aspek ilmiah dari teori tersebut. Eksperimen dapat mengungkapkan aspek ini. Filsafat tidak berkata apa-apa dalam masalah itu. Karena, benda, dalam pandangan filsafat, bisa rapat-padat, dan bisa pula mengandung kekosongan yang diisi bagian-bagian yang amat kecil. Adapun sisi filosofis dalam teori Demokritus tidak dijamah penemuan-penemuan ilmiah itu sama sekali, juga tidak dibuktikan kebenarannya oleh penemuan-penemuan ilmiah itu. Tetapi, tetaplah permasalahan keberadaan materi yang lebih sederhana daripada materi ilmiah menjadi tanggung-jawab filsafat, dalam arti bahwa filsafat bisa mengambil materi yang paling primer yang dicapai ilmu pengetahuan di dalam lapangan eksperimen (yaitu atom dan aggregate tertentunya), dan membuktikan bahwa itu tersusun dari materi yang lebih sederhana dan dari bentuk. Dan hal ini tidak kontradiksi dengan fakta-fakta ilmiah, karena analisis dan sintesis filosofis tersebut tidak dapat ditunjukkan dalam lapangan eksperimen. Mereka salah dalam mengklaim bahwa eksperimen-eksperimen ilmiah menunjukkan kebenaran keseluruhan teori tadi, padahal eksperimen-eksperimen itu hanya berkenaan dengan sisi ilmiahnya saja. Demikian pula beberapa filosof terdahulu, yang menolak sisi filosofis dari teori tersebut, yang dengan demikian menolak pula sisi ilmiah. Mereka mengklaim, tanpa bukti ilmiah maupun filosofis bahwa benda-benda itu rapat-padat, dan mereka menolak atom dan kekosongan di bagian dalam benda-benda. Posisi yang harus diambil dalam persoalan di atas adalah menerima sisi ilmiah teori tersebut, yang menegaskan bahwa benda-benda tidaklah rapat-padat dan tersusun dari atom-atom yang amat kecil. Sisi ini telah diungkapkan fisika atom dengan pasti. Sedangkan sisi filosofis teori tersebut, yang menyatakan kesederhanaan satuan-satuan yang diungkapkan fisika atom itu, kita tolak. Karena filsafat membuktikan bahwa satuan yang diungkapkan fisika itu betapapun amat kecilnya, tersusun dari bentuk dan materi. Materi ini kita namakan “materi filosofis”. Karena, ia adalah materi yang paling sederhana yang keberadaannya dibuktikan dengan metode filsafat, bukan ilmiah. Dan kini, kita akan menelaah metode filsafat tersebut.
Konsep Filosofis
tentang Materi
Karena persoalan yang kita
bahas adalah persoalan filosofis dan cukup sensitif, kami harus berjalan dengan
hati-hati dan tenang, agar pembaca dapat mengikuti perjalanan kami ini dengan
baik. Karena itu, kami mulai, pertama-tama, dengan air, kursi dan sebagainya,
supaya kita tahu bagaimana filsafat itu benar (ketika mengatakan) bahwa
benda-benda itu tersusun dari materi dan bentuk.
Air itu terjelma dalam materi cair. Ia sekaligus bisa menjadi gas. Kebisaan menjadi gas ini bukan lantaran fluiditasnya, karena kualitas fluiditas tidak mungkin menjadi gas. Tetapi, sebabnya adalah materi yang dikandung di dalam air yang cair itu. Jadi, air tersusun dan keadaan gas dan suatu materi yang disifati keadaan ini. Materi ini juga bisa menjadi gas. Kursi terjelma dalam kayu tertentu yang dibuat dengan bentuk tertentu. Ia bisa juga menjadi meja. Bukan bentuk kursi itu yang bisa menjadi meja, tetapi materi kursi itu dari itu kita tahu bahwa kursi tersusun dan suatu bentuk tertentu dan materi kayu yang bisa menjadi meja, sebagaimana ia bisa menjadi kursi. Demikian seterusnya dalam setiap hal. Jika diperhatikan bahwa entitas tertentu dapat menerima lawan sifatnya sendiri, filsafat membuktikan melalui hat ini bahwa entitas itu memiliki materi, yang adalah sesuatu yang menerima sifat yang berlawanan dengan sifatnya sendiri. Mari kita telaah permasalahan kita ini berdasarkan hal ini. Kita telah tahu bahwa ilmu pengetahuan menerangkan bahwa benda bukan satu sesuatu, tetapi ia tersusun dan satuan-satuan primer yang “berenang” di dalam kekosongan. Karena satuan-satuan tersebut, pada akhir analisis ilmiah itu, tetap ada, maka mereka tidak tersusun dari atom-atom yang lebih kecil daripada mereka. Kalau tidak maka satuan-satuan itu , tidak akan merupakan satuan-satuan puncak materi. Ini benar. Filsafat memberikan kemerdekaan yang penuh kepada ilmu pengetahuan dalam menentukan satuan-satuan akhir yang tidak disela kekosongan dan tidak mengandung bagian-bagian. Ketika ilmu pengetahuan menentukan satuan-satuan tersebut, datanglah giliran filsafat. Filsafat membuktikan bahwa satuan-satuan tersebut tersusun dari bentuk dan materi yang lebih sederhana (daripada satuan itu). Kita mengkonsepsikan satuan materi yang rapat-padat, karena, jika ia tidak benar-benar rapat-padat, tentu ia seperti suatu benda yang mengandung kekosongan yang diisi bagian-bagian. Jadi, arti suatu satuan adalah bahwa ia rapat-padat. Maka itu ia tak mungkin suatu satuan hakiki tanpa rapat-padat. Tetapi, pada waktu yang sama, ia dapat dibagi dan dipisah-pisah juga. Adalah jelas bahwa apa-apa yang dapat dibagi dan dipisah-pisah bukanlah rapat-padat yang esensial bagi satuan materi itu sendiri. Karena, rapat-padat tidak mungkin bersifat terpisah, sebagaimana tidak mungkin fluiditas bersifat gas. Maka, satuan itu harus memiliki materi sederhana yang dapat dibagi- bagi dan dipisah-pisah. Dan hal itu mendatangkan anggapan bahwa satuan tersusun dari materi dan bentuk. Jadi, materi adalah sesuatu yang dapat dibagi-bagi dan dipisah-pisah yang menghancurkan satuan tersebut. Materi dapat dirapat-padatkan juga, yang membentuk satuan itu. Sedangkan bentuk adalah rapat-padat itu sendiri, yang tanpanya tidak mungkin kita mengkonsepsikan satuan materi. Persoalan yang kita hadapi dalam hal ini adalah: “Bagaimana filsafat dapat mengetahui bahwa satuan-satuan primer materi dapat dibagi-bagi dan dipisah-pisah?” “Apakah ada jalan ke arah itu selain eksperimen ilmiah?” Eksperimen ilmiah tidak membuktikan dapatnya satuan-satuan primer materi untuk dibagi-bagi dan dipecah-pecah. Sekali lagi kami tegaskan keniscayaan untuk tidak mengacaukan materi ilmiah dengan materi filsafat. Hal itu karena filsafat tidak mengklaim bahwa pembagian satuan adalah sesuatu yang dapat dijangkau sarana-sarana dan metode-metode ilmiah yang dimiliki manusia. Klaim ini adalah hak istimewa ilmu pengetahuan sendiri. Filsafat hanya membuktikan bahwa setiap satuan dapat dibagi dan dibelah, meskipun tidak mungkin dapat dilakukan secara eksternal dengan metode-metode ilmiah, dan tidak mungkin mengkonsepsikan satuan tanpa dapat dibaginya satuan itu; yakni tidak mungkin mengkonsepsikan suatu bagian yang tidak dapat dibagi.
Bagian Menurut Fisika
dan Kimia
Persoalan bagian yang tak
terbagi bukanlah persoalan ilmiah, tetapi adalah semata-mata persoalan
filsafat. Dengan itu, kita tahu bahwa metode-metode dan fakta-fakta ilmiah yang
digunakan untuk menjawab persoalan tersebut dan menunjukkan ada atau tidak
adanya bagian yang tak terbagi sama sekali tidak benar. Kami kini akan
memaparkan sebagian dari metode-metode dan fakta-fakta yang tidak benar itu.
(1) Hukum proporsi yang dibuat Dalton [242] di dalam kimia untuk menjelaskan bahwa kesatuan kimiawi elemen-elemen terjadi sesuai dengan proporsi-proporsi tertentu. Dalton[243] mendasarkan hukum ini pada gagasan bahwa materi terdiri dari partikel-partikel kecil yang tak terbagi. Adalah jelas bahwa hukum tersebut hanya berlaku pada lapangan tertentunya, seperti hukum kimiawi, dan tidak mungkin problem filosofis dipecahkan dengan hukum tersebut. Karena, yang dapat dijelaskannya adalah bahwa reaksi-reaksi dan kombinasi-kombinasi kimiawi tidak mungkin berlangsung kecuali di antara kuantitas-kuantitas tertentu elemen-elemen dan dalam situasi-situasi dan kondisi-kondisi tertentu. Nah, jika tidak ada kuantitas-kuantitas dan proporsi-proporsi tertentu, maka tidak terdapat reaksi dan kombinasi. Tetapi, hukum ini tidak menjelaskan apakah kuantitas-kuantitas itu dapat dibagi atau tidak. Jadi, kita harus membedakan antara segi kimiawi hukum tersebut dan segi filosofisnya. Dari segi kimiawi, ia menetapkan bahwa karakteristik reaksi kimiawi terdapat pada kuantitas-kuantitas tertentu, dan tidak mungkin terjadi pada kuantitas-kuantitas yang lebih kecil. Sedangkan dari segi filosofis, hukum tersebut tidak menetapkan apakah kuantitas-kuantitas tersebut adalah bagian-bagian yang tidak terbagi atau tidak. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan segi kimiawi hukum itu. (2) Tahap pertama fisika atom, yang di dalamnya terjadi penemuan atom. Menurut sementara pakar fisika, fisika pada tahap ini telah mengakhiri pertentangan mengenai persoalan bagian yang tak terbagi, karena ia mengungkapkan bagian tersebut dengan metode-metode ilmiah. Tetapi, adalah jelas, berdasarkan uraian di atas, pengungkapan itu tidak menetapkan bagian yang tak terbagi, dalam arti filosofis. Fakta bahwa analisis ilmiah sampai pada atom yang tidak dapat dibagikan tidak berarti bahwa atom itu tidak dapat dibagi. (3) Tahap kedua fisika atom yang, tidak seperti tahap pertama, dianggap sebagai bukti pasti tentang tidak adanya bagian yang tak terbagi. Karena, ilmu pengetahuan, pada tahap kedua ini dapat membagi dan memecah atom. Dengan demikian, tumbanglah gagasan tentang bagian tak terbagi. Tahap ini sama dengan tahap sebelumnya, karena tahap ini tidak berkaitan dengan persoalan tentang bagian yang tak terbagi dari segi filsafat. Hal itu karena keterbagian atom atau pemecahan intinya hanya mengubah gagasan kita tentang bagian, dan sama sekali tidak menumbangkan teori bagian yang tak terbagi. Atom, yang tidak terbagi, dalam arti yang tidak dapat dikonsepsikan Demokritus, atau dalam arti yang atas dasarnya Dalton [244] membuat hukum proporsi-proporsi dalam kimia, telah lenyap akibat pecahnya atom. Hal ini tidak berarti bahwa problem itu telah berakhir. Satuan-satuan primer dalam alam materi (yaitu muatan-muatan listrik, baik dalam bentuk atom, benda-benda material, maupun dalam bentuk gelombang) dapat dipertanyakan secara filosofis: “Apakah ia dapat dibagi atau tidak?”
Bagian Menurut Filsafat
Demikianlah, studi kita
telah memperjelas bahwa problem bagian harus dipecahkan dengan metode filsafat.
Filsafat memiliki banyak metode untuk membuktikan secara filosofis bahwa setiap
satuan dapat dibagi dan bahwa tidak ada bagian yang tidak terbagi. Salah satu
metode yang paling jelas tersebut adalah menggambar dua lingkaran seperti
penggilingan (stonemill), yang satu di antaranya berada di dalam yang lain,
dengan titik sentral dalam penggilingan tersebut adalah sentra kedua di
lingkaran tadi. Lalu kita buat suatu titik di posisi tertentu pada keliling
lingkaran yang besar itu, dan titik yang paralel dengannya pada keliling
lingkaran yang kecil. Adalah jelas bahwa jika kita menggerakkan penggilingan
tersebut, maka bergeraklah kedua lingkaran tadi.
Nah, kita gerakkan
penggilingan itu maka titik yang kita letakkan pada lingkaran besar itu
bergerak sesuai dengan bergeraknya penggilingan, tetapi jangan biarkan titik
ini bergerak kecuali kalau salah satu satuan materi itu bergerak. Kemudian kita
perhatikan titik paralel dalam lingkaran kecil, dan kita pertanyakan: “Apakah
ia menempuh jarak yang sama dengan yang ditempuh oleh titik paralel pada
lingkaran besar, yakni satu satuan menyeluruh, atau apakah ia telah menempuh
sebagian dari jarak itu?” Kalau ia telah menempuh jarak yang sama, maka berarti
bahwa kedua titik itu menempuh jarak yang sama, dan ini adalah mustahil. Karena
kita tahu bahwa semakin jauh titik itu dari pusat utama lingkaran, geraknya
semakin cepat. Karenanya, pada setiap putaran, ia menempuh jarak yang lebih
panjang daripada yang ditempuh titik yang lebih dekat dengan lingkaran tersebut
pada putaran yang sama. Karena itu tidak mungkin kedua titik itu menempuh jarak
yang sama. Jika, sebaliknya, titik yang lebih dekat menempuh satu bagian dari
jarak yang ditempuh titik yang jauh, maka ini berarti bahwa satuan yang dilalui
titik jauh itu dapat dibagi dan dipecah, dan bukanlah satuan yang tidak dapat
dibagi. Demikian menjadi jelas bahwa para pendukung satuan yang tak terbagi
berada dalam posisi yang sulit. Karena, mereka tidak bisa menganggap titik jauh
dan dekat itu sama atau berbeda dalam kuantitas gerak. Tidak ada yang
tertinggal bagi mereka selain mengklaim bahwa titik paralel dalam lingkaran
kecil itu diam dan tidak bergerak. Dan kita semua tahu bahwa seandainya
lingkaran yang dekat dengan pusat diam pada saat lingkaran besar itu bergerak,
tentu akibatnya adalah lepasnya bagian-bagian penggilingan tersebut.
Argumen ini menjelaskan kepada kita bahwa satuan material apa pun yang kita asumsikan itu dapat dibagi. Karena, ketika titik yang jauh dari sentra melintasi unit ini dalam geraknya, titik yang dekat itu melintasi satu bagian darinya. Nah, jika satuan material dapat dibagi dan dipisah, maka ia tersusun dari suatu materi sederhana yang adalah pusat dapat dibaginya dan kerapat-padatannya yang membentuk unitasnya. Demikianlah, menjadi jelas bahwa satuan-satuan alam materi itu tersusun dari materi dan bentuk.
Kesimpulan Filsafat
Ketika paham filosofis
tentang materi, yang menuntut sesuatu itu tersusun dari materi dan bentuk
terkristalkan, tahulah kita bahwa materi filosofis itu sendiri [245]
tidak mungkin menjadi penyebab pertama alam; karena, ia tersusun dari materi
dan bentuk. Dan keberadaan masing-masing materi dan bentuk itu tidak mungkin
saling terlepas satu dari yang lain. Maka, harus ada satu lantaran yang
mendahului proses penyusunan tersebut, yaitu yang merealisasikan keberadaan
unit-unit material tersebut.
Dengan kata lain, penyebab pertama adalah hal pertama dalam rantai keberadaan. Rantai keberadaan mesti bermula dengan yang pada esensinya niscaya, sebagaimana telah kita ketahui dalam bab terdahulu. Jadi, sebab pertama adalah yang pada esensinya niscaya. Dengan demikian sebab pertama harus tidak membutuhkan sesuatu lain dalam keberadaannya. Adapun unit-unit primer materi, mereka bukan tidak membutuhkan sebab eksternal dalam keberadaannya, karena maujud mereka terdiri atas materi dan bentuk. Mereka membutuhkan keduanya sekaligus. Masing-masing materi dan bentuk itu membutuhkan satu sama lain untuk maujud. Dari seluruh uraian di atas tahulah kita bahwa sebab pertama berada di luar batas-batas materi, dan bahwa materi filsafat alam – yang dapat rapat dan dipisah – itu membutuhkan suatu sebab luar yang menentukan keberadaannya yang terus menerus atau terputus.
Materi dan Gerak
Materi itu berada dalam
gerak dan perkembangan terus-menerus. Ini adalah fakta yang sama-sama kita
sepakati. Dan materi membutuhkan sebab yang menggerakkannya. Ini adalah fakta lain
yang diterima tanpa perdebatan. Permasalahan paling mendasar di dalam filsafat
gerak adalah: Apakah materi yang bergerak itu dapat menjadi sebab geraknya?
Dengan kata lain, yang bergerak adalah subjek gerak, dan penggerak adalah sebab
gerak. Nah, apakah mungkin hal yang sama dalam masalah yang sama menjadi subjek
gerak dan sekaligus sebab gerak?
Filsafat metafisika menjawab persoalan tersebut dengan menegaskan bahwa adalah niscaya berbilangnya yang bergerak dan penggerak. Karena, gerak adalah perkembangan dan penyempumaan berangsur-angsur sesuatu yang kurang, dan tidak mungkin sesuatu yang kurang itu sendiri berkembang dan menyempurnakan dirinya secara berangsur-angsur, karena sesuatu yang kurang tidak mungkin menjadi sebab kesempurnaan. Atas dasar ini, di dalam paham filosofis tentang gerak dibuat kaidah penggerak dan yang bergerak. Berdasarkan kaidah tersebut, kita dapat mengetahui bahwa sebab gerak berkembang materi pada substansinya bukanlah materi itu sendiri. Tetapi, ia adalah suatu sebab di luar materi yang memberi materi perkembangan kontinyu, dan yang memberi materi gerak linier dan kesempurnaan berangsur-angsur. Materialisme dialektik tidak seperti ini. Ia tidak mengakui dualitas antara materi bergerak dan sebab gerak, tetapi, ia menganggap materi itu sendiri sebagai sebab gerak dan perkembangannya sendiri. Jadi, ada dua penafsiran tentang gerak. (1) Dalam penafsiran dialektik, yang menganggap materi itu sendiri sebagai sebab gerak, materi adalah sumber paling primer perkembangan menyempurna. Ini mengharuskan dialektika mengatakan bahwa materi pada esensinya melibatkan tahap-tahap dan penyempurnaan-penyempurnaan yang dicapai gerak dalam perjalanannya yang dapat diperbarui. Misteri di balik fakta bahwa dialektika dituntut untuk mengatakan itu adalah (kebutuhannya) untuk membenarkan penafsiran material terhadap gerak. Karena, sebab atau sumber gerak pada esensinya melibatkan perkembangan dan penyempurnaan yang diberikannya kepada gerak. Lagi pula, karena, menurut dialektika, materi adalah sebab geraknya sendiri dan mendorongnya berkembang, tentu dialektika harus mengakui bahwa materi memiliki karakteristik-karakteristik sebab-sebab, dan menganggapnya sebagai pada esensinya melibatkan semua kontradiksi yang berangsur-angsur dicapai gerak; sehingga ia dapat menjadi sumber penyempurnaan dan menjadi pemberi primer gerak. Itulah sebabnya dialektika mengakui kontradiksi sebagai hasil musti dari progresi filosofisnya. Ia menolak prinsip non-kontradiksi dan mengklaim bahwa kontradiksi-kontradiksi selamanya berada dalam kandungan internal, dan karena sumber internal ini materi menjadi sebab gerak dan menyempurna. (2) Penafsiran teologik tentang gerak. Ia memulai dengan mempertanyakan kontradiksi-kontradiksi ini yang diduga dialektika sebagai terkandung dalam materi. Apakah kontradiksi-kotradiksi itu maujud di dalam materi secara aktual, atau maujud di dalamnya secara potensial? Yang pertama (ada secara aktual) sama sekali ditolak, karena kontradiksi-kontradiksi tidak mungkin, berdasarkan prinsip non-kontradiksi, bersama-sama secara aktual. Kalau mereka bersama-sama secara aktual, tentu diamlah materi itu. Adapun yang kedua, yakni bahwa kontradiksi-kontradiksi tersebut maujud (dalam materi) secara potensial. Arti “keberadaan potensial mereka” adalah bahwa materi memiliki kapasitas untuk menerima perkembangan berangsur-angsur, dan kemungkinan untuk penyempurnaan linier melalui gerak. Ini berarti bahwa kandungan internal materi itu kosong dari segala sesuatu selain kapasitas. Gerak, berdasarkan hal ini, adalah suatu keberangkatan berangsur-angsur dari potensialitas ke aktualitas dalam perkembangan yang terus menerus. Materi bukanlah sebab gerak, karena materi kosong dari tingkat-tingkat penyempurnaan yang dicapai melalui tahap-tahap perkembangan dan gerak, dan tidak mengandung apa-apa selain kemungkinan dan kapasitas untuk tingkat-tingkat penyempurnaan ini. Jadi, tidak bisa tidak harus mencari sebab gerak substansial materi dan sumber primer gerak ini di luar batas-batas materi. Dan tidak bisa tidak bahwa sebab itu adalah Allah SWT, Yang secara esensial memiliki segala derajat kesempurnaan.
Materi dan Perasaan
(Al-Wijdan)
Posisi kita terhadap alam,
yang penuh dengan bukti-bukti maksud, tujuan dan pengaturan, adalah seperti posisi
seorang pekerja yang dalam penggalian-penggaliannya menemukan sistem-sistem
sensitif yang tersimpan di dalam bumi. Pekerja itu tidak akan pernah meragukan
bahwa di sana ada “tangan pengrajin” yang menyusun sistem-sistem tersebut
dengan sangat teliti dan tekun untuk merealisasikan tujuan-tujuan tertentu
melalui sistem-sistem itu. Semakin sang pekerja tersebut mengetahui fakta-fakta
baru tentang ketelitian pembuatan sistem-sistem tersebut, dan tanda-tanda
artistik dan kreasi-kreasi di dalamnya, semakin ia meninggikan seniman yang
menciptakan sistem-sistem tersebut, dan semakin ia menghargai kecemerlangan dan
intelek sang seniman. Demikian pula, kita berada pada posisi seperti itu yang
diilhamkan watak manusia dan sentimennya berkenaan dengan alam secara umum,
yang mencari dan rahasia-rahasia dan tanda-tanda alam ilham tentang keagungan
Pencipta yang Arif Yang telah menciptakannya, dan tentang sublimitas intelek
yang memunculkan alam.
Jadi, alam adalah suatu potret artistik yang luar biasa, sementara ilmu-ilmu alam adalah sarana-sarana manusia yang mengungkapkan corak-corak kreativitas dalam potret tersebut, yang menyingkapkan rahasia-rahasia artistiknya, dan yang membekali hati manusia secara umum dengan bukti demi bukti tentang adanya Pencipta yang Maha Pengatur dan Mahabijaksana serta tentang keagungan dan kesempurnaanNya. Setiap kali ilmu-ilmu tersebut mendapatkan kemenangan dan berbagai lapangan, atau mengungkapkan suatu rahasia, maka mereka memberi metafisika kekuatan baru dan memberi manusia bukti baru tentang keagungan Yang Maha Pencipta yang telah menciptakan dan mengorganisasikan potret abadi tersebut dengan sesuatu yang membuat rasa kagum, takjub dan mengkuduskan. Demikianlah, fakta-fakta yang diumumkan ilmu modern tidak meninggalkan ruang untuk meragukan permasalahan Ilahi Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana. Jadi, jika bukti-bukti filsafat memenuhi pikiran dengan keyakinan dan penerimaan, maka penemuan-penemuan ilmiah modern memenuhi jiwa dengan kepercayaan dan keimanan terhadap Allah SWT, dan penafsiran metafisika tentang prinsip-prinsip pertama keberadaan.
Materi dan Fisiologi
Ambillah (sebuah contoh)
fisiologi manusia dengan fakta-faktanya yang dahsyat, dan bacalah keagungan dan
ketelitian-Nya dalam rincian-rincian yang diuraikan fisiologi dan
misteri-misteri yang dijelaskannya. Sistem pencernaan, misalnya, adalah pabrik
kimiawi terbesar di alam dengan berbagai caranya menganalisis secara kimiawi
berbagai makanan yang dahsyat, dan mendistribusikan elemen-elemen nutritif yang
tepat-guna secara adil kepada bermilyar-milyar sel hidup yang darinya tubuh
manusia tersusun. Setiap sel menerima nutritien menurut kadar kebutuhannya.
Nutritien-nutritien ini lalu berubah menjadi tulang, rambut, gigi, kuku, safar,
(dan seterusnya) sesuai dengan rencana tertentu bagi fungsi-fungsi yang
dibebankan pada sel-sel ini di dalam suatu sistem yang tiada yang lebih teliti
dan hebat lagi selain ini.
