Selasa, 17 Februari 2015

Sains Sebuah Catatan Harian




Benggalih. Itulah nama kampung di mana saya dilahirkan, menjalani masa kanak, masa remaja, dan yang kini saya tinggali –sebuah nama yang terdengar berbau Hindustan dan Sanskrit. Sebuah kampung yang terletak di antara dua sungai: Sungai Ciujung yang mengalir dari pegunungan di Lebak, Banten Selatan dan Sungai Irigasi yang mengalir dari Pamarayan, Serang, Banten Utara.

Di masa-masa saya masih kanak-kanak hingga remaja, saya harus menempuh jalan yang belum diaspal bila hendak menuju ke tempat di mana sekolah menengah pertama saya berada. Bersama Sungai Irigasi, jalan yang saya tempuh itu, hanya dipisahkan oleh rumput, ilalang, pohon-pohon kecil dan besar yang tumbuh subur di tepi jalan yang sekaligus tentu saja tepi Sungai Irigasi tersebut.

Sebelum saya memiliki sepeda sendiri, saya harus berjalan kaki menempuh perjalanan sejauh lima kilometer itu, dan kadang-kadang menumpang mobil truck pengangkut gabah dan pasir yang kebetulan lewat atau melintas ketika hendak berangkat sekolah atau ketika pulang sekolah. Tentu saja, keadaan dan kondisinya tidak sama ketika musim hujan.

Di masa-masa itu, kami akrab dengan beberapa hal yang kini telah hilang. Contohnya kunang-kunang, yang cahaya-cahaya mungil tubuh mereka, merupakan keindahan dan keajaiban tersendiri di waktu malam yang hening dan sepi. Persis ketika saya memandangi mereka yang tengah mengambang di atas jalan, di halaman, atau di antara petak-petak sawah di belakang rumah.

Rupa-rupanya, kehadiran dunia yang baru, pada akhirnya memang menyingkirkan dunia yang lama, baik secara ekonomis dan sosiologis, atau pun secara antropologis dan ekologis.

Ketakhadiran kunang-kunang itu sendiri untuk saat ini, yang dulu ada dan menjadi tamu-tamu malam kami, tak lain karena tempat di mana saya dilahirkan dan saya tinggali telah berubah secara ekologis dan ekonomis, sebagai contohnya. Persis ketika sawah-sawah telah menjadi raungan mesin-mesin pabrik dan infrastruktur-infrastruktur industri yang mengepulkan asap dan memproduksi limbah dan racun setiap hari. Dan pada saat bersamaan, secara antropologis, juga telah merubah sikap dan prilaku masyarakat, merubah pandangan dan gaya hidup mereka saat ini, yang kontras berbeda di masa-masa ketika infrastruktur-infrastruktur industri dan teknosains belum hadir.

Yang ingin saya katakan adalah bahwa, kehadiran industri turut pula memberikan perubahan yang ternyata tidak kecil dan memiliki dampak multidimensi: material dan spiritual, meski jarak industri tersebut beberapa kilometer dari kampung saya. Contohnya, kini banyak orang kampung saya yang terpacu menyekolahkan anak-anak mereka, karena bila anak-anak mereka tidak memiliki ijazah dari sekolah, maka mereka tak bisa melamar pekerjaan. Hal itu sangat berbeda ketika dulu orang-orang tua di kampung saya menganggap remeh pendidikan formal. Sekedar tambahan, di kampung saya yang pertama-kali mengenyam pendidikan perguruan tinggi adalah paman saya (adik-nya almarhumah ibu saya).

Dengan contoh-contoh yang saya katakan itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa perubahan yang dihadirkan oleh keberadaan infrastruktur-infrastruktur industri dan tekno sains, tak hanya memberi dampak perubahan ekonomis semata, namun turut pula merubah aspek sosial-budaya masyarakat, selain tentu saja, kehadiran infrastruktur-infrastruktur industri juga berdampak pada kerusakan ekosistem alami alias berdampak secara ekologis, yang terbilang “berbahaya”.

Singkatnya, acapkali kemajuan dalam beberapa hal harus “dibayar” dengan kerusakan hal-hal lain. Bahkan, kerusakan-kerusakan yang merupakan dampak kehadiran infrastruktur-infrastruktur industri itu tidak sepadan dengan kebaikan “ekonomis” yang telah diberikannya. Misalnya, limbah beracun yang “membunuh” sungai yang dulu asri dan merupakan jiwa kehidupan bagi tanah dan makhluk-makhluk hidup yang dihidupi olehnya.

Sedangkan secara kultural, atau katakanlah secara antropologis, kehadiran televisi dan tekno sains lainnya, semisal internet, selain telah memberi manfaat positif dan kecerdasan bagi anak-anak muda, juga telah melakukan impor “kultural” dan pandangan hidup yang akhirnya merubah pandangan dan perilaku masyarakat, terutama generasi muda, bahkan menyangkut hal-hal yang dulu dianggap tabu dan “dosa besar”.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya (2015) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar