Rabu, 20 Januari 2016

Negara & Praktik Sosial dalam Teladan Imam Ali


“Hidup bersosial sudah terpatri dalam jati diri manusia. Untuk itu, guna menangani seluruh kebutuhan hidup, ia harus hadir aktif di tengah masyarakat. Tapi, dari sisi lain, ia adalah sebuah makhluk yang ingin menang sendiri”

Oleh HUJJATUL ISLAM MALEKIRAD

Keharusan hidup bersosial dan keinginan untuk menang sendiri mendorong manusia untuk saling bertikai dan bertengkar. Untuk menyudahi pertikaian-pertikaian tak berguna ini, diperlukan sebuah undang-undang dan badan yang menjalankan undang-undang ini.

Di sepanjang sejarah, dengan memahami kebutuhan tersebut di atas, umat manusia berusaha menetapkan undang-undang yang sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang mereka hadapi. Di samping itu, mereka juga menetapkan berlandaskan pada akal komunal yang dimiliki sebuah lembaga yang dapat menjalankan undang-undang tersebut dengan benar. Lembaga ini, bergantung kepada kondisi ruang dan waktu, beraneka ragam. Mulai dari kepala kampung hingga kepala kabilah. Dan akhirnya, terbentuklah sebuah lembaga yang lebih besar dan lebih komunal bernama negara.

Faktor terpenting yang mendorong pembentukan negara adalah menjalankan undang-undang guna mewujudkan ketertiban di tengah masyarakat manusia. Yakni seandainya undang-undang yang ditetapkan pun sangat maju dan bahkan bersumber dari kitab-kitab langit sekalipun tetapi tidak memiliki badan mumpuni untuk menjalankannya, maka undang-undang ini pun tidak akan berguna untuk menciptakan ketertiban di tengah masyarakat.

Dengan demikian, kebutuhan terhadap negara dalam sebuah tatanan masyarakat manusia termasuk kebutuhan yang sangat fundamental, karena ketiadaan lembaga ini akan menyebabkan kekacauan di tangan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, hidup ini bagi semua anggota masyarakat akan menjadi negara.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut ini:

Pertama, keberadaan sebuah undang-undang untuk kehidupan manusia sangat urgen diperlukan.

Kedua, untuk menjalankan undang-undang tersebut diperlukan sebuah lembaga dan badan resmi bernama negara.

Untuk itu, di sepanjang sejarah manusia, seluruh aliran dan agama, baik yang bersumber dari Tuhan maupun tidak, memiliki satu pesan penting; yakni menciptakan undang-undang. Untuk melaksanakan undang-undang ini, mereka juga mengusulkan sistem pemerintahan kepada masyarakat.

Agama Islam sebagai agama Allah yang terakhir memiliki sistem pengetahuan, nilai, dan undang-undang tinggi yang terjelma dalam al-Quran dan Sunah para manusia maksum as. Tentu saja, guna menjalankan undang-undang ini diperlukan para eksekutor yang adil dan komitmen serta berhubungan dengan sebuah sistem negara yang berkomitmen untuk menjalankan undang-undang tersebut. Hal inilah yang mendorong Rasulullah saw, ketika telah berhasil menancapkan fondasi dakwah di Madinah, untuk membangun fondasi negara di kota suci ini dan membentuk sebuah sistem eksekutif yang sesuai dengan kondisi yang dominan kala itu.

Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, Para Imam Maksum as pun aktif dalam roda pemerintahan masing-masing sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang berlaku kala itu. Contoh paling nyata untuk hal ini adalah pemerintahan Imam Ali as selama lima tahun. Sekalipun harus menghadapi banyak pasang surut, beliau telah berhasil menunjukkan sebuah model pemerintahan Ilahi di muka bumi dan meninggalkan banyak pelajaran berharga bagi umat manusia.

Sirah Imam Ali bin Abi Thalib as dalam memanajemen negara bisa dijadikan model oleh para pecinta beliau dalam menjalankan negara.

Dalam perspektif maktab Alawi, undang-undang yang ditetapkan oleh Allah adalah lebih sempurna dan lebih konprehensif dibandingkan dengan undang-undang yang ditetapkan oleh manusia sendiri.

Ketika memaparkan filsafat negara Islam, Imam Ali as menegaskan, “Ya Allah! Engkau sendiri tahu bahwa perang kami ini bukanlah untuk memperebutkan kekuasaan dan menumpuk harta dunia. Tetapi kami hanya ingin mengembalikan tanda-tanda agama-Nya ke tempatnya yang sebenarnya dan ingin melakukan perbaikan di muka bumi-Mu sehingga para hamba-Mu yang terzalimi bisa hidup dengan aman dan seluruh undang-undang-Mu yang telah terlupakan bisa dihidupkan kembali.”

Untuk itu, Imam Ali as menjelaskan seluruh tujuan negara Islam dalam surat kepada Malik Asytar dalam empat barometer:

[a] Mengurusi urusan finansial dan ekonomi.

[b] Menangani urusan militer guna membangun kesiapan untuk melawan musuh.

[c] Mempersiapkan lahan sosial dan stabilitas sosial supaya seluruh kemampuan masyarakat dan nilai-nilai Ilahi-insani bisa berkembang di tengah masyarakat.

[d] Melaksanakan pembangunan dan kemakmuran di segala bidang.

Melihat tujuan-tujuan mulia yang telah dicanangkan di atas, Imam Ali as telah mencincingkan lengan baju pada lima tahun kekuasaan untuk memperkokoh sistem negara Islami. Akhirnya, beliau pun gugur syahid di jalan ini. 


Selasa, 19 Januari 2016

Kedokteran Rumah Tangga Rasulullah (Muhammad Sawaw)

(Film Iran, Heiran)

Dalam hadis yang bersumber dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah sawaw berwasiat kepada menantunya dan washinya, Al-Imam Ali bin Abi Thalib as:

“Wahai Ali, jika isterimu memasuki rumahmu, hendaknya istrimu melepaskan sandalnya ketika ia duduk, membasuh kedua kakinya, menyiramkan air dimulai dari pintu rumahmu sampai ke sekeliling rumahmu. Karena, dengan hal ini Allah mengeluarkan dari rumahmu 70.000 macam kefakiran dan memasukkan ke dalamnya 70.000 macam kekayaan, 70.000 macam keberkahan, menurunkan kepadamu 70.000 macam rahmat yang meliputi isterimu, sehingga rumahmu diliputi oleh keberkahan dan isterimu diselamatkan dari berbagai macam penyakit selama ia berada di rumahmu.

Cegahlah isterimu (selama seminggu dari awal perkawinan) minum susu dan cuka, makan Kuzbarah (sejenis rempah-rempah, ketumbar) dan apel yang asam. 


Imam Ali bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia dilarang dari empat hal tersebut? Rasulullah saaw menjawab: Empat hal tersebut dapat menyebabkan isterimu mandul dan tidak membuahkan keturunan.

Kemudian Imam Ali as bertanya: Ya Rasulallah, mengapa ia tidak boleh minum cuka? Rasulullah sawaw menjawab: Cuka dapat menyebabkan tidak sempurna kesucian dari haidnya; Kuzbarah menyebabkan darah haid berakibat negatif terhadap kandungannya dan mempersulit kelahiran; sedangkan apel yang asam dapat menyebabkan darah haid terputus sehingga menimbulkan penyakit baginya.” 

Kemudian Rasulullah sawaw bersabda:


Pertama: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu pada awal bulan, tengah bulan, dan akhir bulan, karena hal itu mempercepat datangnya penyakit gila, kusta, dan kerusakan syaraf padanya dan keturunannya.

Kedua: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sesudah Zhuhur, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jiwa anak mudah goncang, dan Setan sangat menyukai manusia yang jiwanya goncang.

Ketiga: Wahai Ali, janganlah kamu menggauli isterimu sambil berbicara, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kebisuan.

Dan janganlah seorang suami melihat kemaluan isterinya, hendaknya memejamkan mata ketika berhubungan, karena melihat kemaluan dapat menyebabkan kebutaan pada anak.

Keempat: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dengan dorongan syahwat pada wanita lain (membayangkan perempuan lain), karena (bila dikaruniai anak) dikhawatirkan memiliki sikap seperti wanita itu dan memiliki gangguan kejiwaan.

Kelima: Wahai Ali, barangsiapa yang bercumbu dengan isterinya di tempat tidur janganlah sambil membaca Al-Qur’an, karena aku khawatir turun api dari langit lalu membakar keduanya.

Keenam: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu dalam keadaan telanjang bulat, juga isterimu, karena khawatir tidak tercipta keseimbangan syahwat, yang akhirnya menimbulkan percekcokan di antara kalian berdua, kemudian menyebabkan perceraian.

Ketujuh: Wahai Ali, janganlah menggauli isterimu dalam keadaan berdiri, karena hal itu merupakan bagian dari prilaku anak keledai, dan (bila dianugrahi anak) ia suka ngencing di tempat tidur seperti anak keledai ngencing di sembarangan tempat.

Kedelapan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Fitri, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan anak memiliki banyak keburukan.

Kesembilan: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam ‘Idul Adhha, karena (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan jari-jarinya tidak sempurna, enam atau empat jari-jari.

Kesepuluh: wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah pohon yang berbuah, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang penyambuk atau pembunuh atau tukang sihir.

Kesebelas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di bawah langsung sinar matahari kecuali tertutup oleh tirai, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan kesengsaraan dan kefakiran sampai ia meninggal.

Kedua belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di antara adzan dan iqamah, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka melakukan pertumpahan darah.

Ketiga belas: Wahai Ali, jika isterimu hamil, janganlah menggaulinya kecuali kamu dalam keadaan berwudhu’, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia buta hatinya dan bakhil tangannya.

Keempat belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada malam Nisfu Sya’ban, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan tidak bagus biologisnya, bertompel pada kulit dan wajahnya.

Kelima belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu pada akhir bulan bila sisa darinya dua hari (hari mahaq), karena hal itu (bila anugrahi anak) dapat menyebabkan ia suka bekerjasama dan menolong orang yang zalim, dan menjadi perusak persatuan kaum muslimin.

Keenam belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu di atas dak bangunan (yang tidak beratap), karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang munafik, riya’, dan ahli bi’ah.

Ketujuh belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu ketika hendak melakukan perjalanan (bermusafir), jangan menggaulinya pada malam itu, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia suka membelanjakan harta di jalan yang tidak benar (pemboros). Kemudian Rasulullah saw membacakan firman Allah swt:

إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنَ.

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan” (Al-Isra’: 27).

Kedelapan belas: Wahai Ali, jangan menggauli isterimu jika kamu hendak bermusafir 3 hari 3 malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi penolong orang yang zalim.

Kesembilan belas: Wahai Ali, gauilah isterimu pada malam Senin, karena hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi pemelihara Al-Qur’an, ridha terhadap pemberian Allah swt.

Kedua puluh: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Selasa, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia dianugrahi syahadah setelah bersaksi “Sesungguhnya tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, tidak disiksa oleh Allah bersama orang-orang yang musyrik, bau mulutnya harum, hatinya penyayang, tangannya dermawan, dan lisannya suci dari ghibah dan dusta.

Kedua puluh satu: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Kamis, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi ahli hukum dan orang yang ‘alim.

Kedua puluh dua: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada hari Kamis setelah matahari tergelincir, hal itu (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia tidak didekati setan sampai berubah rambutnya, menjadi orang yang mudah paham, dan dianugrahi oleh Allah Azza wa Jalla keselamatan dalam agama dan di dunia.

Kedua puluh tiga: Wahai Ali, jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at, hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang orator. Jika kamu menggauli isterimu pada hari Jum’at setelah Ashar, (bila dikaruniai anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang terkenal, termasyhur dan ‘alim. Jika kamu menggauli isterimu pada malam Jum’at sesudah ‘Isya’, maka diharapkan kamu memiliki anak yang menjadi penerus, insya Allah.

Kedua puluh empat: Wahai Ali, jangan gauli isterimu pada awal waktu malam, karena hal itu (bila dianugrahi anak) dapat menyebabkan ia menjadi orang yang tidak beriman, menjadi tukang sihir yang akibatnya buruk di dunia hingga di akhirat.

Kedua puluh lima: Wahai Ali, pegang teguhlah wasiatku ini sebagaimana aku memeliharanya dari Jibril as.


Sumber: Makarimul Akhlaq: 210-212.