Begitu memandang sel-sel hidup tersebut, yang mengandung rahasia kehidupan, jiwa menjadi penuh dengan kekaguman atas adaptasi sel terhadap tuntutan-tuntutan situasi dan kondisinya. Seolah-olah setiap sel mengetahui struktur anggota tubuh yang untuk melestarikannya sel tersebut bekerja sama dengan seluruh sel yang membentuk anggota tubuh tersebut. Sel itu seolah-olah tahu fungsi anggota tubuh dan tahu harus bagaimana anggota tubuh itu. Sistem indera penglihatan, yang kecil ukurannya, tidak kurang indah dan cermat dibandingkan sistem pencernaan, dan tidak kurang dari bukti kehendak yang sadar dan akal pencipta. Ia tersusun dengan sedemikian teliti dan sempurna. Penglihatan tak mungkin berlangsung tanpa satu bagian pun dari sistem ini. Retina, misalnya, yang atasnya lensa merefleksikan cahaya tersusun dari sembilan lapisan yang terpisah, meski tebalnya tidak melebihi kertas yang tipis. Dan lapisan terakhir tersusun dari 30 juta rod [246] dan 3 juta cone. [247] Rod dan cone itu terorganisasikan secara rapi dan luar biasa. Tetapi cahaya terepresentasikan pada retina secara terbalik: Ituah sebabnya Tuhan berkehendak agar sistem penglihatan di balik retina diberi berjuta-juta sac urat saraf yang bertanggung jawab atas perubahan-perubahan kimiawi tertentu yang akhirnya membawa ke penggapaian imaji dalam posisinya yang benar. Nah, apakah mungkin perencanaan kolosal ini, yang menjamin proses penglihatan termasuk aksi-aksi terbaik materi, tanpa kesengajaan, padahal menemukannya saja membutuhkan usaha-usaha pemikiran yang kuat?
Materi dan Biologi
Selanjutnya, ambillah
biologi atau ilmu hayat. Anda akan menemukan rahasia lain dari rahasia-rahasia
ilahiah yang besar, yaitu rahasia kehidupan, yang memenuhi hati manusia dengan
kepercayaan terhadap paham teologis dan dengan keyakinan kuat tentangnya.
Berdasarkan biologi, tumbanglah teori reproduksi diri yang telah mendominasi
benak materialis, dan yang telah diterima orang-orang yang latah dan awam
secara umum. Mereka mengemukakan beberapa contoh, untuk membuktikannya, seperti
cacing yang terbentuk dalam isi perut (intestines) atau dalam sekerat daging
yang diudarai, maupun contoh lain yang diilhami oleh kenaifan pemikiran
materialistik. Hal-hal seperti itu, menurut mereka, tampak tereproduksi sendiri
dalam keadaan-keadaan alam spesifik, dan tanpa memaujud dari makhluk-makhluk
hidup lain. Namun eksperimen-eksperimen ilmiah yang pasti membuktikan batalnya
teori ini, dan bahwa cacing tidaklah lahir dari germ kehidupan yang dikandung
sepotong daging tersebut.
Kemudian materialisme memulai usahanya lagi untuk menegakkan teori reproduksi-diri ketika Anton van Leeuwenhoek [248] menciptakan mikroskop komposit pertama. Dengan alat itu, ia menemukan alam baru organisme-organisme kecil. Dan mikroskop itu dapat membuktikan bahwa setetes air hujan tidak mengandung germ. Tetapi, germ tersebut terproduksi setelah tetes air hujan itu menyentuh bumi. Lantas kaum materialis meneriakkan suara mereka dan bergembira atas kemenangan baru di lapangan mikrobiologi, setelah tak mampu mengesampingkan sperma, dan menegakkan teori reproduksi-diri dalam hewan-hewan yang terlihat dengan mata telanjang. Demikianlah, mereka kembali ke lapangan tersebut, tetapi (saat ini, perselisihan mereka adalah) pada tingkat yang lebih rendah. Dan perbedaan sekitar formasi kehidupan antara kaum materialis dan lainnya berlangsung sampai pada abad ke-19, ketika Louis Pasteur mengakhiri konflik tersebut. Ia, dengan eksperimen-eksperimennya, membuktikan bahwa germ dan mikroba-mikroba yang hidup di air adalah entitas-entitas organik yang berdiri sendiri, yang datang ke air dari luar, dan kemudian beranak pinak di dalamnya. Sekali lagi, kaum materialis berupaya bergantung pada angan-angan ilusif. Lantas mereka meninggalkan lapangan-lapangan yang di tempat itu mereka menemui kegagalan, dan bergerak ke lapangan baru: yaitu lapangan fermentasi. Dalam lapangan ini, sebagian dari mereka berupaya menerapkan teori reproduksi-diri pada entitas-entitas organik mikroskopik yang merupakan sebab fermentasi. Tetapi, upaya ini segera kembali gagal, seperti usaha-usaha sebelumnya. Hal itu diungkapkan Pasteur, ketika ia menunjukkan bahwa fermentasi tidak terjadi pada materi jika terisolasi dari (dunia) luar. Tetapi, fermentasi terjadi karena perpindahan entitas-entitas organik tertentu kepadanya dan reproduksi mereka di dalamnya. Demikianlah, pada akhir analisis, tampak berlaku pada berbagai hewan, bahkan hewan-hewan terkecil yang tidak mungkin dilihat dengan mikroskop biasa, bahwa kehidupan tidak lahir kecuali dari kehidupan, dan bahwa sperma, bukan reproduksi-diri, adalah hukum umum yang berlaku di dunia makhluk hidup. Kaum materialis berada pada posisi yang sulit berkenaan dengan kesimpulan yang pasti ini. Karena, jika teori reproduksi-diri tumbang, berdasarkan riset ilmiah, maka bagaimana mereka dapat menerangkan adanya kehidupan di atas bumi? Apakah masih ada jalan bagi hati manusia, setelah itu, untuk menutup mata terhadap realitas ilahiah yang jelas ini yang mempercayakan rahasia kehidupan kepada sel-sel atau sel primer? Kalau tak demikian, mengapa alam berpaling untuk selama-lamanya dari proses reproduksi-diri? Hal ini berarti bahwa jika penafsiran materialistik terhadap sel primer kehidupan melalui reproduksi-diri itu benar, maka bagaimana materialisme dapat menerangkan tidak berulangnya reproduksi-diri di dalam alam dengan perjalanan panjang zaman? Sungguh, itu adalah pertanyaan yang membingungkan bagi kaum materialis. Dan adalah aneh bahwa seorang ilmuwan Soviet, Obern, [249] menjawabnya dengan kata-kata: “Kalau adanya kehidupan itu melalui interaksi material yang panjang masih mungkin terjadi di dalam planet-planet lain selain planet kita, planet bumi, maka di planet ini tidak ada tempat baginya, karena reproduksi di sini terjadi pada tingkat yang lebih cepat dan lebih pendek (daripada tingkat produksi kehidupan melalui interaksi material), yaitu reproduksi manusia melalui perkawinan. Hal itu karena interaksi yang baru menggantikan interaksi primitif biologis dan kimiawi, yang membuatnya tidak niscaya.” [250] Inilah jawaban lengkap Obern terhadap masalah tersebut. Sungguh suatu jawaban yang aneh. Cobalah Anda lihat, bagaimana ia menjadikan alam tidak membutuhkan operasi reproduksi-diri, karena operasi ini menjadi tidak niscaya setelah alam menemukan cara yang lebih cepat dan pendek untuk mereproduksi kehidupan. Ia seolah-olah berbicara tentang suatu kekuatan berakal yang sadar yang meninggalkan operasi yang sulit setelah ia dapat mencapai tujuan melalui cara yang lebih mudah. Tetapi, kapan alam meninggalkan hukum-hukumnya untuk maksud itu? Dan apabila reproduksi-diri terjadi terlebih dahulu, sesuai dengan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan tertentu, sebagaimana air terlahir dari susunan kimiawi tertentu antara oksigen dan hidrogen, maka adalah niscaya bahwa reproduksi tersebut berulang-ulang sesuai dengan hukum dan ketentuan tersebut, sebagaimana adanya air berulang-ulang selama ada faktor-faktor kimiawi tertentu, baik air itu niscaya atau tidak. Karena, keniscayaan dalam arti alam tidak lain adalah keniscayaan yang dimunculkan oleh hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan alam. Nah, dengan sebab apakah hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan tersebut berbeda?
Materi dan Genetika
Mari kita beralih ke
genetika, yang memukau pikiran manusia, dan yang kepadanya manusia menunduk
dengan hormat. Betapa mencengangkan ketika kita mengetahui bahwa segenap
warisan organik individu terkandung dalam materi inti-atom hidup (protoplasma) [251]
sel-sel reproduktif, dan bahwa segala sifat turunan itu dihasilkan oleh
segmen-segmen mikroskopik yang sangat kecil (dari materi ini), yaitu gen-gen
yang dikandung materi hidup tersebut dengan tepat dan teratur. Ilmu pengetahuan
telah menjelaskan bahwa materi tersebut tidak dihasilkan dari sel-sel jasmani,
tetapi dari protoplasma kedua orangtua, kakek-nenek dan seterusnya. Berdasarkan
itu, tumbanglah ilusi Darwinisme. Berdasarkan ilusi ini Darwin mendirikan teori
evolusi dan progresi. Teori ini menyatakan bahwa perubahan-perubahan dan
sifat-sifat yang terjadi pada hewan di tengah kehidupannya – apakah sebagai
hasil pengalaman dan latihan atau hasil interaksi dengan lingkungan atau jenis
tertentu makanan – kiranya berpindah melalui pewarisan kepada anak turunannya.
Karena sudah terbukti, berdasarkan pembedaan antara sel-sel jasmani dan sel-sel
reproduktif, bahwa sifat-sifat itu tidak dapat diwariskan. Itulah sebabnya para
pendukung teori evolusi dan progresi harus meninggalkan hampir semua asas dan
rincian Darwinisme, dan menyodorkan hipotesis baru di dalam lapangan
perkembangan organik. Yaitu hipotesis berkembangnya spesies-spesies melalui
mutasi-mutasi. Para ilmuwan dewasa ini tidak memiliki dukungan ilmiah bagi
teori tersebut, selain observasi terhadap beberapa wujud perubahan mendadak
dalam sejumlah kasus. Hal ini menuntut asumsi bahwa spesies hewan itu
berkembang dari mutasi-mutasi ini, meskipun fakta bahwa mutasi-mutasi yang
terdeteksi dalam bahwa tidak sampai membentuk berbagai perubahan mendasar, dan
bahwa sebagian dari perubahan-perubahan mendadak itu tidak diwariskan.
Kami tidak hendak membahas teori tersebut. Tetapi, kami bermaksud memaparkan proses turun-temurun itu dan kekuatan yang menakjubkan dalam gen-gen yang kecil itu, yang mengarahkan semua sel tubuh dan memberi hewan sebentuk personalitas dan sifat-sifat hewan. Nah, apakah mungkin, menurut perasaan manusia, bahwa semua itu terjadi secara kebetulan?
Materi dan Psikologi
Akhirnya, mari kita telaah
sebentar psikologi, untuk melihat lapangan baru kreativitas ilahi. Terutama mari
kita perhatikan salah satu permasalahan jiwa, yakni permasalahan instink yang
menerangi jalan hewan dan yang memandu langkah-langkahnya. Instink ini adalah
tanda yang jelas di hati bahwa membekali hewan dengan instink-instink tersebut
adalah tindakan satu pengatur yang bijaksana, dan bukan suatu kebetulan yang
begitu saja. Kalau tidak, siapa yang mengajarkan kepada lebah cara membangun
sarangnya yang berbentuk segi enam, dan mengajar ikan-ikan membangun tanggul
sungai, dan mengajar semut melakukan hal-hal yang dahsyat di dalam membangun
rumah-rumahnya? Ya, siapa yang mengajar belut untuk tidak bertelur kecuali di
tempat tertentu di dasar laut, di mana kandungan kadar garam di dalamnya hampir
35 persen, dan jarak dari permukaan laut tidak kutang dari 1.200 kaki? Belut
menyimpan telur-telurnya di tempat seperti itu, karena telurnya tidak akan
menetas kecuali dengan terpenuhinya kedua syarat tersebut.
