Rabu, 23 Desember 2015

Kalilah & Dimnah Bagian Kedua




Fabel karya IBN MUQAFFA (filsuf & pujangga)

Beberapa hari Dimnah tidak datang menghadap raja, suatu hari ketika raja sedang duduk sendirian di taman, Dimnah menghampirinya. Dimnah mulai melaksanakan aksinya untuk mempengaruhi raja. Dimnah mengatakan bahwa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Dengan kata-kata yang disusun begitu rapi, taktis, dan cermat, Dimnah mengatakan bahwa Sjatrabah telah mempetenahi bala tentara raja singa karena Sjatrabah telah mengetahui keberanian dan kepandaian raja, dan Sjatrabah telah merencanakan sesuatu untuk berselisih dengan raja. Dimnah juga mengatakan bahwa Sjatrabah ingin menggantikan posisi raja, baik menggunakan cara baik maupun jahat.

Dimnah dengan hati-hati menceritakan itu semua agar terlihat meyakinkan raja, dan untuk meyakinkan raja itu. Dimnah menceritakan kisah tiga ekor ikan dalam sebuah danau:

Dalam sebuah telaga ada tiga ekor ikan yang hidup di dalamnya, yaitu si paling cerdik, si cerdik, dan si bebal. Dekat telaga tersebut mengalir sungai yang jernih. Suatu hari ada dua orang penangkap ikan. Kedua penangkap ikan itu awalnya hanya akan menangkap ikan di sungai, tetapi krena melihat sebuah telaga, ia berniat untuk membawa jala esok harinya. Si paling cerdik tahu bahwa bahaya akan terjadi pada dirinya, maka ia langsung mencari jalan menuju sungai dan akhirnya pergi dari telaga itu. Esoknya dua penangkap ikan itu datang lagi dan memasang jala di telaga itu, si cerdik baru sadar bahwa ia dalam bahaya, dan ia kemudian mencari jalan untuk menuju sungai, tetapi sayangnya jalan itu telah tertutup jala. Berbeda dengan si Bebal yang tetap tak berkutik dan hanya berjalan hilir mudik saja. Akhirnya si cerdik dan si bebal pun tertangkap.

Mendengar cerita Dimnah raja menjadi bingung karena menurut raja selama ini Sjatrabah tidak pernah berbuat jahat kepadanya. Dimnah pun memberikan pernyataan yang menguatkan raja singa bahwa Sjatrabah akan berbuat jahat kepadanya. Raja singa tidak suka dengan kata-kata Dimnah yang semakin tajam, sampai akhirnya raja marah kepada Dimnah dan ingin memanggil Sjatrabah, hanya saja dengan kata-kata Dimnah yang hati-hati dan begitu manis menyebutkan ciri-ciri seorang yang akan berkhianat bahwa matanya merah, tulang persendiannya gemetar, digeleng-gelengkan kepalanya, dan digerakkan tanduknya seperti akan berperang. Akhirnya raja pun mau untuk mendengar nasihat Dimnah agar berhati-hati jika Sjatrabah memenuhi tanda-tanda yang disebutkan.

Dengan kelihaian dan kecerdikan Dimnah berkata-kata, ia meminta ijin kepada raja untuk menemui Sjatrabah, dan hal ini hanya merupakan siasat Dimnah agar semuanya terlihat baik dan sebagai perintah raja, padahal sesungguhnya Dimnah hanya ingin menghasut Sjatrabah. Setelah raja mengijinkannya, mulailah ia mnghasut Sjatrabah bahwa suatu hari raja berkata bahwa alangkah gemuknya badan Sjatrabah itu padahal bagiku ia sudah tidak berguna lagi untuk hidup, aku ingin membunuhnya dan menjadikan ia sebagai makanan bala tentaraku. Karena pandainya Dimnah berkata-kata dan karena diulang-ulangnya janjinya untuk menjaga keselamtan jiwa Sjatrabah selama-lamanya, maka akhirnya dengan rayuan dan hasutan Dimnah yang begitu meyakinkan walaupun masih agak ragu, Sjatrabah pun mulai sedikit percaya.

Seperti saat menghasut raja, Dimnah juga memberi tanda-tanda yang akan dilakukan raja jika memang raja akan berbuat jahat kepada Sjatrabah seperti yang telah ia katakan tadi. Bahwa raja singa akan bangun lalu duduk menjengkung dan kepalanya akan ditegakkan matanya juga akan bercahaya memandangmu dan telinganya berdiri serta mulutnya menganga.

Setelah selesai menghasut Sjatrabah, Dimnah menemui Kalilah untuk mengajaknya melihat kematian Sjatrabah. Sjatrabah yang telah termakan omongan Dimnah pun menghadap raja dan menantangnya, dan karena sama-sama telah terhasut akhirnya mereka pun bertanding.

Melihat keadaan itu Kalilah menghujat Dimnah bahwa ternyata sahabatnya itu sangat kejam dan hina, Kalilah yang merasa sering memberi nasihat kepada Dimnah merasa sangat kecewa. Akhirnya raja singa mengalahkan Sjatrabah, dan kala itu tampak Sjatrabah telah terguling di tanah dan tidak bernyawa lagi.

Setelah raja singa hilang marahnya, bercucuranlah air matanya dan sedih hatinya melihat Sjatrabah. Raja singa kemudian sadar dan menyesal dengan perbuatannya tadi. Ia kemudian berpikir bahwa Sjatrabah hanya difitnah saja.

Melihat raja singa bersedih tersebut, Dimnah lalu mendekatinya dan menghibur raja dengan mengatakan bahwa musuh raja telah tiada dan tidak ada gunanya lagi untuk bersedih. Hati raja singa sedikit tenang, tetapi kemudian ia tahu bagaimana sifat Dimnah yang sesungguhnya.

