Sumber: Tabloid Banten Muda Edisi 19
-Oktober 2013
Berawal
dari Umberto Eco, sebagaimana yang dikatakan Teresa de Lauretis ketika
membincang karya-karya Umberto Eco, yang menafsirkan kisah Adam di Surga
sebagai kiasan manusia untuk menemukan bahasa dan pengetahuan, karena
menurutnya larangan Tuhan untuk memakan buah pengetahuan mestilah dipahami
sebagai desakkan pertama ambiguitas, yang dari ambiguitas itulah terbuka sekian
kemungkinan bagi makna dan pemaknaan yang baru dan berbeda, apa yang disebutnya
sebagai moment penemuan bahasa yang simultan.
Sewaktu
masih di Surga, Adam dan Hawa hanya memiliki dua kata alias dikotomi, seperti
baik-buruk, indah-jelek, boleh dimakan-tidak boleh dimakan, dan ketika Tuhan
melarang Adam dan Hawa untuk mendekati dan memakan the apple of knowledge,
Tuhan sebenarnya sedang memperkenalkan kontradiksi semantik: apel dan
pengetahuan adalah entitas yang baik dan karena itu seharusnya boleh dimakan,
tetapi pada saat yang sama adalah buruk dan tidak boleh dimakan. Tak pelak,
dalam pemahaman Umberto Eco, larangan Tuhan tersebut merupakan kontradiksi dan
ambiguitas: sesuatu yang baik pada saat bersamaan juga berarti buruk.
Kisah
Adam-Hawa tersebut menurut Umberto Eco sebenarnya hanya sekedar menunjukkan untuk
merasakan kesenangan dalam mencandra teks dan menggauli pengetahuan, mengenali
hasrat dalam bahasa, di mana dari kisah itu pula, manusia memulai sebuah
eksperimen penemuan bentuk kata baru, menemukan irama, nada, dan puisi.
Bersamaan dengan tanda yang manasuka, manusia menemukan struktur kode bahasa
dan memperbarui sejarah puisi, Adam menemukan fungsi puitik dalam bahasa.
Sementara
itu, perjumpaan mereka dengan ular dapat dimengerti sebagai sebentuk keakraban
dengan situasi pra-bahasa, yang dalam hal itulah mereka meninggalkan Surga
sejak mengalami perjumpaan dan bermain dengan bahasa, yang dengan itu pula
sejarah pun dimulai.
Dan,
dalam tradisi sufisme semisal yang diulas William C. Chittick, pembacaan kisah
Adam tersebut salah-satunya dibaca dalam kerangka atau frame teologis dan pedagogi
seperti dalam Rawh al Arwah-nya Sam’ani, yang merupakan karya yang menceritakan
ulang kisah Adam tersebut melalui prosa-puitik: “Tuhan membawa Adam masuk ke
dalam taman kelembutan dan mendudukkannya di atas singgasana kebahagiaan. Tuhan
memberinya guci-guci keriangan satu demi satu, kemudian mengeluarkannya,
mendukai, membakar, dan meratapi. Sehingga, sebagaimana Tuhan membiarkan ia
mencicipi kelembutan pada awalnya, Tuhan juga membuatnya merasakan tegukan
kekerasan yang murni, tak tercampur, dan tanpa penyebab”.
Baik
pembacaan Sam’ani atau pun Umberto Eco, meski dengan tafsiran yang berbeda,
tetap memandang teks-teks kitab suci sebagai metode tuturan yang mendesakkan
ketakterusterangan dan ambiguitas, pembacaan yang menolak definsi hitam-putih
yang rigid dan jelas. Hingga al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya itu
mensinyalir ada makna lahir dan ada makna bathin (surplus meaning) dalam
teks-teks tertentu kitab suci, terutama sekali dalam teks-teks yang terasa
sangat puitis.
Tetapi,
untuk kasus al Ghazali, seperti kita tahu, tetap ingin menjaga penafsiran
verbal-nya sesuai dengan audiens pembacanya, yang dalam hal ini adalah
masyarakat awam. Ta’wil, menurut al Ghazali, memang hanya mungkin ditangkap dan
digali oleh kaum intelektual yang terdidik dan memiliki wawasan kebahasaan,
bukan hanya sebagai modus perintah, meski al Ghazali sesekali mengkritik para
ulama yang memaksakan penafsiran verbal sebagai satu-satunya sebagai pembacaan
yang paling sah dan mesti dianut semua ummat yang mempercayai kitab suci.
Bahkan
ia pernah mengkritik dengan nada yang keras sembari menyindir bahwa orang-orang
yang memaksakan penafsiran verbal kitab suci sebagai satu-satunya pembacaan
yang paling sah tersebut sesungguhnya tengah mengakui diri mereka sendiri akan
ketakmampuannya untuk menta’wil ayat-ayat tertentu kitab suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar