Kamis, 28 Juli 2016

Motif Ekonomi Perang Salib



Betapapun banyaknya yang berpandangan bahwa Perang Salib adalah ekspedisi militer yang dilakukan atas nama iman Kristiani, pada dasarnya motif dan upaya untuk mendapatkan keuntungan materilah yang menjadi tujuan sesungguhnya. Dalam hal ini, Perang Salib bisa dibilang sebuah aliansi-invasi, sebagaimana keberingasan kelompok ISIS dan sekutu mereka saat ini yang dihasut dengan isu ‘Pendirian Khilafah’ oleh Amerika, NATO dkk itu –sama-sama membajak agama demi agressi dan invasi dalam rangka penguasaan material dan kepentingan ekonomi politik.

Sejarah, memang, entah kita suka tidak suka, acapkali terulang dalam ‘hukum sirkular’ yang kembali pada pola yang sama.

Kala itu Eropa dilanda kemiskinan dan kesengsaraan yang berat, dan persis pada saat itulah kemakmuran dan kekayaan bangsa Timur, terutama bangsa Muslim di Timur Tengah, menarik perhatian bangsa Eropa yang tengah dilanda ‘kebangkrutan’ itu.

Singkat kata, meski menggunakan wajah agama (menggunakan klaim-klaim keagamaan), dan dihiasi dengan simbol-simbol Kristiani, gagasan Perang Salib sebenarnya lahir dari hasrat akan keuntungan duniawi, motif material, sebagaimana Amerika, NATO dan sekutu mereka seperti Rezim Saudi Arabia, Qatar dan Turki melakukannya di Irak, Suriah dan di tempat-tempat lainnya di dunia saat ini –dengan menggunakan ISIS, Al-Qaeda, Front Al-Nusra dan yang sejenisnya itu.

Sebagaimana kita tahu, pengagas Perang Salib adalah Paus Urban II (atas desakan Ordo Templar). Saat itu, tepatnya pada tahun 1095, ia menyelenggarakan Konsili Clermont, di mana doktrin Kristen sebelumnya yang cinta damai ditinggalkan. Perang suci diserukan, dengan tujuan (yang sebenarnya isu politis) untuk merebut ‘tanah suci’ (yang sebenarnya dalam rangka mengeruk bahan material dan kekayaan) dari tangan bangsa Muslim.

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan konsili, dibentuklah pasukan Pejuang Salib yang amat besar, terdiri dari para tentara, dan puluhan ribu rakyat biasa.

Para ahli sejarah percaya bahwa upaya Urban II didorong oleh keinginannya untuk merintangi pencalonan seorang pesaingnya dalam kepausan. Sedangkan di balik sambutan penuh semangat dari para raja, pangeran, dan bangsawan Eropa atas seruan Paus, tujuan mereka pada dasarnya bersifat keduniawian.

Sebagaimana diungkapkan oleh Donald Queller dari Universitas Illinois, “Ksatria-ksatria Prancis menginginkan lebih banyak tanah. Pedagang-pedagang Italia berharap untuk mengembangkan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah”.

Motif untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan di kalangan para bangsawan, politisi, korporat, para pedagang, dan pemegang institusi politik dan keagamaan di Eropa, itulah yang mendorong digelarnya invasi dan agressi yang membajak agama, yang kita kenal sebagai Perang Salib itu

Dalam Perang Salib itu, sejumlah besar orang miskin bergabung dengan ekspedisi sekedar untuk melarikan diri dari kerasnya kehidupan sehari-hari mereka di negara-negara mereka masing-masing di Eropa. Sepanjang jalan, massa yang ‘serakah’ ini membantai banyak orang Muslim, dan bahkan Yahudi, dengan harapan untuk menemukan emas dan permata. Para prajurit Perang Salib bahkan membelah perut korban-korban mereka untuk menemukan emas dan batu-batu berharga yang mungkin telah mereka telan sebelum mati.

Begitu besarnya keserakahan para Prajurit Perang Salib akan harta, sehingga tanpa sesal mereka merampok kota Kristen Ortodoks (Kekaisaran Bizantium) Konstantinopel (Istanbul) pada Perang Salib IV, dan melucuti daun-daun emas dari lukisan-lukisan dinding Kristiani Ortodoks di Hagia Sophia (Aya Sofia yang kini telah menjadi mesjid itu).

Setelah perjalanan yang panjang dan sulit, serta begitu banyak perampasan dan pembantaian orang-orang Muslim, gerombolan campur aduk yang disebut Prajurit Perang Salib ini mencapai Yerusalem di tahun 1099. Ketika akhirnya kota itu jatuh, setelah pengepungan selama hampir lima minggu, para prajurit Perang Salib pun masuk.

Mereka melakukan kebuasan hingga tingkatan yang jarang disaksikan dunia. Semua orang Muslim dan Yahudi di kota itu mati di ujung pedang.

Dalam narasi salah seorang ahli sejarah diceritakan, “Mereka membunuh semua orang Sarasen dan Turki yang mereka temukan…baik lelaki maupun wanita.” Salah seorang Pejuang Salib, Raymond of Aguiles, menyombongkan kekejaman ini:

Tampaklah pemandangan yang menakjubkan. Sebagian orang-orang kami (dan ini lebih murah hati) memenggal kepala-kepala musuh; yang lainnya memanah mereka, sehingga berjatuhan dari menara-menara, yang lain lagi menyiksa lebih lama dengan melemparkan mereka ke dalam api. Gundukan kepala, tangan, dan kaki tampak di jalan-jalan kota. Orang harus mencari jalan di antara mayat-mayat manusia dan kuda. Tetapi ini belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Kuil Sulaiman, tempat kebaktian keagamaan biasanya dinyanyikan…di dalam Kuil dan serambi Sulaiman, orang-orang berkuda berkubang darah hingga ke lutut dan tali kekang mereka.”

Selama dua hari, pasukan para prajurit Perang Salib membunuh sekitar 40.000 muslim dengan cara yang sangat keji dan barbar. Para prajurit Perang Salib kemudian menjadikan Yerusalem sebagai ibukota mereka, dan membangun Kerajaan Latin yang membentang dari perbatasan Palestina hingga ke Antioch (Antakia) di Suriah.


Selanjutnya, para prajurit Perang Salib mulai berupaya untuk memperjuangkan posisinya di Timur Tengah. Untuk mempertahankan apa yang telah mereka bangun, mereka perlu mengorganisirnya. Untuk itu mereka membentuk ordo-ordo militer, dalam bentuk yang belum pernah ada sebelumnya. Anggota ordo-ordo ini datang dari Eropa ke Palestina, dan tinggal di semacam biara, di mana mereka menerima latihan militer untuk memerangi orang Muslim. Secara khusus, salah satu dari ordo-ordo ini berbeda dengan yang lainnya. Ordo itu mengalami transformasi yang akan memengaruhi jalannya sejarah. Namanya adalah ‘Ordo Templar’.