Tanggungjawab filsafat
terletak pada kepekaan analisisnya dengan persoalan-persoalan politik dan
sejarah, begitulah ujar Giovanna Borradori dalam bukunya yang berjudul
Philosophy In a Time of Terror, yang merupakan hasil diskusinya dengan dua
filsuf akbar: Jurgen Habermas dan Jacques Derrida setelah peristiwa September 2001, di mana tanggungjawab tersebut sejalan dengan pemikirannya
Immanuel Kant dan eksponen Frankfurt School generasi pertama. Akan tetapi pada
konteks ini Habermas mencoba untuk melampaui gagasan para pendahulunya di
Frankfurt School yang menurutnya mengalami kebuntuan, seperti kentalnya
pesimisme dalam pemikiran Adorno dan Horkheimer. Ikhtiar Habermas tersebut
dilandasi kesadaran dan pemaphumannya bahwa dunia modern memang mengandung
benih-benih otodestruksi ketika usaha menuju rasionalitas justru terjebak pada
irrasionalitas lainnya, atau yang lazim disebut oleh Adorno dan Horkheimer
sendiri sebagai Dilema Odisian manusia modern.
Meski demikian, Habermas
menekankan bahwa sejauh dilema pencerahan seperti yang disangka para
pendahulunya itu tidaklah terletak pada kegagalannya, akan tetapi mestilah
lebih dipahami pada aspek hilangnya kritisisme yang merupakan ruh dari
pencerahan itu sendiri, sebab bila kembali merujuk pada wawasannya Immanuel
Kant, pencerahan bukanlah kata benda, melainkan kata kerja, yang artinya
pencerahan harus selalu diusahakan dan diperjuangkan.
Jika kita kembali ke
belakang seperti yang dipaparkan kembali oleh Giovanna Borradori dalam bukunya
tersebut, debat filosofis seputar rasio, sejarah, dan pemikiran tentang
kebebasan, mencerminkan ragam pengandaian yang mendasarinya. Kant dan kaum
pencerahan mempercayai hubungan rasio kepada sejarah terletak pada kemampuannya
untuk membangun masa depan. Akan tetapi menurut Hegel, Kant dan kaum pencerahan
masih mengandaikan rasio sebagai kapasitas-mental yang dianugerahkan kepada
manusia oleh Tuhan begitu saja seolah-olah lepas dari kontingensi sejarah alias
bersifat ahistoris. Menanggapi pengandaian tersebut, Hegel menegaskan bahwa
rasio terikat kepada sejarah dan kapasitas berpikir itu sendiri tidak mungkin
dapat dipisahkan dari waktu dan budaya, karena rasio itu sendiri terikat kepada
sejarah dalam pembentukan dan pengalamannya. Rasio menurut Hegel bukan
semata-mata kemampuan abstrak atas dasar otonomi transendental yang lepas dari
persoalan-persoalan budaya dan sejarah.
Sementara itu di sisi
lain, kaum liberalis memahami kebebasan sebagai ketiadaan intervensi dan dimengerti
sebagai otonomi yang sepenuhnya individualistik. Pandangan ini pun dibantah
Hegel dan para penerusnya semisal Marx dan Freud sebagai konsep fiktif sembari
mengabaikan suatu telusuran dan investigasi secara mendalam mengapa seseorang
menetapkan dan memutuskan pilihannya, di mana menurut Hegel dan para
penerusnya, pilihan-pilihan dan kebebasan terbentuk dalam negosiasi-negosiasi
yang simultan dengan kekuatan eksternal. Suatu pilihan yang diambil oleh
seseorang, contohnya, terkait dengan akses dan resource sejauh yang didapat dan
diketahuinya, dan konsekuensinya, kemerdekaan justru diukur oleh derajat
kemampuan seseorang itu sendiri dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan eskternal
tersebut, papar Borradori.
Persoalan yang sama,
lanjut Giovanna Borradori, juga menyita aktivitas pemikiran Hannah Arendt dan
Bertrand Russell pada persoalan hukum dan institusi manusiawi yang definisinya
terus-menerus berevolusi seiring perjalanan waktu dan pengalaman manusia itu
sendiri dalam dan bersama sejarah. Pada konteks ini, institusi dalam pandangan
Arendt dimengerti dalam paradigma sejarah dan budaya, di mana hukum tak hanya
memberikan batas-batas antara kepentingan individu dan kepentingan publik,
tetapi mestilah juga menawarkan suatu deskripsi menyangkut hubungan antar
warga-negara, di mana setiap keterlibatan kepada sejarah pastilah berdampak
etis dan politis. Karena itu dalam pandangan Arendt, institusi dan hukum
meniscayakan keterlibatan dan partisipasi langsung warga-negara, dan juga mesti
menjaga dan menghormati kesamaan hak dan pluralitas.
