Minggu, 09 Agustus 2015

Muslim Syi’ah di Eropa, Mengapa Kami Memukul Dada Ketika Mengenang Husain?




Pada hari Jum’at setelah shalat zuhur, Syekh Abdallah menukar jubah panjang dan surbannya dengan celana dan jaket. Dia meminta untuk menunggu, sementara ia berbicara kepada seorang pemuda. Percakapan memakan waktu sepuluh menit di kantor (perpustakaan tambahan) dari masjid Syi’ah Erreda [Ar-Ridha] di Anderlecht. Syekh Abdallah adalah penduduk asli Maroko. Ia dibesarkan sebagai seorang Sunni, namun kemudian konversi menjadi Syi'ah, yang menurutnya merupakan peningkatan dalam Islam. Sekarang ia adalah seorang imam di Mesjid Erreda Anderlecht tempat para pengikutnya adalah sebagian Maroko asli.

“Saya menjadi Syi’ah ketika saya bertemu dengan beberapa orang Maroko yang sudah berpindah mazhab. Ini sekitar tahun delapan puluhan,” katanya.

Demikian juga Fatiha, seorang gadis Maroko yang tinggal di Antwerp, yang menjadi “mualaf Syi’ah”. Perpindahan mazhab-nya dari Sunni ke Syi’ah terjadi ketika ia bertemu seorang suami Irak, yang seorang Syi’ah. Mereka melakukan pernikahan temporer (nikah mut’ah). “Aku sudah bercerai dan mendambakan untuk melakukan kontak seksual,” jelasnya. “Ini menghibur saya bahwa ini bahkan mungkin dalam konteks Islam.” Hubungan temporer (nikah mut’ah) ini akhirnya mengarah ke akad pernikahan daim (nikah seumur hidup, bila tidak cerai). Bukan hanya perkawinan temporer ini, yang telah dikritik oleh banyak Sunni, tetapi seluruh filsafat Syi’ah menarik bagi dirinya. “Kaum Sunni selalu berbicara tentang hal-hal detil dan ritual banget, sedangkan Syi’ah jauh lebih mendalam, yang secara jelas ditampilkan dalam acara televisi keagamaan,” imbuhnya.

MURID-MURID ALI
Jelaslah, kelompok ‘mualaf Syi’ah’ tumbuh pada skala global, dan Syi’ah memang diterima oleh masyarakat yang cerdas dan tercerahkan. “Anda dapat mengatakan ia memiliki efek bola salju”, kata Imane Lachkar, yang meneliti masalah perpindahan keyakinan untuk gelar Ph.D-nya di University of Leuven. “Di Brussels, itu merupakan fenomena besar, dalam konteks globalisasi. Informasi mudah bersirkulasi. Sudah ada generasi baru ‘mualaf Syi’ah’. Contohnya, pilihan untuk nama-nama bayi, seperti Jafar dan Fatimah Zahra semakin populer. Dan nama-nama ini adalah nama-nama tradisional Syi’ah.” Angka statistik pada populasi ‘mualaf Syi’ah’ tidak tersedia. “Kita tidak berbicara tentang konversi dalam keimanan. Ia adalah sesuatu yang terjadi dalam spektrum imannya. Tidak ada sertifikat ataupun pendaftaran. Satu-satunya perbedaan adalah penambahan Ali, keponakan dan menantu Nabi Muhammad, dalam kalimat syahadah atau pengakuan keimanan (fakta bahwa hanya ada satu Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya) yakni Hujatullah atau simbol memeluk [kepemimpinan] Ali.”

“Mari kita ikhtisarkan. Paham Syi’ah adalah mazhab agama terbesar kedua dalam Islam. Mazhab Sunni masih yang terbesar. Mazhab Syi’ah memiliki landasan dalam perjuangan untuk suksesi Nabi Muhammad. Syi’ah atau Syi’atu ‘Ali, adalah pengikut Ali, percaya bahwa Ali adalah penerus langsung Muhammad. Dia berhak mendapatkannya, karena dia adalah keluarga nabi yang kema’shuman-nya dibenarkan wahyu dan sejumlah hadits Rasulullah, sedangkan tiga khalifah selain Ali bukan lah figur-figur yang ma’shum. Pihak lain menganggap kedua belah pihak harus bermusyawarah mengenai siapa yang menjadi pengganti nabi berikutnya, karena anggota-anggota lain sama dengan Ali.

Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama. Dua puluh tahun kemudian, Imam Ali dipilih untuk menjabat khalifah yang dipilih dan ditunjuk oleh rakyat langsung secara mayoritas, bukan oleh wasiat khalifah sebelumnya seperti yang berlaku pada Umar yang menerima wasiat dari Abu Bakar dan Usman yang keterpilihannya sebagai khalifah dirancang Umar.

Pembunuhan brutal atas anaknya (anaknya Imam Ali yang sekaligus cucu Nabi Muhammad Saw) yaitu Husain as oleh sesama Muslim (yang cinta kekuasaan dan munafik), menimbulkan simpati besar terhadap Syi’ah,” kata Syekh Abdallah.

MENANGIS MEMBERI ANDA KEKUATAN
Hierarki [kepemimpinan] dalam sistem Syi’ah sangat mengagumkan bagi banyak orang Sunni. Fatiha, misalnya, berpikir adalah bagus ada seorang pemimpin spiritual yang mengambil tanggungjawab untuk menjawab pertanyaan orang-orang mukmin. “Ini agama yang sangat terstruktur. Tidak ada kekacauan,” kata Imane Lachkar. “Ada sedikit ruang untuk ijtihad, interpretasi agama. Syi’ah percaya pada orang yang memiliki status yang lebih baik dan kapasitas keagamaan yang lebih untuk memberikan interpretasi agama. Mereka juga percaya pada kemaksuman nabi dan dua belas imam dari keturunan nabi (yang berarti 14 bersama Rasulullah, Fatimah, Imam Ali dan 11 imam selanjutnya secara berturut-turut hingga Imam Mahdi as). Dan inilah perbedaan besar dengan Sunni.”

Tidak ada diskusi bahwa situasi politik yang aktual telah menjadikan Syi’ah lebih terlihat. Tetapi orang tidak mengubah pendapat politik. “Hassan Nasrallah adalah pemimpin Syi’ah Hizbullah di Lebanon dan sangat populer di kalangan Sunni. Tapi itu tidak mengubah Sunni ke Syi’ah,” jelas Syekh Abdallah.

Keputusan untuk berpindah mazhab [dari Sunni] ke Syi’ah tidak dirasakan sebagai suatu perubahan, tetapi lebih sebagai upaya kembali ke akar Islam itu sendiri. “Ini adalah pandangan kritis terhadap sejarah,” ujar Imane Lachkar. “Banyak orang memiliki perasaan hidup dalam kebohongan, karena sejarah telah ditulis oleh penakluk.” Keputusan untuk mengkonversi mazhab bukanlah suatu intervensi oleh lingkungan. “Orang-orang Syi’ah tidak akan mudah diyakinkan untuk mengatakan tentang Mazhab Syi’ah terutama ketika mereka mendapatkan perasaan lingkungan tidak akan memahami sudut pandangnya,” jelasnya.

“Untuk menjadi seorang Syi’ah juga suatu proses,” kata Imane Lachkar. “Orang-orang mencoba menjadi seorang Syi’ah. Mereka mencoba memahami apa yang terjadi pada hari-hari tersebut. Mengingat pembunuhan Husain as adalah contoh jelas dari fenomena ini. Syi’ah berusaha keras untuk memahami tragedi Karbala. Mereka dipersiapkan dengan baik sebelumnya untuk acara ini. Hari kesepuluh [Muharram], hari Asyura ketika Husain as dibunuh secara keji dan brutal adalah klimaks dari acara ini. Tragedi harus diinternalisasilkan oleh satu sama lain.” “Menghukum diri secara berdarah-darah bukanlah tujuan dan itu tidak boleh,” kata Syekh Abdallah. “Memukul dada ketika mereka mendengar bahwa Husain as dibunuh, melambangkan duka cita kami. Ini adalah tangisan karena kecintaan kepada Ahlulbait. Menangis memberi Anda kekuatan, demikian juga bagi laki-laki.” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar