Senin, 27 Juli 2015

Everyday Iran

A florist sitting on a chair right beside his flower shop while a customer is taking a look around his colorful flowers. #Tehran, #Iran.
Photo by Ahmad Abdi @ahmadabdi_s
http://instagram.com/p/o1MI-xn_7q/ 
A girly gathering in a café-restaurant, located in #Farahzad, a neighborhood in west #Tehran with lots of recreational places. #Iran. Photo by Yalda Moaiery @yaldamoaiery http://instagram.com/p/oODN8LH_8D/ 

Two students sitting on car tires, drinking their cups of tea in the yard of #Tabriz Islamic Arts University. #EastAzarbaijan, #Iran.
Photo by Khashayar Sharifaei @khashayarsharifae
http://instagram.com/p/oB2H7Mn_yu/ 

A bride and groom accompanied by some of their female families at a traditional wedding. #Bandar_Turkman, #Golestan, #Iran.
Photo by Ali Lorestani @aliloreestani
http://instagram.com/p/nur__-H_xQ/ 
A fisherman standing on a launch while some other boats are tied up to the land. #Abadan, #Khuzestan, #Iran. Photo by Arash Naghizadeh @arash_naghizadeh http://instagram.com/p/nTNChMH_5e/ 
A view of Milad tower from Rahmanabad hill, #Kashounak, #Tehran, #Iran.
Photo by @feredi_ash http://instagram.com/p/nQx6Oen_xr/ 
A young boy and a young girl standing under College Bridge on Enghelab St. #Tehran, #Iran. Photo by @thedonmob #everydayiran
پسر و دختری جوان زیر پل کالج در خیابان انقلاب ایستاده‌اند. #تهران، #ایران
http://instagram.com/p/sSZ4UbH_9S/?modal=true 


Women in traditional dresses carrying some presents on elaborately decorated flat containers called “tabaq” to the bride’s house as a tradition in a wedding ceremony. This ceremony is also called “tabag-baran”. Shaft, #Gilan, #Iran. Photo by @purplism
http://instagram.com/p/p9Zh-6n_6r/ 


Two old ladies stand in a muddy side road to talk. Shaft, #Gilan, #Iran.
Photo by @purplism
http://instagram.com/p/p1jJvan_1H/?modal=true 


Muslim women taking part in a religious ceremony named “Roze Khani” in which elegiac poems written to commemorate #Shia’s #Imams, especially Imam Hussain and the battle of #Karbala, are sung. #Qazvin, #Iran.
Photo by Mehran Mafibordbar @mehranmafibordbar
http://instagram.com/p/pvq6d_H_2a/?modal=true 


Little boys playing #football on Jazireh-ye Shif beach which is a village in #Bushehr, #Iran.
Photo by Hossein Heidarpour @hosseinheidarpour
http://instagram.com/p/ptgqqjn_2Z/

Selasa, 21 Juli 2015

Baqir Shadr Sang Filsuf Bainan Nahrain





Oleh Farhanna Fa’izzat

Wacana yang berkembang di dunia Islam dewasa ini telah memberi tanggapan (counter) terhadap pemikiran Barat. Namun, sebelum abad ke-20, untuk menangkis pemikiran Barat, para pemikir Islam lebih banyak berapologi. Ini adalah akibat tertutupnya pintu ijtihad serta ceteknya kajian falsafah mengenai pemikiran Barat di kalangan pemikir-pemikir Islam.

Muhammad Baqir Ash-Shadr adalah diantara sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ditepisnya dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Selain itu, tentu saja, Ash-Shadr begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern.

Dalam waktu yang sama, Ash-Shadr juga begitu paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal, yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna, ia dengan fasihnya mengutarakan kritikan-kritikan terhadap pemikiran para pemikir Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain.

Falsafatuna dan Iqtishaduna telah melambungkan Muhammad Baqir Ash-Shadr sebagai pemikir kebangkitan Islam terkemuka. Sistem falsafah dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan institusi. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr mengemukakan kritik yang serius terhadap aliran Marxisme dan Kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi merupakan sumbangsih paling serius dan paling banyak dipuji dalam bidangnya.

Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 Dzulqa’dah 1353 H/1 Maret 1935 M dari keluarga beragama yang religius dan masyhur. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya dan saudara kandungnya, Ismail, yang juga seorang mujtahid terkenal di Irak.

Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kecerdasan dan kejeniusannya semenjak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, Ash-Shadr berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain mengenai budaya Islam. Ash-Shadr mampu menangkap isu-isu teologikal yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, Ash-Shadr mengambil pendidikan logika (manthiq), dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filsuf.

Pada usia tiga belas tahun, datuknya mengajarkan kepadanya Ushul ‘Ilm al-Fiqh. Pada usia sekitar enam belas tahun, Ash-Shadr pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Sekitar empat tahun kemudian, Ash-Shadr menulis sebuah ensiklopedia tentang Ghayat Al-Fikr fi al-Ushul (Pemikiran Puncak dalam Ushul Fiqh). Dengan prestasi-prestasi ini, Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.

Sebagai salah seorang pemikir yang paling terkemuka, Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang jelas dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur Tengah pada umumnya.

Ketika peristiwa hukuman mati Ash-Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980 oleh pemerintahan Saddam (yang disokong Amerika), tak ragu lagi merupakan titik puncak tantangan terhadap Islam di Irak khususnya dan dunia muslim umumnya. Dengan meninggalnya Ash-Shadr, Irak khususnya dan dunia Islam sebenarnya telah kehilangan intelektual Islamnya yang paling cemerlang. Dan, reputasinya semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi Mediteranian, ke Eropa dan Amerika Serikat.

Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal di Washington, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya Ash-Shadr kepada gerakan intelektual dan Islamiyyah di Irak khususnya dan dunia Islam umumnya. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, disertai dengan mukaddimah panjang mengenal biografi Ash-Shadr oleh seorang orientalis muda Jerman.

Bagi kita, tidak mungkin untuk kita mengabaikan nilai signifikan dan asas (dasar-dasar Islam modern yang sekaligus tidak meninggalkan fondasi klasiknya) yang dibentuk oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr ini dalam kebangkitan terhadap gerakan politik Islam, khususnya di negara yang terletak antara dua sungai, Bainan Nahrain, Irak dewasa ini. 


Jumat, 17 Juli 2015

Irfan Mulla Shadra, Sintesis Syi’ah dan Sunni




Oleh Komunitas Cahaya

SUMBER al-Hikmah al-Muta’aliyah
Ada berbagai pandangan terhadap pemaknaan hikmah, mulai al-Kindi sampai Ibn Rusd dan konsep puncaknya pada Mulla Shadra. Al-hikmah al-muta'aliyah adalah konsep baru yang ditawarkan Shadra. Kata al-hikmah al-muta'aliyah sebenarnya sudah digunakan oleh kaum sufi dan filosof terdahulu, seperti Ibn Sina dan Nashir al-din al-Thusi.

Meski nama al-hikmah al-muta'aliyah bukan nama baru yang diperkenalkan Shadra, namun konsep dan pemaknaan yang lengkap baru diketemukan dalam tulisan-tulisan Shadra. Sekaligus, murid-murid Shadra memperkenalkannya. Pada filsafat Shadra, tidak hanya ditemukan satu sintesis filsafat dan pemikiran Islam, tapi juga sintesis dari pemikiran terdahulu.

Dalam pendahuluan al-Hikmah al-Muta'aliyah, Shadra membahas secara panjang mengenai definisi hikmah. Menurutnya, hikmah tidak hanya menekankan sikap teoritis melainkan juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian jiwa dari kotoran-kotoran yang bersifat material. Shadra juga menerima definisi hikmah dari Suhrawardi, kemudian memperluasnya. Hikmah mencakup dimensi iluminasi dan penghayatan langsung dari kaum Isyraqi serta kaum sufi. Shadra juga memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang tinggi dan memiliki asal-usul ketuhanan, karena berasal dari Nabi.

Ungkapan al-hikmah al-muta'aliyah terdiri dari dua istilah, yaitu al-hikmah, yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari filsafat, iluminasionisme dan sufisme. Sementara yang kedua, al-muta’aliyah, yang berarti tinggi, agung dan transenden. Dalam konsep al-hikmah al-muta'aliyah, hanya Shadra yang menggunakannya. Sedangkan yang mempopulerkan adalah murid-muridnya, baik secara langsung maupun tidak secara langsung.

Penyebutan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra, kali pertama diperkenalkan oleh Abdul Razaq Lahiji (wafat 1661 M), salah seorang murid dan juga menantu Shadra yang terkenal. Shadra sendiri tidak menyatakan secara eksplisit, bahwa aliran filsafatnya al-hikmah al-muta'aliyah. Penyebutan istilah ini hanya tertulis dalam karya-karyanya: al-Hikmah al-Muta'aliyah maupun al-Syawahid al-Rububiyyah.

Setidaknya bagi Sayyed Hossein Nasr, penggunaan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra terpengaruh oleh dua hal. Pertama, karena judul buku Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah, menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran dan pandangan dunia yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin metafisika Shadra. Kedua, adanya ajaran oral (lisan dan tuturan) dari Shadra sendiri. Shadra menunjuk al-hikmah al-muta'aliyah tidak hanya menjadi judul bukunya, melainkan ada ajaran moral di dalamnya.

Untuk mengetahui konsep dan pemaknaan Shadra tentang al-hikmah al-muta'aliyah, harus melihat Shadra dalam mendefinisikan hikmah atau falsafah. Menurut Shadra, kedua istilah tersebut adalah identik. Hikmah atau falsafah, dalam perspektif Shadra, berarti al-hikmah al-muta'aliyah itu sendiri.

“Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangun berdasar bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar prasangka dan sekedar mengikuti orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan.”

Melihat definisi di atas, bisa dilihat bahwa bagaiman Shadra mengkombinasikan berbagai pemikiran. Dari yang dikemukakan oleh Ibn Sina maupun yang dikemukakan oleh Suhrawardi. Dari definisi ini, juga kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa hikmah dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju Tuhan. Tentunya, tidak hanya hikmah yang dapat menjadi sarana mendekat pada Sang Khalik.

Sebagai sebuah konstruksi, pemikiran al-hikmah al-muta'aliyah tentu saja tidak hanya dihasilkan dari konstruksi pemikiran pribadi Shadra, namun bersumber juga pada karya-karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak dapat disimpulkan bahwa pemikiran Shadra hanya gabungan dari berbagai karya terdahulu.

Filsafat Shadra menjadi bagian dari filsafat perenialais, yang di dalamnya terdapat pengulangan-pengulangan kembali tentang kebenaran yang sama dengan sebelumnya.

Ketika Shadra masih hidup, dia sudah menerima banyak kritikan. Bahkan, pada tahap berikutnya, Shadra dituduh telah mencuri ide-ide orang lain dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, arus masyarakat tidak hanya negatif, banyak juga yang berpandangan bahwa ide Shadra adalah yang paling benar. Kelompok ini juga memandang bahwa ide Shadra inilah yang menjadi puncak dari seluruh pemikiran filsafat Islam. Kelompok ini berasal dari sebagian murid dan pengagumnya.

Terlepas dari perdebatan tersebut, setidaknya ada beberapa sumber al-hikmah al-muta'aliyah muncul dari pemikiran Shadra. Pertama, sumber utama dari munculnya ide al-hikmah al-muta'aliyah adalah tradisi Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an. Tidak diragukan lagi kecakapan Shadra dalam bidang ini. Pengetahuannya terhadap teks kitab suci dan penafsirannya menjadikan Shadra berbeda dengan filosof-filosof muslim sebelumnya. Dalam mengungkapkan makna batin, Shadra lebih mirip dengan tokoh-tokoh tasawuf dibanding dengan para filosof sendiri. Karakteristik pemikiran Shadra sendiri, lebih terlihat penggunaan al-Qur'an sebagai fondasi utamanya.

Pengaruh al-Qur'an terhadap pemikiran Shadra tidak saja terpengaruh terhadap penafsiran-penafsiran formal, tetapi hampir dalam setiap tulisannya. Hampir setiap karya-karyanya selalu diberi penjelasan dengan Al-Qur'an, jadi al-Qur'an tiak hanya digunakan dalam tafsirnya (Tafsir al-Qur'an al-Karim).

Kedua, adalah hadits. Al-hikmah al-muta'aliyah juga menggunakan hadits untuk membangun fondasi strukturnya. Bagi Shadra, hadits juga memiliki tingkatan makna-makna esoterik yang hanya bisa disentuh dengan illuminasi spiritual. Makna inilah yang dicari oleh pencari kebenaran.

Selain kedua sumber tersebut, Shadra sebagai Syi’ah, al-hikmah al-muta'aliyah juga bersumber pada ucapan-ucapan para imam ahlulbait, terutama Imam Ali, yang juga dianggap sebagai teks suci. Salah satu contohnya adalah khutbah Ali tentang keberadaan wujud Tuhan. Imam Ali mengecam bagi yang tidak mengakui keberadaan sifat-sifat Tuhan, dan menegaskan wujud Tuhan secara murni. Bagi Imam Ali, antara wujud dan sifat Tuhan adalah identik. Begitu pula Shadra, ia sering menggunakannya untuk membuktikan keberadaan wujud dan sifat-sifat Tuhan.

ilmu Kalam Syi’ah menjadi corak yang lain dalam pemikiran Shadra, sebuah lingkungan yang mesti mempengaruhi pemikiran. Kalam Syi’ah sendiri banyak yang bersifat filosofis dan mistis. Dengan kata lain, pemecahan segala sesuatu melalui filsafat dan juga berusaha dipadukan dengan sufisme yang berkembang waktu itu. Tentu saja, konstruksi al-hikmah al-muta'aliyah tidak akan pernah lepas dari keberadaan kalam Syi’ah itu sendiri.

Shadra tidak hanya terpengaruh oleh ilmu kalam Syi’ah saja, melainkan Mu’tazilah, Asy’ariyah juga mewarnai pemikirannya. Para pengarang Asy’ariyah klasik, seperti al-Ghazali dan al-Razi memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sistem al-hikmah al-muta'aliyah. Mu’tazilah juga memiliki peran, namun peran Asy’ariyah lebih dominan dibanding dengan Mu’tazilah.

Dalam bidang filsafat sendiri, Shadra sangat paham terhadap tokoh-tokoh Yunani klasik, bahkan tokoh-tokoh pra Sokrates. Adalah hal menarik, bahwa pemikiran pra Socrates, filsafatnya bercirikan isyraqi. Bagi Shadra, tokoh-tokoh Alexandria memiliki tradisi ilmu pengetahuan yang dekat dengan Isyraqi tersebut. Shadra juga banyak menginterpretasikan tokoh-tokoh tersebut secara mendalam.

Namun, pengetahuan Shadra tentang filsafat Islam lebih mendalam. Dalam sejarah aliran peripatetik, Shadra lebih mengenal al-Kindi dibanding dengan yang lain. Akan tetapi, kelihatannya Shadra tidak banyak terpengaruh oleh al-Kindi.

Mengenai Ibn Sina, Shadra paling mendalam pengetahuannya. Ibn Sina bisa dibilang sebagai sumber utama munculnya al-hikmah al-muta'aliyah. Hampir setiap buku Ibn Sina digunakan sebagai rujukan oleh Shadra. Selain Ibn Sina, sumber utama yang lain adalah Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi. Suhrawardi digunakan sebagai sumber pengetahuan, tentu saja dalam bidang aliran isyraqi.

Shadra sendiri secara jujur mengakui kepahaman terhadap hikmah tidak lain dari Suhrawardi. Eksposisi metafisik bisa dilihat sebagai versi lain Suhrawardi. Bagi Shadra, kedua tokoh tersebut keberadaannya saling melengkapi. Oleh sebab itu, tidak heran jika Shadra menyebut orang yang mencapai tingkat pengetahuan tinggi sebagai hakim muta’allih.

Al-hikmah al-muta'aliyah juga tidak lepas dari adanya ajaran-ajaran esoteris Islam yang terkandung dalam ajaran tasawuf. Hampir seluruh tulisan Shadra selalu bercorak etika dan operasional. Syair Rumi juga digunakannya sebagai argumen intelektual.

Prinsip Utama al-Hikmah al-Muta’aliyah
Al-hikmah al-muta'aliyah merupakan sintesis Shadra dari iluminasi intelektual (isyraq), penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan atau istidlal) serta agama dan wahyu (syar’i). Melalui kombinasi ketiga hal tersebut, tercipta al-hikmah al-muta'aliyah. Terlihat sekali perpaduan antara prinsip-prinsip ‘irfan, filsafat dan agama. Di mana pembuktian-pembuktian rasionalnya selalu dikaitkan dengan al-Qur'an, al-hadits serta ajaran-ajaran para imam ahlulbait yang kemudian dipadukan dengan doktrin ‘irfan.

Shadra sendiri meyakini sepenuhnya bahwa metode yang paling berhasil untuk mencapai pengetahuan yang sejati adalah Kasyf, yang ditopang oleh wahyu dan tidak bertentangan dengan burhan.

Bagi Shadra, hakikat pengetahuan tidak dapat diperoleh secara langsung, kecuali atas perantara Tuhan, dan tidak mungkin terungkap kecuali melalui cahaya kenabian dan kewalian. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan penyucian qalb (hati). Menjauhkan diri dari segala hawa nafsu, mendidik agar tidak terpesona dengan kemewahan dunia materi, serta mengasingkan diri dari keramaian. Selain itu, merenungkan ayat-ayat Tuhan (sunatullah), merenungkan hadits nabi dan mencontoh perilaku orang-orang saleh.

Ketika dia menyadari kelemahan diri dan merasakan bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu apapun, dibangkitkannyalah semangat dan berkobar qalbunya dengan cahaya yang terang. Saat itulah, ketika seseorang dipenuhi sinar (yang merupakan dari Tuhan), di saat itulah terbuka di hadapannya rahasia dari ayat-ayat Tuhan.

Sumber:
Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah fi al-Ashfar al-Aqliyah al-Arbaah, (Beirut: Dar el Ihya, 1981).
Nasr Sayyed Hossen Nasr dalam Ahmad NP. (ed.), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996).
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. M. Khozim dan Suhadi, (Yogyakarta: LKiS, 2002).
Issa J. Baullata, Dekonstruksi Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2001), lihat juga Sayyed Hossen Nasr dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Op.Cit., hlm. 143.
Fritjoff Schoun, Filsafat Perenial, (Bandung: Mizan, 1995)

Rabu, 15 Juli 2015

Al-Kindi, Waktu, Einstein, dan Al-Qur’an




(Gambar: F-22 Amerika Ditembak MIG-29 Rusia)



“Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak absolut. Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda. Jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan” (Al-Kindi, al Falsafa al Ula)

Kita tahu bahwa Teori Relativitas Einstein ada dua macam, yaitu teori relativitas khusus dan teori relativitas umum. Berdasarkan teori relativitas khusus menunjukan bahwa kecepatan membuat waktu bersifat relatif.

Bila suatu benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka waktu akan mengalami pemoloran atau melambatnya waktu, fenomena ini disebut dengan delatasi waktu, sedangkan teori relativitas umum mempostulatkan bahwa gravitasi membuat waktu menjadi relatif.

Singkatnya, waktu akan berjalan lebih lambat di daerah yang gravitasinya lebih besar, dan inti dari kedua teori ini adalah waktu yang bersifat relatif.

Apabila ada manusia yang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya atau berjalan di daerah yang gravitasinya lebih besar dari gravitasi bumi, misalnya matahari (dan ini sekedar pengandaian saja), maka waktu akan berjalan lambat, dan begitu pula fungsi biologi dan anatomi tubuhnya serta semua pergerakan yang terkait dengan atom-atom penyusun tubuhnya.

Percobaan yang dilakukan di British Nasional Institute of Physics telah menguatkan fakta tersebut, penelitinya John Laverty, mencocokkan dua jam yang menunjukan waktu yang sama (dua jam tersebut memiliki tingkat ketelitian yang optimal, perkiraan kesalahan kira-kira tidak lebih dari 1 detik dalam 300.000 tahun).

Salah satu jam ini disimpan dalam Laboratorium di London, dan jam yang lainnya dibawa dalam penerbangan pulang pergi antara London dan Cina.

Kita tahu juga bahwa semakin tinggi suatu pesawat maka pengaruh gravitasi bumi semakin kecil, sehingga berdasarkan teori relativitas umum waktu akan berjalan lebih cepat di atas pesawat.

Perbedaan gravitasi antara orang yang terbang di udara dengan orang yang berada di atas permukaan bumi tidaklah begitu mencolok walaupun tetap ada perbedaan itu sangat kecil sekali sehingga perbedaan ini hanya dapat dilihat dengan alat yang memiliki tingkat ketelitian yang sangat tinggi.

Ternyata dari penelitian ini didapatkan bahwa jam yang berada di atas pesawat berjalan lebih cepat satu per lima puluh lima miliar detik, yang mana biarpun hasilnya sangat kecil tetap saja ada perbedaan kecepatan jam. Ini menunjukan bahwa waktu memang bersifat relatif.
 
Cobalah sekarang kita menengok kitab suci kita Al-Qur’an: “Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij 70:4).

Jika bumi sebagai acuan, relativitas terjadi barangkali karena tempat yang tinggi karena ada istilah naik pada ayat di atas, juga bisa terjadi karena kecepatan para malaikat dan Jibril yang mendekati kecepatan cahaya, karena malaikat dan jibril bahan dasarnya atau diciptakan dari cahaya. Sehingga waktu mengalami pemoloran (pelambatan atau delatasi), dimana satu hari molor menjadi lima puluh ribu tahun di bumi.

Atau ayat berikut ini: “Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu” (QS. Al-Sajdah 32:5).

Ayat tersebut juga menunjukan pemoloran (pelambatan) waktu, yang disebabkan perbedaan ketinggian karena ada istilah naik, sehingga waktu langit berbeda dengan waktu bumi.

Dalam Al-Qur’an disebutkan juga bahwa orang yang telah meninggal jika dibangkitkan kembali akan berpikir bahwa waktu mereka di dunia sangatlah singkat. Nah, persis dengan memahami teori relativitas, pertanyaan yang membingungkan tentang waktu yang satu hari setara dengan seribu tahun atau bahkan lima puluh ribu tahun dapat diterima akal dengan sebaik-baiknya.

“Dan ingatlah pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa) seakan-akan tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali sesaat saja pada siang hari, (pada waktu) mereka saling berkenalan, sesungguhnya orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, dan mereka tidak mendapat petunjuk” (QS. Yunus 10:5).

Dan Allah berfirman, ”berapakah tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab “kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung” (QS. Al-Mu’minun 23:113).