Suatu hari, harimau  salah seorang pembesar kerajaan yang terpercaya pulang ke rumahnya dari kerajaan. Di tengah jalan, ketika sampai di dekat rumah Kalilah dan Dimnah, ia mendengar suara Kalilah yang sedang menyesali dan menasihati Dimnah.

Harimau itu mendengar bahwa Dimnah-lah biang dari kematian Sjatrabah. Sehingga Kalilah tidak bisa lagi hidup bersama dengan Dimnah. Mendengar itu semua Harimau kembali ke kerajaan dan menemui ibu singa. Harimau menceritakan segala yang didengarnya tadi kepada ibu singa, dan menyuruh ibu singa untuk merahasiakannya terlebih dahulu.

Keesokan harinya Ibu singa melihat keadaan raja singa yang begitu bersedih karena kehilangan sahabat baiknya yang ia bunuh sendiri. Melihat anaknya bersedih itu, ibu singa lalu menceritakan semua yang dikatakan harimau kepadanya semalam tanpa menyebut nama harimau. Mendengar cerita ibunya tadi, raja singa seketika itu juga marah besar dan memanggil semua pembesar kerajaan. Kemudian raja juga memanggil Dimnah, dan Dimnah yang seakan merasa tanpa dosa itu pun menghadap raja dan menanyakan apa yang terjadi. Ibu singa begitu jengkel melihat Dimnah yang serasa tanpa dosa. Ibu singa kemudian memutuskan agar hakim yang memeriksa semua perkara ini dan untuk sementara memenjarakan Dimnah.

Mendengar Dimnah dipenjara, ketika larut malam Kalilah diam-diam menemui sahabatnya itu dan ia mengatakan keprihatinannya dan menyesalkan perbuatan Dimnah yang hanya didasari nafsunya sehingga mengalahkan akalnya. Setelah lama bercakap-cakap akhirnya Kalilah pulang ke rumahnya.

Keesokan harinya semua orang dikumpulkan untuk mengadili Dimnah, pengadilan itu dipimpin oleh seorang hakim. Hari itu sang hakim meminta seorang saksi untuk berbicara dalam forum itu mengenai keterangan perkara Dimnah. Tak ada seorang pun yang berkata-kata, dengan angkuhnya Dimnah lah yang banyak berkata-kata mengenai kebaikan. Kemudian penghulu babi memberikan ciri seorang bedebah seperti Dimnah. Dimnah pun begitu malu mendengar semua pernyataan babi itu.

Suatu hari seekor rubah kepercayaan raja sekaligus sahabat Kalilah bercerita bahwa tidak lama setelah Dimnah masuk penjara, Kalilah jatuh sakit dan mati. Rubah kemudian menemui Dimnah dan menceritakan kematian Kalilah dengan sangat sedih. Dimnah mendengar cerita itu dan kemudian menyuruh sang rubah untuk mengambil seluruh harta yang ia simpan di rumahnya.

Keesokan harinya ibu singa baru tahu bahwa raja belum memutuskan hukuman untuk Dimnah. Hakim belum mampu memutuskan hukuman jika belum ada bukti atau saksi yang kuat, meskipun sebenarnya hakim yakin bahwa Dimnah memang bersalah. Rajapun demikian pula, ia tidak bisa menghukum seseorang tanpa ada bukti yang jelas.

Akhirnya raja menanyai ibu singa tentang informasi yang menyatakan cerita pertama tentang kelakuan Dimnah. Setelah meminta ijin kepada harimau dan dengan bujukannya, harimau mau memberikan penjelasan. Setelah mendengar cerita harimau kerajaan itu, Raja pun memerintahkan untuk membunuh Dimnah. Dan akhirnya Dimnah dibunuh dalam penjaranya.

Kalilah & Dimnah




Fabel karya IBN MUQAFFA (filsuf & pujangga)

Diantara berbagai jenis binatang yang diperintah raja singa, ada dua ekor serigala yang amat bijaksana, seekor bernama Kalilah dan seekor lagi bernama Dimnah. Suatu hari Dimnah menanyakan mengenai keadaan rajanya yang tidak pernah keluar dan berduka kepada Kalilah. Akan tetapi Kalilah memberi nasihat kepada Dimnah bahwa orang yang mencampuri urusan orang lain sama seperti kera yang mencampuri urusan tukang kayu.

Kalilah bercerita tentang kera yang mengintai pekerjaan seorang tukang kayu yang membelah kayu dan memasang baji. Kemudian setelah tukang kayu pergi, kera tersebut berusaha mencabut baji itu sampai ekornya hancur dan mati kesakitan. Setelah tukang kayu melihat ada kera yang mati terjepit, tukang kayu berkata bahwa beginilah nasib orang yang suka mencampuri pekerjaan orang lain.

Dimnah mengira bahwa saat ini raja sedang ketakutan, ia merasa dan berpendapat bahwa orang yang arif bijaksana dapat mengerti keadaan sahabatnya, baik lahir maupun batin. Namun Kalilah masih meragukan kenekatan Dimnah itu, hanya saja Dimnah sudah berkeras untuk menghadap raja singa meskipun sedikit ditentang dengan argumen-argumen Kalilah.

Menurut Dimnah dengan perhatiannya terhadap rajanya itu ia bisa menjadi dekat dengan rajanya, dan setelah dekat tentu ia akan mengetahui sifat dan kelakuan rajanya ia, lalu ia akan memberi nasihat jika menurutnya ada kesalahan dalam tindakan rajanya itu. Dalam angan–angan Dimnah jika nantinya raja tahu bahwa ia seorang yang cerdik, maka menurutnya raja singa akan memuliakan dan menghormatinya.

Sebelum Dimnah pergi Kalilah memperingatkanya sekali lagi bahwa orang yang dekat dengan rajanya akan mendapatkan bahaya yang besar.

Suatu hari Dimnah datang menghadap raja singa, sebelumnya raja sama sekali tak mengenal siapa yang tiba-tiba datang menghadapnya itu, tetapi kemudian setelah diterangkan siapa ayah Dimnah, raja bertanya dimanakah Dimnah selama ini? Dimnah pun menjelaskan bahwa selama ini ia menantikan sesuatu yang dapat ia lakukan untuk mengabdi kepada rajanya, dan walaupun ia seorang yang hina, tetapi kadang juga mempunyai perlu kepada rajanya.

Dimnah juga berkata, ‘ranting yang kering di jalanan kadang ada gunanya setidaknya sebagai penggaruk gatal pada tubuh yang tak tercapai oleh tangan’.

Raja pun tercengang mendengar pernyataan Dimnah itu, ia menyimpulkan bahwa Dimnah adalah orang yang bijak dan berilmu meskipun belum terkenal namanya. Karena raja termenung cukup lama, akhirnya Dimnah meminta maaf jika raja tidak berkenan dengan kedatangannya.

Karena Dimnah khawatir bahwa raja tahu siapa ayahnya, ia memberikan pengertian bahwa seorang raja yang bijak tidak akan melihat seseorang dengan melihat siapa ayahnya. Tetapi seorang raja yang baik hanya akan memuliakan atau menghinakan seseorang hanya dengan melihat siapa diri seseorang itu, karena sesungguhnya tidak ada orang lain yang lebih dekat kepada seseorang kecuali dirinya sendiri.

Raja semakin heran dengan Dimnah, dan kemudian raja berkata: manusia itu ada dua macam, yang pertama adalah orang yang panas tabiatnya semisal ular yang berbisa, jika kebetulan ia terinjak dan belum menggigit, jangan pernah menginjaknya sekali lagi karena ular itu tentu akan menggigit siapa yang menginjaknya itu.

Kedua orang yang dingin tabiatnya seperti ranting yang kering, jika ia lama tak digosokkan, maka akan keluar api dari ranting kering itu (karena itu berhati-hatilah dengan orang yang kelihatannya sangat sabar dan jarang marah, karena kalau sudah marah tak dapat dihentikan).

Sejak Dimnah menghadap raja itu, Dimnah telah duduk di samping raja singa. Suatu hari Dimnah menanyakan kenapa raja lama berdiam diri di rumah apa yang menyebabkan raja seperti itu.

Tiba-tiba terdengar lenguh Sjatrabah di tengah pertanyaan Dimnah itu. Raja terlihat ketakutan saat mendengar lenguh itu dan raja hanya tetap diam. Dimnah pun menyimpulkan bahwa raja singa selama ini memikirkan suara lenguh itu. Dimnah akhirnya menceritakan kisah seekor serigala yang melihat tabuh yang tergantung di dahan, karena angin yang bertiup ranting-ranting pun akhirnya mengenai tabuh itu dan terdengarlah suara yang besar dari tabuh itu.

Serigala tersebut berharap bahwa tentunya tabuh itu punya daging yang banyak. Serigala itu melompati tabuh dan menjatuhkannya kemudian menggigitnya, tapi ternyata tabuh itu kosong tak berisi. Dengan kecewa serigala berkata bahwa besar suaranya tiada isinya. Kemudian Dimnah meminta ijin untuk memeriksa suara lenguh itu.

Raja memberikan ijin kepada Dimnah untuk memeriksa suara itu, tetapi setelah Dimnah pergi raja menjadi khawatir kalau-kalau Dimnah akan berkhianat dan memilih ikut dengan yang bersuara keras itu. Akan tetapi kekhawatiran raja akhirnya usai setelah melihat Dimnah kembali. Dimnah pun menyampaikan kepada raja bahwa yang memiliki suara keras itu hanyalah seekor lembu yang tidak berbahaya.

Mendengar pernyataan Dimnah itu, raja singa pun masih belum percaya, karena raja tidak begitu sependapat dengan orang yang menyepelekan segala sesuatu. Setelah lama berbincang-bincang akhirnya Dimnah memutuskan untuk mengajak Sjatrabah berhadapan dengan raja singa.

Dimnah berjanji akan menanggung keselamatan Sjatrabah ketika berhadapan dengan raja singa nantinya. Ketika berhadapan dengan raja singa, Dimnah langsung bersujud dengan takzim dan menceritakan asal usulnya. Raja begitu bahagia melihat tingkah laku Sjatrabah dan raja memutuskan menjadikan Sjatrabah sebagai teman raja yang dimuliakan. Sjatrabah bahagia mendengar itu semua dan ia pun langsung mendoakan keselamatan bagi raja singa.

Setelah beberapa waktu berada di kerajaan singa, Sjatrabah berperilaku baik, bahkan menurut raja budi pekertinya sempurna dan sifatnya dapat dipercaya. Melihat itu semua raja semakin mengasihinya dan meningkatkan derajatnya lebih dari yang lain. Dimnah menjadi dengki kepada  Sjatrabah yang diperlakukan istimewa itu dan makin hari kedengkiannya itu semakin kuat. Suatu hari ia mengadukan kisahnya itu kepada Kalilah.

Dimnah menceritakan semua kejadian mengenai Sjatrabah kepada Kalilah. Dengan begitu semangat Dimnah ingin kembali mendapatkan kehormatan dan kedudukan yang tinggi lagi. Dimnah merasa bahwa Sjatrabah-lah yang telah mengambil semua perhatian raja. Dimnah menceritakan banyak kisah tentang suatu pekerjaan yang dlakukan dengan akal sempurna pasti akan berhasil.

Sebelum Dimnah kembali ke kerajaan untuk melakukan rencananya mengambil kembali perhatian raja dan ingin mendapatkan kedudukan tinggi, Kalilah memperingatkannya bahwa jika apa yang akan ia lakukan dapat membahayakan raja, maka janganlah melakukan perbuatan itu, intinya Kalilah menasihati Dimnah agar tidak berkhianat dengan rajanya. (Bersambung ke Bagian Kedua)

Sabtu, 19 Desember 2015

Dari Gus Dur hingga Sa’adi


Oleh Sulaiman Djaya (Sumber: Radar Banten, 19 Desember 2015)

Sebelum meninggal, almarhum KH Abdurrahman Wahid, atau yang biasanya dipanggil Gus Dur, pernah mengatakan bahwa “kita butuh Islam yang ramah, bukan Islam yang marah”. Apa yang pernah dikatakan Gus Dur itu mengingatkan penulis kepada Ostad Elahi yang mengatakan (sebagaimana yang ia uangkapkan dalam catatan-catatan otobiografisnya): “Manusia sempurna adalah seseorang yang memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan, dan juga membela orang lain dari apa pun yang ia sendiri tidak suka”.

Belakangan ini ada kalangan yang merasa ‘memiliki surga’ secara eksclusif hanya milik kelompok mereka sendiri dan mereka tak sungkan-sungkan menyatakan bahwa orang-orang beragama di luar kelompok mereka adalah ‘kafir’ dan sesat. Suatu gejala dan wabah yang melanda mereka yang akal dan pemahamannya terkunci rapat dari realitas.

Ostad Elahi, sang guru spiritual dari Teheran, itu menyebut hal demikian sebagai kemiskinan perspektif orang-orang beriman ketika mereka tidak menyadari bahwa mereka hidup di dunia, bukan hidup di sebuah goa yang hanya ia sendiri yang menghuninya, persis ketika kaum muslim tidak menggunakan anugerah terbesarnya, yaitu akal dan nurani. Dalam hal ini, sebagai contoh khazanah yang sangat bagus dan inspiratif, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah mengatakan:

“Sebagaimana manusia menggunakan akal naturalnya ia juga dapat menambah kemampuan akalnya dengan memanfaatkan akal eksperimentasinya, dan berikut pernyataan Imam Ali (as) lebih lanjut (sebagaimana dapat kita baca dalam Nahjul Balaghah): “Akal manusia terbagi dua: pertama akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi (eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini bahwa ia memiliki akal dan agama.”

Rupa-rupanya, salah-satu hal yang dapat kita sebut sebagai kemiskinan perspektif orang-orang beriman itu adalah ketika kepercayaan keagamaan kita justru malah menghilangkan kemampuan reflektif kita ketika kita hidup dalam keseharian yang seringkali begitu deras dengan pencerahan spiritual baru yang justru tidak dapat kita tangkap ketika kita hidup dalam dogmatisme atau fanatisme buta yang tak dibarengi dengan anugerah akal dan nurani kita, dogmatisme dan fanatisme buta yang malah membuat kemampuan reflektif kita sebagai orang beriman menjadi hilang dan tidak terberdayakan.

Dalam dilema yang demikian itulah, tasawuf keseharian Ostad Elahi, yang dalam beberapa hal masih bersumber dari kearifan Ibn Arabi yang masyhur itu, akan merengkuh ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin keagamaan, yang di satu sisi akan kita taati secara pribadi, tetapi di sisi lain juga membuat kita tetap selaras dengan dunia di mana kita hidup di antara sekian banyak keragamaan yang justru akan semakin membuat kita mampu mengenali diri kita sendiri.

Juga, tasawuf keseharian Ostad Elahi itu, rupa-rupanya hendak menekankan pentingnya kesalehan dalam arti sosial di mana kita mesti memperlakukan orang lain sebagaimana kita sendiri ingin diperlakukan. “Manusia sejati adalah seseorang yang akan merasa bahagia dengan kebahagiaan orang lain, dan memiliki kepedulian yang tulus pada penderitaan orang lain,” demikian tulisnya dalam catatan otobiografisnya. Kita dapat mengkomparasikan apa yang dikatakan Ostad Elahi itu dengan sebuah kearifan yang lebih tua, dengan sebuah puisi masyhur yang ditulis seorang penyair Persia yang sudah begitu masyhur, yaitu Sa’adi (yang mana puisinya ini diabadikan di gedung PBB sebagai simbol perdamaian, solidaritas, dan welas-asih antar sesama manusia tanpa harus dibatasi ras dan agama):

“Human beings are members of a whole, in creation of one essence and soul. If one member is afflicted with pain, other members uneasy will remain. If you have no empathy for human pain, the name of human you cannot retain”.

Puisi Sa’adi tersebut bila kita terjemahkan dengan bebas ke Bahasa Indonesia akan menghasilkan bunyi: “Anak adam satu raga satu jiwa, tercipta dari muasal yang sama. Jika satu anggota ummat manusia terluka, semua akan merasa terluka. Engkau yang tak berduka atas luka manusia, tak layak menyandang nama manusia.”

Bila demikian, kesalehan keagamaan rupa-rupanya sangat erat kaitannya dengan ikhtiar dan kemampuan reflektif alias penghayatan kita. Yang artinya, kesalehan tidak semata-mata hanya didasarkan pada fanatisme buta tanpa akal dan nurani, yang malah membuat kita menjadi bodoh dan jumud, yang nyata-nyatanya lebih mencerminkan kemalasan alias kelesuan spiritual di saat kesalehan dan kepatuhan tersebut nyatanya memang didasarkan lebih pada sikap basa-basi, birokratis, dan sekedar menggugurkan kewajiban semata. Justru sebaliknya, bila kita membaca khasanah sufisme, kesalehan keagamaan kita niscaya harus digali dari penghayatan dan perenungan alias refleksi, yang acapkali malah bersifat instrospektif atau tasamuh yang didasarkan pada sikap rendah hati, semisal sekedar mempertanyakan pada diri sendiri dan memeriksa penerimaan dan pemahaman kita tentang dan dari agama yang kita anut dan kita percayai, di saat kita malah tidak bisa harmonis dengan dunia dan lingkungan di mana kita hidup dan ada.

Ada sebuah riwayat tentang Nabi Muhammad saw sebagaimana yang dinarasikan Allamah Majlisi dalam Bihar al Anwar:  

Suatu waktu, terdapat seorang wanita tua yang buruk perangainya. Ia selalu melemparkan sampah ke arah Nabi Muhammad Saw bilamana Nabi Saw lewat di hadapan rumahnya. Nabi Saw biasa lewat di hadapan rumah nenek tua tersebut setiap pagi bilamana beliau bertolak menuju ke masjid dan setiap pagi wanita ini biasa melemparkan sampah ke arah Nabi Saw akan tetapi Nabi Muhammad Saw tidak pernah marah kepadanya. Hanya saja beberapa hari kemudian, keadaan berubah. Kali ini Nabi Saw melewati rumah wanita tua tersebut, tidak ada lemparan sampah yang ditujukan kepada sang Nabi Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw merasa heran atas perubahan ini. Beliau berhenti dan bertanya perihal wanita tersebut kepada tetangganya apakah dia baik-baik saja karena dia tidak hadir untuk melemparkan sampah kepada Nabi Saw. Tetangga wanita tersebut berkata bahwa wanita tua tersebut jatuh sakit dan terbaring di pembaringan. Tatkala wanita tua tersebut melihat Nabi Muhamamad Saw hadir di rumahnya, dia berpikir bahwa Nabi datang untuk menuntut balas atas perbuatannya. Ia berkata “Mengapa Anda tidak menantikan aku hingga sembuh dan kuat?” Nabi Muhamamad Saw berkata bahwa beliau datang bukan untuk menuntut balas, tetapi untuk melihat keadaannya sekiranya ia memerlukan pertolongan.

Dan sebelum kita mengakhiri tulisan ini, ada sebuah ilustrasi yang ditulis oleh Paulo Coelho:

'Sa’adi dari Shiraz (Persia) pernah bercerita, “Ketika saya masih kecil, saya pernah sembahyang dengan bapak, paman dan misan-misan saya. Tiap malam kami bersama-sama mendengar bacaan sebagian Al-Qur’an. Suatu malam, ketika paman saya membaca satu bagian dengan suara keras, saya memperhatikan bahwa kebanyakan orang sedang mengantuk. Saya bilang pada bapak saya, “Tidak ada satupun dari orang-orang ngantuk ini mendengarkan kata-kata kitab suci. Mereka tidak pernah mencapai Tuhan.” Dan bapak saya bilang, “Anakku sayang, lihatlah jalanmu sendiri dengan mata iman dan biarkan orang lain menjaga diri mereka sendiri”. 


Sabtu, 12 Desember 2015

Sains Ekonomi & Ekonomi Politik



Pada kodratnya atau secara alamiah (natural), setiap manusia memiliki naluri untuk memproteksi kelangsungan kehidupannya. Dalam rangka naluri untuk kelangsungan hidupnya itu, setiap manusia memiliki kebutuhan, secara bertingkat (primer-sekunder-tersier) maupun bervariasi. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya itu, manusia menempuh berbagai cara. Seiring waktu, cara manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut berkembang menjadi sebuah ilmu tersendiri, yang dapat dipelajari, dikembangkan dan diajarkan, yang kemudian sebagaimana kita tahu bersama, ilmu itu dinamakan ekonomi. Dengan demikian pada dasarnya, ekonomi terkait langsung dengan naluri untuk bertahan dan mengembangkan kehidupan manusia.

ILMU EKONOMI & EKONOMI POLITIK
Sebagaimana yang sudah sangat populer diketahui, istilah ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu  ‘oikosnomos’ atau oikonomia’ yang artinya manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya penyediaan dan administrasi pendapatan.Terdiri dari dua term kata, yaitu ‘oikos’ dan ‘nomos’. Oikos berarti keluarga, rumah tangga, nomos artinya peraturan, aturan dan hukum.[1] Secara sederhana maksudnya adalah tata cara menyelenggarakan rumah tangga. Ilmu Ekonomi, secara umum, didefinisikan sebagai hal yang mempelajari perilaku manusia dalam menggunakan sumber daya yang langka untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan manusia. Ruang lingkup ekonomi meliputi satu bidang perilaku manusia terkait dengan konsumsi, produksi, dan distribusi.[2]

Paul A Samuelson, seorang ahli ekonomi terkenal mendefinisikan Ilmu Ekonomi sebagai suatu studi mengenai bagaimana orang-orang dan masyarakat membuat pilihan, dengan cara atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi sekarang dan di masa mendatang, kepada berbagai orang dan golongan masyarakat.[3] Mengingat luasnya pengertian ekonomi, tidak ada salahnya memperhatikan pernyataan Tim Harford berikut ini.

“...saya ekonom. Anda mungkin mengira pikiran saya ada di tempat lain, merenungkan pasar saham atau angka inflasi. Kalau begitu Anda salah. Saya memperhatikan para penjudi dan pekerja seks komersial, pemabuk dan anggota-anggota geng. Saya melihat dari sudut yang berbeda. Para ekonom selalu mencari logika tersembunyi di balik kehidupan, bagaimana hal itu dibentuk oleh keputusan-keputusan rasional yang tak terhitung dan tak terlihat.”[4]

Sebelum ilmu ekonomi berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri seperti sekarang, dulunya dikenal dengan ilmu ekonomi politik (political economy). Tulisan-tulisan para sarjana di abad ke-18 hingga ke-19, belum memisahkan antara ekonomi dan politik. Seiring perkembangan ilmu yang terus-menerus mengalami spesialisasi dan diferensiasi, maka di kemudian hari ekonomi politik dipilah menjadi ilmu ekonomi murni di satu sisi, dan ilmu politik di sisi lain. Hal itu dapat dipahami sebagai akibat dari pengaruh modernisasi yang menuntut adanya spesialisasi dan diferensiasi di segala bidang.  

Adalah Alfred Marshal, pemuka mazhab neo-klasik, yang mengubah disiplin ekonomi politik menjadi ilmu ekonomi murni dengan bukunya The Principles of Economics. Alasan dia bahwa ilmu “baru” yang dimaksudkanya itu sudah berhenti sebagai suatu system of inquiry yang mempunyai kaitan langsung dengan permasalahan kebijaksanaan ekonomi pada abad ke-18 dan 19. Tetapi Gunnar Myrdal, seorang sarjana yang menolak teori ekonomi konvensional dan menganggapnya terlalu teknis, mengembalikan system of inquiry itu dalam penggunaan dan sejalan dengan itu istilah ekonomi-politik pun digunakan. Tapi sejak dulu hingga sekarang, istilah (ekonomi politik) secara konsisten dipakai di kalangan Marxist dan kaum sosialis, juga berbagai kelompok ilmuwan ekonomi di Eropa Barat dan Eropa Timur.[5]

Sekarang setelah gerak sejarah berbalik menuntut cara pandang yang holistik dan interdisipliner, ekonomi politik pun kembali populer dan mendapatkan tempatnya. Perbedaan utama dari pendekatan ekonomi politik dan ilmu ekonomi murni adalah dalam pandangannya tentang struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Ekonomi politik percaya bahwa struktur kekuasaan akan memengaruhi pencapaian ekonomi, sebaliknya pendekatan ekonomi murni menganggap struktur kekuasaan di dalam masyarakat adalahgiven.[6]

Menurut Ahmad Erani Yustika, ada tiga varian penting dalam pendekatan ekonomi politik. Ketiga varian itu adalah: ekonomi politik klasik/neoklasik (classical/neoclassical political economy), ekonomi politik Keynesian (Keynesian political economy), dan ekonomi politik Marxian (Marxian political economy). Secara singkat dijelaskan, ekonomi politik klasik atau neo klasik adalah ekonomi politik berbasis pasar atau berdasarkan kapitalisme. Sementara ekonomi politik Keynesian berinduk pada teori ekonomi John Maynard Keynes yang memperkenankan intervensi negara jika perekonomian mengalami krisis. Adapun ekonomi politik Marxian yaitu perekonomian yang didorong sepenuhnya oleh negara.[7]

Ketika gejala ekonomi dijelaskan melalui pendekatan ilmu ekonomi murni (tradisional), rupanya telah menimbulkan ketidakpuasan karena bagi sebagian kalangan dianggap tidak menjelaskan masalah secara lengkap. Sebagaimana yang disebutkan oleh Dawam Rahardjo dalam bukunya Esei-Esei Ekonomi Politik sebagai berikut:

“Profesor Assar Lindbeck dari Norwegia, ketika berada di Amerika Serikat, sambil memberi kuliah, telah mengumpulkan pendapat perihal serangan kaum Kiri baru terhadap ilmu ekonomi tradisional. Ia mengambil kesimpulan tentang kritik itu sebagai berikut: (a) ilmu ekonomi tradisional dinilai terlalu mengabaikan masalah distribusi pendapatan, kekayaan dan kekuasaan yang tidak merata, (b) dalam menganalisa masalah alokasi sumber-sumber, ekonomi tradisional menganggap selera konsumen sebagai sesuatu yang sudah ditentukan, padahal, masalah sesungguhnya adalah terdapatnya dominasi atas selera konsumen oleh penjual besar, (c) ekonomi ortodoks dianggap mengabaikan secara total masalah mutu hidup yang seharusnya dibedakan dari kuantitas output (d) sistem sosial-ekonomi dianggap sebagaimana adanya oleh ekonomi ortodoks dan mereka dinilai hanya berkepentingan dengan perubahan-perubahan marginal, padahal yang seharusnya menjadi kepentingan adalah perubahan-perubahan besar dari seluruh sistem itu sendiri, dan (e) kaum ortodoks dianggap mengabaikan pertimbangan-pertimbangan politik,--padahal seharusnya hal yang dipersoalkan tidak semata-mata bersifat ekonomi, melainkan bersifat ekonomi politik.[8]

Salah seorang kritikus terhadap ekonomi konvensional, Gunnar Myrdal, menolak teori-teori ekonomi konvensional karena mengabaikan hal-hal yang fundamental dan cenderung ke arah teknis sehingga seolah-olah menjadi bebas nilai untuk tujuan mencapai apa yang disebut objektivitas. Bagi Myrdal, teori ekonomi mustahil netral, yaitu secara positif objektif. Ilmu ekonomi, sebagaimana halnya karya John Stuart Mill, pada dasarnya juga merupakan ilmu pengetahuan dengan nilai dan moral tertentu. Bahkan kaum neo-klasik sendiri mempunyai dasar filsafat, yaitu filsafat moral utilitarian. Namun, para ekonom modern menyembunyikan dan melupakan dasar-dasarnya yang sekarang sudah menjadi filsafat moral yang beku. Dan karena itu mereka menyajikan sesuatu yang nampaknya seperti teori ekonomi yang bebas-nilai.[9]

Perbedaan “mazhab” dalam menempatkan ilmu ekonomi, bersifat netral atau tidak, memiliki argumen dan signifikansinya masing-masing. Karena itu, menurut Lindbeck masalahnya yang paling esensial adalah mencari jawaban alternatifnya. Dalam hal ini, ekonomi politik berjasa menyajikan pembahasan mengenai: (a) apakah sistem ekonomi harus diorganisasikan melalui pasar, melalui birokrasi politik atau bagaimana, (b) apakah sistem itu harus disentralisasikan atau didesentralisasikan dalam proses pengambilan keputusan, (c) siapa yang seharusnya memiliki modal (d) apakah cara kompetisi ataukah cara koperasi yang dipilih dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, dan (e) apakah hakekat makna pembangunan, sampai seberapa itu dikehandaki? Kelima hal di atas merupakan isu utama dalam ekonomi politik sebagai ilmu untuk memenuhi kebutuhan manusia di tengah sumber daya yang terbatas.[10]

EKONOMI POLITIK SEBAGAI ANALISIS SOSIAL
Dalam perkembangannya, ekonomi politik ternyata tidak saja digunakan dalam konteks ilmu (ekonomi) sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tetapi juga dipergunakan sebagai alat analisis terhadap gejala sosial. Ekonomi politik sebagai suatu pendekatan analisis terhadap masyarakat dan bangsa muncul pada tahun 1970-an. Hal ini dilatari oleh reaksi atas ketidakpuasan terhadap teori modernisasi yang dipandang tidak memadai menjelaskan perubahan di dalam masyarakat negara-negara baru.

Sebagaimana diketahui, para ilmuwan sosial dan politik Barat, kerap mempergunakan dan menyodorkan analisis modernisasi untuk mendekati masyarakat-masyarakat di negara-negara yang baru merdeka (dunia ketiga). Tentu saja banyak hal dari teori modernisasi tidak dapat menjelaskan secara utuh masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara baru tersebut yang baru saja mengalami kolonialisasi dan pada akhirnya mengakibatkan teori modernisasi kehilangan relevansi dengan kebutuhan perubahan secara mendasar yang diharapkan oleh negara-negara baru tersebut. Kenyataannya teori modernisasi menggiring negara-negara baru tersebut ke dalam ketergantungan orientasi kepada model masyarakat Barat yang sebelumnya merupakan penjajah mereka. Di sinilah munculnya kritik terhadap model modernisasi yang datang dari sarjana-sarjana ekonomi politik.

Salah seorang dari mereka, Peter Gran, sebagaimana dalam tulisannya, Ekonomi Politik Sebagai Paradigma dalam Kajian Sejarah Islam, yang menyatakan:

“...secara sederhana, teori modernisasi menyatakan bahwa kebanyakan masyarakat di dunia atau di beberapa wilayah (tertentu), yang disebut negara-negara baru, tidak memiliki dinamika internal yang mampu menghasilkan perubahan berarti. Perubahan penting menuju modern memerlukan “kedatangan Barat”. Modernisasi terjadi melalui antraksi yang menguntungkan antara para anggota kelompok elit setempat yang sedang berkuasa dan berpikiran baru dan Barat.”[11]

Teori modernisasi membuat premis yang menyatakan bahwa perubahan historis yang berarti hanya terjadi di negara yang sudah mapan sebagai akibat dari serangkaian kegiatan kelompok kecil yang disebut kelompok elit. Adapun rujukan dari negara-negara mapan tersebut, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Prancis. Seandainya kelompok elit yang kecil tersebut dianggap sebagai kelompok yang menyebabkan timbulnya (modernisasi itu), bagaimanakah kita menjelaskan Revolusi Prancis, Perang Saudara di AS, atau kelahiran Partai Buruh di Inggris? Inilah yang menyebabkan para sarjana ekonomi politik tidak menerima teori modernisasi dan mendudukkannya sebagai teori elit. Karena itu, mereka berpaling kepada kelas sosial sebagai alat analisis historik. Analisis kelas dipandang lebih komplit dalam membedah suatu gejala dan realitas. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter Gran berikut:

Kelas dirumuskan sebagai sesuatu yang sejalan dengan pembentukan sosial. Dengan cara ini, melalaui model konflik realitas, teori ekonomi politik mampu melukiskan berbagai kegiatan seluruh masyarakat sebagai sesuatu yang bermakna, dan tidak perlu membatasi dirinya sendiri dengan peristiwa-peristiwa politik yang tampil ke permukaan maupun biografi kelompok elit, (serta) melepaskan diri dan anggota-anggota masyarakat lainnya.”[12]

Para sarjana ekonomi politik menganggap teori modernisasi membatasi dan menyempitkan sejarah. Sejarah dipandang sebagai kisah elit-elit tertentu saja, dan sudah pasti hal itu tidak tepat. Teori modernisasi tidak berhasil mengungkap berbagai dinamika penting atau menjelaskan perubahan. Peter Gran lebih lanjut menyatakan:

Teori modernisasi tidak memiliki teori perubahan yang dapat diperbandingkan dengan perjuangan kelas dalam ekonomi politik. Sebagai pengganti teori perubahan ia memiliki teori pemindahan (theory of displacement) di mana sesuatu yang asli atau “tradisional” memberi jalan bagi masuknya yang “modern”. Teori pemindahan ini didasarkan atas gagasan perubahan sebagai pengambilalihan teknologi, yang superioritasnya secara menyeluruh menjelaskan mengapa para pendukung teori modernisasi merasa bahwa mereka tidak perlu berbicara tentang perjuangan, atau bahkan proses.”[13]

Oleh karena itu, kalangan sarjana ekonomi politik menyatakan dengan tegas bahwa teori modernisasi bias kepentingan kolonialisme Barat, secara implisit mengandung tekanan politik: bila untuk menjadi modern, Anda harus mengikuti langkah Barat dan hanya menirunya, berarti Barat akan jadi dokter Anda dan Anda menjadi pasiennya. Faktanya, menurut para intelektual ekonomi politik, satu-satunya pertumbuhan dan kemajuan yang dicapai dunia Barat terjadi melalui upaya pemiskinan dan penghancuran dunia yang belum maju (dunia ketiga).

Pada dasarnya, lapangan kajian ekonomi politik modern dipusatkan untuk memenuhi amanat sejarah tradisional untuk mengkaji perubahan sepanjang zaman melalui penggambaran masa lampau sebagai sesuatu yang terbentuk oleh sejumlah formasi sosial. Setiap formasi sosial dikaji dalam pengertian konflik-konflik sosial fundamentalnya masing-masing, yaitu konflik-konflik yang begitu terasa sehingga akhirnya memecah-belah masyarakat itu. Dalam tradisi ekonomi politik proses sejarah dikaji dengan meruntut perkembangan konflik-konflik atau kontradiksi-kontradiksi ini karena konflik-konflik ini sendiri berfungsi menuju ketertiban sosial itu kembali.

Ekonomi politik sebagai suatu pendekatan memiliki lebih banyak perhatian terhadap materialisme dibandingkan dengan marxisme klasik, namun ia dalam banyak hal berubah menjadi kritikus yang sangat tajam terhadap apa yang dikenal sebagai partai-partai atau gerakan-gerakan komunis dan sosialis, baik di masa lampau maupun di masa kini. Analisis ekonomi politik terhadap kapitalisme menggunakan beberapa konsep seperti pasar dunia, perdagangan, kapitalisme inti dan kapitalisme pinggiran. Konsep-konsep ini cenderung keluar dari model analisis marxis yang dominan, yakni bangsa, dan cara produksi bangsa itu.
Dalam kerangka ekonomi politik terdapat, sekurang-kurangnya dua bentuk teori pasar dunia. 

(1) Yang lebih kuno dan lebih terkenal, yang disebut aliran dependensi (dependency school) ada kaitannya dengan tulisan-tulisan Andre Gundar Frank dan sejumlah penulis lain di Amerika Latin; ia menekankan pada perkembangan dunia modern, dengan mempostulasikan hubungan antara pertumbuhan kekayaan di negara-negara industri di Barat dan perkembangan kemiskinan dari wilayah-wilayah pinggiran yang menghasilkan bahan-bahan mentah di pasar dunia itu.

(2) Tulisan-tulisan Samir Amin yang berpengaruh di seluruh dunia pada sekitar tahun 1970-an. Sumbangan utama Samir Amin adalah upayanya untuk mematahkan pandangan sejarah yang terpusat pada Barat dan dalam waktu lama mendominasi semua disiplin ilmu. Dengan mempergunakan istilah-istilah wilayah inti (wilayah industri) dan wilayah pinggiran (wilayah-wilayah penghasil bahan-bahan baku) Samir Amin bermaksud menjelaskan bahwa gagasan dominasi dan subordinasi tersebut tidak direproduksi sebab interdependensi unsur-unsur tersebut secara simultan tertangkap dalam berbagai dinamika lokalnya sendiri.

Gagasan-gagasan ini diungkapkannya dalam tulisan-tulisannya, Accumulation on a World Scale dan Unequal Development. Misalnya, meskipun Frank memiliki pandangan untuk melihat Amerika Latin sebagai bagian dari pasar dunia sejak abad ke-16 dan karena itu tidak dapat dianggap sebagai bagian dari ekonomi feodal melainkan sebagai bagian dari ekonomi kapitalis dunia modern, Samir Amin lebih jauh menunjukkan, berdasarkan penyeleksian bukti yang jauh lebih luas, bahwa wilayah-wilayah seperti Amerika Latin itu tidak sekedar merupakan bagian yang tergantung pada dasar dunia yang lebih luas, mengingat kawasan ini memiliki ciri umumnya sendiri, yakni fase-fasenya yang dapat diramalkan, (atau) dengan perkataan lain, sejarah, yang sebelum itu tidak terdeteksi. Demikianlah ekonomi politik dapat pula membedah secara tajam gejala-gejala yang tidak saja bersifat ekonomi, tapi juga sosial pada berbagai kawasan, terutama akibat imperialisme.

EKONOMI POLITIK SEBAGAI SUATU SISTEM
Selain bermakna suatu pendekatan seperti hal di atas, pengertian ekonomi politik dapat juga dalam konteks sistem. Sebelum kita uraikan apakah yang dimaksud ekonomi politik sebagai suatu sistem, kiranya lebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan sistem itu sendiri.

Secara ringkas yang dimaksud dengan sistem adalah serangkaian unit dari suatu lembaga yang bersifat saling terkait dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan suatu asas tertentu. Dengan demikian, ekonomi politik sebagai suatu sistem mengandung arti adanya tatanan ekonomi politik yang dibangun di atas asas yang khas dengan unit-unit yang saling terhubung dan terpadu sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, identifikasi perbedaan terhadap suatu ekonomi politik dapat dikenali dari sistem yang dibangun, mulai dari cara dan mekanismenya, asas dan tujuannya. 

Berdasarkan hal itu, maka secara mudah dapat dikenali jenis-jenis ekonomi politik melalui identifikasi tujuan, cara dan asasnya: apakah ekonomi politik tersebut bersifat kapitalis atau sosialis. Demikian pun dapat pula diidentifikasi apa yang dimaksud dengan ekonomi politik Islam.

CATATAN:
[1] Komaruddin Sastradipoera, Uang: Di Negara Berkembang,  Jakarta: Penerbit Bumi Asara, 1991, h, 4
[2] Lihat buku yang ditulis oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta-BI, berjudul,  Ekonomi Islam, jakarta, Rajagrafindo Persada, 2008, h, 14
[3] Paul A. Samuelson, dan Nordhaus, William, D. Ekonomi, Jilid 1, Jakarta, Erlangga1990, h, 5
[4] Tim Harford, Logika Hidup, Logika Ekonomi di Balik Seks, Kejahatan, Rasisme, dan Politik Kantor, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, cet. 1, hlm x.

[5] M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik, Jakarta: LP3ES, 1988, Cet.3, hlm 36.