Mungkinkah
waktu didefinisikan? Jawabannya antara ya dan tidak. Para fisikawan, misalnya,
menyatakan bahwa keberadaan waktu bersifat “relasional” dalam jagat ini, dan
bila waktu dipahami atau dimengerti sebagai durasi, hal itu pun akan berbeda di
setiap tempat, seperti waktu di bumi tidaklah sama dengan waktu di angkasa
sana. Al-Qur’an yang suci menegaskan: “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhan-mu
seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung” (al Haj: 47). “Yang
datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan
Jibril naik menghadap kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima-puluh ribu
tahun” (70: 3-4).
Kita
bisa bayangkan, berdasarkan penegasan al-Qur’an yang suci itu, satu hari di
suatu kawasan di angkasa sana, yang kita belum tahu di mana itu, sama dengan
lima-puluh ribu tahun di bumi, di planet biru-hijau di mana kita hidup, berada,
mengalami rasa-senang, kesedihan, jatuh cinta, putus-asa, atau marah. Sementara
itu, di bumi sendiri, pengalaman dan pemahaman kita akan waktu tergantung pada
aspek fisik dan psikis (bathin) kita. Misalnya, waktu terasa berjalan lambat
(lama) ketika kita menderita dan terasa berjalan cepat ketika kita sedang mengalami
kesenangan.
Penerimaan
dan pengalaman kita tentang waktu, contohnya, tidak sama ketika kita sedang
sakit dan ketika sedang bersama kekasih yang dirindu dan dicinta. Ada waktu
mekanis yang sifatnya birokratis dan tak lebih sebuah alat ukur yang terbuat
dari mesin, dan ada waktu psikis (bathin) yang dialami secara unik dan berbeda
oleh masing-masing kita sesuai konteks dan pengalaman kita sendiri yang
sifatnya subjektif dan individual.
Ada
waktu yang dihitung dan ada waktu yang dilupakan dan dikenang. Kita tahu bahwa
sehari-semalam adalah 24 jam secara mekanis, bahwa satu tahun adalah 12 bulan
berdasarkan kalkulasi almanak, tapi ada waktu yang “di-ingat” dan “dikenang”
oleh kita, meski hal itu kita sebut masa silam atau ingatan. Waktu seperti
inilah yang ada dalam musik, dalam nada-nada, dalam roman, atau dalam
gubahan-gubahan sajak, yang senantiasa dibaca dan dibaca lagi, meski digubah
dan ditulis di masa-masa yang lampau.
Dalam
arti ini, waktu bukanlah sesuatu yang dihitung secara mekanik dan matematik,
tetapi yang tetap dan tidak bergerak ke mana-mana. Sebab yang bergerak secara
bergiliran hanyalah rotasi siang-malam dan putaran jarum-jarum jam dan hitungan
angka-angka di saat waktu itu sendiri adalah “diam”.
Dalam
fiksi-fiksi sains, contohnya, semisal yang ditulis oleh H.G. Wells dan Jules
Verne, diceritakan dan digambarkan bagaimana seorang insinyur dan ilmuwan
membuat dan menciptakan “mesin waktu” yang akan membuat kita si pengguna dan
pengendaranya bisa kembali ke masa silam sekaligus bisa ke masa depan
–membelakangi sekaligus mendahului waktu yang pergi dan datang, agar kita bisa
memperbaiki kesalahan dan kekeliruan di masa silam sekaligus sanggup
“mendahului” waktu yang akan datang.
Tentu
saja hal itu merupakan sebuah alegori ketika manusia ingin “menekuk” dan
“melipat” waktu, sekaligus ingin menjadi “penguasa” masa silam dan masa depan.
Ingin menjadi makhluk super cerdas yang sanggup melawan hukum fisika atau
“takdir kosmik” yang menjadi “hukum pasti” yang tak bisa “dibengkokkan” dan “dirubah”
oleh kita.
Tentang
waktu yang ingin ditaklukkan oleh H.G. Wells dan Jules Verne itu, Alfred Lord
Tennyson pun berdendang: “Kuarungi masa depan, sejauh mata manusia memandang,
melihat visi dunia, dan segala keajaiban yang mungkin terjadi”, yang mengingatkan
kita kepada anekdot sains yang dikutip oleh Lawrence M. Krauss dalam Fisika
Star Treknya: “Suatu ketika hiduplah seorang wanita bernama Bright –dan ia
berkelana melampaui kecepatan cahaya. Suatu hari ia berangkat, dengan kecepatan
relatif terhadap waktu, dan kembali pada malam sebelum keberangkatan”, atau
sebagaimana yang ditulis oleh Alan Lightman dalam Mimpi-Mimpi Einstein-nya
bahwa mereka yang hidup di gunung-gunung lebih awet muda dan tidak cepat menua
ketimbang yang hidup di kota-kota. Di lembar-lembar Mimpi-Mimpi Einstein-nya
itu, Alan Lightman menulis:
"Siapa
yang lebih mujur di dunia dengan waktu yang gelisah ini? Mereka yang telah
melihat masa depan dan menjalani kehidupan ini? Mereka yang melihat masa depan
dan menunggu untuk menjalani kehidupan? Atau mereka yang menolak masa depan dan
menjalani dua kehidupan? Di suatu dunia, waktu berjalan lingkaran. Orang-orang
di dalamnya tak henti mengulang takdirnya tanpa perubahan sedikit pun. Di
tempat lain, orang mencoba menangkap waktu, yang berwujud burung bulbul ke
dalam guci. Di tempat lain tak ada lagi waktu, yang ada hanyalah
peristiwa-peristiwa yang membeku....
Andaikan
manusia hidup selamanya. Secara unik, warga di tiap kota terbagi menjadi dua:
Kelompok Belakangan dan Kelompok Sekarang. Kelompok Belakangan bersikukuh untuk
tidak perlu buru-buru kuliah di universitas, belajar bahasa asing, membaca
karya Voltaire atau Newton, meniti karir, jatuh cinta, berkeluarga. Untuk semua
itu, waktu tak terbatas. Kelompok Belakangan dapat dijumpai di setiap toko atau
di setiap jalanan, mereka berjalan santai dengan busana longgar. Kelompok
Sekarang beranggapan bahwa dengan kehidupan yang abadi mereka bisa melakukan
apa saja yang mereka inginkan. Ada tumpukan karir yang jumlahnya tak terhingga,
menikah dalam kali kesekian yang tak terbayangkan, dan pandangan politik terus
berganti. Mereka secara teratur membaca buku-buku terbaru, belajar tata cara
perdagangan baru, bahasa-bahasa baru. Demi mencucup sari madu kehidupan yang
tak terbatas itu, Kelompok Sekarang bangun lebih pagi dan tak pernah bergerak
lamban....
Seandainya
waktu berwujud burung bulbul. Waktu berdetak, bergerak, dan melompat bersama
burung-burung itu – yang bergerak cepat, sangat gesit, dan sulit ditangkap.
Tiap lelaki dan perempuan mendambakan seekor burung, karena dengan mengurung
seekor burung bulbul dalam guci maka waktu berhenti dan membeku bagi
orang-orang yang menangkapnya. Anak-anak, yang cukup gesit untuk menangkap
burung, tidak tertarik menghentikan waktu. Bagi mereka, waktu bergerak terlalu
lambat. Mereka selalu terburu-buru dari satu kejadian ke kejadian lain, tak
sabar menanti hari ulangtahun dan tahun baru, tak sabar menunggu lebih lama
lagi. Kelompok tua mati-matian menginginkan waktu berhenti, tetapi mereka
terlalu renta dan lamban untuk menangkap burung apapun. Bagi mereka, waktu
berlalu demikian cepat. Mereka berhasrat menahan satu menit saja, untuk minum
teh saat sarapan pagi, atau membantu seorang cucu yang kesulitan melepaskan
seragamnya, atau menatap pemandangan senja saat matahari di musim dingin
memantul dari hamparan salju dan menerangi ruangan musik dengan cahayanya....
Dunia
tanpa ingatan adalah dunia saat ini. Masa silam hanya ada dalam buku-buku,
dokumen-dokumen. Untuk mengenali diri sendiri, setiap orang membawa Buku
Riwayat Hidup yang penuh dengan sejarah masing-masing. Dengan membaca buku itu
tiap hari, ia mencari tahu kembali identitas orangtua mereka, apakah dirinya
berasal dari golongan atas atau bawah, apakah prestasinya di sekolah memuaskan
atau memprihatinkan, apakah ia telah mencapai sesuatu dalam hidupnya. Di satu
kafe di bawah rimbun pohon di Brunngasshalde, terdengar jerit pilu seorang
lelaki yang baru saja membaca bahwa ia pernah membunuh orang, desah seorang
perempuan yang menemukan dirinya pernah dipacari seorang pangeran, teriakan
bangga seorang perempuan yang menyadari dirinya pernah menerima penghargaan
tertinggi dari universitasnya 10 tahun lalu. Seiring waktu, Buku Riwayat Hidup
itu menjadi demikian tebal sehingga tak mungkin lagi dibaca seluruhnya. Lalu,
muncullah pilihan....
Para
lanjut usia memilih membaca halaman awal agar dapat mengenali diri mereka dalam
kemudaan. Beberapa orang memutuskan untuk sama sekali berhenti membaca. Mereka
meninggalkan masa lalu. Apapun yang terjadi di hari kemarin, kaya atau miskin,
terpelajar atau bodoh, congkak atau rendah hati, pernah kasmaran atau patah
hati, tak lebih dari angin lembut yang menari-narikan rambut mereka. Merekalah
orang-orang yang menatap tajam pada mata kita dan menggenggam tangan kita erat-erat.
Merekalah orang-orang yang melepas kemudaan dengan langkah tanpa beban.
Merekalah orang-orang yang telah belajar untuk hidup di dunia tanpa ingatan”.
Singkatnya,
waktu adalah juga imajinasi. Dan salah-seorang fisikawan yang dikenal memiliki
imajinasi yang kuat itu adalah Albert Einstein, hingga Lawrence M. Krauss, sang
penulis Fisika Star Trek itu pernah berseloroh: “Sama seperti para pengarang, ia tak berbekal apa pun selain imajinasi”.
Dalam hal inilah, sains dan sastra, sebagai contohnya, sama-sama dimungkinkan
oleh rahim yang sama, yaitu imajinasi. Dan memang, Einstein pernah terus-terang
berujar, “Imajinasi itu lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan. Imu
pengetahuan itu terbatas, sedangkan imajinasi mengelilingi dunia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar