Rabu, 18 Februari 2015

Apa Sains Itu?




Dalam cuaca yang dingin dan langit tak berawan, pada tanggal 28 Januari 1986, dari Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat, diluncurkan sebuah pesawat ulang-alik. Diantara tujuh awak pesawat tersebut, salah satu yang ikut mengangkasa adalah Christa McAuliffe, seorang guru sekolah dasar dari daerah New England yang terpilih untuk menjadi “Guru di Ruang Angkasa”, suatu program khusus dari NASA untuk mendorong daya tarik siswa sekolah tentang sains dan teknologi. Challenger Space Shuttle menghidupkan dua roket pendorong untuk mulai mengangkasa, meninggalkan asap gelap di tempat peluncuran, bergerak ke arah timur di atas Samudera Atlantik dengan suara yang menggelegar. Suatu peluncuran yang sempat tertunda empat kali karena rendahnya suhu musim dingin.

Namun, tujuh puluh dua detik kemudian dua roket pendorong terlihat bergerak ke arah yang berbeda. Pada detik ke tujuh puluh tiga tangki bahan bakar yang ternyata bocor melepaskan hidrogen cair ke udara, yang dengan seketika meledakkan seluruh bagian pesawat ulang alik. Awan ledakan dan asap kebakaran terbentuk di angkasa. Beberapa detik kemudian berbagai serpihan Challenger berhamburan, dan semua awak pesawat dinyatakan meninggal dunia seketika. Peristiwa yang disiarkan langsung oleh televisi ini dan juga disiarkan berulang kali, menjadikan hal ini salah satu bencana tekhnologi yang disaksikan oleh banyak orang dalam sejarah manusia.

Komisi penyelidik yang terdiri dari para pakar dan ilmuwan yang dianggap netral dibentuk untuk meneliti kejadian tersebut oleh Presiden Ronald Reagan. Salah satu anggotanya adalah Richard P. Feynman, doktor fisika peraih hadiah Nobel yang juga dosen di California Institute of Technology (Caltech). Setelah ditunjuk, Feynman mengumpulkan berbagai data dan informasi tentang peluncuran pesawat ulang alik tersebut, mesinnya, serta roket pendorong; salah satu yang terungkap adalah bahwa pada setiap peluncuran selalu terdapat resiko yang menyertainya. Kecurigaan akhirnya diarahkan pada bagian roket pendorong pesawat ulang alik. Roket pendorong dibuat secara bersusun karena sangat panjang, yang tiap bagian susunannya dihubungkan dengan pin yang terkunci rapat untuk mencegah timbulnya kebocoran bahan bakar keluar dari kedua roket pendorong. Sepasang ring berbentuk seperti hurup O yang bahan dasarnya dari karet, dengan ketebalan setengah sentimeter, mengelilingi roket sepanjang 12 meter (diameter roket) dipasang di sekitar pin untuk membuat tidak lepas dan terus melekat pada pin.

Percobaan sederhana Feynman

Untuk menjelaskan dugaannya, pada suatu konferensi pers Komisi Penyelidik Challenger, Feynman menyiapkan air es yang suhunya sekitar OoC sesuai dengan suhu kondisi cuaca saat peluncuran Challenger, satu contoh ring terbuat dari karet dan klem, alat penjepit yang digunakan untuk memberikan tekanan. Di hadapan kamera televisi, dia memperagakan satu percobaan fisika sederhana: mencelupkan ring karet ke dalam air es beberapa saat, kemudian mengangkatnya dan memasangnya pada klem untuk diberi tekanan. Feynman kemudian berkata “Setelah saya mencelupkan ring ini ke dalam air es, saya menemukan bahwa ketika diberikan tekanan sebentar saja pada ring karet itu, kemudian melepaskannya lagi, ring karet ternyata tidak kembali ke bentuk semula. Saya percaya hal ini mempunyai sumbangan penting terhadap masalah kita”. Penelitian lanjutan membenarkan percobaan sederhana Feynman, ke-tidak-elastis-an ring karet memang menjadi penyebab bocornya hidrogen cair dari roket pendorong yang akhirnya meledakkan Challenger. Komentar atas demonstrasi Feynman tersebut pun bermunculan, salah satunya: “Masyarakat melihat dengan sendirinya bagaimana sains telah sukses, bagaimana seorang ilmuwan berpikir dan memperagakan hipotesa dengan tangannya; bagaimana alam akan memberikan jawaban yang jelas ketika seorang ilmuwan bertanya dengan pertanyaan yang tepat” kata Freeman Dyson.

Peristiwa di atas selain menggambarkan salah satu produk mutakhir pencapaian sains dan teknologi, yaitu pesawat ulang alik Challenger, juga jelas menunjukkan kekuatan sains sebagai metoda pemecahan masalah atas musibah yang dialaminya.

Domain Sains

Apa yang dimaksud dengan sains? Jawaban untuk pertanyaan ini akan sangat beragam, termasuk jawaban dari para ilmuwan sendiri. Namun, bagi seorang guru sains jawabannya akan sangat berarti, karena selain menunjukkan apa yang dia pahami juga akan mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap apa yang dia ajarkan pada siswa, bagaimana cara dia mengajarkannya di kelas serta apa yang dia harapkan dari siswa melalui evaluasi/penilaian. Sebagai ilustrasi rangkuman riset tentang pengajaran sains yang dilakukan oleh Hodson (1993) menunjukkan hal yang menarik. Temuan riset tentang pemahaman siswa akan sains dalam satu kelas biasanya selalu konsisten, sedangkan pada siswa lain kelas sangat jauh berbeda, yang jelas menunjukkan bahwa pemahaman siswa tentang sains sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang ditentukan oleh pandangan guru tentang sains. Pada riset lain ditemukan, siswa-siswa dari tiga sekolah yang berbeda walaupun diajari materi pelajaran yang sama namun diberikan oleh guru yang berbeda menghasilkan pemahaman siswa yang beragam, hal ini terjadi karena pemahaman, cara mengajar dan perbedaan pandangan dari guru-guru sains yang juga berbeda-beda. Singkatnya hal ini menyimpulkan bahwa konsepsi siswa tentang sains sangat dipengaruhi oleh pandangan guru tentang sains.

Secara sederhana sains dapat berarti sebagai tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang muncul dari pengelompokkan secara sistematis dari berbagai penemuan ilmiah sejak jaman dahulu, atau biasa disebut sains sebagai produk. Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-prinsip, model-model, hukum-hukum alam, dan berbagai teori yang membentuk semesta pengetahuan ilmiah yang biasa diibaratkan sebagai bangunan dimana berbagai hasil kegiatan sains tersusun dari berbagai penemuan sebelumnya. Sains juga bisa berarti suatu metode khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Metode ilmiah merupakan hal yang sangat menentukan, sains sebagai proses ini sudah terbukti ampuh memecahkan masalah ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada.

Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat digunakan setelah kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang tidak lain biasa disebut sebagai tekhnologi. Tekhnologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekuensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Sehingga biasanya salah satu definisi popular tentang sains termasuk juga teknologi di dalamnya. Aspek-aspek lain dari sains dari kemungkinan lainnya pada jawaban pertanyaan di atas adalah: dampak sains melalui teknologi terhadap masyarakat, sifat sains yang terus berkembang, tujuan akhir dari sains, karakteristik seorang ilmuwan dan lainnya.

Sejarah perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani kuno serta tradisi keahlian atau ketrampilan tangan yang berkembang di awal peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Selanjutnya, sains modern bisa dikatakan lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang menyodorkan logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan pentingnya eksperimen dan observasi.

Sumbangan konsep dan ide dalam sains terbukti telah banyak mengubah pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Contoh yang paling terkenal adalah teori relativitas dari Albert Einstein. Teori relativitas umum ini misalnya telah mengubah pandangan orang secara drastis akan sifat kepastian waktu serta sifat massa yang dianggap tetap. Disamping kekuatan konsep dan ide, melalui keampuhan alat dan telitinya pengamatan, kegiatan sains juga terbukti menjadi pemicu berbagai revolusi ilmiah. Pengamatan bintang-bintang oleh Edwin Hubble melalui teleskop di Gunung Wilson pada tahun 1920-an misalnya, membawa beberapa implikasi seperti adanya galaksi lain selain Bimasakti dan adanya penciptaan alam semesta secara ilmiah dengan makin populernya teori ledakan besar (Big Bang).