Pada tingkatan yang lebih
jauh, buku hasil wawancaranya dengan dua filsuf tersebut juga dimaksudkan untuk
mencermati dan melihat perkembangan institusi-institusi politik dan hukum
internasional mutakhir di tengah percepatan kapitalisme lanjut dan globalisasi,
yang menurutnya institusi hukum dan politik internasional saat ini merupakan
perwujudan dan akeselerasi cita-cita pencerahan, dan karena itu Borradori masih
memandang relevan untuk mendiskusikan dan meninjau ulang cita-cita dan semangat
pencerahan itu sendiri dalam akselerasi modern-nya saat ini, di mana dalam
wawancaranya dengan Jacques Derrida, ia mendapatkan suara yang bernada keras,
karena menurut Derrida, wawasan dan diskursus filsafat Barat modern menyumbang
bagi praktek-praktek pemencilan dan kekerasan ketika klaim-klaim
universalitasnya malah melakukan homogenisasi atas definisi identitas,
kultural, dan linguistik atas sesuatu yang lain dan berbeda, yang alter dan
yang sepenuhnya lain. Di sini tugas filsafat dan pemikiran menurut Derrida
adalah memeriksa, membongkar, dan merancang-ulang asumsi-asumsi dan
kepercayaan-kepercayaan epistemologis filsafat dan pemikiran itu sendiri agar
terbangun kembali dari ketiduran dogmatis-nya untuk yang kedua kalinya, sebab
menurutnya upaya tersebut akan turut membantu untuk melihat dan menyelesaikan
persoalan etik-politik saat ini dengan lebih segar dan mengena.
Demikianlah, salah-satu
perjuangan pemikiran Jacques Derrida adalah menjelujurkan filsafat dan
menginvestigasinya kembali pada batas-batas yang dulu tak disadarinya, apa yang
disebutnya sebagai berfilsafat pada batasnya, karena sebuah konsep batas dan
perbatasan menurutnya didefinisikan dan dikonseptualisasikan dengan konsekuensi
sejumlah praktek pemencilan territori lainnya, layaknya dalam geografi, sebuah
batas menandakan di mana benda yang satu berhenti dan yang lainnya baru mulai.
Definisi batas dan perbatasan dalam ranah geografi dan negara kebangsaan
seperti yang telah dicontohkan tersebut seringkali melakukan kekerasan
identitas sebagaimana dapat dicontohkan dengan kasus sebuah keluarga yang
dipisahkan dan dibedakan oleh status kewarganegaraan antara Jerman Timur dan
Jerman Barat, di mana identitas yang diberikan kedua negara tersebut memiliki
resiko mengucilkan satu-sama lainnya karena alasan perbedaan ideologi dan
hitungan strategis. Menurut Derrida fenomena yang sama juga terjadi dalam
filsafat, di mana definisi dan konseptualisasi dihasilkan setelah melakukan
pemencilan terhadap kategori-kategori yang tidak masuk atau yang tak sesuai
dengan hirarki oposisi-biner dalam tradisi metafisika dan filsafat Barat.
Derrida pun mempercayai tantangan persoalan batas dan perbatasan tersebut
sangat berdampak pada tataran etis dan politis. Singkatnya, filsafat mesti
mengoreksi epistemologi dan cara pandangnya sendiri ketika melihat dan
memandang keberlainan, yang lain, dan yang sepenuhnya lain bukan sekedar
sebagai objek.
Latar belakang kultural
Derrida sendiri sebagai orang yang multi-identitas: Yahudi, Perancis, dan
Aljazair, sebagaimana ditulis Borradori dalam bukunya yang berjudul Philosophy
in a Time of Terror itu, telah menyumbangkan wawasan dan pengalaman bagi
gagasan-gagasan dan pemikirannya seputar humanisme dan pencerahan, yang
akhirnya menggaris-bawahi tantangan pada persoalan ragam territori: Eropa dan
Non-Eropa, Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, Judaisme dan Kristianitas, juga
Judaisme dan Islam. Tantangan yang sama menurutnya juga dialami filsafat dan
pemikiran secara inheren dan dalam hubungannya dengan dunia di luar dirinya.
Pada titik ini, dekonstruksi politis-filosofis Jacques Derrida dimaksudkan
untuk menemukan cahaya baru atas benua-benua yang tersembunyi, yang terpencil
dan sunyi.
Lebih lanjut, sebagaimana
yang telah diringkas dengan baik oleh Borradori, intervensi-dekonstruksinya
merupakan ikhtiar untuk membedah setiap diskursus yang tegak sebagai konstruksi
filsafat dan pemikiran, di mana ikhtiar tersebut memang berciri individual dan
bertujuan menggoncang stabilitas prioritas-prioritas kultural dan struktural
masing-masing konstruksi filsafat dan pemikiran. Dalam
dekonstruksi-investigatif ini, Derrida membongkar dan merancang-ulang
konstruksi-konstruksi filsafat Barat modern yang masih bergantung pada oposisi
dan pasangan-pasangan konseptual yang menyimpan benih-benih penyingkiran dan
kekerasan atas “the other” dan cenderung mengutamakan yang satu sembari
merendahkan yang lainnya, seperti pasangan spiritual-material,
lelaki-perempuan, kekal-temporal, dan universal-khusus, karena menurutnya
pasangan-pasangan tersebut menutup diri dari yang tak terduga, yang ketiga, dan
yang datang tak terduga. Di sana waria, yang asing, dan yang belum sempat
dipikirkan telah disingkirkan, sebagai contohnya, selain juga kategori-kategori
dan pasangan-pasangan tersebut merendahkan kategori-kategori yang kedua semisal
kategori yang material, perempuan, yang lokal, dan yang temporal.
Oposisi-oposisi tersebut
dalam pandangan Derrida mendesakkan suatu tatanan hirarkis dan mengucilkan apa
yang tidak sesuai dengan kategorisasinya. Contohnya adalah kebajikan dalam
skema kristiani yang seringkali diidentikkan dengan kelelakian dan yang
spiritual, sementara keburukan di sisi lain diakrabkan dengan yang perempuan
dan yang material. Selanjutnya, seperti yang dipaparkan oleh Borradori, apa
yang hendak didekonstruksi filsafatnya Derrida adalah segala kepercayaan,
nilai, dan ide yang dikonstruksikan dan dijaga oleh skema konseptual hirarki
oposisi-biner tersebut.
Dalam buku Philsophy in a
Time of Terror itu, Borradori juga memaparkan dekonstruksi secara metodis dan
prosedural. Pertama, intervensi-dekonstruksi diawali dengan mengidentifikasi
terlebih dahulu konstruksi-konseptual suatu bidang teoritis tertentu baik dalam
agama, etika, metafisika, atau teori-politik yang menggunakan hirarki oposisi-biner.
Kedua, intervensi-dekonstruksi menginvestigasi hirarki-oposisi biner itu
sendiri. Ketiga, intervensi-dekonstruksi dilanjutkan dengan membalikkan atau
menjungkirbalikkan tatanan hirarki oposisi-biner tersebut dengan jalan
menempatkan hirarki yang pada awalnya rendah dan di bawah menuju ke atas,
karena menurut Derrida, penataan hirarki oposisi-biner tersebut lebih merupakan
cerminan pilihan-pilihan seksis dan strategis ketimbang suatu deskripsi
sifat-sifat yang intrinsik. Dan yang Keempat, intervensi-dekonstruksi kemudian
memproduksi istilah ketiga untuk melampaui dan menggugurkan hirarki
oposisi-biner tersebut, hingga tak dapat dikenali lagi dengan cara membongkar
struktur yang menyangga dan yang dijadikan dasar penataan hirarki oposisi-biner
tersebut. Dua gerakan intervensi yang pertama dimaksudkan untuk menantang
deskripsi konstruksi-konseptual, sementara itu dua gerakan selanjutnya
bertujuan untuk merusak bentuknya dan kemudian membentuknya kembali dengan
wawasan dan cara pandang yang lebih segar dan bertanggungjawab secara etis dan
politis, dan kemudian mentransformasinya secara berkelanjutan.
Tentang Terorisme dan Fundamentalisme
Selanjutnya ketika Jacques
Derrida ditanya apakah ia setuju peristiwa 11 September 2001 dapat
dikategorikan dan disebut sebagai peristiwa besar, ia malah menyarankan untuk
menunda dan mencermati apa yang melatari dan mengkonstruksi penerimaan dan
pengutipan kita tentang apa yang disebut sebagai peristiwa sembari menawarkan
definisi Heideggerrian. Sebab menurutnya kita seringkali menamai kejadian yang
ini dan yang itu sebagai peristiwa besar dan kejadian yang lainnya sebagai
kejadian biasa lebih disebabkan oleh pendesakkan dan konstruksi tekno-sains
media yang tidak sepi dari pertimbangan seksis dan strategis. “We will have to
return later to this question of language”, ujar Derrida menjawab pertanyaan
Giovanna Borradori, “As well as to this act of naming: a date and nothing more.
