Senin, 24 Agustus 2015

Khilafah atau Kedok Politik Sekuler?





Oleh Abu Husein

Ada beberapa hal yang perlu kita perjelas keberadaannya, baik dalam batasan wacana maupun realitas dalam politik Islam. Pertama, kelompok yang sengaja memolitisasi Islam. Kedua, dugaan-dugaan politik yang ingin di-Islam-kan. Ketiga, etika dan roh politik Islami. Dan hikmah ini dapat kita ambil pelajarannya dari Fitnah Shiffin.

Perang Shiffin sudah dimulai. Pasukan Ali bin Abi Thalib hampir saja memenangkan pertempuran. Sebuah hasrat dan nafsu yang mengental kotor telah tersirat di benak Muawwiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash manakala mereka menancapkan al Qur’an di ujung tombak seraya berteriak nyaring, “Bainana wa bainakum al Qur’an” (Antara kami dan kalian terdapat al Qur’an). Muawwiyah dan Amr bin Ash dapat melihat dengan jelas, bila perang itu berlanjut terus, maka ia akan terpecundangi. Oleh karena itu, al Qur’an mereka jadikan alat dan legitimasi untuk dapat mengambil simpati massa, dan massa pun harus tertipu dengan cara mereka yang mengatasnamakan kitab suci itu.

Mereka memolitisasi Islam dan ummat. Muawwiyah dan para sekutunya adalah aktualisasi yang paling transparan dalam memolitisasi Islam untuk sebuah ambisi politik yang di dalamnya terdapat segenap intrik, konspirasi, kolusi dan ribuan bentuk kelicikan lainnya. Pada akhirnya semua itu bersatu dalam bentuk destruktif. Sementara Ali bin Abi Thalib, dengan nurani Islaminya, bangkit seraya mengatakan, “Mereka adalah orang-orang pencari kebatilan dan telah mendapatkannya”.

Di luar itu, ada segelintir pengikut Imam Ali bin Abi Thalib yang juga terkontaminasi. Mereka adalah orang-orang Khawarij, orang-orang yang gemar larut pada simbol-simbol luaran, serta memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin mereka Islamkan, sembari mengatakan “La hukma illa-Allah”.

Sayangnya, anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan mereka melumat semua akal sehat mereka, dan karenanya mereka masuk dan terjebak pada sebuah kondisi di mana atribut harus didahulukan daripada substansinya. Imam Ali memberi penilaian terhadap mereka, “Adapun Khawarij adalah orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran, tetapi mereka telah keliru dalam memahaminya, akhirnya mereka terjerumus dalam kesesatan”. Imam Ali sebenarnya hanya ingin memberi-tahu keadaan dan kondisi intelektual mereka yang rapuh, jiwa mereka yang labil, dan mudah diombang-ambing karena tak bersandarkan ilmu yang sahih.

Kelompok-kelompok (Khawarij) tak hanya berhenti sebatas di stasiun Shiffin saja, mereka terus menggelinding ke dalam kancah sejarah Islam, bahkan berganti-ganti bentuk, yang salah-satunya Wahabi-Takfiri saat ini. Namun, isinya tak pernah jauh berbeda dengan sejarah lamanya. Gerbong-gerbong Khawarij akhir-akhir ini penuh dan berada di sekitar kita dengan ciri-ciri khusus mereka: bodoh, memaksakan kehendak, dan intinya penuh dengan dugaan-dugaan yang tak jelas yang ingin mereka Islamkan, terutama dalam pandangan-pandangan politik mereka.

Kelompok yang terakhir adalah etika (akhlaq) dan ruh politik Islam. Kelompok ini adalah manusia Qur’ani dan sekaligus diwakili oleh washi-nya (pengemban wasiat) Rasulullah, Ali bin Abi Thalib. Beliau sadar ketika melihat al Qur’an yang sedang ditancapkan di ujung tombak, ketika beliau tak mudah tertipu oleh kulit luaran, sementara batin mereka penuh dengan kebatilan. Maka, beliau mengatakan, “kalimatul haq yurodu biha bathil”, artinya kalimat bahwa al Qur’an yang terpampang di ujung tombak itu benar, namun tujuan mereka penuh dengan intrik-intrik kebatilan.

Tak hanya sebatas itu, Imam Ali pun menegaskan, “Itu adalah al Qur’an yang bisu, yang terlihat oleh kalian. Sementara aku yang berada di hadapan kalian adalah al Qur’an yang berbicara”. Sebenarnya Imam Ali ingin mengatakan bahwa al Qur’an yang sudah menyatu dalam diri manusia akan membentuk penjernihan dalam akal dan jiwa manusia tersebut. Ia akan tercerahi dengan ma’rifat-ma’rifat rabbani.

Maka, manusia yang telah memiliki esensi al Qur’an dan berada di dalam al Qur’an, tak akan mudah disesatkan oleh segala bentuk yang tampak di permukaan, walau pun keberadaannya dalam lambang-lambang yang religius. 


Senin, 17 Agustus 2015

Aktivitas Menanam dan Kesadaran Ekologis



Oleh Sulaiman Djaya (esais dan penyair)

Sejak revolusi industri dan berlanjut dengan merebaknya budaya konsumsi serta produksi barang-barang kemasan yang telah menghasilkan residu (sampah) yang sangat besar, dunia (Bumi) tempat kita tinggal menjadi sangat jauh berbeda dan berubah. Perubahan lingkungan dan peningkatan residu (sampah) secara drastis di jaman kita saat ini, membuat dunia tempat kita tinggal menjadi sangat mengkhawatirkan. Seperti yang telah kita ketahui, dunia mulai mengalami dampak buruk dari perubahan iklim global (akibat global warming).

Kondisi cuaca ekstrim di sejumlah wilayah mulai menyadarkan banyak orang dan sejumlah pihak (kalangan) untuk lebih peduli dan memperhatikan lingkungan tempat mereka berada.

Kita tahu juga, gas karbondioksida merupakan bagian terbesar dari gas rumah kaca (green house gasses) yang menjadi penyebab utama perubahan iklim global di era kita sekarang ini. Gas CO2 ini dihasilkan dari pembakaran fosil, seperti minyak, gas bumi, dan batu bara.

Salah-satu cara untuk membantu mengurangi perubahan (kerusakan iklim) adalah dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil tersebut.

Cara lainnya adalah menggalakan aksi dan tindakan menanam. Sebab, sudah menjadi hukum alam, tumbuh-tumbuhan dan pepohonan yang menyerap gas CO2 dalam proses fotosintesis, berfungsi sebagai paru-paru dunia.

Salah-satu wujud menanam itu adalah menanam dengan menggunakan media-media barang-barang bekas (sampah) yang terbengkalai dan tak lagi digunakan. Sehingga ada dua manfaat ganda, mengurangi penyampahan sekaligus membantu menyehatkan lingkungan kita, selain jika tanaman yang kita tanam adalah tanaman untuk konsumsi, maka kita pun dapat memenuhi kebutuhan pangan kita. 


Urgensi Kesadaran Ekologis
Terkait dengan isu ekologi ini, saya ingin memberi sebuah ilustrasi yang tak jauh dari lingkungan saya sendiri. Ketika dua cerobong asap raksasa sebuah pabrik kertas (yang kebetulan tak jauh dari rumah saya) hadir dan berdiri dengan begitu “angkuhnya” sembari mengeluarkan asapnya sejak tahun 90-an, bersamaan itu pula saya merasa ada yang “keliru”, meski saat itu saya belum mengenal isu-isu ekologi. Saya memandang asap yang keluar dari dua cerobong asap pabrik kertas tersebut sebagai “kotoran” yang mencemari kemurnian udara, udara yang dengannya kita bernafas setiap hari, yang dengan demikian, udara adalah bagian dari kita sendiri yang paling akrab, yang dengannya dan bersamanya kita hidup.

Ketika udara itu tercemari dan terkotori, maka tercemari dan terkotori pula diri kita, sebab kehidupan kita sendiri tak terpisahkan dari dan dengan alam dan lingkungan. Kita adalah bagian dari alam dan lingkungan. Singkatnya, kita hidup dengan dan bersama alam, dan ketika kita bertindak dan berperilaku zhalim terhadap alam dan lingkungan, maka pada saat itu pula kita telah bertindak zhalim terhadap diri kita sendiri. Itu karena kita adalah bagian dan mata-rantai ekosistem, alam, dan lingkungan (yang adalah juga kita bagian dari jagat-raya), dan karena itu prilaku dan tindakan kita di mana kita hidup dengan dan bersama alam dan lingkungan, akan sangat berpengaruh kepada alam dan lingkungan di mana kita hidup dengan dan bersama mereka setiap hari.

Kita pun sadar, dalam konteks saat ini, lahirnya industrialisasi yang disusul kemudian dengan merebaknya budaya konsumsi dalam masyarakat mutakhir kita di era saat ini, telah menghadirkan disharmoni dan ancaman bagi kesehatan alam dan lingkungan, akibat residu (sampah dan limbah) yang besar-besaran misalnya, dan juga emisi serta polusi di udara kita, yang pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup kita sendiri. Itulah kenapa kesadaran ekologis pada segala tingkatan, baik lokal maupun global, adalah mendesak.

Dalam skala global, contohnya, Konferensi Perubahan Iklim ke-20 diselenggarakan pada 1-12 Desember 2014 lalu di Lima, Peru, yang merupakan kelanjutan Protokol Kyoto ke-10. Konferensi tersebut membahas komitmen negara-negara yang tergabung dalam Protokol Kyoto dalam kaitannya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca yang sehubungan dengan proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Jauh sebelumnya, jargon “Think Globally, Act Locally”, yang menjadi tema KTT Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 silam, segera menjadi jargon populer untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. Topik yang diangkat dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati.

Kita tahu bersama, isu lingkungan hidup semakin hari semakin menjadi isu yang sangat penting untuk ditangani bersama, baik oleh Negara-negara maju maupun Negara-negara berkembang atau Negara-negara Dunia Ketiga. Singkatnya merupakan keniscayaan bagi Utara dan Selatan. Kita tahu juga, persoalan lingkungan, meski telah ditempuh beragam upaya perawatan dan pencegahan dari kerusakan dan pencemaran, tidak semakin membaik. Penanganan dan perbaikan pun belum sebanding dengan peningkatan persoalan lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan dan bumi, sebagaimana sama-sama kita tahu dan kita rasakan, diperparah dengan terjadinya fenomena perubahan iklim (climate change).

Kondisi persoalan lingkungan yang tidak semakin membaik itulah, sebagai contohnya, yang juga mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil yang lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Bagi Indonesia, menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana tercermin dalam KTT Bumi tersebut, misalnya, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.

Isi Dokumen yang disepakati itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara maju maupun negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan lingkungan saat meraih kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green economy). KTT Bumi ini, yang juga disebut Rio+20, tersebut menjadi kelanjutan dari KTT Bumi yang dilakukan di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Pada saat itu, negara-negara yang hadir juga mengeluarkan komitmen perlindungan lingkungan. Namun, yang disayangkan dari Rio+20 adalah tidak adanya mekanisme evaluasi akan apa saja hal-hal yang sudah dicapai negara maju dalam pemenuhan janji-janji tersebut dari 1992 sampai sekarang.

Konservasi Tradisional dan Kearifan Lokal
Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumber daya alam –khususnya hutan di sekitarnya, bahwa “kearifan lokal” identik dengan pengetahuan tradisional. Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup pengetahuan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Pengetahuan yang dimaksud itu merupakan citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada sistem religi (kepercayaan dan keagamaan) dan memandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri (kosmik kepercayaan, nilai, dan sistem pengetahuan masyarakat bersangkutan), dimana, sebagai contohnya, terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh karenanya, untuk menghindari bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia (dalam kepercayaan atau kearifan lokal-tradisional) itu, wajib menjaga hubungan dengan alam semesta, termasuk dalam pemanfaatannya yang harus bijaksana dan bertanggung jawab.

Praktek konservasi tradisional tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sistem pengetahuan masyarakat lokal, sebagaimana telah disebutkan, karena berdasarkan pengetahuan itulah masyarakat mempraktekkan aspek-aspek konservasi yang khas di daerahnya. Dengan demikian, konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional, baik secara langsung maupun tidak langsung –dalam mempraktekkan kaidah-kaidah konservasi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam guna kelestarian pemanfaatannya. Praktek-praktek tersebut umumnya merupakan warisan dari nenek moyang (karuhun atau leluhur) mereka, dan bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan alam, semisal dalam masyarakat Kanekes (Baduy, Banten), di mana praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional tersebut memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian, yang kemudian oleh kita dikenal dan dinamakan sebagai kearifan tradisional.

Beberapa contoh dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari antara lain: [1] Kepercayaan dan/atau pantangan, misalnya (a) manusia berkaitan erat dengan unsur (tumbuhan, binatang dan faktor non-hayati lainnya) dalam proses alam, sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan, (b) pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon penghasil madu yang masih produktif, binatang yang sedang bunting (hamil atau mengandung), atau memotong rotan terlalu rendah. [2] Etika dan aturan, yang contohnya (a) menebang pohon hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali, (b) tidak boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan/atau menggunakan bom, (c) mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi hama ladang.

Selanjutnya, teknik dan teknologi, yang contohnya (a) membuat sekat bakar dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun atau tanaman pertanian lainnya, (b) menentukan kesuburan tanah dengan menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), warna tanah, diameter pohon dan warna tumbuhannya. (c) membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian-bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat warna, dan lain-lain. Praktek dan tradisi pengelolaan hutan atau lahan, yang contohnya (a) menetapkan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama, (b) melakukan koleksi berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman, (c) mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman atau hasil hutan yang berharga.

Bagi kita saat ini, mempelajari kearifan lokal, tentu saja, tidak berarti mengajak kita kembali pada periode zaman batu. Akan tetapi hal itu justru penting tidak saja dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya alam di sekitarnya juga memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya bagi kepentingan generasi mendatang.

Konservasi tradisional merupakan aturan-aturan yang berjalan dan berlaku di dalam masyarakat pedesaan secara tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya untuk tetap menjaga keberlanjutan nilai kualitas lingkungan dan sumber daya alam. Pada masyarakat tradisional (pedesaan atau masyarakat adat) biasanya terdapat aturan-aturan tertentu yang dapat mencegah dan melindungi penggunaan sumber daya alam yang tak beraturan, atau melakukan eksploitasi yang mubazir dan membahayakan masa depan lingkungan sekitar kita tempat kita hidup dan hidup anak cucu kita sendiri kelak. Singkatnya, masyarakat tradisional kita sendiri telah menyadari kebutuhan “mendesak” kesadaran ekologis, dan merasa diri sebagai bagian dari semesta.

Senin, 10 Agustus 2015

Ahmadinejad tentang Rasisme dan Unilateralisme




Pidato Mahmoud Ahmadinejad di PBB 20 April 2009

Bismillahirrahmanir rahim. Allahumma ‘Ajjil Liwaliyyikal Faraj Wal’Afiah Wannashr. Waj’alna min Khairi Ansharihi wa A’wanihi Walmustasyhadina Baina Yadaih. Segala puji dan syukur khusus milik Allah Yang Adil, Pengasih dan Yang Menginginkan Kebaikan Hamba-Nya. Salam Allah kepada para nabi ilahi mulai dari Nabi Adam hingga Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan pamungkas para nabi, Muhammad saw. Mereka semua adalah penyeru monoteisme, persaudaraan, cinta, kehormatan manusia dan keadilan.

Pimpinan sidang,

Sekjen PBB,

Komisi Tinggi HAM,
Ibu dan bapak,

Kita berkumpul di sini guna melanjutkan konferensi anti rasisme Durban dengan membahas kondisi kekinian dan solusi praktis dalam perjuangan suci dan manusiawi ini. Dalam peristiwa di beberapa abad terakhir telah terjadi banyak kezaliman besar terhadap umat manusia. Di abad pertengahan para ilmuwan dihukum mati. Setelah itu masuk masa perbudakan dan pemburuan manusia tak berdosa lalu memisahkan mereka dari keluarganya dengan mengirimkan mereka ke Eropa dan Amerika dalam kondisi sangat buruk bila dibandingkan jutaan manusia lainnya.

Periode kegelapan yang dibarengi oleh penjajahan berbagai daerah disertai penjarahan kekayaan alam dan pembantaian serta mengungsikan dengan paksa warga tak berdosa. Bertahun-tahun lewat bangsa-bangsa bangkit untuk mengusir para penjajah lalu mendirikan pemerintah independen dan nasional dengan nyawa jutaan manusia.

Gila kekuasaan dalam waktu singkat memaksakan dua perang besar di Eropa dan sebagian di Asia dan Afrika. Perang yang hasilnya mengorbankan ratusan juta nyawa manusia dan hancurnya lahan-lahan tanah-tanah subur. Mereka yang menang dalam perang menganggap dirinya sebagai jagoan dan pemenang dunia sementara bangsa-bangsa lainnya dipandang sebagai pecundang. Mereka lalu membuat undang-undang dan sistem yang zalim, tidak peduli dan bahkan menistakan hak-hak bangsa lain.

Ibu dan bapak,

Pandang Dewan Keamanan PBB sebagai warisan Perang Dunia I dan II. Dengan logika apa mereka mendapatkan keistimewaan dan hak veto? Nilai-nilai kemanusiaan dan ilahi seperti apa yang bisa menerima logika ini? Dengan keadilan? Dengan persamaan di hadapan hukum? Dengan kehormatan manusia? Atau diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran HAM dan ancaman bagi mayoritas bangsa dan negara di dunia? Ini kondisi dewan tertinggi dan referensi pengambilan keputusan bagi perdamaian dan keamanan dunia! Ketika diskriminasi ada dan sumber hukum tidak lagi keadilan dan kebenaran, tapi arogansi dan kekuatan, bagaimana dapat diharapkan terciptanya keadilan dan perdamaian? Gila kekuasaan dan egoisme sumber rasisme, diskriminasi, agresi dan kezaliman.

Sekalipun kini kebanyakan orang-orang rasis juga ikut-ikutan mengecam rasisme dalam slogan dan ucapan mereka, namun ketika beberapa negara kuat punya hak berdasarkan kepentingannya mengambil keputusan untuk negara-negara lain, mereka dengan mudah menginjak-injak hukum dan nilai-nilai kemanusiaan. Dan hal itu telah dilakukan oleh mereka.

Setelah Perang Dunia II dengan alasan orang-orang Yahudi menjadi korban dalam peristiwa holocaust dan dengan agresi mereka mengungsikan sebuah bangsa dan mereka mengirimkan orang-orang Yahudi dari Eropa, Amerika dan dari berbagai negara di dunia tinggal di daerah itu. Mereka akhirnya mendirikan pemerintah yang mutlak berasaskan rasisme di Palestina Pendudukan. Sejatinya, alasan untuk menebus kerugian rasisme di Eropa, mereka mendirikan rasisme paling kejam di tempat lain, yaitu Palestina.

Dewan Keamanan PBB mengakui pemerintah perampok ini dan selama 60 tahun membelanya serta memberikan kesempatan rezim ini untuk melakukan segala bentuk kejahatan. Lebih buruk dari ini, sejumlah negara Barat dan Amerika merasa berkewajiban untuk membela para rasisme pembantai manusia. Ketika manusia yang masih memiliki hati nurani bersih menyaksikan pengeboman dan pembantaian yang terjadi di Gaza dan mengecam aksi tersebut, mereka malah membela para penjahat. Sebelum itu juga mereka memilih diam di hadapan segala terbongkarnya kejahatan yang dilakukan rezim ini dan mendukungnya.

Saudara-saudara yang mulia, ibu dan bapak,

Apa alasan di balik perang terakhir seperti serangan Amerika ke Irak dan pengiriman besar-besaran tentara ke Afganistan? Apa alasannya selain arogansi pemerintah Amerika waktu itu, tekanan para pemodal dan penguasa untuk melebarkan pengaruh dan hegemoni, menjamin kepentingan para produsen senjata, penghancuran sebuah peradaban ribuan tahun, menghancurkan bahaya potensial dan aktual negara-negara regional terhadap Rezim Zionis Israel dan menjarah sumber-sumber energi Irak?

Jujur saja, mengapa ada satu juta orang tewas dan cidera dan jutaan lainnya harus mengungsi? Jujur saja, apakah serangan ke Irak dengan rencana Rezim Zionis Israel dan sekutu mereka di pemerintah Amerika waktu itu yang di satu sisi bersandar pada kekuasaan dan di sisi lainnya bersandar pada para pemilik perusahaan senjata? Apakah dengan mengirimkan pasukan ke Afganistan, perdamaian, keamanan, ketenangan dan kesejahteraan telah kembali di negara ini?

Amerika dan sekutunya tidak mampu bahkan hanya untuk mencegah produksi narkotika. Kehadiran mereka di Afganistan kini malah membuat produksinya meningkat berkali-kali lipat!

Pertanyaan pentingnya adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika dan sekutunya waktu itu? Apakah mereka menjadi wakil-wakil dunia? Apakah mereka pilihan bangsa-bangsa di dunia? Apakah rakyat di dunia mewakilkan kepada mereka untuk mengintervensi seluruh dunia (tentunya mereka lebih banyak melakukan intervensi di kawasan kami)? Apakah aksi-aksi pendudukan Irak dan Afganistan bukan bukti dari arogansi, rasisme, diskriminasi, penistaan kehormatan dan kemerdekaan bangsa-bangsa?

Ibu dan bapak,

Siapa penanggung jawab ekonomi dunia setelah terjadi krisis ekonomi dunia? Krisis bermula dari mana? Dari Afrika, Asia atau bermula dari Amerika yang kemudian menyebar ke Eropa dan sekutunya!

Cukup lama mereka memaksakan undang-undang dan peraturan tidak adil ekonomi dengan kekuatan politik dalam interaksi politik dan intenasional. Mereka menetapkan sistem moneter dan keuangan tanpa ada pengawasan internasional. Mereka memaksa seluruh negara dan bangsa di dunia untuk tidak ikut campur dalam proses dan pengambilan kebijakan. Mereka bahkan tidak pernah memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk melakukan pengawasan. Dengan meminggirkan moral dalam berbagai hubungan, mereka membuat undang-undang dan peraturan yang menguntungkan sebuah kelompok penguasa dan kaya. Dengan mendefinisikan sendiri pasar bebas dan persaingan, mereka berhasil menjegal kesempatan pihak lain memindahkan masalah yang dimilikinya ke pihak lain.

Kini puncak krisis puluhan ribu miliar hutang dan ribuan miliar defisit anggaran telah kembali kepada mereka sendiri.

Kini untuk memperbaiki kondisi mereka mulai menyuntikkan ratusan miliar tanpa pendukung dari kantong rakyat Amerika sendiri dan dari seluruh dunia kepada bank-bank, perusahaan-perusaha an besar dan pasar moneter yang hampir bangkrut. Dengan cara ini mereka kembali membuat rakyatnya semakin banyak hutan dan masalah menjadi semakin kompleks.

Mereka hanya memikirkan kekuasaannya saja. Bagi mereka masyarakat internasional, bahkan rakyat mereka sendiri tidak bernilai.

Pimpinan sidan, ibu dan bapak,

Akar asli rasisme kembali pada ketidaktahuan akan hakikat manusia sebagai makhluk terpilih dan menyimpang dan jalur kehidupan manusia dan tugas manusia dalam penciptaan. Lalai dari penyembahaan secara sadar kepada Allah dan pemikiran dalam filsafat kehidupan dan jalur kesempurnaan manusia yang berasal dari hasil alami akibat komitmen terhadap nilai-nilai ilahi dan manusiawi. Semua ini menyebabkan tataran cara pandang seorang manusia menjadi turun yang membuatnya hanya memikirkan kepentingan terbatas dan fana sebagai prinsip dalam berlaku. Dengan demikian inti kekuatan yang memiliki sifat setan telah terbentuk. Dengan menghapus kesempatan secara adil bagi pertumbuhan orang lain ia berusaha mengembangkan diri. Sebagaimana dalam bentuk terburuknya berubah menjadi rasisme yang tidak lagi memiliki kekangan dan kini menjadi faktor paling berbahaya yang mengancam perdamaian dunia dan menutup jalan terciptanya kehidapan damai.

Tidak ragu lagi bahwa rasisme harus dinilai sebagai simbol kebodohan dalam sejarah dan tanda-tanda kekolotan di hadapan pertumbuhan manusia umumnya. Dari sini diharapkan kita mencari pengejawantahan rasisme dalam penyebaran kondisi kemiskinan akan ilmu dan ketiadaan pemahaman bagi masyarakat.

Oleh karenanya, solusi asli dalam memerangi fenomena ini adalah menyebarkan pemahaman masyarakat dan memperdalam pemahaman mereka mengenai filsafat keberadaan manusia dan hakikat dunia dengan fokus manusia. Hasilnya adalah kembalinya manusia kepada nilai-nilai spiritual, moral, keutamaan manusia dan kecenderungan kepada Allah. Masyarakat internasional harus dalam sebuah gerakan universal budaya demi menjelaskan lebih luas lagi kepada masyarakat yang terkena penyakit ini dan tentunya mereka terkebelakang. Bila ini dilakukan simbol keburukan dan kekotoran ini bakal tergerus dengan cepat.

Saudara-saudara yang terhormat,

Kini masyarakat internasional menghadapi semacam rasisme yang keburukannya merusak citra manusia di awal mileniuk ketiga dan mempermalukan umat manusia.

Zionisme Internasional simbol mutlak rasisme yang berbohong atas nama agama dan memanfaatkan simpati keagamaan demi menyembunyikan wajah buruknya dari orang-orang yang tidak punya informasi. Namun yang harus diperhatikan dengan serius adalah upaya sebagian kekuatan besar dan pemilik kepentingann luas di dunia dengan memanfaatkan kekuatan ekonomi, pengaruh politik dan media berusaha sekuat tenaga mendukung Rezim Zionis Israel dan mengurangi keburukannya. Di sini sudah bukan masalah kebodohan!

Oleh karenanya, tidak boleh mencukupkan diri dengan aksi-aksi budaya untuk melawan fenomena buruk ini, tapi yang harus dilakukan adalah mengakhiri penyalahgunaan Israel dan para pendukungnya akan lembaga-lembaga internasional sebagai alat politiknya. Dengan menghormati keinginan bangsa-bangsa lain dan memperkuat tekad negara-negara untuk mengikis habis rasisme ini serta berani mengambil langkah memperbaiki hubungan internasional.

Tidak ragu lagi kalian semua tahu ada upaya besar kekuatan-kekuatan dunia untuk menyelewengkan tugas penting ini dalam pertemuan ini.

Patut disayangkan bahwa diplomasi dukungan terhadap Zionis Israel memiliki arti ikut serta secara transparan dalam setiap aksi kejahatan dan ini menambah tanggung jawab wakil-wakil terhormat yang hadir untuk membongkar aksi anti manusia dan segera memperbaiki hubungan dan perilaku. Harus diketahui bahwa mengenyampingkan kapasitas besar dunia seperti konferensi ini merupakan bukti asli membantu berlanjutnya keberadaan rasisme paling buruk. Konsekwensi membela HAM saat ini pertama adalah membela hak bangsa-bangsa untuk bebas dalam mengambil keputusan penting dunia tanpa campur tangan pihak-pihak lain dan kedua, harus melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki struktur dan hubungan internasional.

Mencermati hal ini, konferensi ini menjadi ujian besar dan opini dunia hari ini dan esok akan menilai apa yang kita lakukan.

Pimpinan sidang, ibu dan bapak,

Kondisi dunia dengan cepat tengah mengarah pada perubahan prinsip. Relasi kekuatan tampak sangat rapuh. Suara patahnya tulang punggung kezaliman dunia telah terdengar. Struktur politik dan ekonomi makro tengah menuju kehancurannya. Krisis politik dan keamanan semakin dalam dan krisis ekonomi yang semakin meluas dan tidak ada secercah harapan untuk untuk memperbaikinya. Berbagai dimensi baik kuantitas dan kualitas transformasi di berbagai bidang untuk maju sangat menakjubkan. Saya berkali-kali menekankan agar kembali dari jalur salah dalam mengelola dunia saat ini dan memperingatkan bila terlambat menyikapi masalah ini. Kini dalam konferensi internasional tak ternilai kepada kalian dan setiap pemimpin, pemikir dan kepada semua bangsa di dunia yang haus akan perdamaian, kebebasan, kemajuan dan kesejahteraan saya ingin mengatakan bahwa pengelolaan tidak adil yang menguasai dunia telah berakhir!

Kebuntuan ini tidak dapat dihindarkan karena muncul dari logika pengelolaan yang bersumber dari pemaksaan zalim. Karena logika gerakan dunia merupakan gerakan transenden, punya tujuan, manusia sebagai fokus dan kecenderungan kepada Allah. Gerakan yang akan melawan setiap kebijakan dan program yang tidak memihak kepentingan bangsa-bangsa dunia. Kemenangan kebenaran atas kebatilan dan masa depan cerah manusia berdasarkan sistem dunia yang adil merupakan janji Allah dan para nabi, bahkan harapan seluruh masyarakat dan generasi. Terciptanya masa depan seperti ini merupakan konsekwensi dari kebijaksanaan dalampenciptaan dan menjadi kepercayaan semua hati orang yang percaya kepada Allah dan posisi tak ternilai manusia.