Teori-teori dalam sains terus berkembang dengan pesatnya, menggantikan berbagai teori yang ternyata terbukti salah setelah melalui konfirmasi percobaan ataupun memperbaiki dan melengkapi teori yang telah ada sebelumnya. Suatu teori adalah suatu konstruksi yang biasanya dibuat secara logis dan matematis yang bertujuan untuk menjelaskan fakta ilmiah tentang alam sebagai mana adanya. Suatu teori yang baik harus mempunyai syarat lain selain dapat menjelaskan, yaitu dapat memberikan adanya prediksi; contohnya dengan pertanyaan: Bila saya melakukan hal ini apa yang terjadi? Sebagai contoh, teori kuno yang menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur yaitu tanah, udara, api dan air memenuhi syarat dapat menjelaskan komposisi alam, namun gagal bila mencoba memperkirakan dari mana semua unsur itu berasal dan bagaimana interaksinya dalam mahluk hidup misalnya. Sedangkan teori relativitas umum dari Einstein selain bisa menjelaskan bagaimana gaya gravitasi bekerja dan pergerakan benda langit secara tepat dibanding hukum gravitasi Newton, ternyata juga bisa memprediksikan adanya pembelokan cahaya bintang oleh matahari karena kuatnya gaya gravitasi dan hal itupun telah sukses dibuktikan.

Namun terkadang teori juga tidak bisa berbuat banyak karena konsekuensinya terlalu rumit bahkan untuk sekedar diramalkan. Untuk mengatasi hal ini para ilmuwan mengembangkan apa yang disebut dengan model. Model merupakan penyederhanaan dari suatu teori yang menjelaskan alam semesta misalnya secara lebih mudah akan satu aspek tertentu, namun menghilangkan aspek lainnya. Model berguna karena perilakunya yang cukup sederhana untuk dipahami dan diramalkan, walaupun terkadang model bisa menjadi tidak terlalu berguna karena banyak hal tidak berhubungan langsung dengan kenyataannya. Model atom merupakan salah satu contoh keterbatasan model yang terjadi dalam sejarah ilmu pengetahuan modern yang biasa disampaikan pada siswa pada pelajaran kimia dan fisika. Dimulai dengan model atom seperti bola yang dikemukakan oleh John Dalton. Model bola pada abad ke-19 direvisi oleh J.J. Thomson dari penelitiannya tentang sinar katoda, dia mengusulkan model atom berbentuk seperti roti kismis dimana bola bermuatan positif (roti) yang ditempeli oleh electron (kismis) yang bermuatan negatif. Awal abad ke-20, Rutherford mengusulkan model bahwa atom hampir mirip ruang kosong dengan inti yang merupakan pusat masa berisi proton dengan elektron berada pada orbit (tidak menempel seperti kismis seperti pada model Thomson) berdasarkan percobaannya yang menembakkan sinar alfa pada lempeng emas; lalu dikembangkan lagi oleh Bohr dengan model atom mekanika gelombang dimana orbit menjadi orbital dan kemudian hilangnya sifat partikel dari elektron dan lebih bersifat gelombang.

Perkembangan teori atom memberikan kita contoh nyata tentang tentatifnya suatu teori dalam ilmu pengetahuan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan karena teori-teori atau hukum-hukum alam dalam sains adalah suatu generalisasi atau ekstrapolasi dari pengamatan, dan bukan pengamatan itu sendiri. Sedangkan pengamatan itu sendiri selalu tidak akurat atau tidak menjelaskan semua aspek yang seharusnya diamati. Apa yang dijelaskan dengan model atom Thomson contohnya, hanya berdasar pengamatan dari percobaan sinar katoda saja; model ini direvisi oleh Rutherford setelah dia membuktikan keberadaan inti. Sehingga unsur ketidakpastian dan kerelativan menjadi hal yang penting dalam ilmu pengetahuan modern yang membuatnya terus berkembang.

Sumber: Gleick (1993) Genius, Richard Feynman and Modern Physics

Tidak ada komentar:

Posting Komentar