Ada sebuah kisah menarik tentang seorang ilmuwan yang membuat suatu sistem tertentu yang dilengkapi dengan panas, uap air, dan dengan segala syarat lain yang diperlukan dalam proses alami untuk melahirkan anak ayam dari telur. Di dalam sistem itu, ia letakkan telur agar menghasilkan ayam. Tetapi, ia tidak memperoleh hasil yang dikehendaki. Lantas tahulah dari situ bahwa studinya terhadap kondisi-kondisi reproduksi alam itu tidak memadai. Ia kemudian melakukan eksperimen-eksperimen lain terhadap ayam ketika ayam itu mengerami telurnya. Setelah observasi-observasi dan tes-tes yang sangat cermat, ia menemukan bahwa ayam tersebut dalam saat-saat tertentu mengubah posisi telur dan membolak-balikkannya dari satu sisi ke sisi lain. Lantas, sekali lagi, ia melakukan eksperimen dalam sistem khususnya dengan memberlakukan proses yang dilakukan sang ayam tadi. Maka, eksperimen itu mendapatkan keberhasilan yang sedemikian. Nah, katakanlah dengan hati nurani Anda, siapakah yang mengajarkan kepada ayam itu rahasia ini yang tersembunyi dari ilmuwan besar tersebut? Atau siapakah yang mengilhami ayam itu dengan aksi yang bijak tersebut, yang proses reproduksi tidak akan dapat berlangsung tanpa aksi itu? Kalau kita hendak mempelajari instink-instink secara lebih mendalam, kita harus membentangkan teori-teori terpenting, kemudian menganalisis dan menerangkannya. Dan teori-teori semacam itu banyak. Teori pertama: hewan mendapatkan petunjuk untuk melakukan perbuatan-perbuatan instinktif sesudah melakukan banyak usaha dan pengalaman. Maka ia pun terbiasa dengan perbuatan-perbuatan tersebut; dan karena itu, perbuatan tersebut menjadi tradisi warisan yang diwariskan dari orangtua kepada anak tanpa ada tempat untuk kekuatan adi-alami dalam mengajari mereka perbuatan-perbuatan tersebut. Teori ini terdiri atas dua bagian. Yang pertama adalah bahwa hewan, pertama-tama, mencapai aksi instinktif melalui coba-coba dan pengalaman; yang kedua adalah bahwa perbuatan itu dialihkan ke generasi-generasi berikutnya, sesuai dengan hukum hereditas. Dan tidaklah mungkin menerima kedua bagian tersebut. Bagian pertama dari teori itu tidaklah benar. Karena, arti hewan mengesampingkan coba-coba yang salah dan ia mengambil dan mempertahankan coba-coba yang berhasil berarti bahwa hewan itu mengetahui keberhasilan coba-coba yang kedua dan kesalahan coba-coba yang pertama. Tetapi ini tidak mungkin dinisbahkan kepada hewan tersebut, terutama jika keberhasilan usaha itu tidak tampak kecuali setelah matinya hewan tersebut, seperti pada kupu-kupu ketika sampai pada periode ketiga dari kehidupan. (Sebelum tahap ini) ia bertelur di atas daun-daun hijau dalam lingkaran-lingkaran. Telurnya hanya menetas pada msim ketiga. Ia muncul dalam bentuk belatung kecil, di saat sang induk telah mati. Nah, bagaimana kupu-kupu dapat mengetahui keberhasilan pekerjaan yang dilakukannya dan mengetahui bahwa dengan perbuatan itu ia telah menyiapkan sumber besar makanan bagi anaknya, padahal ia tidak menyaksikan hal itu? Jika benar bahwa instink adalah produk pengalaman, tentu hal itu meniscayakan perkembangan, penyempurnaan dan penguatan instink-instink hewan-hewan berdasarkan coba-coba dan pengalaman lain di sepanjang sejarah. Tetapi tidak satu pun dari hal itu terjadi. Sedangkan bagian kedua dari teori tersebut didasarkan pada pemikiran yang menyatakan pindahnya sifat-sifat yang didapatkan melalui hereditas. Tetapi gagasan ini telah tumbang di hadapan teori-teori baru di dalam ilmu genetika, seperti telah kami singgung di atas. Misalkan hukum hereditas mencakup tradisi-tradisi yang didapatkan – meskipun sebagian darinya dilakukan hewan hanya sekali atau beberapa kali dalam hidupnya – maka bagaimana mungkin perbuatan instinktif menjadi tradisi yang diwariskan. Teori kedua memulai sebagaimana teori pertama memulai. Ia beranggapan bahwa hewan dipandu ke perbuatan instinktif melalui coba- coba yang berulang-ulang. Tindakan seperti itu pindah ke generasi-generasi berikutnya, bukan melalui hereditas, tetapi melalui instruksi dan pengajaran yang dapat dijangkau hewan. Keberatan kami terhadap bagian pertama teori terdahulu juga berlaku pada teori yang sedang dibahas ini. Tetapi keberatan berkenaan dengannya secara khusus menyangkut klaimnya mengenai perpindahan aksi instinktif melalui instruksi dan pengajaran. Klaim ini tidak sesuai dengan realitas, meskipun kita menisbahkan kemampuan memahami kepada hewan. Karena, sejumlah instink tampak pada hewan sejak awal adanya, (yaitu) sebelum ada kesempatan apa pun untuk mengajarnya. Bahkan hewan-hewan kecil dilahirkan justru setelah induknya mati, dan mereka memiliki instink-instink yang dimiliki spesies mereka. Sebagai contoh, belut. Ia berpindah dari berbagai empang dan sungai ke kedalaman yang tak terukur untuk bertelur. Dalam migrasinya ia menempuh jarak beribu-ribu mil, hanya untuk memilih tempat yang sesuai. Lantas ia bertelur dan mati. Dan lahirlah si kecil yang setelah itu kembali ke pantai yang dari sana induknya datang. Si kecil seolah-olah benar-benar mcmpelajari dan mengetahui peta alam. Nah, dari tangan siapa belut kecil itu menerima pelajaran geografi? Teori ketiga diproklamasikan oleh aliran behaviorisme dalam ilmu jiwa, yang mencoba menganalisis tingkah laku hewan secara umum ke dalam unit-unit aksi refleksif. Ia menafsirkan bahwa instink adalah senyawa-senyawa kompleks dari unit-unit tersebut, yaitu rantai perbuatan-perbuatan reneksif yang sederhana. Jadi, (aksi) instink tidak lebih merupakan semacam gerak menarik tangan ketika tertusuk jarum, atau memicingnya mata ketika silau oleh cahaya yang sangat kuat. Hanya saja kedua perbuatan itu refIeksif dan sederhana, sementara instink itu komposit dan refleksif. Penafsiran mekanik terhadap instink ini tidak mungkin diambil, karena berbagai bukti. Antara lain bahwa gerak yang secara mekanik-refleksif itu hanya disebabkan oleh sebab eksternal, sebagaimana dalam pemicingan mata yang disebabkan oleh cahaya yang menyilaukan. Padahal beberapa perbuatan instinktif tidak memiliki sebab eksternal. Lantas apa yang membuat hewan mencari makanannya sejak ia lahir, dan berusaha keras mendapatkannya? Lagi pula, perbuatan-perbuatan yang refleksif secara mekanik tidak akan melibatkan pencerapan dan kesadaran. Padahal, observasi terhadap perbuatan-perbuatan instinktif membekali kita dengan bukti-bukti pasti tentang pencerapan dan kesadaran yang terlibat di dalam perbuatan itu. Salah satu bukti itu adalah eksperimen yang dilakukan terhadap tingkah laku lalat kuda (hornet) yang membangun sarangnya dari sejumlah tertentu sel sarang lebah. Orang yang melakukan eksperimen itu berharap bahwa lalat itu akan menyempurnakan pekerjaannya di dalam sel sarang lebah tertentu, kemudian orang yang bereksperimen itu merobeknya dengan jarum. Nah, ketika lalat itu mendapatkan bahwa seorang manusia telah merusak karyanya, ia membangun kembali sarang berikutnya. Sang peneliti mengulang-ulang eksperimennya berkali-kali. Setelah itu, ia yakin bahwa suksesi tingkah laku instinktif bukanlah bersifat mekanik. Dan sang peneliti memperhatikan bahwa lalat itu kembali dan melihat bahwa sarang yang sudah selesai itu telah rusak, ia membuat gerakan tertentu dan mengeluarkan suara-suara tertentu yang menunjukkan perasaan marah dan kesalnya. Sesudah teori meterialisme ini tumbang, tinggallah dua penafsiran tentang instink. Pertama, bahwa perbuatan instinktif itu adalah produk kesengajaan dan kesadaran. Hanya saja tujuan hewan bukanlah kegunaan-kegunaan yang akurat yang dihasilkan dari perbuatan-perbuatan itu, tetapi kenikmatan langsung dalam perbuatan instinktif itu sendiri. Artinya, hewan itu terkomposisi sedemikian sehingga ia merasa nikmat dengan melakukan perbuatan-perbuatan instink tersebut, yang sekaligus memberinya manfaat sebesar-besarnya. Kedua, bahwa instink adalah ilham supernatural, bersifat ilahiah, dan lagi, penuh misteri. Hewan dibekali dengan ilham tersebut sebagai pengganti kecerdasan dan akal yang tidak dimilikinya. Entah penafsiran pertama atau penafsiran kedua yang benar, bukti-bukti kesengajaan dan pengaturan adalah jelas bagi hati manusia. Kalau tidak, bagaimana dapat terjadi kesesuaian yang sempurna antara perbuatan-perbuatan instinktif dan kemaslahatan-kemaslahatan yang sangat akurat yang tersembunyi dari hewan tersebut? Sampai di sini kita berhenti. Bukan lantaran bukti-bukti ilmu pengetahuan atas posisi teologis telah habis. Bahkan bukti-bukti itu takkan habis walaupun disusun berjilid-jilid besar buku, tetapi lantaran prosedur buku ini menghendaki demikian. Setelah kami mengemukakan bukti-bukti tentang keberadaan kekuatan pencipta lagi bijak, mari kita menoleh kepada hipotesis materialisme, agar kita mengetahui, berdasarkan bukti itu, sejauh mana kenaifan dan kerancuannya. Ketika hipotesis ini menyatakan bahwa alam semesta, termasuk khazanah tatanan dan keindahan kreasi dan formasinya yang misterius, diwujudkan oleh sebab yang tak memiliki kebijaksanaan dan kesengajaan, kenaifan dan keanehannya melebihi beribu-ribu kali kenaifan seseorang yang menemukan diwan [252] tebal dari puisi pilihan dan terbaik, atau menemukan buku ilmiah yang penuh dengan misteri-misteri dan penemuan-penemuan, lantas mengklaim bahwa seorang bayi telah memainkan pena di atas kertas, maka tersusunlah huruf-huruf secara kebetulan, dan jadilah dari susunan huruf-huruf itu sejumlah puisi atau sebuah buku ilmiah. Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di ufuk-ufuk dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa ini adalah kebenaran. Apakah tidak cukup bahwa Tuhanmu saksi bagi segala sesuatu (QS 41:53).
Catatan:
240. Seperti neutron.
241. Teks: al-madda al-‘ilmiyyah (materi ilmiah). 242. Teks: Waltun, Tentunya ada seorang fisikawan asal Irlandia yang bernama Ernest Walton (1903- ) yang memenangkan Hadiah Nobel dalam fisika pada 1951, dan fisikawan yang dimaksud di sini tak diragukan tentulah Dalton, bukan Walton. Teori proporsi dalam kimia yang dibahas di sini dikemukakan oleh Dalton, bukan oleh Walton. 243. Teks: Waltun. 244. Teks: Waltun. 245. Teks al-‘ilmiyyah (ilmiah). 246. Rod adalah salah satu jasad indera berbentuk tongkat dari retina yang digunakan dalam cahaya redup. 247. Cone adalah jasad indera dari retina yang digunakan dalam melihat warna. 248. Anton Van Leeuwenhoek, biolog sekaligus mikroskopis Belanda (1682-1728). Terkenal sbagai pembuat banyak mikroskop, penemu binatang bersel satu yang disebut “protozoa”, dan yang pertama melihat bakteri. 249. Obern: ilmuwan ini tak dapat kami kenali. 250. Qithsilah Al-Insan, h. 10. 251. Protoplasma adalah sekompleks material organik dan nonorganik, protein, dan air yang membentuk nucleus hidup sebuah sel. 252. Dalam bahasa Arab, diwan adalah sekumpulan syair Arab atau Persia. Kata ini digunakan dalam beberapa arti, seperti “dewan”, tetapi jelas di sini digunakan dalam arti ditunjukkan di atas.
Sumber: Sayyid
Muhammad Baqir as Shadr,
| ||||
“KEBAIKAN YANG UTAMA ADALAH MENOLONG ORANG-ORANG YANG TERTINDAS” (Imam Musa al Kadhim as)
Minggu, 22 Februari 2015
Falsafatuna Bab 8: Materi dan Filsafat (Kritik Atas Kaum Evolusionis Atheis Materialis)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar