Rabu, 21 September 2016

POTRET PENYAIR oleh Sulaiman Djaya (2006)



Di waktu-waktu malam, di waktu-waktu ia mengembarakan pikiran, khayalan, dan angan-angan kesepiannya sembari duduk menghadap meja tempatnya merenung dan menulis itu, ia biasanya akan mencurahkan kegelisahan-kegelisahan, rasa bosan, dan kegundahan yang merundung hatinya di lembar-lembar catatan harian kesayangan miliknya, mungkin sebagai topeng dan selubung untuk menutupi kesepiannya.

Atau mungkin hanya sekedar mencurahkan agar tidak menjadi beban hati dan pikirannya yang acapkali terdesak rasa asing tanpa ia tahu apa sebab sesungguhnya.

Sementara itu, di waktu-waktu pagi dan sore hari, ia berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang telah ia tanam. Kesibukan tambahan itu ia lakukan dan ia pilih sebagai penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosanannya agar ia tidak terlampau menyibukkan diri dengan membaca buku-buku miliknya, merenung, atau pun menulis.

Seringkali juga terpikir di saat-saat ia membaca, merenung, dan menulis itu, bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini tidak membaca buku-buku filsafat dan kesusasteraan lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka, yah orang-orang bersahaja seperti para petani yang sesekali ia perhatikan secara seksama yang menurutnya lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang.

Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Ia selalu memandangi mereka bekerja di waktu-waktu jedanya ketika ia sedang menulis atau membaca di gubuk yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah itu. Sebagian adalah ibu-ibu dan beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda.

Yah mereka, para petani itu, tentu saja tidak pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis seperti dirinya. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka.

Sebenarnya, saat itu, ia tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali muncul dari kegelisahan dan kebosanannya. Pertanyaan-pertanyaannya itu, bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benaknya ketika ia meragukan apa yang ia lakukan selama ini dengan menulis dan membaca. Kebuntuan yang tiba-tiba segera mengingatkannya pada Tukang Batu-nya Rabindranath Tagore:

“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.

Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya gambar menangkapku.

Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.

Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.

Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada segala.

Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarang mereka.

Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.

Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu.”

Apa yang ditulisnya dalam buku catatan harian kesayangannya itu barangkali tak lebih ikhtiar penghiburan dirinya sendiri di sela-sela waktu menulis dan membaca, di mana ia dapat menemukan kenyamanan dalam kesendiriannya di waktu malam, pagi, dan sore hari.

Ia akan menuliskan apa saja yang ingin dituliskannya di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayangannya itu kapan pun ia ingin menuliskannya.

Dengan menulis di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayangannya itu, ia pun menemukan kebebasan yang paling menyenangkannya. Kadang-kadang ia menuliskannya sembari mendengarkan musik-musik klasik dan jazz, dan kadang-kadang dalam keadaan senyap di antara suara kersik daun dan desiran angin yang samar-samar pada waktu tengah malam hingga subuh menjelang.


Ilustrasi: Lukisan karya Mikki Senkarik. 


Kamis, 28 Juli 2016

Motif Ekonomi Perang Salib



Betapapun banyaknya yang berpandangan bahwa Perang Salib adalah ekspedisi militer yang dilakukan atas nama iman Kristiani, pada dasarnya motif dan upaya untuk mendapatkan keuntungan materilah yang menjadi tujuan sesungguhnya. Dalam hal ini, Perang Salib bisa dibilang sebuah aliansi-invasi, sebagaimana keberingasan kelompok ISIS dan sekutu mereka saat ini yang dihasut dengan isu ‘Pendirian Khilafah’ oleh Amerika, NATO dkk itu –sama-sama membajak agama demi agressi dan invasi dalam rangka penguasaan material dan kepentingan ekonomi politik.

Sejarah, memang, entah kita suka tidak suka, acapkali terulang dalam ‘hukum sirkular’ yang kembali pada pola yang sama.

Kala itu Eropa dilanda kemiskinan dan kesengsaraan yang berat, dan persis pada saat itulah kemakmuran dan kekayaan bangsa Timur, terutama bangsa Muslim di Timur Tengah, menarik perhatian bangsa Eropa yang tengah dilanda ‘kebangkrutan’ itu.

Singkat kata, meski menggunakan wajah agama (menggunakan klaim-klaim keagamaan), dan dihiasi dengan simbol-simbol Kristiani, gagasan Perang Salib sebenarnya lahir dari hasrat akan keuntungan duniawi, motif material, sebagaimana Amerika, NATO dan sekutu mereka seperti Rezim Saudi Arabia, Qatar dan Turki melakukannya di Irak, Suriah dan di tempat-tempat lainnya di dunia saat ini –dengan menggunakan ISIS, Al-Qaeda, Front Al-Nusra dan yang sejenisnya itu.

Sebagaimana kita tahu, pengagas Perang Salib adalah Paus Urban II (atas desakan Ordo Templar). Saat itu, tepatnya pada tahun 1095, ia menyelenggarakan Konsili Clermont, di mana doktrin Kristen sebelumnya yang cinta damai ditinggalkan. Perang suci diserukan, dengan tujuan (yang sebenarnya isu politis) untuk merebut ‘tanah suci’ (yang sebenarnya dalam rangka mengeruk bahan material dan kekayaan) dari tangan bangsa Muslim.

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan konsili, dibentuklah pasukan Pejuang Salib yang amat besar, terdiri dari para tentara, dan puluhan ribu rakyat biasa.

Para ahli sejarah percaya bahwa upaya Urban II didorong oleh keinginannya untuk merintangi pencalonan seorang pesaingnya dalam kepausan. Sedangkan di balik sambutan penuh semangat dari para raja, pangeran, dan bangsawan Eropa atas seruan Paus, tujuan mereka pada dasarnya bersifat keduniawian.

Sebagaimana diungkapkan oleh Donald Queller dari Universitas Illinois, “Ksatria-ksatria Prancis menginginkan lebih banyak tanah. Pedagang-pedagang Italia berharap untuk mengembangkan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah”.

Motif untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan di kalangan para bangsawan, politisi, korporat, para pedagang, dan pemegang institusi politik dan keagamaan di Eropa, itulah yang mendorong digelarnya invasi dan agressi yang membajak agama, yang kita kenal sebagai Perang Salib itu

Dalam Perang Salib itu, sejumlah besar orang miskin bergabung dengan ekspedisi sekedar untuk melarikan diri dari kerasnya kehidupan sehari-hari mereka di negara-negara mereka masing-masing di Eropa. Sepanjang jalan, massa yang ‘serakah’ ini membantai banyak orang Muslim, dan bahkan Yahudi, dengan harapan untuk menemukan emas dan permata. Para prajurit Perang Salib bahkan membelah perut korban-korban mereka untuk menemukan emas dan batu-batu berharga yang mungkin telah mereka telan sebelum mati.

Begitu besarnya keserakahan para Prajurit Perang Salib akan harta, sehingga tanpa sesal mereka merampok kota Kristen Ortodoks (Kekaisaran Bizantium) Konstantinopel (Istanbul) pada Perang Salib IV, dan melucuti daun-daun emas dari lukisan-lukisan dinding Kristiani Ortodoks di Hagia Sophia (Aya Sofia yang kini telah menjadi mesjid itu).

Setelah perjalanan yang panjang dan sulit, serta begitu banyak perampasan dan pembantaian orang-orang Muslim, gerombolan campur aduk yang disebut Prajurit Perang Salib ini mencapai Yerusalem di tahun 1099. Ketika akhirnya kota itu jatuh, setelah pengepungan selama hampir lima minggu, para prajurit Perang Salib pun masuk.

Mereka melakukan kebuasan hingga tingkatan yang jarang disaksikan dunia. Semua orang Muslim dan Yahudi di kota itu mati di ujung pedang.

Dalam narasi salah seorang ahli sejarah diceritakan, “Mereka membunuh semua orang Sarasen dan Turki yang mereka temukan…baik lelaki maupun wanita.” Salah seorang Pejuang Salib, Raymond of Aguiles, menyombongkan kekejaman ini:

Tampaklah pemandangan yang menakjubkan. Sebagian orang-orang kami (dan ini lebih murah hati) memenggal kepala-kepala musuh; yang lainnya memanah mereka, sehingga berjatuhan dari menara-menara, yang lain lagi menyiksa lebih lama dengan melemparkan mereka ke dalam api. Gundukan kepala, tangan, dan kaki tampak di jalan-jalan kota. Orang harus mencari jalan di antara mayat-mayat manusia dan kuda. Tetapi ini belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Kuil Sulaiman, tempat kebaktian keagamaan biasanya dinyanyikan…di dalam Kuil dan serambi Sulaiman, orang-orang berkuda berkubang darah hingga ke lutut dan tali kekang mereka.”

Selama dua hari, pasukan para prajurit Perang Salib membunuh sekitar 40.000 muslim dengan cara yang sangat keji dan barbar. Para prajurit Perang Salib kemudian menjadikan Yerusalem sebagai ibukota mereka, dan membangun Kerajaan Latin yang membentang dari perbatasan Palestina hingga ke Antioch (Antakia) di Suriah.


Selanjutnya, para prajurit Perang Salib mulai berupaya untuk memperjuangkan posisinya di Timur Tengah. Untuk mempertahankan apa yang telah mereka bangun, mereka perlu mengorganisirnya. Untuk itu mereka membentuk ordo-ordo militer, dalam bentuk yang belum pernah ada sebelumnya. Anggota ordo-ordo ini datang dari Eropa ke Palestina, dan tinggal di semacam biara, di mana mereka menerima latihan militer untuk memerangi orang Muslim. Secara khusus, salah satu dari ordo-ordo ini berbeda dengan yang lainnya. Ordo itu mengalami transformasi yang akan memengaruhi jalannya sejarah. Namanya adalah ‘Ordo Templar’. 


Sabtu, 18 Juni 2016

Imam Hasan Al-Mujtaba as Sang Penyelamat Ummat



Imam Hasan Al-Mujtaba as, gugur syahid secara mazlum di tangan istrinya. Berdasarkan catatan sejarah, Muawiyah memberikan 1.000 dirham kepada istri Imam Hasan dan berpesan bahwa jika Imam Hasan as terbunuh maka ia akan dinikahkan dengan putranya, Yazid bin Muawiyah. Istrinya Imam Hasan pun memenuhi permintaan Muawiyah dan meracuni Imam Hasan as.

Setelah Imam Hasan as gugur syahid, Imam Husain as memandikan dan mengkafani jenazah saudaranya itu dan meletakkannya dalam sebuah peti, serta memenuhi wasiat terakhirnya, agar Imam Hasan as dimakamkan di sisi Rasulullah Saw. Akan tetapi pasukan Bani Umayah menghadang iring-iringan pelayat Imam Hasan as dan kemudian dengan sangat keji mereka menghujani iring-iringan pelayat itu dengan anak panah. Setelah peristiwa itu, jenazah Imam Hasan as dimakamkan di kompleks pemakaman Baqi.

Kezaliman tersebut, merupakan puncak kekurang-ajaran dan penistaan terhadap jenazah Imam Hasan as, yang Rasulullah Saw pernah bersabda, “Hasan adalah bunga harumku, ya Allah, aku mencintainya maka cintailah dia dan cintailah mereka yang mencintainya.”

Berabad-abad berlalu dari musibah besar itu akan tetapi pedihnya luka sayatan atas keterasingan dan kemazluman Imam Hasan as, masih tetap segar di hati Muslim dan para pecinta Ahlul Bait as. Apa yang tercatat dalam sejarah tentang masa-masa akhir kehidupan Imam Hasan as, akan membuat siapa pun terkesima akan kesabaran dan ketabahan hati beliau.

Imam Hasan Al-Mujtaba as bahkan bersabar di hadapan kezaliman dan kejahatan pembunuhnya dan meminta saudaranya (Imam Husain as) untuk tidak berusaha menghukumnya. Diriwayatkan bahwa ketika detik-detik akhir kesyahidan Imam Hasan as telah dekat, beliau berpesan kepada saudaranya, “Wahai saudaraku! Segera aku akan berpisah denganmu dan menjumpai Tuhanku. Mereka telah meracuniku, aku tahu siapa yang melakukan ini kepadaku dan dari mana asal kezaliman ini, aku akan menuntunnya di hadapan Allah kelak, tapi sumpah demi hakku terhadapmu, aku ingin kau tidak mengejar peristiwa ini dan pelakunya dan nantikanlah qadha Allah Swt tentangku.”

Salah satu keunggulan akhlak Imam Hasan Al-Mujtaba as adalah kesabaran dan ketabahan beliau. Tentang hal ini, banyak kisah dan riwayat yang tercatat dalam sejarah. Sebagai contoh, Marwan, salah seorang musuh bebuyutan Ahlul Bait as, mengaku bahwa kesabaran dan ketabahan Imam Hasan as menandingi kekokohan gunung-gunung.

Setelah kesyahidan Imam Ali as, masyarakat berbai’at kepada Imam Hasan Al-Mujtaba as. Sejak itulah, Muawiyah memulai aksi-aksi munafiknya serta menyebar isu dan kebohongan guna mempengaruhi opini publik. Dalam upayanya itu Muawiyah sedemikian sukses sehingga berhasil menyuap sejumlah sahabat Imam Hasan as. Ketika beliau menyadari ketidaksetiaan dan pengkhianatan para sahabatnya, beliau terpaksa berdamai dengan Muawiyah untuk menjaga nyawa dan harta umat Muslim. Oleh karena itu, pemerintahan Imam Hasan as hanya bertahan enam bulan.

Perdamaian Imam Hasan as, merupakan salah satu langkah efektif dan sangat bijaksana demi menjaga masyarakat Islam. Pada masa itu, perang internal dalam tubuh umat Islam tidak menguntungkan dunia Islam. Karena imperium Romawi yang telah merasakan pukulan telak dalam perang dengan pasukan Islam, selalu menanti saat yang tepat untuk melancarkan serangan balasan.

Di sisi lain, kondisi masyarakat Irak sedemikian rupa sehingga mereka tidak siap mental untuk membentuk pasukan dan bersama dalam barisan Imam Hasan as. Oleh karena itu, terjun ke medan perang dengan pasukan yang tidak siap secara mental tidak akan menghasilkan apapun kecuali kekalahan. Atas dasar itu, Imam Hasan as hanya dapat bersabar menyaksikan kebodohan dan ketidaksadaran masyarakat, serta berdamai dengan Muawiyah demi menjaga dunia Islam.

Kepada masyarakat Imam Hasan Al-Mujtaba berkata, “Bangsa-bangsa berdamai, di saat mereka dicekam kezaliman para penguasa mereka, akan tetapi aku berdamai di saat aku khawatir akan kejahatan sahabat-sahabatku sendiri. Aku menyeru kalian untuk berjihad melawan musuh, kalian tidak bangkit. Aku telah menyampaikan hakikat ke telinga kalian, tapi kalian tidak mendengar dan sekarang belum selesai ucapanku, kalian telah bercerai-berai seperti kaum Saba, dan dengan kedok saran dan nasihat, kalian saling menipu...”

Kesabaran Imam Hasan Al-Mujtaba as tidak hanya terbatas pada hubungan beliau dengan banyak orang, melainkan sifat mulia beliau ini juga telah menyelamatkan dunia Islam dan menjaga nyawa kaum Syi’ah (para pengikut setia Ahlulbait Rasulullah). Mungkin karena alasan ini pula, kesabaran menjadi sifat paling menonjol Imam Hasan as, mengingat pengaruh dari kesabaran beliau ini masih dirasakan hingga kini.

Pada masa pemerintahan Muawiyah, jika Imam Hasan as tidak bersabar dan berdamai dengannya, maka seluruh ponfasi Islam terancam bahaya besar. Oleh karena itu, dalam menjawab mereka yang memprotes keputusan berdamai itu, Imam Hasan as berkata, “Aku berdamai demi menjaga darah Muslim. Jika aku tidak berbuat demikian, maka tidak akan tersisa satu pun Kaum Syi’ah di muka bumi ini... celakalah kalian! Kalian tidak tahu apa yang telah aku lakukan, sumpah demi Allah, menerima perdamaian ini lebih baik bagi pengikutku dari apa saja yang matahari menyinarinya dan kemudian terbenam...”

Bukan tanpa alasan jika Rasulullah Saw menjelaskan sosok Imam Hasan as dan bersabda, “Jika akal tampil dalam bentuk manusia, maka manusia itu adalah Hasan (as).”

Meski beliau dikenal sebagai sosok penyabar, akan tetapi sejarah menjadi saksi bahwa dalam banyak kesempatan dan jika diperlukan, beliau menunjukkan ketegasan dan keberaniannya. Oleh karena itu dalam sejarah hidup Imam Hasan as, kita menyaksikan Imam Hasan as bersikap berani dan sangat tegas hingga menggetarkan seluruh pilar-pilar durjana istana tiran. Meski para tiran telah menyusun rencana sedemikian rupa sehingga Imam Hasan as terpaksa tersingkir dari pemerintahan, akan tetapi hal itu tidak membuat Imam tetap bersabar di hadapan kezaliman para penguasa taghut.

Di Madinah, misalnya, dalam banyak kesempatan, Imam Hasan as dengan tegas menentang cara-cara tidak islami Muawiyah. Setelah perdamaian dengan Imam Hasan as, Muawiyah menuju Kufah dan di sana, di hadapan khalayak umum, dia lancang menghina Imam Ali as. Namun belum selesai kelancangannya itu, Imam Hasan as berdiri di mimbar dan berkata kepada Muawiyah, “Apakah kau sedang mengolok Amirul Mukminin Ali (as), meski Rasulullah (Saw) telah bersabda tentangnya bahwa barang siapa mengolok-olok Ali (as) maka dia telah mengolokku dan barang siapa mengolokku, maka dia telah mengolok Allah (Swt), dan barang siapa mengolok Allah (Swt), maka Allah akan menjerumuskannya ke neraka untuk selamanya dan mengazabnya.” Kemudian, Imam Hasan as turun dari mimbar dan keluar dari masjid sebagai bentuk protes.

Imam Hasan Al-Mujtaba dengan pandangannya menerawang jauh ke masa depan, rela bersabar menghadapi protes, sindiran dan berbagai ungkapan dari para sahabatnya yang bodoh dan berpikiran dangkal, demi menyelamatkan dunia Islam. Imam Hasan as dengan kesabaran dan ketabahan beliau berusaha membuat masyarakat sadar akan hakikat Muawiyah dan Bani Umayyah. Pada hari pertama setelah perdamaian, Muawiyah telah melanggar kesepakatan. Sampai-sampai Muawiyah dalam sebuah pidatonya mengatakan, “Wahai masyarakat Irak! Aku telah berperang dengan kalian untuk berkuasa atas kalian! Kemudian dia merobek surat perdamaian dan menginjak-injaknya.”

Akibat ulah Muawiyah dan pelanggarannya, secara perlahan masyarakat menyadari kekhilafan mereka. Melalui kesabaran beliau, Imam Hasan as memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan dan kezaliman Bani Umayyah. Semua itu pada akhirnya mempersiapkan gerakan kebangkitan saudaranya Imam Husain as di Karbala.

Jika masyarakat tidak mengenal wajah sejati Bani Umayyah, maka tekad dalam gerakan kebangkitan Imam Husain as akan dipersoalkan dan pada akhirnya kebangkitan tersebut tidak pernah terwujud. Dengan demikian, langgengnya Islam adalah berkat kebijaksanaan Imam Hasan as. Menurut Syeikh Razi Ale Yasin, kisah Karbala sebelum menjadi Husaini, adalah Hasani.

Jumat, 10 Juni 2016

Teka-Teki Segitiga Bermuda



Di bagian barat lautan Atlantik, ada area tertentu (Laut Sargaso) yang terkenal sangat aneh, misterius, dan belum terjawab hingga saat ini ketika ingin diketahui secara tepat apa sebenarnya kawasan tersebut, secara ilmiah. Ditempat ini air lautan dihuni oleh jenis tertentu dari binatang laut yang disebut “Sarjasam”, yang biasa mengapung dalam jumlah besar, dalam bentuk kelompok-kelompok yang bisa menghalangi laju perahu dan kapal laut.

Dulu, ketika Christopher Colombus pertama kali sampai di tempat ini, ia meyakini bahwa dirinya telah dekat dengan daratan (pantai), karena itu ia semakin bersemangat melanjutkan perjalanannya dengan harapan akan segera sampai di pantai terdekat, akan tetapi usahanya sia-sia.

Laut sargaso juga terkenal dengan keheningannya yang mencekam. Ia adalah laut mati, tidak didapati gerakan apapun karena jarangnya hembusan udara dan angin yang menerpanya. Para pelaut menjulukinya dengan banyak nama, antara lain “Laut Seram” dan “Kuburan Atlantik”. Hal ini mereka saksikan dari suasana mencekam dan ketakutan luar biasa pada saat mereka berlayar.

Ekspedisi laut modern mengisyaratkan adanya jumlah besar dari kapal laut, kapal selam, dan perahu yang teronggok di dasar laut (Sargaso) ini, yang berasal dari berbagai masa semenjak perjalanan melalui lautan. Kebanyakan kapal-kapal tersebut terbenam di dasar lautan pada sisi-sisi yang gelap, disamping hilangnya sejumlah besar kapal dan perahu tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Juga ditemukan pada dasar lautan ini ratusan bentuk luar biasa dari bekas kapal dan penumpangnya.

Pada tahun 1850, di wilayah ini telah hilang lebih dari 50 kapal. Sebagian nahkoda berhasil mengirimkan surat-surat (telegram) pada saat-saat genting, akan tetapi anehnya surat-surat tersebut menjadi tidak jelas saat terkirim ke alamat yang dikirim, sehingga tidak seorang pun yang bisa memahaminya. Kebanyakan kapal yang hilang adalah milik pemerintahan Amerika Serikat. Yang pertamakali adalah kapal Enserjen, yang hilang dengan memuat 340 penumpang. Disusul hilangnya kapal selam Scorpion pada tahun 1968 yang mengangkut 99 pelaut.

Sementara itu, di tahun 1880, kapal yang hilang di Segitiga bermuda adalah kapal perang Inggris Atlanta yang mengangkut 290 orang, kemudian pada tahun 1918 kapal Amerika Saiklob yg mengangkut 309 orang. Pada bulan April 1925, kapal pengangkut barang Raifuku Maru dari Jepang, yang dapat dikatakan sudah modern dan dilengkapi pemancar radio, tenggelam setelah mengirim berita yang berbunyi: ”Seperti pisau raksasa! Cepat tolong! Kami tak mungkin lolos!”, persis pada saat tersebut kapal Jepang itu ditelan ombak bersama seluruh awaknya. Tak ada yang tersisa.

Di bulan oktober 1951, kapal tanker Southern Isles mengalami nasib serupa. Ketika berlayar dalam konvoi, tiba-tiba ia hilang sampai kapal-kapal yang lain hanya melihat cahaya yang ditinggalkannya sedang tenggelam ke dasar laut. Kapal tanker kembarannya, Southern Districts, tenggelam dengan cara yang sama di bulan Desember 1954. Ia hilang tanpa meninggalkan isyarat SOS ketika berlayar melintasi wilayah yang misterius itu ke utara menuju South Carolina.

Keanehan ini juga berimbas ke wilayah udara lautan Atlantik, dimana banyak pesawat tiba-tiba raib saat melewati udara Lautan Atlantik, atau melalui udara Bermuda. Pada 5 Desember tahun 1945, contohnya, formasi lengkap 5 buah pesawat pelempar torpedo Grumman TMB-3 Avenger Angkata Laut Amerika Serikat raib di hari yang masih siang. Sebuah pesawat penyelamat yang ingin mencari sisa-sisanya pun ditelan ombak di “laut yang tidak beres” itu. Lima jet tempur itu bertolak dari pangkalan udara Forth Lauderdale di utara Miami wilayah Florida, Amerika Serikat dalam rangka misi pelatihan. Penerbangan ini dimulai dari Florida pukul 14.40 menuju arah timur sejauh 160 mil, kemudian belok ke utara sejauh 40 mil, dan akhirnya ke Barat Daya utk kembali ke pangkalan lagi. Dalam perjalanan ada acara latihan menyerang beberapa bangkai kapal di pantai kepulauan Great Sale Clay. Saat itu lima pesawat terbang dalam formasi segitiga.

Lima pesawat tempur ini diawaki oleh 5 pilot dibantu 8 tenaga ahli yang sangat mahir dan berpengalaman. Pimpinan Pilot saat itu adalah Letnan Charles Taylor yang sudah mengantongi 2.500 jam terbang berada pada ujung formasi segitiga. Skuadron tersebut pada saat menjalankan latihan pada sekejap waktu mengarah kepada rongsokan kapal pengangkut barang yang mengapung di permukaan laut Atlantik selatan Bimini. Pada pukul 15.45 saat pimpinan pangkalan militer menunggu berita dari skuadron 19, untuk menentukan letak pangkalan dan kode landing, pimpinan pangkalan militer tersebut sekonyong-konyong menerima berita aneh dari Pilot penerbangan (Letnan Charles Taylor), berteriak mengatakan:

” Ini gawat Pak! kami sepertinya kehilangan arah! Tak ada daratan. Ulangi! Tak ada daratan! Saya tidak bisa menentukan arah, kami telah nyasar di angkasa, semuanya terlihat asing dan membingungkan, kami tidak tahu arah!”

Menara pengawas mananyakan formasi pesawat, tapi Taylor menjawab: “Tak tahu persis dimana kami berada!”

“Terbanglah ke Barat!” perintah menara. Tapi kemudian lama sekali tidak ada kontak. Lalu ada percakapan simpang siur dari beberapa orang penerbang yang lain.

“Kami tidak tahu dimana arah Barat itu. Ada yang tidak beres ini. Semua terlihat aneh. Bahkan  lautnya juga.” Sesudah sepi sejenak, komandan penerbangan menyerahkan komando kepada penerbang lain tanpa alasan yang jelas. Komandan baru ini melapor dengan suara setengah histeris: ”Ya Tuhan! Di mana kami ini! Mungkin kami sudah melewati Florida dan terbang di atas Teluk Meksiko!”

Pada saat itu komandan yang baru memutuskan untuk terbang kembali 180 derajat ke arah Florida lagi, tetapi dari kenyataan sinyal radionya makin lama makin lemah, diduga ia justru terbang lebih menjauhi pangkalan. Laporan terakhir yang ditangkap ialah: “Nampaknya kami memasuki air putih...tamatlah kami!”

Segera sesudah kontak dengan penerbang itu putus, sebuah pesawat amfibi PBM-5 Martin Mariner mengangkasa untuk memberi pertolongan. Beberapa menit kemudian, pesawat ini melaporkan posisinya, tapi kemudian pemancarnya diam. Pesawat ini hilang juga bersama 13 awak pesawat. Tak berbekas seperti lima pesawat Grumman yg hendak ditolong. Menurut saksi mata di atas kapal tanker Gaines miles yang kebetulan berlayar di daerah itu, pesawat amfibi itu jatuh ke laut.

TERMASUK PESAWAT YG RAIB ADALAH
[1] Pada tahun 1945, raib dua buah pesawat pengebom milik angkatan bersenjata Amerika Serikat.

[2] Pada tahun 1948, pesawat penumpang Inggris Star Tiger yang mengangkut 313 penumpang raib.

[3] Kembali pesawat penumpang Inggris , Star Ariel yang mengangkut 474 penumpang juga raib.

[4] Pada tahun 1956, pesawat P5M milik Angkatan Laut Amerika Serikat raib bersama 5 orang penumpangnya.

Pertanyaanya adalah: Apakah ada waktu tertentu untuk mengetahui terjadinya musibah di Segitiga Bermuda? Para peneliti menilai bahwa kebanyakan peristiwa terjadi pada waktu-waktu tertentu, yang disebut dengan musim menghilang, yaitu musim liburan antara November, Desember dan Februari, khususnya yang mendahului awal tahun baru Masehi atau sesudahnya. Banyak teori dikemukakan untuk mengungkap teka-teki (misteri) Segitiga bermuda, antara lain:

[1] Teori Gempa laut dan serangan gelombang besar. Teori ini mengatakan: Gesekan dan goncangan di tanah di dasar Lautan Atlantik menghasilkan gelombang dahsyat dan seketika kapal-kapal menjadi hilang kendali dan langsung menuju dasar laut dengan kuat hanya dalam beberapa detik. Adapun hubungannya dengan pesawat, maka goncangan dan gelombang kuat tersebut menyebabkan hilangnya keseimbangan pesawat serta tidak adanya kemampuan bagi pilot untuk menguasai pesawat.

[2] Teori Gravitasi (medan graviti terbalik, anomali magnetik graviti) dan hubungannya dengan apa yang terjadi di Segitiga Bermuda; sesungguhnya kompas dan alat navigasi elektronik lainnya di dalam pesawat pada saat terbang di atas Segitiga Bermuda akan goncang dan bergerak tidak normal, begitu juga dengan kompas pada kapal, yang menunjukkan kuatnya daya magnet dan anehnya gravitasi.

[3] Teori lubang ruang waktu yang menyedot hilang semua materi, seperti black hole (lubang hitam) yang ada di angkasa.

[4] Teori pusaran air. Menurut Bill Dillon dari U.S Geological Survey, air bercahaya putih itulah penyebabnya. Di daerah Segitiga Maut Bermuda, juga di beberapa daerah lain sepanjang tepi pesisir benua, terdapat “tambang metana”. Tambang ini terbentuk gas metana menumpuk di bawah dasar laut yang tak dapat ditembusnya. Gas ini dapat lolos tiba-tiba kalau dasar laut retak. Lolosnya tidak kepalang tangung. Dengan kekuatan yang luar biasa, tumpukan gas itu menyembur ke permukaan sambil merebus air, membentuk senyawaan metanahidrat. Air yang dilalui gas ini mendidih sampai terlihat sebagai “air bercahaya putih”. Blow out serupa yang pernah terjadi di Laut Kaspia sudah banyak menelan anjungan pengeboran minyak sebagai korban. Regu penyelamat yang dikerahkan tdk menemukan sisa sama sekali. Mungkin karena alat dan manusia yang menjadi korban tersedot pusaran air, dan jatuh kedalam lubang bekas retakan dasar laut, lalu tanah dan air yang semula naik ke atas tapi kemudian mengendap lagi di dasar laut, menimbun mereka semua. Kemudian pesawat yang terbang rendah memang dapat terpengaruh oleh pancaran air mendidih bercampur gas yang luar biasa kuatnya itu, lalu jatuh ke laut. Tetapi apakah yang menyebabkan kompas pesawat Grumman itu tidak berfungsi? Jelas medan magnet, tapi dari apa? Apakah dari ledakan gunung di dasar laut? Ini masih tetap menjadi misteri.

[5] Teori Piring Terbang (UFO) mengatakan bahwa di wilayah itu adalah markas besar UFO di bumi ini. Ada hubungan antara munculnya piring terbang dengan raibnya kapal dan pesawat di wilayah tersebut.

[6] Yang lebih aneh lagi adalah Segitiga Bermuda tersebut dianggap sebagai pusat Pemerintahan Kota Atlantis yang tenggelam ribuan tahun yang lalu, kota manusia duyung, selain pusat persembunyian Dajjal.

Kamis, 25 Februari 2016

Merenungi Pesan Muhammad Iqbal (Bagian Ketiga)



oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (Filsuf Syi’ah)

LOGIKA KERETA UAP
Saya pernah bertanya kepada salah seorang teman tentang apakah yang dimaksud dengan logika kereta uap? Dia menjawab: “Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kereta uap dan saya memahami masyakat melalui logika tersebut.” “Ketika saya masih kecil, kereta api yang ada pada waktu itu tidak seperti yang ada sekarang ini. Saya menyaksikan saat kereta api tersebut berhenti di stasiun, anak-anak kecil berlarian mendatangi dan menontonnya. Mereka memandanginya dengan penuh keheranan dan kekaguman. Nampaknya mereka mengagumi betul kereta api yang sedang berhenti tersebut. Cukup lama mereka memandangi kereta itu dengan rasa kagum hingga tiba jam pemberangkatan, dan kereta tersebut kembali bergerak. Saat kereta api mulai melaju, anak-anak itu segera mengambil batu dan melempari kereta tersebut. Saya sungguh terkejut melihat sikap mereka. Jika memang harus dilempari, mengapa mereka tidak melakukannya di saat kereta tersebut berhenti, meskipun hanya dengan batu kerikil? Jika merasa kagum melihat kereta api yang sedang diam, mereka juga semestinya lebih kagum saat melihat kereta tersebut bergerak.”

Inilah perkara yang membingungkan saya. Ketika saya beranjak dewasa dan terjun ke tengah-tengah masyarakat, saya menyaksikan bahwa gaya hidup masyarakat kita (orang-orang Iran) pada umumnya hanya menghormati seseorang selama ia diam. Tatkala seseorang bersifat statis, ia akan lebih dihormati dan dikagumi. Namun tatkala dirinya bergerak dan melangkah secara progressif, masyarakat pun mulai mencela dan menghinanya. Sikap seperti ini menandakan bahwa masyarakat tersebut telah mati. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang berbicara dan bertindak kreatif, bukan orang yang hanya berdiam diri. Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang progressif, kreatif, dan berwawasan luas. Inilah tanda-tanda kehidupan dan kematian. Kedua hal ini merupakan sinyal yang paling jelas, disamping masih terdapat pula berbagai sinyal-sinyal lainnya.

KETERKAITAN SALAH SATU TANDA KEHIDUPAN
Salah satu tanda dari suatu masyarakat yang dinamis adalah keterkaitan antar-individu yang ada di dalamnya. Ciri-ciri masyarakat yang mati adalah tidak terdapatnya keterikatan antar anggota, saling berpecah belah serta saling terpisah antara satu sama lain. Sementara ciri-ciri masyarakat yang hidup adalah adanya saling keterkaitan dan kerja sama di antara anggotanya. Masyarakat Islam pada masa sekarang merupakan masyarakat yang hidup ataukah masyarakat yang mati? Masyarakat Islam dewasa ini adalah masyarakat yang mati. Ini terbukti dengan terjadinya pembunuhan, perang saudara, dan konflik yang mencuat di kalangan internal sendiri, sehingga mengakibatkan musuh-musuh Islam mampu memanfaatkan keadaan untuk terus melemahkan kaum muslimin.

Sehubungan dengan persatuan kaum muslimin, Rasulullah SAWW pernah menyampaikan ungkapan yang sangat indah: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam.”[9] Mereka adalah manifestasi dari ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[10]

Jika salah satu anggota tubuh terkena infeksi, dengan segera rasa demam akan menguasai seluruh badan. Tatkala terjadi peradangan di dalam usus seseorang dan dokter masih belum bisa mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya meskipun telah dilakukan diagnosa secara maksimal, seluruh anggota tubuhnya akan merasakan panas yang luar biasa. Reaksi tubuh semacam ini menunjukkan adanya kehidupan di dalam tubuh.

Apakah kondisi kaum muslimin seperti ini? Apakah mereka akan bereaksi di saat salah seorang anggotanya merasakan sakit dan menderita? Sekitar 500 tahun silam, Andalusia yang merupakan salah satu anggota tubuh kaum muslimin yang paling penting, mengalami musibah dan penderitaan (Lihat, Dr. Ayati, Tarikh Andalus, Tehran University). Namun, kaum muslimin di belahan dunia lain tidak memberikan perhatian sama sekali kepadanya. Bahkan banyak yang diantaranya yang sama sekali tidak mengetahui penderitaan yang mereka alami. Padahal, perkembangan peradaban Islam dan dunia amat berutang budi pada Andalusia. Pada masa itu meletus pertikaian antara kalangan Syi’ah dan Sunni. Sayang, kaum muslimin pada umumnya tidak menyadari bahwa tragedi tersebut merupakan musibah yang besar bagi dunia Islam.

Iqbal menyatakan bahwa dalam sejarah, pemikiran yang Islami telah mati sejak 500 tahun lalu. Selama kurun waktu itu, kaum muslimin hanya menampilkan gaya pemikiran Islam yang kering, sembari mengubur bentuk pemikiran Islami yang hidup dan dinamis. Apakah saya dan Anda ikut menderita oleh berbagai musibah yang dialami kaum muslimin pada masa sekarang, seperti penderitaan yang dirasakan kaum muslimin di Palestina? Rasa simpati apakah yang kita berikan pada mereka? Jika kita tidak menaruh perhatian kepada mereka, kita bukanlah termasuk orang-orang Islam berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan merasa demam.”[11] 

Hadis Nabi ini menjelaskan tentang tanda-tanda kehidupan masyarakat Islam. Dalam hadis lain, beliau bersabda: “Barang siapa yang mendengar seseorang menyeru memohon pertolongan dari kaum muslimin dan yang mendengar tidak menolongnya, maka dia bukan muslim.”[12] Barang siapa yang tidak memiliki keterkaitan diri dengan saudara-saudara muslim lainnya, maka dia bukanlah seorang muslim.

Apabila saya utarakan seluruh persoalan ini tentu akan menyita banyak waktu. Namun yang terpenting dari semua itu adalah bahwa kita harus menampilkan pemikiran Islami dalam bentuk yang hidup dan dinamis. Telah saya jelaskan sebelumnya tentang bagaimana kekeliruan kita dalam menerima ajaran Islam. Kita harus banyak melakukan introspeksi diri, dan lihatlah, apakah kita mengenakan pakaian (keislaman) secara terbalik. Ternyata kita memang mengenakan baju keislaman secara demikian. Kita tidak menyadari bahwa pakaian tersebut telah dikenakan secara terbalik, sampai-sampai orang lain mengingatkan kita.

Kita harus benar-benar memperbaiki cara berpikir kita. Sebabnya, barangkali kita memang mengenakan baju keislaman secara terbalik sebagaimana pernah dikatakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Teman saya pernah melontarkan kritik dengan mengatakan: “Apakah pengormatan terhadap Iqbal tidak menunjukkan penyembahan terhadap orang yang sudah mati? Apakah kita baru menghormati orang besar setelah ia mati?” Maksud dari kritiknya adalah mengapa kita tidak menghormati tokoh besar yang masih hidup, meskipun kualitas keilmuannya berada di bawah Iqbal. Bahkan banyak pula tokoh pemikir yang masih hidup yang memiliki kapasitas ilmu lebih tinggi dari Iqbal tidak kita hormati?

Allamah Thabathaba’i merupakan salah seorang tokoh besar yang masih hidup. Namun mengapa kita tidak menghormatinya? Yang jelas, pertemuan kita kali ini bukan dalam rangka menentukan siapa yang layak untuk dihormati dan memperoleh hak yang semestinya. Namun lantaran masalah ini telah disinggung sebelumnya, maka saya akan memberikan sedikit penjelasan tentangnya. Allamah Thabathaba’i termasuk salah seorang tokoh yang banyak mengabdi kepada Islam. Beliau merupakan bentuk konkret dari ketakwaan dan ketinggian nilai spiritual. Beliau telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam penyucian jiwa dan ketakwaan.

Selama bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang, saya telah banyak menimba pelajaran dari tokoh besar ini. Kitab Tafsir Al-Mizan yang ditulisnya merupakan salah satu kitab tafsir Al-Qur’an yang sangat luar biasa. Memang, Al-Qur’an memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak satupun kitab tafsir yang mampu memenuhi hak Al-Qur’an dengan semestinya. Setiap ahli tafsir hanya memandang Al-Qur’an dari sisi tertentu.

Sejak abad permulaan Islam sampai hari ini, kitab Tafsir Al-Mizan merupakan kitab terbaik yang pemah ditulis di kalangan Syi’ah dan Sunni. Allamah Thabathaba’i jelas merupakan tokoh besar dan agung. Merupakan tugas kita semua untuk menghormati beliau yang kini telah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tak ada satupun orang yang sudah lanjut usia seperti beliau yang memiliki prestasi ilmiah semacam ini. Beliau menghabiskan umurnya untuk mendalami studi moral, budaya Islam, dan sastra Arab. Mengapa orang seperti ini layak dimuliakan dan dihormati? Sebabnya, beliau memiliki ilmu dan jiwa sosial yang mengagumkan. Masyarakat yang tidak pernah belajar dari orang besar ini hanya akan memperoleh sedikit manfaat. Kaum muslimin harus banyak belajar dari tokoh besar ini supaya mendapatkan banyak keuntungan.

Perbedaan masa kita sekarang dengan masa silam adalah tokoh-tokoh yang muncul pada masa sekarang mudah terkenal (melalui medium percetakan buku dan sebagainya). Allamah Thabathaba’i tidak hanya dikenal di kalangan orang Iran saja. Beliau juga dikenal di seantero dunia Islam. Tafsir Al-Mizan yang disusunnya telah berkali-kali dicetak ulang secara diam-diam di Beirut, Lebanon. Ini membuktikan bahwa pemikiran dan buku beliau sangat terbuka bagi dunia Islam. Orang-orang orientalis pun mengenal siapa tokoh ini. Amerika dan Eropa mengenal beliau sebagai seorang pemikir besar Islam.

Allal Al-Faasi juga termasuk salah seorang tokoh dalam dunia Islam. Ketika datang ke Iran, ia berkunjung ke kota Qom dan mendatangi rumah Allamah Thabathaba’i. Dia sangat kagum menyaksikan ketinggian kedudukan spiritual Allamah Thabathaba’i. Kepribadian Allamah Thabathaba’i tidak hanya terbatas sebagai pribadi Syi’ah semata, melainkan juga sebagai orang yang memiliki ilmu yang bersifat universal. Namun sangat disayangkan, pribadi mulia ini pernah menderita sakit jantung selama satu tahun. Saya memohon kepada Allah agar berkenan menjaga tokoh besar ini untuk kita semua. Beliau benar-benar tokoh mulia yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Akhir-akhir ini, beliau menunjukkan sikap ikut merasakan penderitaan saudaranya sesama muslim.

Saudara-saudara muslim kita tengah menderita di Palestina, sementara Amerika tidak mampu memberikan hak yang semestinya kepada mereka. Kita harus memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka. Allamah Thabathaba’i segera membuka rekening di bank untuk membantu saudara-saudara muslimin di Palestina yang sedang kesusahan. Beliau membuka rekening di bank Millie Iran, bank Bozargoni, dan bank Shaderaat. Beliau juga dibantu Ayatullah Sayyid Abul Fadhl Musawi Zanjani yang merupakan tokoh mulia dan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi. Beliau adalah seorang mujtahid yang adil. Saya termasuk orang ketiga yang ikut membuka rekening tersebut. Jadi rekening bantuan kemanusiaan untuk kaum muslimin di Palestina tersebut dibuka atas nama tiga orang (Allamah Thabathaba’i, Ayatullah Zanjani, Syahid Muthahhari).

Program dana kemanusiaan ini tidak memandang berapa banyak uang yang terkumpul. Jika semua orang Iran mengumpulkan hartanya, barangkali tidak bisa menandingi banyaknya harta yang dimiliki dua orang Yahudi kaya raya yang tinggal di Amerika, yang meraup harta dengan jalan riba dan mencuri. Hal terpenting bagi kita adalah bagaimana jiwa kita ikut merasakan penderitaan orang lain dan memiliki keterikatan hati dengan mereka.

Saya ingin memberikan sebuah contoh berkenaan dengan masalah ini. Sewaktu Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang sedang membara, seekor burung Bul-bul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim dibakar. Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian ditumpahkannya di atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim. Melihat tindakan burung tersebut, Nabi Ibrahim bertanya dengan penuh rasa heran: “Wahai burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari paruhmu berguna untuk memadamkan api yang besar ini?” Burung Bul-bul itu menjawab: “Dengan cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman, dan hubungan saya dengan Nabi Ibrahim as.”

Kendati Anda hanya menyumbang dengan sedikit harta, namun sumbangan tersebut tetap bernilai. Dengannya, Anda telah menunjukkan perasaan dan kepedulian Anda terhadap orang lain yang tengah menderita. Melalui tindakan tersebut, Anda telah mempererat hubungan dengan Imam Husain as. Sebagaimana telah saya sampaikan pada awal pembicaraan, bahwa hari ini merupakan hari untuk “berhubungan dengan para Syuhada”. Mudah-mudahan kita semua digolongkan ke dalam barisan orang-orang yang syahid. Kita harus selalu mengatakan: “Assalâmu ‘alaikum ya Abâ Abdillah, ya laitanâ kunnâ ma’aka fa nafûza fauzan ‘azhiman” (Salam sejahtera bagimu wahai Aba Abdillah, andai saja kami bersamamu pada saat itu, maka kami akan sangat beruntung). Andai saja kami bersamamu, wahai Husain. Imam Husain mengatakan bahwa Karbala tidak hanya terjadi dalam satu hari saja. Tragedi Karbala akan senantiasa terjadi, kapanpun, di mana pun!

Salah satu bukti bahwa masyarakat kita telah mati adalah pecahnya tragedi Karbala. Sekarang ini, kita tengah memperingati hari Arbain (empat puluh hari syahadahnya Imam Husain as). Pada hari Arbain telah terjadi dua peristiwa penting; datangnya Jabir bin Abdullah Al-Anshori untuk berziarah ke makam Imam Husain as serta pembacaan ziarah Arbain yang disunahkan pada hari ini. Keterangan lebih rinci tentangnya akan saya sampaikan pada lain kesempatan. Disunahkan untuk berziarah kepada Imam Husain as di mana saja kita berada, sekalipun dari jarak jauh.

Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan suatu peristiwa yang pada dasarnya tidak termaktub dalam seluruh buku standar kesejarahan, kecuali dalam satu buku saja. Buku tersebut juga tidak bisa dikategorikan sebagai buku sejarah yang mu’tabar (otentik). Pengarangnya, yang merupakan salah seorang tokoh besar, menulis buku tersebut ketika ia masih muda. Buku tersebut mencakup sejumlah peristiwa bohong yang tidak terdapat dalam sejarah. Tak seorang pun dari kalangan sejarahwan, ahli hadis, dan penulis maqtal Islam yang menceritakan peristiwa tersebut. Mereka bahkan mengingkarinya. Terjadinya peristiwa tersebut juga tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kejadian bohong itu berkisar tentang datangnya Ahlul Bait Nabi dan keluarga suci Imam Husain as dari Syam ke gurun Karbala pada tanggal 20 Shafar 61 H (hari Arbain).

Kita sering mendengar kisah ini. Namun saya tidak ingat rinciannya. Barangkali kita tidak pernah mendengar bahwa yang berziarah ke makam Imam Husain as pada hari Arbain hanyalah dua orang. Dalam seluruh majlis yang ada, kita pasti akan mendengar kisah seperti ini. Diceritakan bahwa keluarga suci Imam Husain as datang ke Karbala dan menuju ke pusara Imam Husain as. Mereka membacakan syair-syair, puisi-puisi kesedihan, dan memukul-mukul dada masing-masing. Jelas, hal ini merupakan kebohongan belaka.

Inilah tanda-tanda kematian suatu masyarakat. Menerima kebohongan begitu saja dan gagap terhadap kebenaran serta kejujuran. Jabir bin Abdullah Al-Anshori merupakan sahabat Nabi yang menemani beliau sejak masa remaja. Di saat terjadi perang Uhud, Jabir masih berusia 16 tahun dan baru menginjak masa baligh. Ketika Rasulullah wafat, ia telah berumur kira-kira 22 atau 23 tahun. Atas dasar ini, maka usia Jabir pada tahun 61 H Jabir adalah 72 tahun. Di akhir usianya, kedua matanya mengalami kebutaan. la bertolak ke Karbala ditemani oleh Athiyah Al-Aufâ, seorang ahli hadis. Tatkala tiba di sana, Jabir terlebih dahulu pergi ke sungai Furat (Eufrat) untuk membersihkan dirinya sebelum melakukan ziarah. la mengambil tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan menjadikannya sebagai pewangi yang mengharumkan tubuhnya.

Athiyah mengatakan: “Setelah selesai membersihkan diri di sungai Furat, Jabir melangkah mendekati kubur Imam Husain as dengan perlahan-lahan sambil bibirnya mengucapkan zikir dan kalimat-kalimat suci”. Jabir termasuk salah seorang pengikut Imam Ali dan Ahlul Bait Nabi. Usia Jabir lebih tua dari Imam Husain, sekitar 12 tahun. Dengan langkahnya yang perlahan-lahan, akhirnya sampai juga ia ke pusara Imam Husain as. Setelah itu, Jabir berteriak: “Habibi ya Husainl! Kekasihku, wahai Husain! Habîbun lâ yujîbu habîbah? Mengapa kekasih tidak menjawab seruan kekasihnya? Akulah Jabir bin Abdullah Al-Anshori, akulah temanmu, akulah sahabat dekatmu, akulah budakmu yang tua renta! Mengapa engkau tidak menjawab seruanku, wahai Husain? Husain kekasihku, engkau berhak untuk tidak menjawab seruanku, seruan budakmu yang tua renta. Aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap urat’iirat lehermu. Aku tahu kepala muliamu telah terpisah dari raga sucimu …“.

Jabir mengucapkan banyak mengeluarkan kata-kata hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia menolehkan kepalanya ke sana kemari, seakan-akan dirinya memandang dengan mata batin seraya mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum ayyatuhal arwâhil latî hallat bi finâ`il Husain, salam sejahtera bagi jiwa-jiwa yang berguguran bersama gugurnya Imam Husain.”

Setelah memberikan banyak kesaksian, Jabir mengatakan: “Aku bersaksi bahwa aku bersamamu dalam perjuangan ini.” Athiyah terkejut mendengar kata-kata Jabir. Apa maksud kata-katanya? Apakah kita bersama mereka dalam perjuangan ini? Athiyah berkata kepada Jabir: “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, bukankah kita tidak berjihad bersama mereka? Kita tidak mengangkat pedang untuk berjuang, mengapa kamu katakan bahwa kita bersama mereka dalam perjuangan inil” Jabir mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah pernah mengatakan: ‘Barang siapa yang mencintai temannya dari kedalaman hati, maka jiwanya akan menyatu dengannya dan bersama dalam suatu perbuatan. Saya tidak bergabung dengan Imam Husain dalam perjuangannya saat itu karena saya tidak mampu bersamanya pada saat itu. Saya tidak ikut berjuang bersamanya, namun jiwaku terbang bersama Imam Husain. Jiwa kita bersama jiwa Imam Husain sebelumnya, dan saya berhak mengaku bahwa saya turut serta dalam perjuangan Imam Husain’.”

CATATAN
[1] Al-Anfâl: 24.
[2] Al-Mukminûn: 115.
[3] Al-Baqarah: 225.
[4] Nahjul Balâghah, “Faidhul Islam”, Khutbah ke-70, hal. 324.
[5] Thâhâ: 74; al-A’lâ: 13.
[6] Al-Anfâl: 24.
[7] An-Naml: 80.
[8] Al-Fâthir: 80.
[9] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[10] Al-Anfâl: 24.
[11] Al-Jâmi ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.

[12] Wasâ`il as-Syi’ah: Jilid XI, hal. 108 dan 560; Ushûl al-Kâfi, Jilid III, hal.239.