Pembentukan masyarakat dunia praktis memungkinkan terciptanya sistem bersama dunia dan dengan ikutnya para ilmuwan, para pemimpin dan masyarakat dunia untuk ikut serta secara aktif dan adil dalam pengambilan keputusan makro dan prinsip merupakan jalur pasti dari tujuan besar ini. Kini kapasitas keilmuan, teknik, dan teknologiinformasi dan komunikasi mampu membentuk pemahaman bersama dan luas dari masyarakat dunia dan sebagai sarana bagi terciptanya satu sistem bersama. Kini tanggung jawab besar ini berada di pundak para pendidik, ilmuwan dan negarawan seluruh dunia yang percaya akan jalan pasti ini mampu memainkan peran historisnya. Saatnya saya ingin menekankan satu hakikat bahwa Kapitalisme Barat sama dengan Komunisme telah berakhir karena tidak mampu melihat manusia sebagai apa adanya dan berusaha untuk memaksakan jalan dan tujuan yang diciptakan untuk manusia.

Ketimbang memperhatikan nilai-nilai manusia dan ilahi, keadilan,kebebasan cinta dan persaudaraan, malah menjadikan persaingan keras guna meraih kepentingan materi, individu dan kelompok sebagai prinsip hidupnya.

Kini dengan mengambil pelajaran dari masa lalu dan memahami keharusanmengubah jalan dan kondisi saat ini, mari kita semua bertekad untuk berusaha di segala bidang. Sekaitan dengan hal ini dan sebagaipembicaraan terakhir, saya mengajak semua untuk memperhatikan dua poin penting:

[1] Perubahan kondisi dunia dan itu pasti bisa dilakukan, namun perludiketahui bahwa hal ini hanya dapat dilakukan dengan kerjasama seluruh negara dan bangsa. Oleh karenananya, harus memanfaatkan seluruh kapasitas yang ada untuk kerjasama internasional. Kehadiran saya dalam konferensi ini sebagai penghormatan atas masalah penting begitu juga masalah HAM dan pembelaan hak-hak bangsa dalam menghadapi fenomena buruk rasisme bersama kalian para ilmuwan.

[2] Mencermati tidak berfungsinya sistem-sistem yang ada dan relasipolitik, ekonomi, keamanan dan budaya internasional perlu melakukan perubahan dalam struktur yang ada dengan memperhatikan nilai-nilai ilahi dan manusiawi, analisa yang benar dan realistis mengenai manusia, berdasarkan keadilan dan memberikan nilai kepada hak semua manusia di seluruh dunia, para hegemoni harus mengakui kesalahan sebelumnya dan mengubah cara berpikir dan berlaku. Sekaitan dengan masalah ini, perubahan segera Dewan Keamanan PBB, menghapus keistimewaan diskriminatif hak veto, perubahan sistem moneter dan keuangan dunia harus segera dijadikan agenda untuk dibicarakan. Jelas, tidak memahami pentingnya perubahan segera sama dengan biaya lebih besar perubahaan itu sendiri.

Saudara-saudara saya yang terhormat,

Ketahuilah, gerakan menuju keadilan dan kemulian manusia bak gerak cepat dalam arus air. Jangan sampai kita melupakan eliksir cinta. Kepastian masa depan cerah bagi manusia merupakan modal besar yang mampu membuat kita semakin mengerti dan berharap untuk berusaha menciptakan dunia yang penuh dengan cinta, nikmat, tidak ada lagi kemiskinan, semua mendapat rahmat Allah dalam kepemimpinan manusia sempurna. Mari kita berusaha untuk memiliki saham dalam masalah penting ini!

Dengan harapan akan hari cerah dan indah!

Kepada pemimpin sidang, Sekjen PBB dan kepada kalian semua yang mendengarkan pidato ini, saya mengucapkan terima kasih banyak.

Semoga sukses dan tetap jaya. (Diterjemahkan oleh Saleh Lapadi)