When you say September 11 you are already citing, are you not? You are inviting
me to speak here by recalling, as if in quotation marks, a date or a dating
that has taken over our public space and our private lives”, lanjut Derrida,
“Something fait date, I would say in French idiom, something marks a date, a
date in history; that is always what’s most striking, the very impact of what
is at least felt, in an apparently immediate way, to be an event that truly
mark, that truly makes it mark, a singular and, as they say here, unprecedented
event. I say apparently immediate because this feeling is actually less
spontaneous that it appears: it is to a large extend conditioned, constituted,
if not actually constructed, circulated at any rate through the media by means
of a prodigious techno-socio-political machine” [Borradori, October 22, 2001].
Karena ketika kita menerima dan mengiyakan secara dogmatis penamaan 11
September 2001 sebagai peristiwa besar, pada saat itu kita tengah diminta untuk
melupakan peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki juga peristiwa kelaparan
yang memakan jutaan jiwa di Ethiopia sebagai contohnya.
Sementara itu, ketika
dimintai pendapatnya tentang fundamentalisme. ia melihat dan memahaminya
sebagai kegagapan dan ambiguitas yang dihadai kaum fundamentalis itu sendiri
ketika berhadapan dengan perkembangan dan kompetisi ekonomi-politik dunia saat
ini. Ia juga mengatakan bahwa pencerahan yang kita percayai sebagai keniscayaan
sejarah tidak sepenuhnya terjadi di belahan dunia yang lain, pada kenyataannya
yang ada adalah suatu keadaan sejarah di mana yang terjadi di belahan dunia yang
lain adalah kemiskinan dan arah balik menuju fundamentalisme sebagai akselerasi
modernisasi Barat yang melahirkan kegagapan dan kekhawatiran di dunia yang
lainnya, apa yang oleh Derrida sendiri disebut sebagai fenomena pharmakon, di
mana suatu cita-cita kemakmuran dan pencerahan tanpa kita kehendaki telah
melahirkan ketimpangan dan paradoks. Derrida juga mengingatkan kita bahwa
terorisme di satu sisi dan perilaku politik Amerika di sisi lainnya semasa
perang dingin yang melatih orang-orang semisal Osama Bin Laden adalah fakta
yang juga turut melahirkan terorisme dengan motif politis dan strategis.
Pendapat Derrida itu
sebenarnya tak banyak perbedaan dengan Habermas yang melihat dan memahami
fundamentalisme sebagai reaksi defensif melawan ketakutan akan tercerabutnya
cara-cara hidup tradisional dengan jalan kekerasan. Akan tetapi karena
oposisinya terhadap modernitas dan modernisasi, fundamentalisme menurut
Habermas merupakan fenomena yang unik dan distingtif dalam kemodernannya.
Begitupun Habermas mengingatkan kita agar tidak mencampuradukkan antara
fundamentalisme dengan ortodoksi, karena ortodoksi menurutnya tidak
meniscayakan praktek kekerasan atas agama di luar dirinya. Dogmatisme dan
ortodoksi menjelma fundamentalisme ketika para penjaga iman yang benar lupa dan
kurang peka dengan situasi epistemik masyarakat dunia saat ini.
Senada dengan Habermas,
meski di tempat dan waktu yang berbeda, Derrida pun memahami fundamentalisme
agama tidaklah lahir dari luaran modernitas. Akan tetapi menurutnya yang menginjeksikannya
adalah kapitalisme lanjut dan globalisasi, yang ia sendiri menyebutnya sebagai
fenomena mondialisasi: pendesakan oleh dunia yang kuat terhadap dan kepada
dunia yang lemah. Derrida pun mengatakan bahwa terkandung suatu
teologiko-politik yang sama antara kaum fundamentalis dan semangat
politik-sekuler Barat yang akarnya sama-sama bersumber dari tradisi Abrahamik
yang sama. Dengan demikian perang antara kaum fundamentalis dan kebijakan
politik George Walker Bush adalah perang dua kubu fundamentalis, hanya saja
yang satu menggunakan klaim dan legitimasi agama, sementara yang lainnya
menggunakan klaim perdamaian dan demokratisasi.
Meski demikian, Habermas
mengingatkan kita tentang terorisme yang motif dan tujuan strategisnya murni
politis, di mana agama sebenarnya lebih merupakan kedok yang digunakan oleh
para teroris karena secara praktis dan pragmatis hal itu berguna dan efisien
untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi publik, di mana menurutnya para
pejuang suci hari ini sesungguhnya tak lebih metamorfosa para nasionalis
sekuler di hari kemarin.
Hak cipta (c) pada Sulaiman Djaya (2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar