Oleh Sayyid Muhammad Baqir as Shadr (Penerjemah: Muhammad Nur Mufid) dan disunting ulang oleh Sulaiman Djaya
Terjadi perdebatan
filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia, yang menduduki pusat
permasalahan di dalam filsafat, terutama filsafat modern. Pengetahuan manusia
adalah titik tolak kemajuan filsafat, untuk membina filsafat yang kukuh tentang
semesta (universe) dan dunia. Jika sumber-sumber pemikiran manusia,
kriteria-kriteria, dan nilai-nilainya tidak ditetapkan, tidaklah mungkin
melakukan studi apa pun, bagaimanapun bentuknya. Salah satu perdebatan besar
itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan
dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip perimer
kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. Dengan itu, ia
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Bagaimana pengetahuan itu
muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta,
termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep (notions) yang muncul sejak dini?
Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan
ini?
Setiap manusia tentu
mengetahui berbagai hal dalam kehidupan, dan dalam dirinya terdapat
bermacam-macam pemikiran dan pengetahuan. Dan tidak diragukan lagi bahwa banyak
pengetahuan manusia itu muncul dari pengetahuan lainnya. Karena itu, ia akan
meminta bantuan pengetahuan terdahulu (yang sudah dimiliki) untuk menciptakan
pengetahuan baru. Permasalahannya adalah bagaimana kita “meletakkan tangan
kita” di atas “garis-garis primer” pemikiran dan atas sumber umum pengetahuan
pada umumnya.
Sebelum menjawab semua itu, kita harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi [6] atau pengetahuan sederhana. [7] Kedua, tashdiq (assent atau pembenaran), [8] yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. [9] Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita[10] terhadap pengertian panas, atau cahaya atau suara. Tasdhiq dapat dicontohkan dengan penilaian kita [11] bahwa panas adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu dapat meledak. [12] Sekarang kita mulai dengan membahas konsepsi-konsepsi manusia, dengan memusatkan perhatian pada sebab-sebab dan sumber-sumbernya. Setelah itu, kita bahas tashdiq dan pengetaquan.
Sebelum menjawab semua itu, kita harus tahu bahwa pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi [6] atau pengetahuan sederhana. [7] Kedua, tashdiq (assent atau pembenaran), [8] yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian. [9] Konsepsi dapat dicontohkan dengan penangkapan kita[10] terhadap pengertian panas, atau cahaya atau suara. Tasdhiq dapat dicontohkan dengan penilaian kita [11] bahwa panas adalah energi yang datang dari matahari dan bahwa matahari lebih bercahaya daripada bulan dan bahwa atom itu dapat meledak. [12] Sekarang kita mulai dengan membahas konsepsi-konsepsi manusia, dengan memusatkan perhatian pada sebab-sebab dan sumber-sumbernya. Setelah itu, kita bahas tashdiq dan pengetaquan.
Konsepsi dan Sumber-Pokoknya
Yang kami maksudkan dengan
kata “pokok” (primer) di atas adalah sumber hakiki bagi konsepsi atau
pengetahuan-pengetahuan sederhana. Pikiran manusia mengandung dua konsepsi. Pertama,
pengertian-pengertian konseptual sederhana, seperti pengertian “wujud”,
“unitas”, “panas”, “putih”, dan konsepsi-konsepsi tunggal lain manusia. Kedua,
pengertian-pengertian majemuk. Yakni konsepsi yang merupakan hasil kombinasi
antara konsepsi-konsepsi sederhana. Kita, misalnya, mengkonsepsikan “sebungkal
gunung dari tanah” dan mengkonsepsikan “sepotong emas”, kemudian kita
kombinasikan dua konsepsi itu. Dari kombinasi itu lahirlah konsep ketiga yaitu
konsepsi “sebungkal gunung dari emas”.
Konsepsi ketiga ini, pada dasarnya, adalah kombinasi dari dua konsepsi tadi. Demikianlah, semua konsepsi majemuk itu (dapat) disusutkan menjadi unit-unit konseptual sederhana. Permasalahannya yang kita coba pecahkan adalah upaya mengetahui sumber hakiki unit-unit tersebut dan sebab timbulnya konsepsi-konsepsi sederhana itu dalam persepsi manusia. Permasalahan ini memiliki sejarah yang penting dalam semua periode filsafat Yunani, Islam dan Eropa. Dalam perjalanan sejarah filsafat, permasalahan itu telah menghasilkan beberapa pemecahan yang terangkum dalam teori-teori berikut.
Konsepsi ketiga ini, pada dasarnya, adalah kombinasi dari dua konsepsi tadi. Demikianlah, semua konsepsi majemuk itu (dapat) disusutkan menjadi unit-unit konseptual sederhana. Permasalahannya yang kita coba pecahkan adalah upaya mengetahui sumber hakiki unit-unit tersebut dan sebab timbulnya konsepsi-konsepsi sederhana itu dalam persepsi manusia. Permasalahan ini memiliki sejarah yang penting dalam semua periode filsafat Yunani, Islam dan Eropa. Dalam perjalanan sejarah filsafat, permasalahan itu telah menghasilkan beberapa pemecahan yang terangkum dalam teori-teori berikut.
1. Teori Plato tentang Pengingatan-Kembali
Teori Plato tentang
pengingatan-kembali adalah teori yang berpen-dapat bahwa pengetahuan adalah
fungsi mengingat kembali informasi-informasi yang telah lebih dulu diperoleh.[13]
Teori ini diciptakan oleh Plato (abad ke-5 SM). Ia mendasarkannya pada
filsafat-tertentunya tentang “alam ide” dan keazalian jiwa. [14]
Plato yakin bahwa jiwa manusia ada dalam bentuk berdiri sendiri, terlepas dari
badan, sebelum badan itu ada. Karena wujud jiwa itu bebas sebebas-bebasnya dari
materi, ia berhubungan dengan alam ide – realitas-realitas yang bebas dari
materi – dan dapat mengetahuinya. Ketika ia harus turun dari alam imaterialnya
untuk disatukan dengan badan dan dikaitkan dengannya di alam materi, hilanglah
semua yang telah diketahuinya dari alam-ide dan realitas-realitas yang tetap,
serta lupa sama sekali akan realitas-realitas tadi. Tetapi, ia kemudian mulai
memulihkan pengetahuan-pengetahuannya melalui penginderaan gagasan-gagasan
(ide-ide) tertentu dan hal-hal partikular. Sebab, semua konsep dan hal-hal
partikular itu adalah bayangan dan pantulan dari alam-ide dan realitas-realitas
azali (abadi) di dunia yang di dalamnya jiwa itu pernah hidup. Jika ia telah
menginderai suatu ide tertentu, pindahlah ia seketika ke realitas ideal yang
telah dikeiahuinya sebelum ia dikaitkan dengan badan. Berdasarkan itu,
pengetahuan kita mengenai manusia universal – yaitu ide tentang manusia secara
universal – tak lain adalah pengingatan-kembali realitas abstrak yang telah
kita lupakan. Kita hanya dapat mengingatnya kembali dengan menginderai manusia
tertentu atau individu tertentu yang mencerminkan realitas abstrak itu di alam
materi.
Jadi, konsepsi-konsepsi umum itu mendahului penginderaan. Penginderaan tidak akan terlaksana kecuali dengan proses melacak dan mengingat-kembali konsepsi-konsepsi tadi. Pengetahuan-pengetahuan rasional tidak berkaitan dengan hal-hal partikular dalam alam indera. Tetapi, ia hanya berkaitan dengan realitas-realitas universal abstrak tersebut. Teori ini berdasarkan atas dua proposisi berikut: Pertama, bahwa jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi daripada alam materi. Kedua, bahwa pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi, yang oleh Plato disebut dengan archetypes.
Jadi, konsepsi-konsepsi umum itu mendahului penginderaan. Penginderaan tidak akan terlaksana kecuali dengan proses melacak dan mengingat-kembali konsepsi-konsepsi tadi. Pengetahuan-pengetahuan rasional tidak berkaitan dengan hal-hal partikular dalam alam indera. Tetapi, ia hanya berkaitan dengan realitas-realitas universal abstrak tersebut. Teori ini berdasarkan atas dua proposisi berikut: Pertama, bahwa jiwa sudah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi daripada alam materi. Kedua, bahwa pengetahuan rasional tidak lain adalah pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi, yang oleh Plato disebut dengan archetypes.
Kedua proposisi itu salah,
seperti diterangkan oleh para kritikus filsafat Plato. Jiwa, dalam arti
filosofis-rasional, bukanlah sesuatu yang maujud secara terpisah dalam bentuk
abstrak sebelum adanya badan. Ia adalah hasil gerak substansial di dalam
materi. Mula-mula jiwa mulai dengan gerak ini sebagai materi dengan sifat-sifat
materi dan tunduk kepada hukum-hukum materi. Dengan sarana gerak dan proses
penyempurnaan ini, ia menjadi wujud immaterial, tidak lagi bersifat material,
dan tidak tunduk kepada hukum-hukum materi, meskipun tunduk kepada hukum-hukum
umum wujud. Konsep filsafat jiwa inilah satu-satunya konsep yang dapat
menjelaskan persoalan dan dapat menafsirkan secara rasional hubungan antara
jiwa dan materi, antara jiwa dan badan. Sedangkan konsep Platonik yang
mengasumsikan jiwa sebagai sudah ada sebelum badan adalah konsep yang paling
lemah dalam menafsirkan hubungan antara badan dan jiwa tersebut. Juga, ia tidak
dapat menjelaskan kondisi-kondisi yang membuat jiwa itu turun dari peringkatnya
sendiri ke peringkat materi.
Di samping itu, pengetahuan rasional dapat dijelaskan – dengan menyisihkan pemikiran “alam-ide” dari pembahasan – dengan apa yang telah diuraikan Aristoteles (abad ke-4 SM), yaitu bahwa konsep-konsep inderawi itu sama dengan konsep-konsep universal yang diketahui oleh pikiran sesudah mengabstraksikan karakteristik-karakteristik individualnya dan menyisakan gagasan umumnya. Manusia universal yang kita persepsikan bukanlah realitas ideal yang sudah kita saksikan di alam yang lebih tinggi. Tetapi ia adalah bentuk (form atau shurah) manusia ini atau itu sesudah terkena proses abstraksi yang dengan cara itu gagasan universal disarikan darinya.
Di samping itu, pengetahuan rasional dapat dijelaskan – dengan menyisihkan pemikiran “alam-ide” dari pembahasan – dengan apa yang telah diuraikan Aristoteles (abad ke-4 SM), yaitu bahwa konsep-konsep inderawi itu sama dengan konsep-konsep universal yang diketahui oleh pikiran sesudah mengabstraksikan karakteristik-karakteristik individualnya dan menyisakan gagasan umumnya. Manusia universal yang kita persepsikan bukanlah realitas ideal yang sudah kita saksikan di alam yang lebih tinggi. Tetapi ia adalah bentuk (form atau shurah) manusia ini atau itu sesudah terkena proses abstraksi yang dengan cara itu gagasan universal disarikan darinya.
2. Teori Rasional
Teori rasional adalah
teori para filosof Eropa seperti Descartes (1596-1650)[15] dan
Immanuel Kant (1724-1804), [16] dan lain-lain. Teori-teori tersebut
terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi. Pertama,
penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena
penginderaan kita terhadap semua itu. Kedua, adalah fithrah, dalam arti
bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang
tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitrah. Jiwa
menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya sendiri. Menurut Descartes,
konsepsi-konsepsi fitri itu adalah ide “Tuhan”, jiwa, perluasan dan gerak serta
pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas
dalam akal manusia. Adapun bagi Kant, semua bidang pengetahuan manusia adalah
fitri, termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta duabelas kategori[17]
yang terkenal dari Kant.
Indera, menurut teori tersebut, adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Tetapi, ia bukan satu-satunya sumber. Ada juga fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal. Yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori tersebut dalam menjelaskan konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut:
Indera, menurut teori tersebut, adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Tetapi, ia bukan satu-satunya sumber. Ada juga fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal. Yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori tersebut dalam menjelaskan konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut:
Mereka tidak mendapatkan
alasan munculnya sejumlah gagasan dan konsepsi dari indera, karena memang ia
bukan konsepsi-konsepsi inderawi. Maka ia harus digali secara esensial dari
lubuk jiwa. Dari sini, jelaslah bahwa motif filosofis bagi perumusan teori
rasional ini akan hilang sama sekali, jika kita dapat menjelaskan secara
meyakinkan konsepsi-konsepsi mental, tanpa perlu mengandaikan gagasan-gagasan
fitri. Untuk itu, kita dapat membantah teori itu melalui dua cara.
Pertama, menganalisis pengetahuan sedemikian sehingga dapat menisbahkan semuanya itu kepada indera dan merumuskan pemahaman mengenai cara munculnya konsepsi-konsepsi dari indera. Analisis seperti ini akan membuat teori tentang ide fitri tak beralasan sama sekali, karena ia berdasarkan pemisahan total beberapa ide dari wilayah alam indera. Kalau kita dapat memperluas cakupan indera itu ke pelbagai wilayah konsepsi, maka tidak ada kebutuhan bagi konsepsi-konsepsi fitri. Cara inilah yang dianut oleh John Locke (1632-1704)[18] untuk membantah Descartes dan kaum rasionalis lainnya. Setelah John Locke, tokoh-tokoh empirisme, seperti Berkeley (1684-1753) [19] dan David Hume (1711-1776) [20] memakai cara tersebut.
Cara kedua, adalah metode filosofis untuk menolak (pandangan mengenai) konsepsi-konsepsi fitri. Ia berdasarkan atas kaidah yang menyatakan bahwa suatu kebergandaan efek tidak mungkin keluar dari sesuatu yang sederhana. Jiwa adalah sederhana. Karenanya jiwa tidak mungkin menjadi sebab fitri bagi sejumlah konsepsi dan gagasan. Adanya sejumlah besar penggalan pengetahuan dalam jiwa itu disebabkan oleh banyak faktor luar. Yakni indera-indera instrumental dan berbagai sensasi yang terjadi padanya. [21]
Suatu kritik menyeluruh atas hujjah ini menuntut kita untuk menjelaskan prinsip dasar yang atasnya ia didasarkan, dan memberikan uraian tentang hakikat dan kesederhanaan jiwa. Tetapi, kesempatan kita sekarang tidak mencukupi. Namun, kami harus mengisyaratkan beberapa hal berikut ini. Pertama, bahwa hujjah tersebut – jika dapat diterima – tak sepenuhnya menghancurkan teori tentang ide fitri. Ia hanya menunjukkan tidak adanya multiplisitas pengetahuan-pengetahuan fitri, tetapi tidak membuktikan bahwa jiwa tidak secara fitri memiliki sejumlah tertentu konsepsi-konsepsi[22] yang sesuai dengan unitas dan kesederhanaannya, dan berujung pada beberapa konsepsi, lain yang tak bergantung pada indera.
Pertama, menganalisis pengetahuan sedemikian sehingga dapat menisbahkan semuanya itu kepada indera dan merumuskan pemahaman mengenai cara munculnya konsepsi-konsepsi dari indera. Analisis seperti ini akan membuat teori tentang ide fitri tak beralasan sama sekali, karena ia berdasarkan pemisahan total beberapa ide dari wilayah alam indera. Kalau kita dapat memperluas cakupan indera itu ke pelbagai wilayah konsepsi, maka tidak ada kebutuhan bagi konsepsi-konsepsi fitri. Cara inilah yang dianut oleh John Locke (1632-1704)[18] untuk membantah Descartes dan kaum rasionalis lainnya. Setelah John Locke, tokoh-tokoh empirisme, seperti Berkeley (1684-1753) [19] dan David Hume (1711-1776) [20] memakai cara tersebut.
Cara kedua, adalah metode filosofis untuk menolak (pandangan mengenai) konsepsi-konsepsi fitri. Ia berdasarkan atas kaidah yang menyatakan bahwa suatu kebergandaan efek tidak mungkin keluar dari sesuatu yang sederhana. Jiwa adalah sederhana. Karenanya jiwa tidak mungkin menjadi sebab fitri bagi sejumlah konsepsi dan gagasan. Adanya sejumlah besar penggalan pengetahuan dalam jiwa itu disebabkan oleh banyak faktor luar. Yakni indera-indera instrumental dan berbagai sensasi yang terjadi padanya. [21]
Suatu kritik menyeluruh atas hujjah ini menuntut kita untuk menjelaskan prinsip dasar yang atasnya ia didasarkan, dan memberikan uraian tentang hakikat dan kesederhanaan jiwa. Tetapi, kesempatan kita sekarang tidak mencukupi. Namun, kami harus mengisyaratkan beberapa hal berikut ini. Pertama, bahwa hujjah tersebut – jika dapat diterima – tak sepenuhnya menghancurkan teori tentang ide fitri. Ia hanya menunjukkan tidak adanya multiplisitas pengetahuan-pengetahuan fitri, tetapi tidak membuktikan bahwa jiwa tidak secara fitri memiliki sejumlah tertentu konsepsi-konsepsi[22] yang sesuai dengan unitas dan kesederhanaannya, dan berujung pada beberapa konsepsi, lain yang tak bergantung pada indera.
Kedua, kami jelaskan bahwa jika teori rasional berarti adanya gagasan-gagasan fitri dalam jiwa manusia, jika hujjah yang telah dikemukakan di atas dapat menolaknya dengan mengatakan, “bahwa jiwa pada esensinya adalah sederhana”, maka bagaimana ia dapat melahirkan sejumlah besar gagasan-gagasan fitri? Sungguh, kalau kaum rasionalis benar-benar cenderung mempercayai hal itu, maka perasaan lebih dalam manusiawi kita sudah cukup untuk menolak teori mereka. Karena kita semua tahu bahwa tidak ada gagasan apa pun dalam diri manusia pada saat lahirnya di muka bumi, bagaimanapun jelas dan generalnya ide itu dalam akal manusia. Allah berfirman: Dan Allah yang mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian. Kalian tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Ia menjadikan bagi kalian pendengaran dan penglihatan dan hati agar kamu semua bersyukur (QS 16:78).
Tetapi ada penafsiran lain tentang teori rasionalisme ini, yakni bahwa gagasan-gagasan fitri itu ada dalam jiwa secara potensial. Ia mendapatkan sifat aktualnya dengan evolusi dan integrasi mental jiwa. Jadi, konsepsi-konsepsi fitri bukan bersumber dari indera. Tetapi ia dikandung oleh jiwa tanpa disadarinya. Meskipun demikian, dengan integrasi jiwa, ia menjadi pengetahuan dan informasi yang kita ingat kembali, lantas bangkit secara baru sama sekaili, setelah (sebelumnya) ia tersembunyi dan ada secara potensial. Penafsiran teori rasionalisme semacam ini, tidak mungkin ditolak dengan hujjah filosofis atau bukti ilmiah yang telah disebutkan di muka.
3. Teori Empirikal
Teori empirikal mengatakan
bahwa penginderaan adalah satu-satu-nya yang membekali akal. manusia dengan
konsepsi-konsepsi dan gagasan- gagasan, dan (bahwa potensi mental akal budi)
adalah potensi yang tercerminkan dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi, ketika
kita menginderai sesuatu, kita dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya – yakni
menangkap form dari sesuatu itu dalam akal-budi kita. Adapun gagasan-gagasan
yang tidak terjangkau oleh indera, tidak dapat diciptakan oleh jiwa, tak pula
dapat dibangunnya secara esensial dan dalam bentuk yang berdiri sendiri.
Akal-budi, berdasarkan teori ini, hanyalah mengelola konsepsi-konsepsi gagasan-gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya dengan me-nyusun konsepsi-konsepsi tersebut atau membagi-baginya. Dengan begitu, ia mengkonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi, misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan dengan upaya mengkonsepsikan Zayd, dan mengurangkan setiap kekhasan yang membedakannya dari ‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu gagasan abstrak yang berlaku baik atas Zayd maupun ‘Umar.
Akal-budi, berdasarkan teori ini, hanyalah mengelola konsepsi-konsepsi gagasan-gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya dengan me-nyusun konsepsi-konsepsi tersebut atau membagi-baginya. Dengan begitu, ia mengkonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi “pohon” kepada potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi, misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Hal ini dapat dicontohkan dengan upaya mengkonsepsikan Zayd, dan mengurangkan setiap kekhasan yang membedakannya dari ‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal menyarikan suatu gagasan abstrak yang berlaku baik atas Zayd maupun ‘Umar.
Barangkali, tokoh yang
pertama menganut teori empirisme ini adalah John Locke, filosof besar Inggris
yang muncul ketika konsep-konsep Descartes tentang ide-ide fitri sedang
mengalami pasang naik. Ia pun menyerang konsep-konsep itu. Untuk itu, ia
membuat studi tersendiri tentang pengetahuan manusia dalam bukunya Essay on Human Understanding (Esai
tentang Pemahaman Manusia). Dalam buku itu, ia berusaha mengembalikan segala
konsepsi dan ide kepada indera. Belakangan, teori ini tersebar luas di kalangan
filosof-filosof Eropa dan bahkan, sampai batas-batas tertentu, ia mampu
menggugurkan teori “ide-ide fitri”. Beberapa filosof kemudian mengikuti teori
John Locke itu sampai ke bentuknya yang ekstrem, sehingga mengarah kepada
filsafat-filsafat yang sangat berbahaya, seperti filsafat Berkeley dan David
Hume – sebagaimana akan kita uraikan nanti.
Marxisme sendiri mencangkok teori ini dalam menjelaskan pengetahuan manusia. Hal ini sejalan dengan pendapatnya tentang kesadaran manusia sebagai cerminan realitas objektif. Jadi, setiap pengetahuan dapat dinisbahkan kepada cerminan realitas tertentu. Cerminan itu terjadi melalui penginderaan. Pengetahuan atau pemikiran tidak mungkin dihubungkan dengan apa yang berada di luar batas-batas cerminan inderawi itu. Kita tidak dapat mengkonsepsikan apa pun kecuali persepsi inderawi kita, yang menunjukkan kepada kita realitas objektif yang ada di alam eksternal.
Georges Politzer (1903-1942)[23] berkata: “Tetapi, apakah titik mula kesadaran atau pikiran itu? Itulah penginderaan (sensasi). Lebih jauh, sumber penginderaan yang dialami manusia berakar pada kebutuhan alaminya.”[24] Ia juga berkata: “Jadi, pendapat Marxisme dapat berarti bahwa tak ada sumber bagi kandungan kesadaran kita selain partikular-partikular objektif yang disodorkan kepada kita oleh kondisi-kondisi eksternal tempat kita hidup. Partikular-partikular ini diberikan kepada kita lewat persepsi-persepsi inderawi.” [25] Mao Tse Tung (1893-1976) [26] dalam menjelaskan persoalan tersebut berkata: “Sumber segala pengetahuan itu tersembunyi dalam penginderaan oleh organ-organ penginderaan dalam jasmani manusia terhadap alam objektif yang mengelilinginya. [27] Jadi, langkah pertama dalam proses mendapatkan pengetahuan adalah hubungan primer dengan lingkungan luar – inilah tahap penginderaan. Langkah kedua ialah akumulasi – yakni pengurutan dan pengorganisasian – semua pengetahuan yang telah kita dapatkan dari persepsi-persepsi inderawi.” [28]
Marxisme sendiri mencangkok teori ini dalam menjelaskan pengetahuan manusia. Hal ini sejalan dengan pendapatnya tentang kesadaran manusia sebagai cerminan realitas objektif. Jadi, setiap pengetahuan dapat dinisbahkan kepada cerminan realitas tertentu. Cerminan itu terjadi melalui penginderaan. Pengetahuan atau pemikiran tidak mungkin dihubungkan dengan apa yang berada di luar batas-batas cerminan inderawi itu. Kita tidak dapat mengkonsepsikan apa pun kecuali persepsi inderawi kita, yang menunjukkan kepada kita realitas objektif yang ada di alam eksternal.
Georges Politzer (1903-1942)[23] berkata: “Tetapi, apakah titik mula kesadaran atau pikiran itu? Itulah penginderaan (sensasi). Lebih jauh, sumber penginderaan yang dialami manusia berakar pada kebutuhan alaminya.”[24] Ia juga berkata: “Jadi, pendapat Marxisme dapat berarti bahwa tak ada sumber bagi kandungan kesadaran kita selain partikular-partikular objektif yang disodorkan kepada kita oleh kondisi-kondisi eksternal tempat kita hidup. Partikular-partikular ini diberikan kepada kita lewat persepsi-persepsi inderawi.” [25] Mao Tse Tung (1893-1976) [26] dalam menjelaskan persoalan tersebut berkata: “Sumber segala pengetahuan itu tersembunyi dalam penginderaan oleh organ-organ penginderaan dalam jasmani manusia terhadap alam objektif yang mengelilinginya. [27] Jadi, langkah pertama dalam proses mendapatkan pengetahuan adalah hubungan primer dengan lingkungan luar – inilah tahap penginderaan. Langkah kedua ialah akumulasi – yakni pengurutan dan pengorganisasian – semua pengetahuan yang telah kita dapatkan dari persepsi-persepsi inderawi.” [28]
Teori empirikal berdasarkan atas eksperimentasi. Eksperimen-eksperimen ilmiah telah menunjukkan bahwa indera adalah yang memberikan kepada kita persepsi-persepsi yang – menghasilkan konsepsi-konsepsi manusia. Seseorang yang tidak memiliki satu macam indera tertentu tidak dapat mengkonsepsikan pengertian-pengertian yang mempunyai hubungan dengan indera tertentu tersebut. Eksperimen-eksperimen tadi, jika benar, hanya membuktikan secara ilmiah bahwa indera adalah sumber pokok konsepsi. Tanpa indera, tidak adalah konsepsi di dalam akal manusia. Tetapi, eksperimen-eksperimen itu tidak menafikan kemampuan akal-budi melahirkan pengertian-pengertian baru – yang tidak diketahui indera – dari gagasan-gagasan inderawi. Jadi, tidaklah harus bahwa semua konsepsi sederhana didahului oleh penginderaan terhadap gagasan-gagasannya, seperti diduga oleh teori empirikal.
Dengan demikian, indera, berdasarkan eksperimen-eksperimen tadi, adalah struktur pokok yang di atasnya konsepsi manusia dibangun. Tetapi, ide ini tidak berarti bahwa akal hampa dari agensi dan penciptaan konsepsi-konsepsi baru berdasarkan konsepsi-konsepsi yang diturunkan dari indera. Kita dapat menjelaskan kegagalan teori empirikal dalam upaya mengembalikan konsepsi-konsepsi manusia kepada indera berdasarkan studi mengenai beberapa konsep akal manusia seperti konsep-konsep berikut: sebab dan akibat, substansi dan aksiden, kemungkinan dan kemestian, kesatuan dan kebergandaan (multiplicity), wujud dan tak wujud, serta konsep-konsep serupa lainnya.
Kita semua tahu bahwa indera menangkap sendiri sebab dan akibat. Dengan begitu, melalui penglihatan kita, kita mengetahui jatuhnya pena ke atas tanah, apabila meja tempat pena itu diletakkan dijungkirkan. Kita dapat mengetahui panasnya air dengan indera raba, ketika air itu diletakkan di atas api. Begitu pula kita dapat mengetahui memuainya benda-benda logam di udara panas. Dalam contoh-contoh itu, kita mempersepsi dua gejala yang beriringan, dan tidak mempersepsi hubungan tertentu antara keduanya. Hubungan inilah yang kita namakan kausalitas. Yang kita maksudkan dengan kausalitas adalah pengaruh satu gejala terhadap gejala lainnya dan kebutuhan gejala terakhir itu akan gejala pertama agar ia maujud. Upaya-upaya untuk memperluas wilayah indera hingga mencakup kausalitas itu sendiri dan menganggapnya sebagai prinsip empirikal, adalah berdasarkan (upaya) menghindari kedalaman dan presisi dalam mengetahui lapangan indera dan apa yang dimuat olehnya, yaitu gagasan-gagasan dan batasan-batasan. Meskipun kaum empirisis berseru bahwa eksperimen-eksperimen (pengalaman-pengalaman) manusia dan ilmu-ilmu eksperimental, yang berdasarkan indera, adalah yang menjelaskan prinsip kausalitas dan yang membuat kita menyadari cara keluarnya beberapa gejala material tertentu dari gejala-gejala lain yang serupa, saya berkata bahwa mereka tak akan berhasil, selama kita mengetahui bahwa eksperimen ilmiah tak dapat mengungkapkan apa-apa dengan indera selain gejala-gejala yang beriringan. Dengan meletakkan air di atas api, kita dapat mengetahui bahwa air akan semakin bertambah panas, hingga akhirnya kita mempersepsi mendidihnya air itu. Adapun bahwa mendidih itu karena suhu mencapai derajat tertentu, itu tidak dijelaskan oleh sisi empirikal eksperimen. Kalau eksperimen-eksperimen empirikal kita tak dapat mengungkapkan konsep kausalitas, lalu bagaimana pula konsep (kausalitas) itu muncul dalam akal manusia sehingga kita mengkonsepsikan serta memikirkannya?
David Hume – salah seorang tokoh empirisisme – lebih akurat daripada yang lainnya di dalam menerapkan teori empirikal. Ia mendefinisikan bahwa kausalitas, dalam artinya yang sebenarnya, tak mungkin diketahui oleh indera. Karenanya, ia mengingkari prinsip kausalitas dan mengembalikannya kepada “kebiasaan pengasosiasian ide-ide”. Ia berkata: “Aku melihat bola bilyard bergerak dan menabrak bola lain yang lantas bergerak. Tapi, dalam gerak bola yang pertama, tak ada yang menampakkan kepadaku keharusan gerak bola yang kedua. Indera batin menunjukkan kepadaku bahwa gerak anggota tubuh itu mengikuti perintah kehendak. Tetapi, hal itu tidak memberikan kepadaku pengetahuan langsung mengenai hubungan yang mesti antara gerak dan perintah itu.”[29]
Tetapi, mengingkari prinsip kausalitas sama sekali tidak memecahkan problem yang dihadapi empirisisme. Mengingkari prinsip ini sebagai suatu realitas objektif berarti bahwa kita tidak membenarkan kausalitas sebagai suatu hukum di antara hukum-hukum realitas objektif, dan kita tidak dapat mengetahui apakah fenomena-fenomena dihubungkan oleh hubungan-hubungan yang mesti yang menyebabkan yang satu mempengaruhi yang lain. Tapi, prinsip kausalitas sebagai ide yang disepakati adalah sesuatu, dan prinsip kausalitas sebagai ide konseptual adalah sesuatu yang lain. Anggaplah kita tidak membenarkan bahwa suatu benda menyebabkan benda terinderai yang lain, dan kita tak menyetujui prinsip kausalitas itu. Apakah dengan demikian kita tidak mengkonsepsi prinsip kausalitas juga? Nah, jika demikian, maka kita tidak memiliki konsepsi mengenal prinsip kausalitas. Jika kita tak memiliki konsepsi seperti itu, lantas apa yang dinafikan David Hume itu? Dapatkah orang menafikan sesuatu yang tidak dikonsepsikannya?
Fakta yang tidak dapat diingkari adalah bahwa kita mengkonsepsikan suatu prinsip kausalitas, baik kita benarkan ataupun tidak. Konsepsi kausalitas bukanlah terdiri atas konsepsi-konsepsi mengenai dua hal yang saling beriringan. Ketika kita mengkonsepsikan hubungan sebab-akibat berkenaan dengan derajat suhu tertentu bagi pendidihan, kita tidak mengartikan kausasi itu sebagai suatu komposisi buatan antara dua ide: suhu dan mendidih. Melainkan, kita memaksudkan ide ketiga di antara kedua ide tersebut. Nah, dari mana datangnya ide ketiga yang tidak diketahui oleh indera itu, kalau akal tidak memiliki kekuatan mencipta ide-ide tak terinderai? Kita menghadapi kemusykilan yang sama tentang konsep-konsep lain yang telah kami kemukakan tadi[30] mengingat kesemuanya itu bukanlah konsep-konsep terinderai. Karena itu, penafsiran konsepsi manusia secara empirikal murni harus ditolak, dan kita mesti menganut teori “disposesi” (nazhariyyah al-intiza’).
4. Teori Disposesi
Teori ini, secara umum,
adalah teori para filosof Muslim. Ia terangkum dalam pembagian
konsepsi-konsepsi mental menjadi dua bagian: konsepsi-konsepsi primer dan konsepsi-konsepsi
sekunder. Konsepsi-konsepsi primer adalah dasar konseptual bagi akal manusia.
Ini lahir dari persepsi inderawi secara langsung terhadap kandungan-
kandungannya. Kita mengkonsepsi panas karena kita mempersepsinya dengan
perabaan, mengkonsepsi warna karena kita mempersepsinya dengan penglihatan,
mengkonsepsi rasa manis karena kita mempersepsikannya dengan pengecapan, dan
mengkonsepsi bau karena kita mempersepsinya dengan penciuman. Demikian pula
segala ide yang kita ketahui dengan indera kita. Persepsi inderawi atas itu
semua adalah sebab pengkonsepsiannya dan sebab adanya ide tentangnya di dalam
akal manusia. Dari ide-ide itu, terbentuklah kaidah pertama (primer) bagi
konsepsi. Dan berdasarkan kaidah itu, akal memunculkan konsepsi-konsepsi sekunder
(turunan). Dengan demikian, mulailah daur penciptaan – inovasi dan konstruksi.
Inilah yang diistilahkan dengan kata intiza’ (disposesi). Dari ide-ide primer,
akal melahirkan ide-ide baru. Ide-ide baru itu berada di luar jangkauan indera,
meskipun digali dan dikeluarkan dari ide-ide yang diajukan oleh indera kepada
akal dan pikiran.
Teori itu sesuai dengan dalil-dalil dan eksperimen-eksperimen. Ia dapat menafsirkan secara tepat semua satuan konseptual. Berdasarkan teori ini, kita dapat memahami bagaimana konsep sebab dan akibat, substansi dan aksiden, wujud dan unitas muncul dalam akal manusia. Semuanya itu adalah konsep terdisposesi yang diciptakan akal berdasarkan ide-ide terinderai. Kita, misalnya, menginderai mendidihnya air ketika suhunya mencapai 100°C. Penginderaan kita terhadap dua fenomena itu – fenomena mendidih dan suhu – dapat terjadi berulang-ulang, beribu-ribu kali, tanpa kita pernah menginderai kausasi suhu terhadap mendidih. Akal-lah yang menciptakan konsep kausalitas dari dua fenomena tadi yang diajukan oleh indera kepada wilayah konsepsi. Karena keterbatasan kesempatan, kita tidak dapat mengemukakan proses, bentuk, dan divisi-divisi disposesi akal. Dalam studi kilas ini, kita hanya mengisyaratkan garis besarnya saja.
Teori itu sesuai dengan dalil-dalil dan eksperimen-eksperimen. Ia dapat menafsirkan secara tepat semua satuan konseptual. Berdasarkan teori ini, kita dapat memahami bagaimana konsep sebab dan akibat, substansi dan aksiden, wujud dan unitas muncul dalam akal manusia. Semuanya itu adalah konsep terdisposesi yang diciptakan akal berdasarkan ide-ide terinderai. Kita, misalnya, menginderai mendidihnya air ketika suhunya mencapai 100°C. Penginderaan kita terhadap dua fenomena itu – fenomena mendidih dan suhu – dapat terjadi berulang-ulang, beribu-ribu kali, tanpa kita pernah menginderai kausasi suhu terhadap mendidih. Akal-lah yang menciptakan konsep kausalitas dari dua fenomena tadi yang diajukan oleh indera kepada wilayah konsepsi. Karena keterbatasan kesempatan, kita tidak dapat mengemukakan proses, bentuk, dan divisi-divisi disposesi akal. Dalam studi kilas ini, kita hanya mengisyaratkan garis besarnya saja.
Tashdiq dan Sumber Pokoknya
Kini, setelah mempelajari
pengetahuan (konsepsi) sederhana, kita pindah dan mempelajari pengetahuan
sebagai pembenaran (tashdiqi atau assent) yang melibatkan penilaian
(judgement). Orang dapat sampai kepada pengetahuan objektif dengan pengetahuan
tashdiqi ini. Kita semua mengetahui sejumlah proposisi dan membenarkannya. Di
antara proposisi-proposisi itu adalah penilaian (judgement) yang berdasarkan
realitas objektif partikular, seperti ucapan kita: “cuacanya panas” atau
“matahari telah terbit”. Karena itu, proposisi tersebut disebut partikular.
Termasuk dalam proposisi-proposisi itu penilaian antara dua gagasan umum,
seperti dalam pernyataan kita: “Keseluruhan itu lebih besar daripada
bagian-nya”, “satu adalah separuh dua”, “suatu bagian yang tidak terbagi adalah
mustahil”, “panas menyebabkan mendidih”, “dingin adalah penyebab pembekuan”,
dan “keliling lingkaran lebih besar daripada garis tengahnya”. Demikian pula
halnya dengan proposisi-proposisi filosofis, fisikal, dan matematis. Proposisi-proposisi
seperti itu disebut “proposisi universal atau umum”.
Permasalahannya yang kita hadapi ialah persoalan mengetahui sumber pengetahuan sebagai pembenaran dan asas-asas bangunan pengetahuan manusia; dengan benang-benang utama apakah sejumlah besar penilaian dan pengetahuan dipintal; apakah prinsip yang dicapai pengetahuan manusia di dalam menjelaskan, yang dianggap sebagai kriteria-primer-umum untuk membedakan kebenaran dari hal-hal lain. Beberapa aliran filsafat mencoba menjawab persoalan tersebut. Di sini kami akan mengkaji aliran rasional dan empirikal. Filsafat Islam dan sistem berpikir Islami secara umum berdasarkan aliran rasional; sementara aliran empirikal mendominasi beberapa paham dalam materialisme – antara lain Marxisme.
Permasalahannya yang kita hadapi ialah persoalan mengetahui sumber pengetahuan sebagai pembenaran dan asas-asas bangunan pengetahuan manusia; dengan benang-benang utama apakah sejumlah besar penilaian dan pengetahuan dipintal; apakah prinsip yang dicapai pengetahuan manusia di dalam menjelaskan, yang dianggap sebagai kriteria-primer-umum untuk membedakan kebenaran dari hal-hal lain. Beberapa aliran filsafat mencoba menjawab persoalan tersebut. Di sini kami akan mengkaji aliran rasional dan empirikal. Filsafat Islam dan sistem berpikir Islami secara umum berdasarkan aliran rasional; sementara aliran empirikal mendominasi beberapa paham dalam materialisme – antara lain Marxisme.
1. Doktrin Rasional
Dalam pandangan kaum
rasionalis, pengetahuan manusia terbagi menjadi dua. Pertama, pengetahuan yang
mesti, atau intuitif. Yang kami maksudkan dengan kemestian ialah bahwa akal
mesti mengakui suatu proposisi tertentu tanpa mencari dalil atau bukti kebenarannya.
Akal, secara alami, mesti mempercayainya, tanpa bukti dan penetapan apa pun,
seperti mempercayai dan mengetahui proposisi-proposisi berikut: “Penyangkalan
dan pembenaran tak dapat terjadi atas satu kasus yang sama (pada waktu yang
sama)”, “tak mungkin terjadi suatu peristiwa tanpa suatu sebab”, “sifat-sifat
yang berlawanan tidak akan harmonis dalam satu subjek”, “keseluruhan lebih
besar daripada sebagian”, dan “satu adalah separuh dua”.
Kedua, informasi dan pengetahuan teoretis. Akal tidak akan mempercayai kebenaran beberapa proposisi, kecuali dengan pengetahuan-pengetahuan “pendahulu”. Penilaian atas proposisi-proposisi tersebut bergantung pada proses pemikiran dan penggalian kebenaran dari kebenaran-kebenaran yang lebih dahulu dan lebih pasti darinya, seperti: “bumi itu bulat”, “gerak adalah sebab terjadinya panas”, “gerak mundur tak terbatas adalah mustahil”, “benda-benda logam itu memuai oleh panas”, “jumlah sudut-sudut suatu segi tiga itu sama dengan jumlah dua sudut siku-siku”, “materi dapat ditransformasikan menjadi energi”. Demikian pula halnya dengan proposisi-proposisi filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Proposisi-proposisi tersebut, ketika disodorkan kepada akal, akal tidak akan menghasilkan keputusan apa pun, kecuali setelah merujuk kepada pengetahuan-pengetahuan lain. Karena itu, pengetahuan teoretis harus bersandarkan pada pengetahuan-pengetahuan primer yang mesti. Jika pengetahuan primer itu disingkirkan dari akal manusia, orang tidak akan pernah sampai pada pengetahuan teoretis sama sekali, seperti akan kami jelaskan nanti.
Jadi, doktrin rasional menjelaskan bahwa landasan pengetahuan adalah informasi primer. Dan di atas informasi itulah berdiri bangunan-bangunan pikiran manusia yang disebut “informasi sekunder”. Proses penggalian pengetahuan teoretis dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya adalah proses yang kita namakan “pemikiran” atau “berpikir”. Jadi, berpikir ialah usaha akal untuk mencari pembenaran (kebenaran) baru atau pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya tersebut. Artinya, ketika orang berusaha memecahkan masalah baru seperti “asal materi” – misalnya – agar ia tahu apakah materi itu berasal atau tidak, ia berhadapan dengan dua hal: Pertama, sifat tertentu, yaitu asal; dan kedua, sesuatu yang dinyatakan sebagai memiliki sifat tersebut, yaitu materi. Nah, karena proposisi itu bukanlah salah satu dari proposisi-proposisi primer-rasional, orang tentu akan bingung dalam menilai dan membenarkan berasalnya materi. Dalam keadaan begini, ia akan kembali kepada pengetahuan-pengetahuan sebelumnya untuk mendapatkan sesuatu yang dapat dijadikannya sebagai dasar penilaiannya dan menjadikannya sebagai perantaraan bagi mengetahui berasalnya materi tersebut. Dengan begitu, proses berpikir dimulai dengan mengamat-amati pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Kedua, informasi dan pengetahuan teoretis. Akal tidak akan mempercayai kebenaran beberapa proposisi, kecuali dengan pengetahuan-pengetahuan “pendahulu”. Penilaian atas proposisi-proposisi tersebut bergantung pada proses pemikiran dan penggalian kebenaran dari kebenaran-kebenaran yang lebih dahulu dan lebih pasti darinya, seperti: “bumi itu bulat”, “gerak adalah sebab terjadinya panas”, “gerak mundur tak terbatas adalah mustahil”, “benda-benda logam itu memuai oleh panas”, “jumlah sudut-sudut suatu segi tiga itu sama dengan jumlah dua sudut siku-siku”, “materi dapat ditransformasikan menjadi energi”. Demikian pula halnya dengan proposisi-proposisi filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Proposisi-proposisi tersebut, ketika disodorkan kepada akal, akal tidak akan menghasilkan keputusan apa pun, kecuali setelah merujuk kepada pengetahuan-pengetahuan lain. Karena itu, pengetahuan teoretis harus bersandarkan pada pengetahuan-pengetahuan primer yang mesti. Jika pengetahuan primer itu disingkirkan dari akal manusia, orang tidak akan pernah sampai pada pengetahuan teoretis sama sekali, seperti akan kami jelaskan nanti.
Jadi, doktrin rasional menjelaskan bahwa landasan pengetahuan adalah informasi primer. Dan di atas informasi itulah berdiri bangunan-bangunan pikiran manusia yang disebut “informasi sekunder”. Proses penggalian pengetahuan teoretis dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya adalah proses yang kita namakan “pemikiran” atau “berpikir”. Jadi, berpikir ialah usaha akal untuk mencari pembenaran (kebenaran) baru atau pengetahuan baru dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya tersebut. Artinya, ketika orang berusaha memecahkan masalah baru seperti “asal materi” – misalnya – agar ia tahu apakah materi itu berasal atau tidak, ia berhadapan dengan dua hal: Pertama, sifat tertentu, yaitu asal; dan kedua, sesuatu yang dinyatakan sebagai memiliki sifat tersebut, yaitu materi. Nah, karena proposisi itu bukanlah salah satu dari proposisi-proposisi primer-rasional, orang tentu akan bingung dalam menilai dan membenarkan berasalnya materi. Dalam keadaan begini, ia akan kembali kepada pengetahuan-pengetahuan sebelumnya untuk mendapatkan sesuatu yang dapat dijadikannya sebagai dasar penilaiannya dan menjadikannya sebagai perantaraan bagi mengetahui berasalnya materi tersebut. Dengan begitu, proses berpikir dimulai dengan mengamat-amati pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Andaikan bahwa di antara
realitas-realitas yang telah diketahui pemikir ada gerak substansial yang
menunjukkan bahwa materi adalah gerak yang terus-menerus dan selamanya dalam
pembaruan, maka pada saat realitas tersebut melintas dalam pikiran, dalam
presentasi mental, pikiran menangkap realitas itu, dan menjadikannya sebagai
jembatan penghubung antara materi dan asal. Karena materi itu dapat diperbarui,
ia tentu memiliki asal. Sebab, perubahan yang terus-menerus berarti penciptaan
yang terus-menerus. Ketika inilah lahir pengetahuan baru bagi manusia, yaitu
bahwa materi itu mempunyai asal, karena ia dapat digerakkan dan diperbarui
selamanya – dan setiap yang dapat diperbarui adalah memiliki asal. Demikianlah,
pikiran dapat membuat hubungan antara asal dan materi. Hubungan tersebut ialah
gerak materi. Gerak materilah yang membuat kita yakin bahwa materi memiliki
asal, sebab kita tahu bahwa setiap yang bergerak pasti memiliki asal.
Karena itu, doktrin
rasional percaya bahwa hubungan kausal dalam pengetahuan manusia adalah antara
satu informasi dengan informasi lainnya. Karena, setiap pengetahuan lahir dari
pengetahuan sebelumnya, dan begitu pula dengan pengetahuan sebelumnya ini (dan
seterusnya) hingga sampai pada pengetahuan rasional-primer yang maujud bukan
berdasarkan pengetahuan tertentu apa pun. Karena, pengetahuan primer itu
dianggap sebagai “sebab pertama” pengetahuan. “Sebab pertama” pengetahuan itu
ada dua: Pertama, kondisi pokok setiap pengetahuan manusia pada umumnya, dan
kedua, sebab bagi sebagian informasi. Jenis pertama pengetahuan primer adalah
prinsip non-kontradiksi. Prinsip ini penting bagi pengetahuan. Tanpa prinsip
ini tidak mungkin diyakini bahwa suatu proposisi tertentu itu tidak bohong,
meskipun diberi bukti-bukti mengenai kebenaran dan validitasnya. Sebab, jika
kontradiksi itu dibolehkan, maka menjadi mungkin bahwa proposisi tersebut
bohong pada waktu kita membuktikan kebenarannya. Ini berarti bahwa gugurnya
prinsip non-kontradiksi menghancurkan semua proposisi filosofis dan fisikal.
Jenis kedua pengetahuan primer adalah semua pengetahuan-niscaya lainnya yang
setiap kepingnya menjadi “sebab” bagi sekelompok informasi.
Berdasarkan doktrin rasional, tersusunlah (realitas) berikut ini: Pertama, bahwa kriteria pertama bagi pikiran manusia secara umum adalah pengetahuan rasional lagi niscaya. Pilar pokoklah yang tidak mungkin dihindari dalam segala hal. Benar atau salahnya setiap gagasan harus diukur dengannya. Dengan demikian, wilayah pengetahuan manusia menjadi lebih luas daripada batas-batas indera dan eksperimen. Sebab ia memberikan potensi-potensi kepada pikiran-pikiran manusia untuk dapat menjangkau realitas-realitas dan proposisi-proposisi di balik materi, dan dapat merealisasikan kemungkinan mengetahui metafisika dan filsafat yang lebih tinggi. Kebalikannya adalah doktrin eksperimental. Doktrin ini menghindari masalah metafisika dalam pembahasannya, karena masalah-masalah metafisika itu tidak tunduk kepada eksperimen dan tak dapat dijangkau oleh pemahaman ilmiah. Karena itu, tak dapat dipastikan apakah itu penyangkalan atau pembenaran, selama eksperimen adalah kriteria pokok satu-satunya seperti diklaim oleh doktrin eksperimental.
Berdasarkan doktrin rasional, tersusunlah (realitas) berikut ini: Pertama, bahwa kriteria pertama bagi pikiran manusia secara umum adalah pengetahuan rasional lagi niscaya. Pilar pokoklah yang tidak mungkin dihindari dalam segala hal. Benar atau salahnya setiap gagasan harus diukur dengannya. Dengan demikian, wilayah pengetahuan manusia menjadi lebih luas daripada batas-batas indera dan eksperimen. Sebab ia memberikan potensi-potensi kepada pikiran-pikiran manusia untuk dapat menjangkau realitas-realitas dan proposisi-proposisi di balik materi, dan dapat merealisasikan kemungkinan mengetahui metafisika dan filsafat yang lebih tinggi. Kebalikannya adalah doktrin eksperimental. Doktrin ini menghindari masalah metafisika dalam pembahasannya, karena masalah-masalah metafisika itu tidak tunduk kepada eksperimen dan tak dapat dijangkau oleh pemahaman ilmiah. Karena itu, tak dapat dipastikan apakah itu penyangkalan atau pembenaran, selama eksperimen adalah kriteria pokok satu-satunya seperti diklaim oleh doktrin eksperimental.
Kedua, perjalanan pikiran,
menurut kaum rasionalis, adalah dari proposisi umum ke proposisi yang lebih
khusus, darl dari yang universal ke yang partikular. Bahkan dalam bidang
eksperimental yang pada mulanya tampak sebagai bidang yang di dalamnya pikiran
berangkat dari subjek-subjek eksperimental individual ke hukum-hukum dan
prinsip-prinsip umum, perpindahan dan perjalanan pada hal tersebut adalah dari
yang umum ke yang khusus. Hal ini akan kami jelaskan nanti dalam menyanggah
doktrin eksperimental.
Di atas telah kami kemukakan contoh tentang proses berpikir, bagaimana dalam berpikir itu kita bergerak dari pengetahuan yang umum ke pengetahuan yang khusus. Bahwa materi itu memiliki asal, kita ketahui dari “bahwa setiap yang berubah pasti memiliki asal”. Jadi, pikiran itu berangkat dari proposisi universal, “setiap yang berubah pasti memiliki asal”, ke proposisi yang lebih khusus “materi itu memiliki asal”. Akhirnya, mesti diingat bahwa doktrin rasional tidak bersikap masa bodoh terhadap peran penting eksperimen dalam ilmu-ilmu dan pengetahuan manusia, tidak masa bodoh terhadap jasa-jasa besar eksperimen bagi manusia dan penemuan-penemuannya akan rahasia-rahasia alam semesta. Tetapi, doktrin rasional yakin bahwa eksperimen semata-mata tak mampu melaksanakan peran penting tadi. Sebab, dalam menarik kesimpulan ilmiah apa pun, eksperimen membutuhkan aplikasi kaidah-kaidah rasional. Yakni penarikan kesimpulan itu akan dapat berlangsung jika didasarkan pada pengetahuan primer. Eksperimen saja tidak mungkin menjadi sumber asasi dan kriteria primer bagi pengetahuan. Sebab, eksperimen itu mirip dengan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya. Diagnosis itulah yang mengungkapkan watak penyakit kepada sang dokter. Namun, diagnosis tersebut tidak dapat mengungkapkan penyakit tadi, jika sebelumnya sang dokter tidak memiliki informasi dan pengetahuan. Kalau ia tidak memiliki informasi itu, maka pemeriksaan yang dilakukannya adalah sia-sia, tak berguna. Demikian juga, eksperimen manusia, secara umum, tidak dapat membuka jalan untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dan realitas-realitas tanpa pengetahuan-pengetahuan rasional sebelumnya.
Di atas telah kami kemukakan contoh tentang proses berpikir, bagaimana dalam berpikir itu kita bergerak dari pengetahuan yang umum ke pengetahuan yang khusus. Bahwa materi itu memiliki asal, kita ketahui dari “bahwa setiap yang berubah pasti memiliki asal”. Jadi, pikiran itu berangkat dari proposisi universal, “setiap yang berubah pasti memiliki asal”, ke proposisi yang lebih khusus “materi itu memiliki asal”. Akhirnya, mesti diingat bahwa doktrin rasional tidak bersikap masa bodoh terhadap peran penting eksperimen dalam ilmu-ilmu dan pengetahuan manusia, tidak masa bodoh terhadap jasa-jasa besar eksperimen bagi manusia dan penemuan-penemuannya akan rahasia-rahasia alam semesta. Tetapi, doktrin rasional yakin bahwa eksperimen semata-mata tak mampu melaksanakan peran penting tadi. Sebab, dalam menarik kesimpulan ilmiah apa pun, eksperimen membutuhkan aplikasi kaidah-kaidah rasional. Yakni penarikan kesimpulan itu akan dapat berlangsung jika didasarkan pada pengetahuan primer. Eksperimen saja tidak mungkin menjadi sumber asasi dan kriteria primer bagi pengetahuan. Sebab, eksperimen itu mirip dengan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya. Diagnosis itulah yang mengungkapkan watak penyakit kepada sang dokter. Namun, diagnosis tersebut tidak dapat mengungkapkan penyakit tadi, jika sebelumnya sang dokter tidak memiliki informasi dan pengetahuan. Kalau ia tidak memiliki informasi itu, maka pemeriksaan yang dilakukannya adalah sia-sia, tak berguna. Demikian juga, eksperimen manusia, secara umum, tidak dapat membuka jalan untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan dan realitas-realitas tanpa pengetahuan-pengetahuan rasional sebelumnya.
2. Doktrin Empirikal
Doktrin empirikal
berpendapat bahwa pengalaman adalah sumber pertama semua pengetahuan manusia.
Karena itu, jika manusia tidak memiliki pengalaman dalam segala bentuknya, ia tak
akan mengetahui realitas apa pun – bagaimanapun terangnya realitas itu. Ini
menunjukkan bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan tidak memiliki
pengetahuan. Kesadaran dan pengetahuannya berangkat dari kehidupan praktisnya.
Semakin luas dan semakin bervariasi pengalamannya, semakin luas dan bervariasi
pula pengetahuannya. Kaum empirisis tidak mengakui adanya pengetahuan rasional
yang mendahului pengalaman. Mereka menganggap pengalaman sebagai asas
satu-satunya untuk mendapatkan penilaian yang benar, dan sebagai kriteria umum
dalam setiap bidang. Bahkan penilaian-penilaian yang dikatakan doktrin rasional
sebagai pengetahuan-niscaya itu pun harus tunduk kepada kriteria empirikal, dan
harus dinilai menurut ketentuan pengalaman. Sebab, manusia tidak memiliki
penilaian yang pengukuhannya terlepas dari pengalaman. Hal itu menimbulkan
berikut ini: Pertama, pembatasan daya pikir manusia oleh batas-batas wilayah
empirikal; sehingga setiap pembahasan atau studi masalah-masalah metafisika
adalah sia-sia. (Berbeda sama sekali dengan doktrin rasional).
Kedua, perjalanan pikiran
manusia itu sama sekali berbeda dengan yang diyakini oleh doktrin rasional.
Kalau doktrin rasional percaya bahwa berpikir itu selalu dari yang umum ke yang
khusus, maka kaum empirisis percaya bahwa berpikir itu dari yang khusus ke yang
umum, yaitu dari batas-batas eksperimen yang sempit ke hukum-hukum dan
prinsip-prinsip yang universal; selalu beranjak dari realitas khusus empirikal
ke realitas yang mutlak. Hukum-hukum umum dan prinsip-prinsip universal yang
dimiliki manusia tidak lain hanyalah hasil pengalaman. Dan konsekuensi dari hal
ini adalah langkah induksi[31] dari hal-hal individual ke
pengungkapan realitas-realitas objektif umum.
Karena itu, doktrin empirikal, di dalam mencari dalil dan berpikir, bersandar pada metode induksi. Sebab, induksi adalah metode yang bergerak dari yang partikular ke yang universal. Ia menolak prinsip penalaran silogistik, [32] yaitu pikiran berangkat dari yang umum ke yang khusus, seperti contoh berikut: [33] “Semua manusia mati, dan Muhammad adalah manusia. Jadi, Muhammad pasti mati”. Hal ini tertolak karena bentuk silogistik tersebut dalam kesimpulannya tidak mendatangkan pengetahuan baru, padahal syarat pembuktiannya ialah bahwa pembuktian tersebut harus membawa kesimpulan baru yang tak terkandung dalam premis-premis tadi. [34] Jadi, silogisme seperti contoh tersebut berada dalam kesalahan yang disebut “menganggap apa yang dipersoalkan sudah jelas”. Sebab, kalau kita menerima premis “Semua manusia mati”, berarti kita memasukkan setiap individu manusia ke dalam subjek tadi. Selanjutnya, jika kita ikuti premis ini dengan premis kedua “Muhammad adalah manusia”, maka ada dua kemungkinan: (1) Kita sadar bahwa Muhammad adalah salah satu dari individu-individu manusia yang kita maksudkan dalam premis pertama. Dan karenanya, kita sadar pula bahwa Muhammad pasti mati sebelum kenyataan ini kita sebutkan dalam premis kedua; (2) Kita tidak tahu. Karena itu, kita telah menggeneralisasikan premis pertama secara tidak benar, sebab kita belum tahu apakah kematian berlaku bagi masing-masing individu manusia, seperti telah kita duga. Itulah keterangan ringkas tentang doktrin empirikal yang harus kita tolak karena sebab-sebab berikut:
Pertama, apakah prinsip itu sendiri (pengalaman adalah kriteria pokok untuk mengenali realitas) adalah pengetahuan primer yang didapatkan manusia tanpa pengalaman sebelumnya? Atau itu seperti pengetahuan-pengetahuan lain manusia yang tidak fitri dan tidak niscaya? Kalau ia adalah pengetahuan primer yang mendahului pengalaman, maka gugurlah doktrin empirikal yang tidak mempercayai pengetahuan primer, dan benarlah adanya keniscayaan pengetahuan manusia yang tidak bergantung pada pengalaman. Jika pengetahuan tersebut membutuhkan pengetahuan sebelumnya, maka ini berarti bahwa pada mulanya kita tidak tahu bahwa pengalaman adalah kriteria logis, yang dijamin kebenarannya. Bagaimana mungkin membuktikan kebenarannya, dan menganggapnya sebagai kriteria pengalaman, jika kebenarannya belum pasti?
Dengan kata lain, kalau prinsip tersebut, yang merupakan dasar bagi doktrin empirikal, salah, maka gugurlah doktrin empirikal dengan hancurnya prinsip pokoknya. Jika benar, tentu kita boleh bertanya: “Apa sebabnya kaum empirisis membenarkan prinsip tersebut?” Kalau mereka yakin akan kebenarannya tanpa melalui pengalaman, ini berarti bahwa prinsip tersebut adalah proposisi intuitif, dan bahwa manusia memiliki kebenaran-kebenaran yang berada di luar pengalaman. Dan jika memperoleh keyakinan akan kebenaran prinsip tersebut melalui pengalaman sebelumnya, maka ini adalah sesuatu yang mustahil, karena pengalaman tidak dapat menetapkan nilainya sendiri.
Kedua, ide filosofis yang bertumpu pada doktrin empirikal tidak mampu mengukuhkan materi. Karena materi tak mungkin diungkapkan dengan pengalaman semata. Tetapi, apa yang tampak oleh indera dalam wilayah-wilayah eksperimental hanyalah fenomena dan aksiden-aksiden materi. Adapun materinya sendiri – yaitu substansi materi yang ditampakkan oleh fenomena dan kualitas-kualitas itu – tak dapat dipersepsi dengan indera. Sekuntum bunga yang kita lihat di suatu pohon atau yang kita raba dengan tangan, hanya kita inderai keharuman, rasa, warna dan keindahannya, tetapi tidak kita inderai – dalam semua keadaan tadi – substansi yang di dalamnya terdapat fenomena-fenomena tersebut. Kita hanya dapat mengetahui substansi itu dengan hujjah rasional yang berdasarkan pengetahuan rasional primer, seperti akan kita lihat dalam pembahasan-pembahasan mendatang. Karena itu, kaum empirisis atau eksperiensialis mengingkari adanya materi. Jadi, sandaran satu-satunya untuk menetapkan adanya materi adalah proposisi-proposisi rasional primer. Tanpa proposisi-proposisi itu, indera tak mampu menetapkan adanya materi di balik bau yang semerbak, warna merah, atau rasa tertentu sekuntum bunga mawar.
Demikianlah, jelas bagi kita bahwa realitas-realitas metafisis saja bukanlah satu-satunya realitas yang pembuktiannya membutuhkan metode berpikir rasional, tetapi juga materi itu sendiri pun membutuhkannya. Sanggahan ini ditujukan kepada kalangan yang percaya adanya substansi materi di dalam alam, berdasarkan prinsip-prinsip doktrin empirikal. Bagi orang yang menafsirkan alam sebagai semata-mata fenomena yang terjadi dan berubah, tanpa mengakui adanya subjek yang di dalamnya fenomena-fenomena tersebut maujud, sanggahan ini tak berlaku.
Ketiga, kalau jelajah pikiran itu terbatas pada pengalaman dan tidak memiliki pengetahuan-pengetahuan yang terlepas dari pengalaman, tentu ia tidak dapat menentukan kemustahilan sesuatu pun. Sebab, kemustahilan, dalam arti “tidak adanya kemungkinan maujudnya sesuatu”, bukanlah termasuk dalam pengalaman. Pengalaman tak mungkin mengungkapkannya. Paling banter pengalaman hanya dapat menunjukkan tidak adanya hal-hal tertentu.[35] Tapi, tidak adanya sesuatu tidak menunjukkan kemustahilannya. Ada beberapa: hal yang keberadaannya tidak diungkapkan pengalaman. Dan pengalaman menunjukkan tidak adanya hal-hal itu dalam wilayah spesifik mereka. Meskipun demikian, kita tidak menganggapnya mustahil, dan tak menafikan kemungkinan adanya, seperti kita lakukan dalam kasus hal-hal yang mustahil. Betapa gamblangnya perbedaan antara berbenturannya bulan dengan bumi, adanya makhluk di planet Mars; atau adanya manusia yang mampu terbang karena kelenturan otot-otot tertentunya di satu pihak, [36] dan di pihak lain, adanya segitiga yang memiliki empat sisi, adanya bagian yang lebih besar daripada keseluruhan, dan adanya bulan yang padahal ia tak ada. [37]
Karena itu, doktrin empirikal, di dalam mencari dalil dan berpikir, bersandar pada metode induksi. Sebab, induksi adalah metode yang bergerak dari yang partikular ke yang universal. Ia menolak prinsip penalaran silogistik, [32] yaitu pikiran berangkat dari yang umum ke yang khusus, seperti contoh berikut: [33] “Semua manusia mati, dan Muhammad adalah manusia. Jadi, Muhammad pasti mati”. Hal ini tertolak karena bentuk silogistik tersebut dalam kesimpulannya tidak mendatangkan pengetahuan baru, padahal syarat pembuktiannya ialah bahwa pembuktian tersebut harus membawa kesimpulan baru yang tak terkandung dalam premis-premis tadi. [34] Jadi, silogisme seperti contoh tersebut berada dalam kesalahan yang disebut “menganggap apa yang dipersoalkan sudah jelas”. Sebab, kalau kita menerima premis “Semua manusia mati”, berarti kita memasukkan setiap individu manusia ke dalam subjek tadi. Selanjutnya, jika kita ikuti premis ini dengan premis kedua “Muhammad adalah manusia”, maka ada dua kemungkinan: (1) Kita sadar bahwa Muhammad adalah salah satu dari individu-individu manusia yang kita maksudkan dalam premis pertama. Dan karenanya, kita sadar pula bahwa Muhammad pasti mati sebelum kenyataan ini kita sebutkan dalam premis kedua; (2) Kita tidak tahu. Karena itu, kita telah menggeneralisasikan premis pertama secara tidak benar, sebab kita belum tahu apakah kematian berlaku bagi masing-masing individu manusia, seperti telah kita duga. Itulah keterangan ringkas tentang doktrin empirikal yang harus kita tolak karena sebab-sebab berikut:
Pertama, apakah prinsip itu sendiri (pengalaman adalah kriteria pokok untuk mengenali realitas) adalah pengetahuan primer yang didapatkan manusia tanpa pengalaman sebelumnya? Atau itu seperti pengetahuan-pengetahuan lain manusia yang tidak fitri dan tidak niscaya? Kalau ia adalah pengetahuan primer yang mendahului pengalaman, maka gugurlah doktrin empirikal yang tidak mempercayai pengetahuan primer, dan benarlah adanya keniscayaan pengetahuan manusia yang tidak bergantung pada pengalaman. Jika pengetahuan tersebut membutuhkan pengetahuan sebelumnya, maka ini berarti bahwa pada mulanya kita tidak tahu bahwa pengalaman adalah kriteria logis, yang dijamin kebenarannya. Bagaimana mungkin membuktikan kebenarannya, dan menganggapnya sebagai kriteria pengalaman, jika kebenarannya belum pasti?
Dengan kata lain, kalau prinsip tersebut, yang merupakan dasar bagi doktrin empirikal, salah, maka gugurlah doktrin empirikal dengan hancurnya prinsip pokoknya. Jika benar, tentu kita boleh bertanya: “Apa sebabnya kaum empirisis membenarkan prinsip tersebut?” Kalau mereka yakin akan kebenarannya tanpa melalui pengalaman, ini berarti bahwa prinsip tersebut adalah proposisi intuitif, dan bahwa manusia memiliki kebenaran-kebenaran yang berada di luar pengalaman. Dan jika memperoleh keyakinan akan kebenaran prinsip tersebut melalui pengalaman sebelumnya, maka ini adalah sesuatu yang mustahil, karena pengalaman tidak dapat menetapkan nilainya sendiri.
Kedua, ide filosofis yang bertumpu pada doktrin empirikal tidak mampu mengukuhkan materi. Karena materi tak mungkin diungkapkan dengan pengalaman semata. Tetapi, apa yang tampak oleh indera dalam wilayah-wilayah eksperimental hanyalah fenomena dan aksiden-aksiden materi. Adapun materinya sendiri – yaitu substansi materi yang ditampakkan oleh fenomena dan kualitas-kualitas itu – tak dapat dipersepsi dengan indera. Sekuntum bunga yang kita lihat di suatu pohon atau yang kita raba dengan tangan, hanya kita inderai keharuman, rasa, warna dan keindahannya, tetapi tidak kita inderai – dalam semua keadaan tadi – substansi yang di dalamnya terdapat fenomena-fenomena tersebut. Kita hanya dapat mengetahui substansi itu dengan hujjah rasional yang berdasarkan pengetahuan rasional primer, seperti akan kita lihat dalam pembahasan-pembahasan mendatang. Karena itu, kaum empirisis atau eksperiensialis mengingkari adanya materi. Jadi, sandaran satu-satunya untuk menetapkan adanya materi adalah proposisi-proposisi rasional primer. Tanpa proposisi-proposisi itu, indera tak mampu menetapkan adanya materi di balik bau yang semerbak, warna merah, atau rasa tertentu sekuntum bunga mawar.
Demikianlah, jelas bagi kita bahwa realitas-realitas metafisis saja bukanlah satu-satunya realitas yang pembuktiannya membutuhkan metode berpikir rasional, tetapi juga materi itu sendiri pun membutuhkannya. Sanggahan ini ditujukan kepada kalangan yang percaya adanya substansi materi di dalam alam, berdasarkan prinsip-prinsip doktrin empirikal. Bagi orang yang menafsirkan alam sebagai semata-mata fenomena yang terjadi dan berubah, tanpa mengakui adanya subjek yang di dalamnya fenomena-fenomena tersebut maujud, sanggahan ini tak berlaku.
Ketiga, kalau jelajah pikiran itu terbatas pada pengalaman dan tidak memiliki pengetahuan-pengetahuan yang terlepas dari pengalaman, tentu ia tidak dapat menentukan kemustahilan sesuatu pun. Sebab, kemustahilan, dalam arti “tidak adanya kemungkinan maujudnya sesuatu”, bukanlah termasuk dalam pengalaman. Pengalaman tak mungkin mengungkapkannya. Paling banter pengalaman hanya dapat menunjukkan tidak adanya hal-hal tertentu.[35] Tapi, tidak adanya sesuatu tidak menunjukkan kemustahilannya. Ada beberapa: hal yang keberadaannya tidak diungkapkan pengalaman. Dan pengalaman menunjukkan tidak adanya hal-hal itu dalam wilayah spesifik mereka. Meskipun demikian, kita tidak menganggapnya mustahil, dan tak menafikan kemungkinan adanya, seperti kita lakukan dalam kasus hal-hal yang mustahil. Betapa gamblangnya perbedaan antara berbenturannya bulan dengan bumi, adanya makhluk di planet Mars; atau adanya manusia yang mampu terbang karena kelenturan otot-otot tertentunya di satu pihak, [36] dan di pihak lain, adanya segitiga yang memiliki empat sisi, adanya bagian yang lebih besar daripada keseluruhan, dan adanya bulan yang padahal ia tak ada. [37]
Semua proposisi tersebut
tidak teraktualisasikan dan tidak tunduk kepada pengalaman. Kalau pengalaman
itu adalah sumber pokok pengetahuan, tentu kita takkan dapat membedakan kedua
kelompok (proposisi) tadi. Sebab, kata “pengalaman” pada kedua kelompok itu
sama saja. Meskipun begitu, kita semua melihat perbedaan yang nyata antara
kedua kelompok itu. Kelompok pertama tidak teraktualisasikan, walaupun pada
esensinya mungkin. Sementara kelompok kedua (segitiga dengan empat sisi), bukan
saja tidak ada, tetapi juga sama sekali tidak mungkin ada. Segitiga tidak mungkin
memiliki empat sisi, dan apakah bulan berbenturan dengan bumi atau tidak.
Penilaian kemustahilan tersebut tidak mungkin ditafsirkan kecuali dengan
mengikuti doktrin rasional, sebagai pengetahuan rasional yang lepas dari
pengalaman.
Atas dasar itu, hanya ada dua kemungkinan bagi kaum empirisis: mengakui kemustahilan hal-hal tertentu, seperti hal-hal yang telah kita kemukakan pada kelompok kedua, atau mengingkari ide kemustahilan segala sesuatu. Kalau mereka mempercayai kemustahilan segala sesuatu, seperti yang telah kita isyaratkan (pada kelompok kedua), kepercayaan ini harus berdasarkan pengetahuan rasional yang mandiri, bukan berdasarkan pengalaman, sebab tidak tampaknya sesuatu dalam pengalaman tidak berarti mustahilnya sesuatu itu. Jika mereka mengingkari ide kemustahilan dan tidak mengakui kemustahilan sesuatu pun, betapapun anehnya bagi akal, tentu tidak ada perbedaan, menurut pengingkaran tersebut, antara dua kelompok yang telah kita kemukakan tadi. Padahal, kita mesti membedakan antara keduanya. Kalau ide kemustahilan itu dikesampingkan, tentu kontradiksi – yaitu ada dan tidak adanya sesuatu, benar dan salahnya suatu proposisi secara sekaligus – tidak mustahil. Dan kemungkinan kontradiksi akan menyebabkan hancurnya semua ilmu dan pengetahuan, dan gagalnya pengalaman menghilangkan keraguan dan kebingungan dalam segala wilayah ilmiah. Sebab, betapapun eksperimen-eksperimen dan bukti-bukti membenarkan suatu proposisi ilmiah tertentu, seperti “emas adalah unsur yang sederhana,” kita tetap tak dapat meyakini bahwa proposisi itu tidak salah, selama hal-hal bisa berkontradiksi dan proposisi bisa benar dan salah sekaligus.
Keempat, prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dengan doktrin empirikal. Teori empirikal tidak mampu memberikan hujjah yang benar mengenai kausalitas sebagai suatu gagasan konseptual. Demikian pula doktrin empirikal, ia tidak mampu membuktikannya sebagai suatu prinsip atau gagasan pembenar. Sebab pengalaman tidak mungkin menjelaskan kepada kita kecuali serangkaian fenomena tertentu. Dengan pengalaman, kita tahu bahwa air akan mendidih jika derajat panasnya mencapai seratus derajat Celcius, dan ia akan membeku jika derajat panasnya menurun sampai di bawah nol derajat. Adapun satu fenomena yang menyebabkan fenomena yang lain, dan keniscayaan yang ada di antara keduanya, ini tidak diungkapkan oleh pengalaman, bagaimanapun tepatnya pengalaman itu dan meskipun kita mengulang-ulang pengalaman tersebut. Nah, jika prinsip kausalitas itu gugur, maka gugur pula ilmu-ilmu alam, seperti akan diketahui nanti.
Sebagian kaum empirisis, seperti David Hume dan John Stuart Mill, mengakui kenyataan tersebut. Karena itu, Hume menafsirkan bahwa “unsur niscaya” dalam hukum sebab-akibat itu disebabkan oleh watak proses rasional yang digunakan untuk mencapai hukum tersebut. Ia mengatakan bahwa jika salah satu proses pikiran digunakan untuk memperoleh hukum ini dan selalu menyebabkan adanya proses pikiran yang lain yang segera mengikutinya, maka berkembanglah dua proses tersebut, dengan berlalunya masa, ikatan yang kuat dan permanen, yang kita namakan “ikatan asosiasi gagasan-gagasan.” Asosiasi itu diikuti sejenis keniscayaan rasional sedemikian, sehingga gagasan yang berhubungan dengan salah satu proses mental tadi – begitu pula dengan gagasan yang berhubungan dengan proses yang lain – maujud di dalam pikiran. Keniscayaan rasional itu adalah dasar dari apa yang kita sebut keniscayaan yang kita tangkap dalam hubungan antara sebab dan akibat. Tidak diragukan lagi bahwa penjelasan tentang hubungan yang ada antara sebab dan akibat tersebut adalah tidak benar. Hal ini karena:
Pertama, dengan penjelasan tersebut, kita pasti tidak dapat sampai kepada hukum umum sebab-akibat kecuali sesudah serangkaian peristiwa dan percobaan yang berulang-ulang yang menerangkan di dalam pikiran hubungan antara gagasan sebab dan gagasan akibat, meskipun itu tidak harus demikian. Karena seorang ilmuwan alam dapat menyimpulkan hubungan kausalitas dan keniscayaan antara dua hal yang terjadi dalam satu peristiwa. Keyakinannya tak akan bertambah melebihi sebelumnya ketika pertama kali menyaksikan peristiwa tersebut. Hubungan kausalitas itu juga tidak menjadi kuat dengan berulang-ulangnya pcristiwa-peristiwa lain yang mengandung sebab dan akibat yang sama.
Kedua, mari kita tinggalkan dua fenomena eksternal yang beriringan tadi, dan kita perhatikan dua gagasan tentangnya – gagasan sebab dan gagasan akibat. Nah, apakah hubungan yang ada pada kedua gagasan itu adalah hubungan keniscayaan atau hubungan konjungsi, seperti hubungan konsepsi kita mengenai besi dengan konsepsi kita mengenai pasar tempat besi itu dijual? Kalau hubungan itu adalah hubungan keniscayaan, maka benarlah prinsip kausalitas, dan secara tersirat diakuilah hubungan non-empirikal antara dua gagasan tersebut, yaitu hubungan keniscayaan. (Dalam hal ini)apakah keniscayaan itu, antara gagasan atau antara dua realitas objektif, tidak mungkin diungkapkan dengan pengalaman inderawi. Dan kalau hubungan itu adalah semata-mata konjungsi, maka tidaklah benar penjelasan David Hume tentang unsur keniscayaan dalam hukum sebab dan akibat.
Ketika, keniscayaan, yang kita dapatkan dalam hubungan kausalitas antara sebab dan akibat, sama sekali tidak mempengaruhi pikiran untuk memaujudkan salah satu dari dua gagasan tadi ketika gagasan yang lain maujud di dalam pikiran. Karena itu, keniscayaan tersebut, yang kita dapatkan antara sebab dan akibat, tidak berbeda sama sekali, baik kita memiliki gagasan tertentu tentang hubungan itu atau tidak. Jadi, keniscayaan dalam prinsip kausalitas bukanlah keniscayaan psikologis, tetapi adalah keniscayaan objektif.
Keempat, sebab dan akibat itu dapat sepenuhnya bersatu. Meskipun begitu, kita menangkap bahwa yang satu menyebabkan yang lainnya, seperti gerak tangan dan gerak pena ketika menulis. Gerak tangan dan gerak pena selamanya terjadi pada waktu yang sama. Kalau sumber keniscayaan dan kausalitas itu ialah suksesi satu proses mental setelah yang lainnya melalui asosiasi, maka tidaklah mungkin dalam contoh itu gerak tangan berperan sebagai sebab gerak pena, karena akal mengetahui bahwa dua gerak itu adalah dalam waktu yang sama. Nah, lantas mengapa gerak yang satu diletakkan sebagai sebab, sementara yang lain sebagai akibat?
Dengan kata lain, mejelaskan kausalitas sebagai keniscayaan psikologis berarti bahwa sebab dianggap sebagai sebab, bukan lantaran dalam realitas objektifnya ia mendahului akibat dan yang melahirkan akibat itu. Tetapi, lantaran mengetahui sebab selalu diiringi dengan mengetahui akibat melalui asosiasi gagasan-gagasan. Penjelasan seperti itu tidak mungkin dapat menjelaskan kepada kita bagaimana gerak tangan menjadi sebab bagi gerak pena, padahal dalam pengetahuan kita, gerak pena tidak terjadi mengiringi gerak tangan. Tetapi kedua gerak itu diketahui terjadi bersama-sama. Jika gerak tangan itu tidak memiliki prioritas aktual dan kausalitas objektif atas gerak pena, tentu tidak mungkin menganggap gerak tangan itu sebagai sebab.
Kelima, sering terjadi asosiasi antara dua hal tanpa meyakini bahwa yang satu merupakan sebab bagi yang lain. Kalau David Hume dapat menjelaskan sebab dan akibat sebagai dua peristiwa yang sering kita lihat keberiringannya, sehingga di antara keduanya itu terjadi hubungan asosiasi gagasan-gagasan di dalam benak, tentu malam dan siang juga demikian. Jadi, seperti panas dan mendidih adalah dua peristiwa yang beriringan sehingga di antara keduanya itu berkembang hubungan asosiasi, maka tentu demikian pula dengan malam dan siang – keberiringan dan asosiasi keduanya – padahal unsur-unsur kausalitas dan keniscayaan yang kita dapatkan antara panas dan mendidih tidak ada pada malam dan siang. Malam bukanlah sebab bagi siang, dan siang bukanlah sebab bagi malam. Kalau begitu, maka tidak mungkin menerangkan dua unsur tersebut dengan hanya bertumpu pada keberiringan yang berulang-ulang yang mendatangkan asosiasi gagasan-gagasan, seperti dilakukan oleh David Hume.
Atas dasar itu, hanya ada dua kemungkinan bagi kaum empirisis: mengakui kemustahilan hal-hal tertentu, seperti hal-hal yang telah kita kemukakan pada kelompok kedua, atau mengingkari ide kemustahilan segala sesuatu. Kalau mereka mempercayai kemustahilan segala sesuatu, seperti yang telah kita isyaratkan (pada kelompok kedua), kepercayaan ini harus berdasarkan pengetahuan rasional yang mandiri, bukan berdasarkan pengalaman, sebab tidak tampaknya sesuatu dalam pengalaman tidak berarti mustahilnya sesuatu itu. Jika mereka mengingkari ide kemustahilan dan tidak mengakui kemustahilan sesuatu pun, betapapun anehnya bagi akal, tentu tidak ada perbedaan, menurut pengingkaran tersebut, antara dua kelompok yang telah kita kemukakan tadi. Padahal, kita mesti membedakan antara keduanya. Kalau ide kemustahilan itu dikesampingkan, tentu kontradiksi – yaitu ada dan tidak adanya sesuatu, benar dan salahnya suatu proposisi secara sekaligus – tidak mustahil. Dan kemungkinan kontradiksi akan menyebabkan hancurnya semua ilmu dan pengetahuan, dan gagalnya pengalaman menghilangkan keraguan dan kebingungan dalam segala wilayah ilmiah. Sebab, betapapun eksperimen-eksperimen dan bukti-bukti membenarkan suatu proposisi ilmiah tertentu, seperti “emas adalah unsur yang sederhana,” kita tetap tak dapat meyakini bahwa proposisi itu tidak salah, selama hal-hal bisa berkontradiksi dan proposisi bisa benar dan salah sekaligus.
Keempat, prinsip kausalitas tidak mungkin dibuktikan dengan doktrin empirikal. Teori empirikal tidak mampu memberikan hujjah yang benar mengenai kausalitas sebagai suatu gagasan konseptual. Demikian pula doktrin empirikal, ia tidak mampu membuktikannya sebagai suatu prinsip atau gagasan pembenar. Sebab pengalaman tidak mungkin menjelaskan kepada kita kecuali serangkaian fenomena tertentu. Dengan pengalaman, kita tahu bahwa air akan mendidih jika derajat panasnya mencapai seratus derajat Celcius, dan ia akan membeku jika derajat panasnya menurun sampai di bawah nol derajat. Adapun satu fenomena yang menyebabkan fenomena yang lain, dan keniscayaan yang ada di antara keduanya, ini tidak diungkapkan oleh pengalaman, bagaimanapun tepatnya pengalaman itu dan meskipun kita mengulang-ulang pengalaman tersebut. Nah, jika prinsip kausalitas itu gugur, maka gugur pula ilmu-ilmu alam, seperti akan diketahui nanti.
Sebagian kaum empirisis, seperti David Hume dan John Stuart Mill, mengakui kenyataan tersebut. Karena itu, Hume menafsirkan bahwa “unsur niscaya” dalam hukum sebab-akibat itu disebabkan oleh watak proses rasional yang digunakan untuk mencapai hukum tersebut. Ia mengatakan bahwa jika salah satu proses pikiran digunakan untuk memperoleh hukum ini dan selalu menyebabkan adanya proses pikiran yang lain yang segera mengikutinya, maka berkembanglah dua proses tersebut, dengan berlalunya masa, ikatan yang kuat dan permanen, yang kita namakan “ikatan asosiasi gagasan-gagasan.” Asosiasi itu diikuti sejenis keniscayaan rasional sedemikian, sehingga gagasan yang berhubungan dengan salah satu proses mental tadi – begitu pula dengan gagasan yang berhubungan dengan proses yang lain – maujud di dalam pikiran. Keniscayaan rasional itu adalah dasar dari apa yang kita sebut keniscayaan yang kita tangkap dalam hubungan antara sebab dan akibat. Tidak diragukan lagi bahwa penjelasan tentang hubungan yang ada antara sebab dan akibat tersebut adalah tidak benar. Hal ini karena:
Pertama, dengan penjelasan tersebut, kita pasti tidak dapat sampai kepada hukum umum sebab-akibat kecuali sesudah serangkaian peristiwa dan percobaan yang berulang-ulang yang menerangkan di dalam pikiran hubungan antara gagasan sebab dan gagasan akibat, meskipun itu tidak harus demikian. Karena seorang ilmuwan alam dapat menyimpulkan hubungan kausalitas dan keniscayaan antara dua hal yang terjadi dalam satu peristiwa. Keyakinannya tak akan bertambah melebihi sebelumnya ketika pertama kali menyaksikan peristiwa tersebut. Hubungan kausalitas itu juga tidak menjadi kuat dengan berulang-ulangnya pcristiwa-peristiwa lain yang mengandung sebab dan akibat yang sama.
Kedua, mari kita tinggalkan dua fenomena eksternal yang beriringan tadi, dan kita perhatikan dua gagasan tentangnya – gagasan sebab dan gagasan akibat. Nah, apakah hubungan yang ada pada kedua gagasan itu adalah hubungan keniscayaan atau hubungan konjungsi, seperti hubungan konsepsi kita mengenai besi dengan konsepsi kita mengenai pasar tempat besi itu dijual? Kalau hubungan itu adalah hubungan keniscayaan, maka benarlah prinsip kausalitas, dan secara tersirat diakuilah hubungan non-empirikal antara dua gagasan tersebut, yaitu hubungan keniscayaan. (Dalam hal ini)apakah keniscayaan itu, antara gagasan atau antara dua realitas objektif, tidak mungkin diungkapkan dengan pengalaman inderawi. Dan kalau hubungan itu adalah semata-mata konjungsi, maka tidaklah benar penjelasan David Hume tentang unsur keniscayaan dalam hukum sebab dan akibat.
Ketika, keniscayaan, yang kita dapatkan dalam hubungan kausalitas antara sebab dan akibat, sama sekali tidak mempengaruhi pikiran untuk memaujudkan salah satu dari dua gagasan tadi ketika gagasan yang lain maujud di dalam pikiran. Karena itu, keniscayaan tersebut, yang kita dapatkan antara sebab dan akibat, tidak berbeda sama sekali, baik kita memiliki gagasan tertentu tentang hubungan itu atau tidak. Jadi, keniscayaan dalam prinsip kausalitas bukanlah keniscayaan psikologis, tetapi adalah keniscayaan objektif.
Keempat, sebab dan akibat itu dapat sepenuhnya bersatu. Meskipun begitu, kita menangkap bahwa yang satu menyebabkan yang lainnya, seperti gerak tangan dan gerak pena ketika menulis. Gerak tangan dan gerak pena selamanya terjadi pada waktu yang sama. Kalau sumber keniscayaan dan kausalitas itu ialah suksesi satu proses mental setelah yang lainnya melalui asosiasi, maka tidaklah mungkin dalam contoh itu gerak tangan berperan sebagai sebab gerak pena, karena akal mengetahui bahwa dua gerak itu adalah dalam waktu yang sama. Nah, lantas mengapa gerak yang satu diletakkan sebagai sebab, sementara yang lain sebagai akibat?
Dengan kata lain, mejelaskan kausalitas sebagai keniscayaan psikologis berarti bahwa sebab dianggap sebagai sebab, bukan lantaran dalam realitas objektifnya ia mendahului akibat dan yang melahirkan akibat itu. Tetapi, lantaran mengetahui sebab selalu diiringi dengan mengetahui akibat melalui asosiasi gagasan-gagasan. Penjelasan seperti itu tidak mungkin dapat menjelaskan kepada kita bagaimana gerak tangan menjadi sebab bagi gerak pena, padahal dalam pengetahuan kita, gerak pena tidak terjadi mengiringi gerak tangan. Tetapi kedua gerak itu diketahui terjadi bersama-sama. Jika gerak tangan itu tidak memiliki prioritas aktual dan kausalitas objektif atas gerak pena, tentu tidak mungkin menganggap gerak tangan itu sebagai sebab.
Kelima, sering terjadi asosiasi antara dua hal tanpa meyakini bahwa yang satu merupakan sebab bagi yang lain. Kalau David Hume dapat menjelaskan sebab dan akibat sebagai dua peristiwa yang sering kita lihat keberiringannya, sehingga di antara keduanya itu terjadi hubungan asosiasi gagasan-gagasan di dalam benak, tentu malam dan siang juga demikian. Jadi, seperti panas dan mendidih adalah dua peristiwa yang beriringan sehingga di antara keduanya itu berkembang hubungan asosiasi, maka tentu demikian pula dengan malam dan siang – keberiringan dan asosiasi keduanya – padahal unsur-unsur kausalitas dan keniscayaan yang kita dapatkan antara panas dan mendidih tidak ada pada malam dan siang. Malam bukanlah sebab bagi siang, dan siang bukanlah sebab bagi malam. Kalau begitu, maka tidak mungkin menerangkan dua unsur tersebut dengan hanya bertumpu pada keberiringan yang berulang-ulang yang mendatangkan asosiasi gagasan-gagasan, seperti dilakukan oleh David Hume.
Dari uraian di atas, kita
simpulkan bahwa doktrin empirikal pasti menyebabkan gugurnya prinsip kausalitas
dan ketidakmampuan membuktikan hubungan-hubungan yang niscaya antara segala
sesuatu. Nah, kalau prinsip kausalitas itu gugur, gugur pula semua ilmu alam,
karena ilmu-ilmu itu berdasarkan prinsip kausalitas, sebagaimana Anda akan
mengetahuinya.
Ilmu-ilmu alam, yang hendak didirikan oleh kaum empirisis di atas dasar eksperimen semata-mata, itu sendiri membutuhkan dasar-dasar rasional primer yang mendahului eksperimen. Hal ini karena eksperimen dilakukan oleh ilmuwan dalam penelitiannya terhadap partikular-partikular objektif yang terbatas. Kemudian ia membuat teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang diungkapkan oleh eksperimen dalam penelitiannya, dan untuk membenarkannya dengan satu sebab yang bersifat umum, seperti teori yang menyatakan bahwa penyebab panas adalah gerak, berdasarkan eksperimen-eksperimen yang ditafsirkan demikian. Adalah hak kita untuk bertanya kepada ilmuwan tadi: “Bagaimana ia menyodorkan teori itu sebagai suatu hukum universal yang berlaku pada segala kondisi yang sama dengan kondisi eksperimennya, padahal eksperimen itu terjadi hanya pada hal-hal tertentu. Bukankah generalisasi ini bersandarkan pada satu prinsip yang menyatakan bahwa kondisi-kondisi yang serupa, dan hal-hal yang serupa dalam jenis dan realitasnya, tentu memiliki hukum dan undang-undang yang sama?”
Di sini, kita pertanyakan sekali lagi bagaimana akal dapat sampai kepada prinsip ini? Di sini, kaum empirisis tidak dapat mengklaim bahwa itu adalah suatu prinsip empirikal. Tetapi itu tentu merupakan satu pengetahuan rasional yang mendahului eksperimen. Sebab, jika ia ditopang oleh eksperimen, maka eksperimen yang menjadi dasar prinsip ini juga, pada gilirannya, menangani hanya subjek-subjek tertentu. Nah, bagaimana prinsip umum dapat didasarkan atasnya? Jadi, pembuatan prinsip umum atau hukum universal berdasarkan satu eksperimen atau beberapa eksperimen tidak mungkin dapat berlangsung kecuali setelah menerima pengetahuan rasional sebelumnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua teori empirikal dalam ilmu- ilmu alam itu berdasarkan sejumlah pengetahuan rasional yang tidak tunduk kepada eksperimen. Tetapi akal langsung mempercayainya. Pengetahuan-pengetahuan rasional yang tidak tunduk kepada eksperimen itu ialah: Pertama, prinsip kausalitas, dalam arti tidak mungkinnya “kebetulan”. Karena, kalau “kebetulan” itu mungkin, tentu seorang ilmuwan alam tidak dapat menjelaskan secara umum banyak fenomena yang tampak dalam eksperimen-eksperimennya. Kedua, prinsip keselarasan antara sebab dan akibat. Prinsip ini menyatakan bahwa hal-hal yang serupa dalam realitasnya niscaya bergantung pada sebab yang sama. Ketiga, prinsip non-kontradiksi yang menyatakan kemustahilan terjadinya penafian dan penetapan sekaligus.
Ilmu-ilmu alam, yang hendak didirikan oleh kaum empirisis di atas dasar eksperimen semata-mata, itu sendiri membutuhkan dasar-dasar rasional primer yang mendahului eksperimen. Hal ini karena eksperimen dilakukan oleh ilmuwan dalam penelitiannya terhadap partikular-partikular objektif yang terbatas. Kemudian ia membuat teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang diungkapkan oleh eksperimen dalam penelitiannya, dan untuk membenarkannya dengan satu sebab yang bersifat umum, seperti teori yang menyatakan bahwa penyebab panas adalah gerak, berdasarkan eksperimen-eksperimen yang ditafsirkan demikian. Adalah hak kita untuk bertanya kepada ilmuwan tadi: “Bagaimana ia menyodorkan teori itu sebagai suatu hukum universal yang berlaku pada segala kondisi yang sama dengan kondisi eksperimennya, padahal eksperimen itu terjadi hanya pada hal-hal tertentu. Bukankah generalisasi ini bersandarkan pada satu prinsip yang menyatakan bahwa kondisi-kondisi yang serupa, dan hal-hal yang serupa dalam jenis dan realitasnya, tentu memiliki hukum dan undang-undang yang sama?”
Di sini, kita pertanyakan sekali lagi bagaimana akal dapat sampai kepada prinsip ini? Di sini, kaum empirisis tidak dapat mengklaim bahwa itu adalah suatu prinsip empirikal. Tetapi itu tentu merupakan satu pengetahuan rasional yang mendahului eksperimen. Sebab, jika ia ditopang oleh eksperimen, maka eksperimen yang menjadi dasar prinsip ini juga, pada gilirannya, menangani hanya subjek-subjek tertentu. Nah, bagaimana prinsip umum dapat didasarkan atasnya? Jadi, pembuatan prinsip umum atau hukum universal berdasarkan satu eksperimen atau beberapa eksperimen tidak mungkin dapat berlangsung kecuali setelah menerima pengetahuan rasional sebelumnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa semua teori empirikal dalam ilmu- ilmu alam itu berdasarkan sejumlah pengetahuan rasional yang tidak tunduk kepada eksperimen. Tetapi akal langsung mempercayainya. Pengetahuan-pengetahuan rasional yang tidak tunduk kepada eksperimen itu ialah: Pertama, prinsip kausalitas, dalam arti tidak mungkinnya “kebetulan”. Karena, kalau “kebetulan” itu mungkin, tentu seorang ilmuwan alam tidak dapat menjelaskan secara umum banyak fenomena yang tampak dalam eksperimen-eksperimennya. Kedua, prinsip keselarasan antara sebab dan akibat. Prinsip ini menyatakan bahwa hal-hal yang serupa dalam realitasnya niscaya bergantung pada sebab yang sama. Ketiga, prinsip non-kontradiksi yang menyatakan kemustahilan terjadinya penafian dan penetapan sekaligus.
Nah, kalau ilmuwan tadi mempercayai pengetahuan-pengetahuan yang mendahului eksperimen tersebut, kemudian melakukan berbagai macam eksperimennya terhadap macam-macam panas dan jenis-jenisnya, ia akan dapat, pada akhirnya, membuat sebuah teori yang menjelaskan sebab terjadinya berbagai macam panas dengan satu sebab, seperti gerak, misalnya. Pada umumnya tidak mungkin membuat teori ini sebagai teori yang pasti dan mutlak. Karena teori tersebut dapat seperti itu hanya jika orang yakin akan tidak adanya keterangan lain mengenai fenomena tadi, dan yakin akan tidak benarnya menjelaskan fenomena-fenomena itu dengan sebab lain. Dan ini, pada umumnya tidak ditentukan oleh eksperimen. Karena itu, kesimpulan-kesimpulan ilmu alam, pada galibnya, adalah dugaan, karena adanya kekurangan dalam eksperimen dan tidak lengkapnya kondisi-kondisi yang membuatnya sebagai eksperimen yang andal.
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa pembuatan kesimpulan ilmiah dari eksperimen selamanya bergantung pada penalaran silogistik yang di dalamnya pikiran manusia berangkat dari yang umum ke yang khusus, dan dari yang universal ke yang partikular, persis seperti pendapat doktrin rasional. Penarikan kesimpulan oleh ilmuwan tersebut, dalam contoh yang telah kami kemukakan itu, berangkat dari tiga prinsip primer yang sudah kami kemukakan (prinsip kausalitas, prinsip keselarasan dan prinsip non-kontradiksi) ke kesimpulan khusus sesuai dengan pendekatan silogistik.
Bantahan kaum empirisis terhadap metode penalaran silogistik, yaitu bahwa kesimpulan di dalamnya hanyalah “gema” dari satu di antara dua premis – yaitu premis mayor dan pengulangan-pengulangannya – adalah bantahan yang lemah (tak dapat dipertahankan) menurut doktrin rasional. Sebab kalau kita hendak membuktikan premis mayor dengan eksperimen, dan kita tidak memiliki kriteria lain, maka kita mesti menguji segala bagian dan macamnya agar kita dapat meyakini kebenaran penilaian. Dengan demikian, kesimpulannya akan juga ditentukan dalam premis mayor itu sendiri. Apabila premis mayor itu merupakan satu pengetahuan rasional yang kita dapatkan tanpa memerlukan eksperimen, seperti proposisi-proposisi intuitif primer dan teori-teori rasional yang diturunkan dari proposisi-proposisi seperti itu, maka orang yang mencari dalil untuk menguatkan premis mayor itu tidak perlu menelaah partikular-partikularnya, sehingga kesimpulannya perlu diulang-ulang.[38]
Sekali lagi kita tegaskan bahwa kita tidak mengingkari jasa besar eksperimen bagi kemanusiaan dan sumbangannya dalam lapangan ilmu pengetahuan. Kita hanya ingin agar kaum empirisis itu mengerti bahwa eksperimen bukanlah kriteria primer dan sumber mendasar bagi pemikiran dan pengetahuan manusia. Tetapi kriteria primer dan sumber mendasar itu adaIah informasi primer rasional yang dengannya kita dapat memperoleh informasi-informasi dan realitas-realitas lainnya. Bahkan pengalaman itu sendiri membutuhkan kriteria rasional itu. Jadi kami dan lain-lainnya sama-sama harus menerima kriteria tersebut yang menjadi landasan prinsip-prinsip filsafat metafisika kita. Kalau kaum empirisis masih berusaha mengingkari kriteria tersebut untuk menyerang filsafat kita, berarti mereka menyerang prinsip-prinsip yang menjadi landasan ilmu-ilmu kealaman dan yang tanpanya pengalaman empirikal sepenuhnya tidak menghasilkan apa-apa.
Berdasarkan doktrin rasional itu kita dapat menerangkan sifat keharusan dan kepastian mutlak yang membedakan matematika dari proposisi-proposisi ilmu alam. Perbedaan ini disebabkan oleh fakta bahwa realitas-realitas dan hukum-hukum niscaya matematis itu bersandarkan pada prinsip-prinsip primer pikiran, dan tidak bergantung pada penemuan-penemuan eksperimen. Kebalikan dari hal itu adalah proposisi-proposisi ilmu pengetahuan. Maka pemuaian besi karena panas bukanlah salah satu proposisi yang diberikan langsung oleh prinsip-prinsip itu tanpa perantara, tetapi berdasarkan proposisi-proposisi eksperimen. Jadi, pastinya karakter rasional adalah rahasia keniscayaan dan kepastian mutlak dalam realitas-realitas matematis tersebut.
Kalau kita mempelajari perbedaan antara proposisi matematika dan proposisi kealaman menurut doktrin empirikal, kita tidak akan pernah mendapatkan alasan yang pasti bagi perbedaan tadi, selama eksperimen adalah sumber satu-satunya bagi pengetahuan ilmiah dalam dua lapangan tersebut. Sebagian pendukung doktrin empirikal berusaha menjelaskan perbedaan tadi menurut dasar-dasar doktrin dengan menyatakan bahwa proposisi-proposisi matematis adalah bersifat analitis, dan bahwa fungsi mereka bukanlah memaujudkan hal baru. Ketika kita nengatakan “2 + 2 = 4”, kita tidak berbicara sesuatu pun yang atasnya kita dapat menguji kadar keyakinan kita. Karena empat itu sendiri adalah ungkapan lain bagi “2 + 2”. Jadi persamaan matematis yang baru disebut itu tidak lain hanyalah bahwa “empat itu sama dengan empat”. Semua proposisi matematis adalah perluasan analisis tersebut. Hanya saja perluasan ini beragam kadar kompleksitasnya. Adapun ilmu alam tidak demikian. Sebab, proposisi-proposisinya adalah majemuk. Yakni predikat pada proposisi-proposisinya menambahkan informasi baru kepada subjeknya, yaitu memberikan informasi baru berdasarkan eksperimen. Jadi, kalau dikatakan bahwa air akan mendidih di bawah tekanan tertentu, yaitu ketika derajat panasnya mencapai 100° C, misalnya, maka tahulah kita bahwa istilah “air” tidak mengandung kata “panas”, “tekanan”, dan “mendidih”. Karena itu, proposisi ilmiah dapat salah dan benar.
Tetapi, adalah hak kita
untuk berpendapat berkenaan dengan upaya membenarkan perbedaan antara proposisi-proposisi
matematis dan kealaman, bahwa menganggap proposisi matematis sebagai analitis
tidak menjelaskan perbedaannya menurut doktrin empirikal. Anggaplah bahwa “2 +
2 = 4” adalah kata lain bagi ucapan kita “empat adalah empat”. Ini berarti
bahwa proposisi matematis tersebut bergantung pada pengakuan kebenaran prinsip
non-kontradiksi. Sebab, jika tidak, jika kontradiksi itu mungkin, “empat” dapat
saja bukan empat itu sendiri. Prinsip ini, dalam pandangan doktrin empirikal,
bukanlah rasional dan niscaya; karena ia mengingkari setiap pengetahuan
sebelumnya, tetapi ia diambil dari pengalaman, seperti prinsip-prinsip yang
menjadi dasar bagi proposisi-proposisi ilmiah dalam ilmu-ilmu alam.
Demikianlah, problem tersebut tetap tak terpecahkan selama matematika dan
ilmu-ilmu alam bergantung pada prinsip-prinsip empirikal. Nah, mengapa
proposisi matematis dibedakan dari proposisi yang lain oleh kepastian niscaya
lagi mutlak?
Selanjutnya, kami tidak menyatakan bahwa semua proposisi matematis adalah analitis dan merupakan perluasan prinsip “empat adalah empat”. Nah, bagaimana mungkin realitas yang mengatakan bahwa garis tengah selamanya lebih pendek daripada kelilingnya adalah proposisi analitis; apakah “pendek” dan “keliling” itu termasuk dalam pengertian “garis tengah”; dan apakah “garis tengah” adalah ungkapan lain dari “garis tengah adalah garis tengah”?
Dari studi di atas kita simpulkan bahwa doktrin rasional sajalah yang dapat memecahkan problem pembenaran (justifikasi) pengetahuan dan membuat kriteria dan prinsip-prinsip primer pengetahuan. Tetapi, kita masih harus mempelajari satu hal lagi berkenaan dengan doktrin rasional. Yakni jika informasi primer adalah rasional dan niscaya, bagaimana mungkin menjelaskan ketiadaannya pada diri manusia pada awal (keberadaannya) dan bagaimana manusia memperolehnya kemudian? Dengan kata lain, kalau informasi tersebut adalah esensial bagi manusia, tentu ia ada selama manusia ada, dan mustahil tidak ada sesaat pun pada diri manusia dalam hidupnya; kalau bukan esensial, tentu ada sebab luar baginya, yaitu pengalaman. Dan ini yang tidak disetujui oleh kaum rasionalis.
Kenyataannya, kaum rasionalis, ketika menyatakan bahwa prinsip- prinsip tersebut adalah niscaya dalam pikiran manusia, mengartikan bahwa jika pikiran mencerap gagasan-gagasan yang dihubungkan satu sama lain oleh prinsip-prinsip tadi, maka pikiran akan menyimpulkan prinsip pertama tanpa membutuhkan sebab luar. Mari kita ambil prinsip non-kontradiksi sebagai contoh. Prinsip ini, yang menegaskan bahwa ada dan tidak adanya sesuatu tidak dapat berbarengan, tidak dimiliki manusia pada awal keberadaan manusia itu. Sebab ia bergantung pada konsep ada, konsep tidak ada, serta konsep berbarengannya ada dan tidak ada. Tanpa konsep ini, tidak mungkin menyatakan bahwa ada dan tidak ada itu tidak dapat berbarengan. Sebab, manusia tidak mungkin menegaskan sesuatu yang tidak dikonsepsikannya. Dan kita telah tahu ketika membicarakan konsepsi-konsepsi mental bahwa semua konsepsi itu adalah dari indera, baik langsung maupun tidak langsung. Karenanya, manusia mesti mencari himpunan konsepsi yang menjadi dasar bagi prinsip non-kontradiksi, melalui indera, agar ia dapat membuat penilaian dengannya. Jadi, fakta bahwa prinsip itu muncul kemudian dalam akal, manusia tidak berarti ia tidak niscaya dan tidak timbul dari lubuk jiwa manusia tanpa membutuhkan sebab luar. Sungguh ia adalah niscaya dan bersumber dari jiwa, terlepas dari pengalaman. Tetapi, konsepsi-konsepsi tertentu merupakan kondisi niscaya bagi keberadaannya dan kemunculannya dari jiwa. Jika berkenan, coba bandingkan jiwa dan prinsip-prinsip primer dengan api dan nyalanya. Nyala api adalah tindakan esensial api, tetapi hal itu tidak akan ada kecuali di dalam kondisi-kondisi tertentu, yakni dalam kondisi bertemunya api dengan benda-benda kering; demikian pula, penilaian-penilaian primer merupakan aksi-aksi niscaya dan esensial jiwa dalam kondisi-kondisi ketika konsepsi-konsepsi niscaya itu menjadi sempurna.
Kalau kita ingin membicarakan pada tingkat yang lebih tinggi, dapat kita katakan bahwa sekalipun pengetahuan primer terjadi pada diri nanusia dengan berangsur-angsur, tetapi keberangsuran itu tidak berarti bahwa hal itu terjadi karena pengalaman eksternal, karena kita telah nembuktikan bahwa pengalaman eksternal tidak mungkin merupakan sumber pokok bagi pengetahuan. Keberangsuran itu adalah sesuai dengan gerak substansial dan perkembangan jiwa manusia. Perkembangan dan integrasi substansial itulah yang membuat jiwa bertambah sempurna dan kadar akan informasi primer dan prinsip-prinsip dasar, sehingga membuka kapasitas-kapasitas dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalamnya. Demikianlah, jelas bahwa bantahan terhadap doktrin resional tentang mengapa tidak terdapat informasi primer pada manusia sejak ia lahir, disebabkan tidak diakuinya keberadaan potensial dan bawah sadar yang ditunjukkan oleh ingatan dengan sangat jelas. Jadi, jiwa manusia itu sendiri secara potensial mengandung pengetahuan primer ini. Dan dengan gerak substansial, intensitas wujud jiwa bertambah, sehingga apa yang diketahui secara potensial itu menjadi diketahui secara aktual.
Selanjutnya, kami tidak menyatakan bahwa semua proposisi matematis adalah analitis dan merupakan perluasan prinsip “empat adalah empat”. Nah, bagaimana mungkin realitas yang mengatakan bahwa garis tengah selamanya lebih pendek daripada kelilingnya adalah proposisi analitis; apakah “pendek” dan “keliling” itu termasuk dalam pengertian “garis tengah”; dan apakah “garis tengah” adalah ungkapan lain dari “garis tengah adalah garis tengah”?
Dari studi di atas kita simpulkan bahwa doktrin rasional sajalah yang dapat memecahkan problem pembenaran (justifikasi) pengetahuan dan membuat kriteria dan prinsip-prinsip primer pengetahuan. Tetapi, kita masih harus mempelajari satu hal lagi berkenaan dengan doktrin rasional. Yakni jika informasi primer adalah rasional dan niscaya, bagaimana mungkin menjelaskan ketiadaannya pada diri manusia pada awal (keberadaannya) dan bagaimana manusia memperolehnya kemudian? Dengan kata lain, kalau informasi tersebut adalah esensial bagi manusia, tentu ia ada selama manusia ada, dan mustahil tidak ada sesaat pun pada diri manusia dalam hidupnya; kalau bukan esensial, tentu ada sebab luar baginya, yaitu pengalaman. Dan ini yang tidak disetujui oleh kaum rasionalis.
Kenyataannya, kaum rasionalis, ketika menyatakan bahwa prinsip- prinsip tersebut adalah niscaya dalam pikiran manusia, mengartikan bahwa jika pikiran mencerap gagasan-gagasan yang dihubungkan satu sama lain oleh prinsip-prinsip tadi, maka pikiran akan menyimpulkan prinsip pertama tanpa membutuhkan sebab luar. Mari kita ambil prinsip non-kontradiksi sebagai contoh. Prinsip ini, yang menegaskan bahwa ada dan tidak adanya sesuatu tidak dapat berbarengan, tidak dimiliki manusia pada awal keberadaan manusia itu. Sebab ia bergantung pada konsep ada, konsep tidak ada, serta konsep berbarengannya ada dan tidak ada. Tanpa konsep ini, tidak mungkin menyatakan bahwa ada dan tidak ada itu tidak dapat berbarengan. Sebab, manusia tidak mungkin menegaskan sesuatu yang tidak dikonsepsikannya. Dan kita telah tahu ketika membicarakan konsepsi-konsepsi mental bahwa semua konsepsi itu adalah dari indera, baik langsung maupun tidak langsung. Karenanya, manusia mesti mencari himpunan konsepsi yang menjadi dasar bagi prinsip non-kontradiksi, melalui indera, agar ia dapat membuat penilaian dengannya. Jadi, fakta bahwa prinsip itu muncul kemudian dalam akal, manusia tidak berarti ia tidak niscaya dan tidak timbul dari lubuk jiwa manusia tanpa membutuhkan sebab luar. Sungguh ia adalah niscaya dan bersumber dari jiwa, terlepas dari pengalaman. Tetapi, konsepsi-konsepsi tertentu merupakan kondisi niscaya bagi keberadaannya dan kemunculannya dari jiwa. Jika berkenan, coba bandingkan jiwa dan prinsip-prinsip primer dengan api dan nyalanya. Nyala api adalah tindakan esensial api, tetapi hal itu tidak akan ada kecuali di dalam kondisi-kondisi tertentu, yakni dalam kondisi bertemunya api dengan benda-benda kering; demikian pula, penilaian-penilaian primer merupakan aksi-aksi niscaya dan esensial jiwa dalam kondisi-kondisi ketika konsepsi-konsepsi niscaya itu menjadi sempurna.
Kalau kita ingin membicarakan pada tingkat yang lebih tinggi, dapat kita katakan bahwa sekalipun pengetahuan primer terjadi pada diri nanusia dengan berangsur-angsur, tetapi keberangsuran itu tidak berarti bahwa hal itu terjadi karena pengalaman eksternal, karena kita telah nembuktikan bahwa pengalaman eksternal tidak mungkin merupakan sumber pokok bagi pengetahuan. Keberangsuran itu adalah sesuai dengan gerak substansial dan perkembangan jiwa manusia. Perkembangan dan integrasi substansial itulah yang membuat jiwa bertambah sempurna dan kadar akan informasi primer dan prinsip-prinsip dasar, sehingga membuka kapasitas-kapasitas dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalamnya. Demikianlah, jelas bahwa bantahan terhadap doktrin resional tentang mengapa tidak terdapat informasi primer pada manusia sejak ia lahir, disebabkan tidak diakuinya keberadaan potensial dan bawah sadar yang ditunjukkan oleh ingatan dengan sangat jelas. Jadi, jiwa manusia itu sendiri secara potensial mengandung pengetahuan primer ini. Dan dengan gerak substansial, intensitas wujud jiwa bertambah, sehingga apa yang diketahui secara potensial itu menjadi diketahui secara aktual.
Marxisme dan Pengalaman
Doktrin empirikal yang
telah kita kemukakan di atas itu berlaku untuk dua pendapat dalam persoalan
pengetahuan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa semua pengetahuan telah sempurna
pada tahap awalnya, yaitu pada tahap penginderaan dan pengalaman sederhana.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa ada dua langkah bagi pengetahuan: langkah
empirikal dan langkah mental, yaitu aplikasi dan teori, atau tahap pengalaman
dan tahap pengertian dan penyimpulan. Jadi, titik tolak pengetahuan adalah
indera dan pengalaman. Dan derajat tinggi bagi pengetahuan itu ialah penciptaan
pengertian ilmiah dan teori yang mencerminkan realitas empirikal secara
mendalam dan akurat. Pendapat yang kedua itulah yang diambil Marxisme dalam
persoalan pengetahuan. Namun Marxisme memberi “catatan” bahwa pendapat tersebut
dalam bentuknya yang jelas akan membawanya ke doktrin rasional, sebab pendapat
ini mengasumsikan (adanya) wilayah atau medan pengetahuan manusia di luar
batas-batas pengalaman yang sederhana. Ia kemudian menegakkannya di atas dasar
kesatuan antara teori dan aplikasi dan kemustahilan memisahkan yang satu dari
lainnya. Dengan demikian Marxisme mempertahankan tempat pengalaman, doktrin
empirikal, dan menganggapnya sebagai kriteria umum bagi pengetahuan manusia.
Berkata Mao Tse Tung: “Langkah pertama dalam proses mendapatkan pengetahuan adalah kontak langsung dengan lingkungan luar – ini adalah tahap penginderaan. Langkah keduanya ialah semua informasi yang kita dapatkan dari penginderaan dikumpulkan dan ditata – ini adalah tahap pemahaman, penilaian dan penyimpulan. Dengan mendapatkan informasi yang memadai dan sempurna dari penginderaan tadi (bukan yang tertentu atau yang tidak memadai) dan mengaitkan informasi itu dengan situasi yang nyata (bukan pengertian-pengertian yang salah), dapatlah kita memformulasikan, berdasarkan informasi tersebut, pengertian yang benar dan logika yang benar.”[39] Ia berkata pula: “Keterus-menerusan aplikasi sosial menyebabkan berulang-ulangnya kejadian-kejadian dalam aplikasi hal-hal yang mereka inderai, dan menciptakan kesan dalam diri mereka. Pada titik ini terjadilah perubahan tiba-tiba dalam bentuk lompatan pada saat proses mendapatkan pengetahuan. Dengan demikian terciptalah pengertian-pengertian.” [40]
Perhatikanlah teks berikut ini. Marxisme menyatakan bahwa teori tidak mungkin terpisah dari aplikasi, yakni kesatuan teori dan aplikasi: “Adalah penting dengan demikian, bahwa kita harus memahami arti kesatuan teori dan aplikasi. Artinya, orang yang mengabaikan teori akan menganut filsafat aplikasi. Akibatnya ia akan berjalan seperti orang buta meraba-raba dalam kegelapan. Sementara orang yang mengabaikan aplikasi akan mengalami kebekuan doktrin. Ia hanya akan mengikuti satu doktrin dan pembuktian rasional yang hampa.” [41] Dengan demikian, Marxisme memperkuat posisi empirikalnya – yakni, bahwa pengalaman indera adalah patokan yang harus diterapkan pada setiap pengetahuan dan teori, dan bahwa tak ada suatu pengetahuan pun yang terpisah dari pengalaman, seperti diterangkan oleh Mao Tse Tung berikut ini: “Teori pengetahuan dalam materialisme dialektis meletakkan aplikasi pada posisi pertama. Ia berpendapat bahwa pencarian pengetahuan tidak boleh terpisah sederajat pun dari aplikasi. Dan ia menyerang semua teori yang dianggapnya salah yang mengingkari pentingnya aplikasi, atau membenarkan terpisahnya pengetahuan dari aplikasi.” [42]
Marxisme tampak mengakui adanya dua tahapan bagi pengetahuan manusia. Meskipun demikian, ia tidak hendak menerima adanya pengetahuan yang terpisah dari pengalaman inderawi. Dan ini adalah kontradiksi mendasar yang menjadi alas bagi teori pengetahuan dalam materialisme dialektis. Yaitu, jika akal tidak memiliki pengetahuan tertentu yang lepas dari pengalaman inderawi, maka ia tak akan dapat membuat teori berdasarkan persepsi inderawi, dan tak akan dapat memahami proposisi- proposisi empirikal. Hal ini karena penyimpulan gagasan tertentu dari fenomena-fenomena inderawi yang dialami hanya mungkin bagi orang yang, paling tidak, mengetahui bahwa fenomena-fenomena seperti itu pada wataknya menghendaki gagasan seperti itu. Kemudian, ia mendasarkan penyimpulan teori tertentunya itu pada (pengetahuan) ini.
Agar hal ini jelas, kita harus tahu bahwa pengalaman inderawi, sebagaimana diakui Marxisme, memantulkan fenomena segala sesuatu, tetapi tidak mengungkapkan substansi dan hukum-hukum internalnya yang mengatur dan mengorganisasikan fenomena-fenomena tersebut. Meskipun kita terus mengulangi pengalaman itu dan menempatkan aplikasi praktis pada kedudukannya semula, kita tidak akan pernah mendapatkan –bagaimanapun juga – kecuali hanya beberapa fenomena superfisial yang baru. Adalah jelas bahwa pengetahuan empirikal yang kita dapatkan melalui pengalaman inderawi itu sendiri tidak menghendaki pembentukan gagasan rasional tertentu tentang hal eksternal. Sebab, pengetahuan empirikal tersebut, yang merupakan langkah pertama pengetahuan, dapat dimiliki pula oleh banyak individu; dan semuanya tidak dapat berakhir pada satu teori dan satu pengertian tentang substansi sesuatu dan hukum-hukum aktualnya. Dari hal tersebut kita tahu bahwa langkah pertama pengetahuan itu sendiri tidak cukup untuk membuat teori, yakni untuk menggerakkan orang secara alami atau dialektis ke langkah-kedua pengetahuan hakiki. Nah, lantas apa gerangan yang menjadikan kita bergerak dari langkah pertama ke langkah kedua?
Hal itu ialah pengetahuan rasional kita yang tidak bergantung pada pengalaman inderawi, dan yang di atasnya doktrin rasional ditegakkan. Pengetahuan itulah yang memungkinkan kita menyajikan sejumlah teori dan pengertian, serta memperhatikan sejauh mana keselarasan fenomena- fenomena yang tecermin dalam pengalaman-pengalaman dan sensasi-sensasi kita (di satu pihak) dan teori-teori dan pengertian-pengertian ini (di lain pihak). Kita menghindari setiap pengertian yang tidak sesuai dengan fenomena-fenomena tadi, sehingga, melalui penilaian pengetahuan rasional primer, kita mendapatkan pengertian yang selaras dengan fenomena-fenomena inderawi atau empirikal. Kita lalu menjadikan pengertian ini sebagai teori yang menjelaskan substansi sesuatu dan hukum-hukum yang menguasainya. Jika sejak semula kita memisahkan pengetahuan rasional yang mandiri dari pengalaman inderawi, maka kita tidak akan dapat bergerak dari tahap penginderaan ke tahap teori dan penyimpulan, dan tidak akan dapat memastikan kebenaran teori dan penyimpulan tersebut dengan kembali kepada aplikasi dan pengulangan pengalaman.
Kita simpulkan dari uraian di atas bahwa penjelasan satu-satunya mengenai langkah kedua dari pengetahuan – yaitu tahap penilaian dan penyimpulan – adalah pernyataan yang menjadi dasar doktrin rasional, yaitu bahwa sejumlah hukum umum alam diketahui manusia terlepas dari pengalaman inderawi, seperti prinsip non-kontradiksi, prinsip kausalitas dan prinsip keselarasan antara sebab dan akibat, serta hukum-hukum umum serupa lainnya. Bila eksperimen ilmiah mengungkapkan fenomena alam dan mencerminkan fenomena itu dalam persepsi-persepsi inderawi, maka manusia akan menerapkan prinsip-prinsip umum tadi pada pengertian ilmiah mereka mengenai aktualitas dan substansi sesuatu. Hal ini dapat dikatakan bahwa mereka berupaya menemukan apa yang ada di balik fenomena empirikal, dan menyelidiki realitas-realitas yang lebih tinggi, seperti yang diupayakan dan ditentukan oleh aplikasi prinsip-prinsip umum. Realitas-realitas yang lebih tinggi ini menambah informasi mereka sebelumnya. Dengan demikian mereka memperoleh kekayaan (informasi yang lebih besar yang dapat mereka manfaatkan) bila mereka hendak memecahkan teka-teki alam yang baru dalam bidang eksperimen yang lain. Dengan ini kita tak memaksudkan bahwa aplikasi dan eksperimen ilmiah tidak memiliki peran penting dalam pengetahuan manusia tentang alam dan hukum-hukumnya. Peranan keduanya dalam hal ini tidak diragukan lagi. Tetapi, kita hendak menegaskan bahwa mengesampingkan setiap pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman dan menolak pengetahuan rasional pada umumnya merupakan sebab bagi mustahilnya melangkah melampaui tahap pertama pengetahuan, yakni tahap penginderaan dan pengalaman.
Berkata Mao Tse Tung: “Langkah pertama dalam proses mendapatkan pengetahuan adalah kontak langsung dengan lingkungan luar – ini adalah tahap penginderaan. Langkah keduanya ialah semua informasi yang kita dapatkan dari penginderaan dikumpulkan dan ditata – ini adalah tahap pemahaman, penilaian dan penyimpulan. Dengan mendapatkan informasi yang memadai dan sempurna dari penginderaan tadi (bukan yang tertentu atau yang tidak memadai) dan mengaitkan informasi itu dengan situasi yang nyata (bukan pengertian-pengertian yang salah), dapatlah kita memformulasikan, berdasarkan informasi tersebut, pengertian yang benar dan logika yang benar.”[39] Ia berkata pula: “Keterus-menerusan aplikasi sosial menyebabkan berulang-ulangnya kejadian-kejadian dalam aplikasi hal-hal yang mereka inderai, dan menciptakan kesan dalam diri mereka. Pada titik ini terjadilah perubahan tiba-tiba dalam bentuk lompatan pada saat proses mendapatkan pengetahuan. Dengan demikian terciptalah pengertian-pengertian.” [40]
Perhatikanlah teks berikut ini. Marxisme menyatakan bahwa teori tidak mungkin terpisah dari aplikasi, yakni kesatuan teori dan aplikasi: “Adalah penting dengan demikian, bahwa kita harus memahami arti kesatuan teori dan aplikasi. Artinya, orang yang mengabaikan teori akan menganut filsafat aplikasi. Akibatnya ia akan berjalan seperti orang buta meraba-raba dalam kegelapan. Sementara orang yang mengabaikan aplikasi akan mengalami kebekuan doktrin. Ia hanya akan mengikuti satu doktrin dan pembuktian rasional yang hampa.” [41] Dengan demikian, Marxisme memperkuat posisi empirikalnya – yakni, bahwa pengalaman indera adalah patokan yang harus diterapkan pada setiap pengetahuan dan teori, dan bahwa tak ada suatu pengetahuan pun yang terpisah dari pengalaman, seperti diterangkan oleh Mao Tse Tung berikut ini: “Teori pengetahuan dalam materialisme dialektis meletakkan aplikasi pada posisi pertama. Ia berpendapat bahwa pencarian pengetahuan tidak boleh terpisah sederajat pun dari aplikasi. Dan ia menyerang semua teori yang dianggapnya salah yang mengingkari pentingnya aplikasi, atau membenarkan terpisahnya pengetahuan dari aplikasi.” [42]
Marxisme tampak mengakui adanya dua tahapan bagi pengetahuan manusia. Meskipun demikian, ia tidak hendak menerima adanya pengetahuan yang terpisah dari pengalaman inderawi. Dan ini adalah kontradiksi mendasar yang menjadi alas bagi teori pengetahuan dalam materialisme dialektis. Yaitu, jika akal tidak memiliki pengetahuan tertentu yang lepas dari pengalaman inderawi, maka ia tak akan dapat membuat teori berdasarkan persepsi inderawi, dan tak akan dapat memahami proposisi- proposisi empirikal. Hal ini karena penyimpulan gagasan tertentu dari fenomena-fenomena inderawi yang dialami hanya mungkin bagi orang yang, paling tidak, mengetahui bahwa fenomena-fenomena seperti itu pada wataknya menghendaki gagasan seperti itu. Kemudian, ia mendasarkan penyimpulan teori tertentunya itu pada (pengetahuan) ini.
Agar hal ini jelas, kita harus tahu bahwa pengalaman inderawi, sebagaimana diakui Marxisme, memantulkan fenomena segala sesuatu, tetapi tidak mengungkapkan substansi dan hukum-hukum internalnya yang mengatur dan mengorganisasikan fenomena-fenomena tersebut. Meskipun kita terus mengulangi pengalaman itu dan menempatkan aplikasi praktis pada kedudukannya semula, kita tidak akan pernah mendapatkan –bagaimanapun juga – kecuali hanya beberapa fenomena superfisial yang baru. Adalah jelas bahwa pengetahuan empirikal yang kita dapatkan melalui pengalaman inderawi itu sendiri tidak menghendaki pembentukan gagasan rasional tertentu tentang hal eksternal. Sebab, pengetahuan empirikal tersebut, yang merupakan langkah pertama pengetahuan, dapat dimiliki pula oleh banyak individu; dan semuanya tidak dapat berakhir pada satu teori dan satu pengertian tentang substansi sesuatu dan hukum-hukum aktualnya. Dari hal tersebut kita tahu bahwa langkah pertama pengetahuan itu sendiri tidak cukup untuk membuat teori, yakni untuk menggerakkan orang secara alami atau dialektis ke langkah-kedua pengetahuan hakiki. Nah, lantas apa gerangan yang menjadikan kita bergerak dari langkah pertama ke langkah kedua?
Hal itu ialah pengetahuan rasional kita yang tidak bergantung pada pengalaman inderawi, dan yang di atasnya doktrin rasional ditegakkan. Pengetahuan itulah yang memungkinkan kita menyajikan sejumlah teori dan pengertian, serta memperhatikan sejauh mana keselarasan fenomena- fenomena yang tecermin dalam pengalaman-pengalaman dan sensasi-sensasi kita (di satu pihak) dan teori-teori dan pengertian-pengertian ini (di lain pihak). Kita menghindari setiap pengertian yang tidak sesuai dengan fenomena-fenomena tadi, sehingga, melalui penilaian pengetahuan rasional primer, kita mendapatkan pengertian yang selaras dengan fenomena-fenomena inderawi atau empirikal. Kita lalu menjadikan pengertian ini sebagai teori yang menjelaskan substansi sesuatu dan hukum-hukum yang menguasainya. Jika sejak semula kita memisahkan pengetahuan rasional yang mandiri dari pengalaman inderawi, maka kita tidak akan dapat bergerak dari tahap penginderaan ke tahap teori dan penyimpulan, dan tidak akan dapat memastikan kebenaran teori dan penyimpulan tersebut dengan kembali kepada aplikasi dan pengulangan pengalaman.
Kita simpulkan dari uraian di atas bahwa penjelasan satu-satunya mengenai langkah kedua dari pengetahuan – yaitu tahap penilaian dan penyimpulan – adalah pernyataan yang menjadi dasar doktrin rasional, yaitu bahwa sejumlah hukum umum alam diketahui manusia terlepas dari pengalaman inderawi, seperti prinsip non-kontradiksi, prinsip kausalitas dan prinsip keselarasan antara sebab dan akibat, serta hukum-hukum umum serupa lainnya. Bila eksperimen ilmiah mengungkapkan fenomena alam dan mencerminkan fenomena itu dalam persepsi-persepsi inderawi, maka manusia akan menerapkan prinsip-prinsip umum tadi pada pengertian ilmiah mereka mengenai aktualitas dan substansi sesuatu. Hal ini dapat dikatakan bahwa mereka berupaya menemukan apa yang ada di balik fenomena empirikal, dan menyelidiki realitas-realitas yang lebih tinggi, seperti yang diupayakan dan ditentukan oleh aplikasi prinsip-prinsip umum. Realitas-realitas yang lebih tinggi ini menambah informasi mereka sebelumnya. Dengan demikian mereka memperoleh kekayaan (informasi yang lebih besar yang dapat mereka manfaatkan) bila mereka hendak memecahkan teka-teki alam yang baru dalam bidang eksperimen yang lain. Dengan ini kita tak memaksudkan bahwa aplikasi dan eksperimen ilmiah tidak memiliki peran penting dalam pengetahuan manusia tentang alam dan hukum-hukumnya. Peranan keduanya dalam hal ini tidak diragukan lagi. Tetapi, kita hendak menegaskan bahwa mengesampingkan setiap pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman dan menolak pengetahuan rasional pada umumnya merupakan sebab bagi mustahilnya melangkah melampaui tahap pertama pengetahuan, yakni tahap penginderaan dan pengalaman.
Pengalaman Inderawi dan Bangunan Filsafat
Kontradiksi yang tajam itu
antara doktrin rasional dan empirikal bukan hanya dalam batas-batas teori
pengetahuan saja. Pengaruhnya yang membahayakan bahkan menjangkau ke segenap
bangunan filsafat. Sebab, nasib filsafat sebagai bangunan yang tak bergantung
pada ilmu-ilmu alam dan empirikal itu sangat berhubungan dengan metode
menghilangkan kontradiksi tersebut antara doktrin rasional dan empirikal.
Pembahasan tentang patokan umum bagi pengetahuan manusia dan prinsip-prinsip
primernya itulah yang memperkuat eksistensi filsafat, atau yang menentukan agar
filsafat menarik diri dan menyerahkan tugas-tugasnya kepada ilmu-ilmu alam.
Sejak metode empirikal muncul dan menyerang bidang-bidang ilmiah dengan keras, bangunan filsafat menghadapi dilema atau ujian ini. Pada awal munculnya, sebelum kecenderungan empirikal mendominasi, filsafat hampir meliputi seluruh pengetahuan manusia yang tersusun secara umum. Matematika dan ilmu-ilmu alam termasuk dalam filsafat, persis sebagaimana masalah-masalah metafisika. Filsafat, dalam arti umum dan komprehensif, mengemban tanggung jawab mengungkapkan realitas-realitas umum di segala bidang keberadaan dan maujud. Dan sarana untuk mengetahui yang dipakai filsafat dalam semua bidang itu adalah silogisme – metode rasional dalam berpikir atau berangkatnya pikiran dari proposisi-proposisi umum ke proposisi-proposisi yang lebih khusus.
Filsafat tetap menguasai bidang intelektual manusia sampai eksperimen mulai unjuk diri dan memainkan perannya dalam banyak bidang dengan berangkat dari yang partikular ke yang universal, dari subjek-subjek eksperimen ke hukum-hukum yang lebih umum dan lebih menyeluruh. Karenanya, filsafat menjadi menyusut dan terbatas pada bidang pokoknya, dan membuka jalan bagi lawannya – ilmu pengetahuan – untuk aktif di bidang-bidang lain. Dengan begitu, terpisahlah ilmu pengetahuan dari filsafat. Masing-masing terbatas pada sarana tertentu dan bidang khususnya. Maka filsafat menggunakan silogisme sebagai sarana rasional dalam berpikir, sementara ilmu pengetahuan memakai metode empirikal dan bergerak dari yang partikular ke hukum-hukum yang lebih tinggi. Setiap ilmu pengetahuan juga menangani satu cabang atau satu jenis keberadaan yang sesuai baginya dan dapat tunduk kepada eksperimen. Orang lantas menyelidiki fenomena-fenomena dan hukum-hukum ilmu berdasarkan eksperimen yang dilakukannya. Adapun filsafat menggarap eksistensi secara umum tanpa batasan, dan menyelidiki fenomena-fenomena dan prinsip-prinsipnya yang tidak tunduk kepada eksperimen langsung.
Nah sementara seorang ilmuwan menyelidiki hukum pemuaian partikel-partikel jasadi karena panas dan ilmuwan matematika meneliti proporsi matematis antara garis tengah sebuah lingkaran dan kelilingnya, seorang filosof mempelajari apakah eksistensi itu memiliki prinsip primer yang darinya seluruh alam muncul, apakah watak hubungan antara sebab dan akibat, apakah mungkin bahwa setiap sebab memiliki sebab lagi tanpa henti, dan apakah esensi manusia itu semata-mata materi atau paduan materi dan ruh?
Sekilas jelas bahwa isi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu-wan itu dapat tunduk kepada eksperimen. Jadi, adalah mungkin bagi eksperimen untuk mengajukan bukti bahwa partikel-partikel jasadi akan memuai karena panas; bahwa garis tengah dikalikan dengan 22/7 akan sama dengan luas lingkaran. Kebalikan dari persoalan-persoalan itu adalah watak langsung persoalan-persoalan filosofis. Prinsip primer, yaitu watak hubungan antara sebab dan akibat, sebab terus-menerus tanpa henti, dan unsur spiritual dalam diri manusia, adalah persoalan-persoalan metafisika yang tak dapat dijangkau oleh pengalaman inderawi dan tak mungkin diamati di dalam laboratorium.
Dengan demikian dualitas antara filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang, disebabkan oleh perbedaan keduanya dalam sarana dan subjek pemikiran. Dualitas ini atau pembagian tugas pemikiran antara filsafat dan ilmu pengetahuan tampaknya tepat dan diterima oleh para rasionalis yang mempercayai metode rasional dalam berpikir dan yang mengakui adanya prinsip-prinsip niscaya-primer bagi pengetahuan manusia. Sedangkan para pendukung doktrin empirikal, yang hanya mempercayai pengalaman inderawi dan mengingkari metode rasional dalam berpikir, menyerang secara gigih filsafat sebagai bidang yang berdiri sendiri yang terlepas dari ilmu pengetahuan. Sebab mereka tidak mengakui setiap pengetahuan yang tidak berdasarkan pengalaman. Dan selama subjek-subjek filsafat itu berada di luar batas-batas pengalaman dan eksperimen, tak ada harapan bagi filsafat untuk mencapai pengetahuan yang benar. Karena itu, dalam pandangan doktrin empirikal, filsafat harus melepaskan fungsinya dan harus mengakui bahwa satu-satunya bidang yang dapat dipelajari manusia adalah bidang eksperimen yang telah dibagi-bagi di antara ilmu-ilmu pengetahuan, sehingga tak tersisa bagi filsafat.
Dari sini kita tahu bahwa keberadaan absah filsafat berkaitan dengan teori pengetahuan dan dengan kepercayaan – atau penolakan – terhadap metode rasional dalam berpikir yang ditegaskan oleh teori ini. Atas dasar hal itu, sejumlah aliran filsafat materialistik modern menyerang keberadaan filsafat yang mandiri yang ditegakkan di atas metode rasional dalam berpikir, dan menyetujui adanya filsafat yang bertumpu pada hasil intelektual sejumlah ilmu pengetahuan dan pengalaman empirikal dan yang tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam metode dan subjeknya. Filsafat ilmiah ini dapat digunakan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan antara ilmu-ilmu pengetahuan, dan untuk menciptakan teori-teori ilmiah umum yang berdasarkan hasil eksperimen dalam semua lapangan ilmiah. Setiap ilmu pengetahuan juga memiliki filsafatnya masing-masing yang menetapkan metode-metode penelitian ilmiah dalam bidang tertentunya. Pelopor aliran-aliran materialisme tersebut adalah materialisme positivis dan materialisme Marxis.
Sejak metode empirikal muncul dan menyerang bidang-bidang ilmiah dengan keras, bangunan filsafat menghadapi dilema atau ujian ini. Pada awal munculnya, sebelum kecenderungan empirikal mendominasi, filsafat hampir meliputi seluruh pengetahuan manusia yang tersusun secara umum. Matematika dan ilmu-ilmu alam termasuk dalam filsafat, persis sebagaimana masalah-masalah metafisika. Filsafat, dalam arti umum dan komprehensif, mengemban tanggung jawab mengungkapkan realitas-realitas umum di segala bidang keberadaan dan maujud. Dan sarana untuk mengetahui yang dipakai filsafat dalam semua bidang itu adalah silogisme – metode rasional dalam berpikir atau berangkatnya pikiran dari proposisi-proposisi umum ke proposisi-proposisi yang lebih khusus.
Filsafat tetap menguasai bidang intelektual manusia sampai eksperimen mulai unjuk diri dan memainkan perannya dalam banyak bidang dengan berangkat dari yang partikular ke yang universal, dari subjek-subjek eksperimen ke hukum-hukum yang lebih umum dan lebih menyeluruh. Karenanya, filsafat menjadi menyusut dan terbatas pada bidang pokoknya, dan membuka jalan bagi lawannya – ilmu pengetahuan – untuk aktif di bidang-bidang lain. Dengan begitu, terpisahlah ilmu pengetahuan dari filsafat. Masing-masing terbatas pada sarana tertentu dan bidang khususnya. Maka filsafat menggunakan silogisme sebagai sarana rasional dalam berpikir, sementara ilmu pengetahuan memakai metode empirikal dan bergerak dari yang partikular ke hukum-hukum yang lebih tinggi. Setiap ilmu pengetahuan juga menangani satu cabang atau satu jenis keberadaan yang sesuai baginya dan dapat tunduk kepada eksperimen. Orang lantas menyelidiki fenomena-fenomena dan hukum-hukum ilmu berdasarkan eksperimen yang dilakukannya. Adapun filsafat menggarap eksistensi secara umum tanpa batasan, dan menyelidiki fenomena-fenomena dan prinsip-prinsipnya yang tidak tunduk kepada eksperimen langsung.
Nah sementara seorang ilmuwan menyelidiki hukum pemuaian partikel-partikel jasadi karena panas dan ilmuwan matematika meneliti proporsi matematis antara garis tengah sebuah lingkaran dan kelilingnya, seorang filosof mempelajari apakah eksistensi itu memiliki prinsip primer yang darinya seluruh alam muncul, apakah watak hubungan antara sebab dan akibat, apakah mungkin bahwa setiap sebab memiliki sebab lagi tanpa henti, dan apakah esensi manusia itu semata-mata materi atau paduan materi dan ruh?
Sekilas jelas bahwa isi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu-wan itu dapat tunduk kepada eksperimen. Jadi, adalah mungkin bagi eksperimen untuk mengajukan bukti bahwa partikel-partikel jasadi akan memuai karena panas; bahwa garis tengah dikalikan dengan 22/7 akan sama dengan luas lingkaran. Kebalikan dari persoalan-persoalan itu adalah watak langsung persoalan-persoalan filosofis. Prinsip primer, yaitu watak hubungan antara sebab dan akibat, sebab terus-menerus tanpa henti, dan unsur spiritual dalam diri manusia, adalah persoalan-persoalan metafisika yang tak dapat dijangkau oleh pengalaman inderawi dan tak mungkin diamati di dalam laboratorium.
Dengan demikian dualitas antara filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang, disebabkan oleh perbedaan keduanya dalam sarana dan subjek pemikiran. Dualitas ini atau pembagian tugas pemikiran antara filsafat dan ilmu pengetahuan tampaknya tepat dan diterima oleh para rasionalis yang mempercayai metode rasional dalam berpikir dan yang mengakui adanya prinsip-prinsip niscaya-primer bagi pengetahuan manusia. Sedangkan para pendukung doktrin empirikal, yang hanya mempercayai pengalaman inderawi dan mengingkari metode rasional dalam berpikir, menyerang secara gigih filsafat sebagai bidang yang berdiri sendiri yang terlepas dari ilmu pengetahuan. Sebab mereka tidak mengakui setiap pengetahuan yang tidak berdasarkan pengalaman. Dan selama subjek-subjek filsafat itu berada di luar batas-batas pengalaman dan eksperimen, tak ada harapan bagi filsafat untuk mencapai pengetahuan yang benar. Karena itu, dalam pandangan doktrin empirikal, filsafat harus melepaskan fungsinya dan harus mengakui bahwa satu-satunya bidang yang dapat dipelajari manusia adalah bidang eksperimen yang telah dibagi-bagi di antara ilmu-ilmu pengetahuan, sehingga tak tersisa bagi filsafat.
Dari sini kita tahu bahwa keberadaan absah filsafat berkaitan dengan teori pengetahuan dan dengan kepercayaan – atau penolakan – terhadap metode rasional dalam berpikir yang ditegaskan oleh teori ini. Atas dasar hal itu, sejumlah aliran filsafat materialistik modern menyerang keberadaan filsafat yang mandiri yang ditegakkan di atas metode rasional dalam berpikir, dan menyetujui adanya filsafat yang bertumpu pada hasil intelektual sejumlah ilmu pengetahuan dan pengalaman empirikal dan yang tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan dalam metode dan subjeknya. Filsafat ilmiah ini dapat digunakan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan antara ilmu-ilmu pengetahuan, dan untuk menciptakan teori-teori ilmiah umum yang berdasarkan hasil eksperimen dalam semua lapangan ilmiah. Setiap ilmu pengetahuan juga memiliki filsafatnya masing-masing yang menetapkan metode-metode penelitian ilmiah dalam bidang tertentunya. Pelopor aliran-aliran materialisme tersebut adalah materialisme positivis dan materialisme Marxis.
Aliran Positivis dan Filsafat
Aliran positivis dalam
filsafat tumbuh subur pada abad ke-19 ketika empirisme mendominasi. Positivisme
lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme. Materialisme positivis, karena
itu, menyerang mati-matian filsafat dan subjek-subjek metafisikanya.
Materialisme positivis tidak hanya menyerang filsafat metafisika dengan
tuduhan-tuduhan seperti biasanya dilontarkan oleh pendukung-pendukung doktrin
empirikal. Ia tidak hanya mengatakan bahwa proposisi-proposisi filsafat itu
tidak bermanfaat bagi kehidupan praktis dan tidak dapat dibuktikan dengan
metode ilmiah. Kaum positivis bahkan menyatakan bahwa proposisi-proposisi itu
bukanlah proposisi dalam arti logis, meskipun susunan kata-katanya berbentuk
proposisi. Hal ini karena ia tidak mengandung makna sama sekali. Tetapi, ia
adalah omong kosong dan tak berarti apa-apa. Dan selama demikian, ia tidak
mungkin menjadi objek pembahasan dan penelitian. Perkataan yang dapat dipahami,
bukan perkataan yang sia-sia, yang tak ada artinya, patut ditelaah.
Proposisi filsafat adalah perkataan tak bermakna, hal ini disebabkan oleh patokan tentang kata-kata yang dapat dipahami yang diciptakan oleh aliran positivis. Aliran positivis menyatakan bahwa suatu proposisi tidak akan menjadi kata-kata yang dapat dipahami, dan pada gilirannya tidak menjadi proposisi yang sempurna dalam arti logika, kecuali konsepnya tentang alam berbeda, ketika proposisi itu benar, dengan konsepnya tentang alam ketika proposisi itu salah. Misalnya, kalau dikatakan, “Dingin akan semakin dingin pada musim dingin”, akan didapati – bila perkataan ini benar – bahwa ada konsep tertentu dan paparan yang masuk akal tentang alam, sedangkan bila salah, ada konsep dan paparan lain. Karena itu, kita dapat melukiskan kondisi-kondisi aktual di mana kita mengetahui benar dan salahnya ucapan itu, selama di dalam alam aktual ada perbedaan antara fakta bahwa proposisi itu benar dan fakta bahwa proposisi itu salah.
Tetapi, ambillah proposisi filosofis berikut: “Segala sesuatu, memiliki substansi di samping ciri-ciri yang terinderai. Apel, misalnya, mempunyai substansi, yaitu apel itu sendiri, selain yang kita inderai dengan penglihatan, perabaan, dan pengecapan”. Anda tidak akan mendapatkan perbedaan dalam realitas luarnya apakah proposisi itu benar atau salah. Hal ini terbukti ketika Anda mengkonsepsi apel tersebut sebagai memiliki substansi disamping apa yang Anda persepsikan dengan indera Anda. Lalu anda mengkonsepsikannya sebagai tidak memiliki subsansi itu Anda tidak akan mendapati apa pun dalam konsepsi-konsepsi itu selain hal-hal yang diinderai seperti warna, bau dan teksturnya. Nah, selama kita tidak mendapatkan dalam konsepsi yang benar apa-apa yang membedakannya dari konsepsi yang salah, maka ungkapan filosofis tersebut adalah kata-kata kosong belaka, karena ia tidak memberikan informasi apa-apa tentang alam. Demikian pula dengan setiap proposisi filosofis yang mencoba memecahkan subjek-subjek metafisis. Ia bukanlah kata-kata yang dapat dipahami, karena tidak terpenuhi syarat pokok bagi ucapan yang dapat dipahami, yaitu kemampuan menggambarkan kondisi-kondisi untuk dapat mengetahui apakah proposisi-proposisi itu benar atau salah. Karena itu, tidaklah layak untuk melukiskan apakah proposisi filosofis itu benar atau salah, sebab benar dan salah adalah sifat-sifat ucapan yang dapat dipahami, sementara proposisi filosofis tidak memiliki makna apa-apa yang akan membuatnya benar atau salah.
Kita dapat meringkaskan sifat-sifat yang dikaitkan oleh aliran posi-tivis kepada proposisi-proposisi filosofis:
Proposisi filsafat adalah perkataan tak bermakna, hal ini disebabkan oleh patokan tentang kata-kata yang dapat dipahami yang diciptakan oleh aliran positivis. Aliran positivis menyatakan bahwa suatu proposisi tidak akan menjadi kata-kata yang dapat dipahami, dan pada gilirannya tidak menjadi proposisi yang sempurna dalam arti logika, kecuali konsepnya tentang alam berbeda, ketika proposisi itu benar, dengan konsepnya tentang alam ketika proposisi itu salah. Misalnya, kalau dikatakan, “Dingin akan semakin dingin pada musim dingin”, akan didapati – bila perkataan ini benar – bahwa ada konsep tertentu dan paparan yang masuk akal tentang alam, sedangkan bila salah, ada konsep dan paparan lain. Karena itu, kita dapat melukiskan kondisi-kondisi aktual di mana kita mengetahui benar dan salahnya ucapan itu, selama di dalam alam aktual ada perbedaan antara fakta bahwa proposisi itu benar dan fakta bahwa proposisi itu salah.
Tetapi, ambillah proposisi filosofis berikut: “Segala sesuatu, memiliki substansi di samping ciri-ciri yang terinderai. Apel, misalnya, mempunyai substansi, yaitu apel itu sendiri, selain yang kita inderai dengan penglihatan, perabaan, dan pengecapan”. Anda tidak akan mendapatkan perbedaan dalam realitas luarnya apakah proposisi itu benar atau salah. Hal ini terbukti ketika Anda mengkonsepsi apel tersebut sebagai memiliki substansi disamping apa yang Anda persepsikan dengan indera Anda. Lalu anda mengkonsepsikannya sebagai tidak memiliki subsansi itu Anda tidak akan mendapati apa pun dalam konsepsi-konsepsi itu selain hal-hal yang diinderai seperti warna, bau dan teksturnya. Nah, selama kita tidak mendapatkan dalam konsepsi yang benar apa-apa yang membedakannya dari konsepsi yang salah, maka ungkapan filosofis tersebut adalah kata-kata kosong belaka, karena ia tidak memberikan informasi apa-apa tentang alam. Demikian pula dengan setiap proposisi filosofis yang mencoba memecahkan subjek-subjek metafisis. Ia bukanlah kata-kata yang dapat dipahami, karena tidak terpenuhi syarat pokok bagi ucapan yang dapat dipahami, yaitu kemampuan menggambarkan kondisi-kondisi untuk dapat mengetahui apakah proposisi-proposisi itu benar atau salah. Karena itu, tidaklah layak untuk melukiskan apakah proposisi filosofis itu benar atau salah, sebab benar dan salah adalah sifat-sifat ucapan yang dapat dipahami, sementara proposisi filosofis tidak memiliki makna apa-apa yang akan membuatnya benar atau salah.
Kita dapat meringkaskan sifat-sifat yang dikaitkan oleh aliran posi-tivis kepada proposisi-proposisi filosofis:
1. Tidak mungkin
mengukuhkan proposisi filsafat, sebab subjek-subjek yang dikajinya berada di
luar batas-batas eksperimen dan pengalaman manusia.
2. Kita tidak mungkin menggambarkan kondisi, yang jika dimiliki, maka proposisi itu benar, dan kalau tidak, maka proposisi itu salah sebab tidak terdapat perbedaan dalam konsep aktualitas apakah proposisi filosofis itu benar atau salah.
3. Karena itu, proposisi filosofis tidak bermakna, karena ia tidak memberikan informasi tentang alam.
4. Berdasarkan itu semua, tidak dibenarkan untuk melukiskan proposisi filosofis sebagai benar atau salah.
Marilah kita ambil sifat yang pertama, yakni tidak mungkin me-neguhkan proposisi filosofis. Hal ini adalah mengulangi apa yang diulang-ulang oleh para pendukung doktrin empirikal pada umumnya. Mereka percaya bahwa pengalaman inderawi adalah sumber primer dan alat tertinggi bagi pengetahuan. Tetapi pengalaman inderawi tidak dapat menerapkan fungsinya pada tingkat filsafat, karena subjek-subjek filsafat itu metafisis dan (karena itu) tidak tunduk kepada eksperimen ilmiah apa pun. Kalau kita menolak doktrin empirikal dan menegaskan adanya pengetahuan primer di lubuk akal manusia yang di atas pengetahuan itu bangunan ilmiah dalam berbagai lapangan pengalaman inderawi ditegakkan, kita dapat meyakinkan (yang lain-lain) tentang potensi dan kemampuan pikiran manusia untuk mempelajari proposisi-proposisi filosofis dan untuk menelitinya berdasarkan pengetahuan primer tersebut dengan cara induksi dan dari yang umum ke yang khusus.
Sedangkan sifat kedua – yakni kita tidak dapat melukiskan kondisi-kondisi, yang dengan kondisi-kondisi itu, jika didapat, proposisi itu akan benar dan, jika tidak, akan salah – masih membutuhkan sedikit penjelasan. Apakah kondisi-kondisi aktual dan hal-hal terinderai yang berkaitan dengan kebenaran proposisi itu? Apakah positivisme menganggap bahwa satu syarat proposisi adalah bahwa isi proposisi itu sendiri terinderai, seperti dalam ucapan: “Dingin akan semakin dingin pada musim dingin, dan hujan akan turun pada musim itu”? Atau apakah cukup bahwa proposisi itu memiliki hal-hal yang terinderai meskipun secara tidak langsung? Jika positivisme mengabaikan setiap proposisi yang tidak terinderai dan bukan merupakan kondisi aktual yang tunduk kepada pengalaman inderawi, tentu bukan hanya proposisi-proposisi filosofis yang diabaikannya, tetapi juga sebagian besar proposisi ilmiah yang tidak mengekspresikan hal-hal yang terinderai, namun mengekspresikan hukum yang diturunkan dari hal-hal yang terinderai seperti hukum gravitasi. Kita menginderai jatuhnya pena dari meja ke tanah, tetapi tidak menginderai gravitasi tanah itu. Jatuhnya pena adalah hal yang terinderai dan berhubungan dengan implikasi ilmiah hukum gravitasi, sementara hukum itu sendiri tidak terinderai secara langsung. Kalau positivisme hanya menerima yang terinderai secara tidak langsung, maka proposisi-proposisi filosofis juga dapat terinderai secara tidak langsung, persis seperti sejumlah proposisi ilmiah. Yakni ada hal-hal terinderai dan kondisi-kondisi aktual yang berhubungan dengan proposisi filosofis. Jika hal-hal dan kondisi-kondisi itu ada, proposisi itu benar; jika tidak, maka salah. Ambillah, sebagai contoh, proposisi filosofis yang mengatakan adanya sebab pertama (prima causa) bagi alam. Meskipun kandungan proposisi ini tidak dapat langsung terinderai, filosof dapat mencapainya melalui hal-hal terinderai yang tidak mungkin dijelaskan secara rasional kecuali dengan sebab pertama – sebagaimana akan dipaparkan dalam pembahasan nanti dalam buku ini.
Satu hal yang mungkin dipermasalahkan positivisme dalam hal ini adalah bahwa derivasi kandungan rasional proposisi filosofis dari hal-hal yang terinderai, tidaklah bertumpu pada dasar empirikal, tetapi atas dasar-dasar rasional. Artinya, pengetahuan rasionallah yang dapat menerangkan hal-hal terinderai dengan mengasumsikan prinsip pertama, dan pengalaman inderawi tidak membuktikan kemustahilan hal-hal terinderai tersebut tanpa prinsip pertama. Jika pengalaman inderawi tidak membuktikan (kemustahilan) ini, tidak mungkin hal-hal itu dianggap bahkan sebagai hal-hal tidak langsung dari proposisi filosofis. Kata-kata itu hanyalah pengulangan doktrin empirikal. Jika, seperti telah kita ketahui sebelumnya, pembentukan paham-paham ilmiah umum dari hal-hal terinderai itu bergantung pada pengetahuan rasional sebelumnya, maka tidak mengapa jika proposisi filosofis itu berhubungan dengan hal-hal terinderai melalui ikatan-ikatan rasional dan berdasarkan pengetahuan sebelumnya.
Sampai di sini kita tidak mendapatkan hal baru dalam positivisme selain yang telah diberikan oleh doktrin empirikal dan paham-pahamnya tentang metafisika filosofis. Namun, sifat yang ketiga tampak sebagai sesuatu yang baru. Sebab positivisme menyatakan di dalamnya bahwa proposisi filosofis tidak memiliki makna apa-apa sama sekali dan bahkan tidak dapat dianggap sebagai proposisi. Tetapi ia mirip dengan proposisi. Kita dapat mengatakan bahwa tuduhan itu adalah pukulan paling keras yang diarahkan kepada filsafat oleh aliran-aliran filosofis doktrin empirikal. Karena itu, mari kita telaah isi tuduhan itu dengan hati-hati. Agar dapat melakukan hal itu, kita harus mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan dengan kata “makna” oleh positivisme dalam kata-kata “proposisi filsafat tidak memiliki makna apa-apa”, meskipun dalam kamus-kamus bahasa, kata “makna” ini dapat dijelaskan.
Terhadap hal itu, Profesor Ayer[43] – tokoh positivisme logika modern di Inggris – menjawab bahwa kata “makna” dalam positivisme berarti gagasan yang kebenaran atau kepalsuannya dapat ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi. Karena ini mustahil dalam proposisi filosofis, maka proposisi itu adalah proposisi tanpa makna. Berdasarkan hal itu, ungkapan yang menyatakan “proposisi filosofis tak memiliki makna” sama persis dengan ucapan, “kandungan proposisi filosofis itu tidak tunduk kepada pengalaman inderawi, karena ia berhubungan dengan apa yang ada di luar alam”. Dengan demikian positivisme bermaksud menyatakan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan dan tidak dapat dibantah lagi – yakni bahwa subjek-subjek metafisika filosofis bukanlah empirikal. Tetapi ia tidak memberikan sesuatu yang baru, kecuali pengembangan kata “makna” dan penggabungan pengalaman inderawi dengannya. Namun pelucutan proposisi filosofis dari makna berdasarkan pengembangan kata itu tidaklah bertentangan dengan pernyataan bahwa proposisi filosofis itu memiliki makna dalam penggunaan lain kata itu, yang di dalamnya “pengalaman inderawi” tidak berpadu dengan “makna”.
Saya sendiri tidak tahu apa yang hendak dikatakan oleh Profesor Ayer dan tokoh-tokoh positivisme lainnya tentang proposisi-proposisi yang berhubungan dengan alam, dan yang kebenaran atau kepalsuannya tak dapat dinyatakan dengan pengalaman inderawi. Misalnya, jika kita katakan. “Sisi lain bulan yang tak menghadap ke bumi itu penuh dengan gunung dan lembah”, kita tidak memiliki, barangkali, kemampuan-kemampuan empirikal untuk mengungkapkan benar atau salahnya proposisi tersebut, meskipun ia berbicara tentang alam. Nah, apakah mungkin kita menganggap proposisi itu tuna-makna, sementara kita semua tahu bahwa ilmu pengetahuan sering melontarkan proposisi-proposisi seperti itu untuk ditelaah sebelum ilmu pengetahuan mendapatkan pengalaman inderawi yang pasti berkenaan dengan proposisi-proposisi itu? Ia terus mencari sesuatu yang dapat menjelaskannya, sampai akhirnya berhasil atau gagal menemukan sesuatu itu. Lantas untuk apa semua usaha ilmiah itu, jika setiap proposisi – yang kebenaran atau kepalsuannya tidak terbuktikan oleh pengalaman inderawi – merupakan suatu pernyataan yang tuna-makna?
Dalam hal ini, positivisme mencoba membuat beberapa perbaikan. Ia mengatakan bahwa yang penting adalah kemungkinan logis, bukan kemungkinan aktual. Jadi, setiap proposisi, jika secara teoretis dapat mencapai pengalaman inderawi yang memberikan petunjuk tentangnya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman seperti itu, mempunyai arti dan patut dibahas. Dalam upaya ini kita melihat bahwa positivisme meminjam paham metafisis untuk menyempurnakan struktur doktrin yang dibangunnya untuk menghancurkan metafisika. Paham yang dipinjam itu ialah paham kemungkinan logis, yang dibedakannya dari kemungkinan aktual. Kalau tidak demikian, lantas apa hal-hal yang terinderai dari kemungkinan logis itu? Positivisme berkata bahwa selama pengalaman inderawi tidak mungkin secara real, lantas arti apa yang akan dimiliki kemungkinan logisnya, selain arti metafisikanya yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa atas gambar realitas luar, dan yang dalam perihalnya hal-hal terinderai tak berbeda? Apakah salah kalau kriteria positivisme bagi kata-kata yang dapat dimengerti itu menjadi metafisis pada analisis akhirnya, dan akibatnya menjadi kata-kata yang tak terpahami, menurut positivisme?
Mari kita tinggalkan Profesor Ayer, dan kita ambil kata “makna” dalam arti yang sudah umum, yaitu tanpa membaurkannya dengan “pengalaman inderawi”. Apakah kini kita dapat menilai bahwa proposisi filosofis itu tidak memiliki makna? Tentu saja tidak demikian. Makna adalah konsepsi yang dicerminkan oleh kata dalam pikiran. Proposisi filosofis, dalam benak pendukung dan lawannya juga, mencerminkan konsepsi-konsepsi seperti ini. Selama ada konsepsi yang dilontarkan oleh proposisi filosofis kepada pikiran kita, selama itu pula ada tempat bagi benar dan salah, dan pada gilirannya terdapat pula proposisi sempurna yang pantas bernama (proposisi) dalam arti logika. Nah, jika konsepsi yang dilontarkan oleh proposisi filosofis kepada pikiran kita itu sesuai dengan sesuatu yang objektif di luar batas akal dan kata-kata, tentu proposisi itu benar. Jika tidak, tentu salah. Jadi, benar dan salah – dan pada gilirannya juga ciri logis proposisi itu – bukanlah diberikan oleh pengalaman inderawi sehingga kita dapat mengatakan bahwa proposisi yang tidak tunduk kepada pengalaman inderawi itu tidak dapat disifati benar dan palsu. Tetapi keduanya adalah dua ungkapan dalam bentuk positif atau negatif tentang kesesuaian antara konsep proposisi dalam pikiran dan apa pun yang benar-benar objektif yang berada di luar batas-batas akal dan kata-kata.
2. Kita tidak mungkin menggambarkan kondisi, yang jika dimiliki, maka proposisi itu benar, dan kalau tidak, maka proposisi itu salah sebab tidak terdapat perbedaan dalam konsep aktualitas apakah proposisi filosofis itu benar atau salah.
3. Karena itu, proposisi filosofis tidak bermakna, karena ia tidak memberikan informasi tentang alam.
4. Berdasarkan itu semua, tidak dibenarkan untuk melukiskan proposisi filosofis sebagai benar atau salah.
Marilah kita ambil sifat yang pertama, yakni tidak mungkin me-neguhkan proposisi filosofis. Hal ini adalah mengulangi apa yang diulang-ulang oleh para pendukung doktrin empirikal pada umumnya. Mereka percaya bahwa pengalaman inderawi adalah sumber primer dan alat tertinggi bagi pengetahuan. Tetapi pengalaman inderawi tidak dapat menerapkan fungsinya pada tingkat filsafat, karena subjek-subjek filsafat itu metafisis dan (karena itu) tidak tunduk kepada eksperimen ilmiah apa pun. Kalau kita menolak doktrin empirikal dan menegaskan adanya pengetahuan primer di lubuk akal manusia yang di atas pengetahuan itu bangunan ilmiah dalam berbagai lapangan pengalaman inderawi ditegakkan, kita dapat meyakinkan (yang lain-lain) tentang potensi dan kemampuan pikiran manusia untuk mempelajari proposisi-proposisi filosofis dan untuk menelitinya berdasarkan pengetahuan primer tersebut dengan cara induksi dan dari yang umum ke yang khusus.
Sedangkan sifat kedua – yakni kita tidak dapat melukiskan kondisi-kondisi, yang dengan kondisi-kondisi itu, jika didapat, proposisi itu akan benar dan, jika tidak, akan salah – masih membutuhkan sedikit penjelasan. Apakah kondisi-kondisi aktual dan hal-hal terinderai yang berkaitan dengan kebenaran proposisi itu? Apakah positivisme menganggap bahwa satu syarat proposisi adalah bahwa isi proposisi itu sendiri terinderai, seperti dalam ucapan: “Dingin akan semakin dingin pada musim dingin, dan hujan akan turun pada musim itu”? Atau apakah cukup bahwa proposisi itu memiliki hal-hal yang terinderai meskipun secara tidak langsung? Jika positivisme mengabaikan setiap proposisi yang tidak terinderai dan bukan merupakan kondisi aktual yang tunduk kepada pengalaman inderawi, tentu bukan hanya proposisi-proposisi filosofis yang diabaikannya, tetapi juga sebagian besar proposisi ilmiah yang tidak mengekspresikan hal-hal yang terinderai, namun mengekspresikan hukum yang diturunkan dari hal-hal yang terinderai seperti hukum gravitasi. Kita menginderai jatuhnya pena dari meja ke tanah, tetapi tidak menginderai gravitasi tanah itu. Jatuhnya pena adalah hal yang terinderai dan berhubungan dengan implikasi ilmiah hukum gravitasi, sementara hukum itu sendiri tidak terinderai secara langsung. Kalau positivisme hanya menerima yang terinderai secara tidak langsung, maka proposisi-proposisi filosofis juga dapat terinderai secara tidak langsung, persis seperti sejumlah proposisi ilmiah. Yakni ada hal-hal terinderai dan kondisi-kondisi aktual yang berhubungan dengan proposisi filosofis. Jika hal-hal dan kondisi-kondisi itu ada, proposisi itu benar; jika tidak, maka salah. Ambillah, sebagai contoh, proposisi filosofis yang mengatakan adanya sebab pertama (prima causa) bagi alam. Meskipun kandungan proposisi ini tidak dapat langsung terinderai, filosof dapat mencapainya melalui hal-hal terinderai yang tidak mungkin dijelaskan secara rasional kecuali dengan sebab pertama – sebagaimana akan dipaparkan dalam pembahasan nanti dalam buku ini.
Satu hal yang mungkin dipermasalahkan positivisme dalam hal ini adalah bahwa derivasi kandungan rasional proposisi filosofis dari hal-hal yang terinderai, tidaklah bertumpu pada dasar empirikal, tetapi atas dasar-dasar rasional. Artinya, pengetahuan rasionallah yang dapat menerangkan hal-hal terinderai dengan mengasumsikan prinsip pertama, dan pengalaman inderawi tidak membuktikan kemustahilan hal-hal terinderai tersebut tanpa prinsip pertama. Jika pengalaman inderawi tidak membuktikan (kemustahilan) ini, tidak mungkin hal-hal itu dianggap bahkan sebagai hal-hal tidak langsung dari proposisi filosofis. Kata-kata itu hanyalah pengulangan doktrin empirikal. Jika, seperti telah kita ketahui sebelumnya, pembentukan paham-paham ilmiah umum dari hal-hal terinderai itu bergantung pada pengetahuan rasional sebelumnya, maka tidak mengapa jika proposisi filosofis itu berhubungan dengan hal-hal terinderai melalui ikatan-ikatan rasional dan berdasarkan pengetahuan sebelumnya.
Sampai di sini kita tidak mendapatkan hal baru dalam positivisme selain yang telah diberikan oleh doktrin empirikal dan paham-pahamnya tentang metafisika filosofis. Namun, sifat yang ketiga tampak sebagai sesuatu yang baru. Sebab positivisme menyatakan di dalamnya bahwa proposisi filosofis tidak memiliki makna apa-apa sama sekali dan bahkan tidak dapat dianggap sebagai proposisi. Tetapi ia mirip dengan proposisi. Kita dapat mengatakan bahwa tuduhan itu adalah pukulan paling keras yang diarahkan kepada filsafat oleh aliran-aliran filosofis doktrin empirikal. Karena itu, mari kita telaah isi tuduhan itu dengan hati-hati. Agar dapat melakukan hal itu, kita harus mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan dengan kata “makna” oleh positivisme dalam kata-kata “proposisi filsafat tidak memiliki makna apa-apa”, meskipun dalam kamus-kamus bahasa, kata “makna” ini dapat dijelaskan.
Terhadap hal itu, Profesor Ayer[43] – tokoh positivisme logika modern di Inggris – menjawab bahwa kata “makna” dalam positivisme berarti gagasan yang kebenaran atau kepalsuannya dapat ditegaskan dalam batas-batas pengalaman inderawi. Karena ini mustahil dalam proposisi filosofis, maka proposisi itu adalah proposisi tanpa makna. Berdasarkan hal itu, ungkapan yang menyatakan “proposisi filosofis tak memiliki makna” sama persis dengan ucapan, “kandungan proposisi filosofis itu tidak tunduk kepada pengalaman inderawi, karena ia berhubungan dengan apa yang ada di luar alam”. Dengan demikian positivisme bermaksud menyatakan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan dan tidak dapat dibantah lagi – yakni bahwa subjek-subjek metafisika filosofis bukanlah empirikal. Tetapi ia tidak memberikan sesuatu yang baru, kecuali pengembangan kata “makna” dan penggabungan pengalaman inderawi dengannya. Namun pelucutan proposisi filosofis dari makna berdasarkan pengembangan kata itu tidaklah bertentangan dengan pernyataan bahwa proposisi filosofis itu memiliki makna dalam penggunaan lain kata itu, yang di dalamnya “pengalaman inderawi” tidak berpadu dengan “makna”.
Saya sendiri tidak tahu apa yang hendak dikatakan oleh Profesor Ayer dan tokoh-tokoh positivisme lainnya tentang proposisi-proposisi yang berhubungan dengan alam, dan yang kebenaran atau kepalsuannya tak dapat dinyatakan dengan pengalaman inderawi. Misalnya, jika kita katakan. “Sisi lain bulan yang tak menghadap ke bumi itu penuh dengan gunung dan lembah”, kita tidak memiliki, barangkali, kemampuan-kemampuan empirikal untuk mengungkapkan benar atau salahnya proposisi tersebut, meskipun ia berbicara tentang alam. Nah, apakah mungkin kita menganggap proposisi itu tuna-makna, sementara kita semua tahu bahwa ilmu pengetahuan sering melontarkan proposisi-proposisi seperti itu untuk ditelaah sebelum ilmu pengetahuan mendapatkan pengalaman inderawi yang pasti berkenaan dengan proposisi-proposisi itu? Ia terus mencari sesuatu yang dapat menjelaskannya, sampai akhirnya berhasil atau gagal menemukan sesuatu itu. Lantas untuk apa semua usaha ilmiah itu, jika setiap proposisi – yang kebenaran atau kepalsuannya tidak terbuktikan oleh pengalaman inderawi – merupakan suatu pernyataan yang tuna-makna?
Dalam hal ini, positivisme mencoba membuat beberapa perbaikan. Ia mengatakan bahwa yang penting adalah kemungkinan logis, bukan kemungkinan aktual. Jadi, setiap proposisi, jika secara teoretis dapat mencapai pengalaman inderawi yang memberikan petunjuk tentangnya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman seperti itu, mempunyai arti dan patut dibahas. Dalam upaya ini kita melihat bahwa positivisme meminjam paham metafisis untuk menyempurnakan struktur doktrin yang dibangunnya untuk menghancurkan metafisika. Paham yang dipinjam itu ialah paham kemungkinan logis, yang dibedakannya dari kemungkinan aktual. Kalau tidak demikian, lantas apa hal-hal yang terinderai dari kemungkinan logis itu? Positivisme berkata bahwa selama pengalaman inderawi tidak mungkin secara real, lantas arti apa yang akan dimiliki kemungkinan logisnya, selain arti metafisikanya yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa atas gambar realitas luar, dan yang dalam perihalnya hal-hal terinderai tak berbeda? Apakah salah kalau kriteria positivisme bagi kata-kata yang dapat dimengerti itu menjadi metafisis pada analisis akhirnya, dan akibatnya menjadi kata-kata yang tak terpahami, menurut positivisme?
Mari kita tinggalkan Profesor Ayer, dan kita ambil kata “makna” dalam arti yang sudah umum, yaitu tanpa membaurkannya dengan “pengalaman inderawi”. Apakah kini kita dapat menilai bahwa proposisi filosofis itu tidak memiliki makna? Tentu saja tidak demikian. Makna adalah konsepsi yang dicerminkan oleh kata dalam pikiran. Proposisi filosofis, dalam benak pendukung dan lawannya juga, mencerminkan konsepsi-konsepsi seperti ini. Selama ada konsepsi yang dilontarkan oleh proposisi filosofis kepada pikiran kita, selama itu pula ada tempat bagi benar dan salah, dan pada gilirannya terdapat pula proposisi sempurna yang pantas bernama (proposisi) dalam arti logika. Nah, jika konsepsi yang dilontarkan oleh proposisi filosofis kepada pikiran kita itu sesuai dengan sesuatu yang objektif di luar batas akal dan kata-kata, tentu proposisi itu benar. Jika tidak, tentu salah. Jadi, benar dan salah – dan pada gilirannya juga ciri logis proposisi itu – bukanlah diberikan oleh pengalaman inderawi sehingga kita dapat mengatakan bahwa proposisi yang tidak tunduk kepada pengalaman inderawi itu tidak dapat disifati benar dan palsu. Tetapi keduanya adalah dua ungkapan dalam bentuk positif atau negatif tentang kesesuaian antara konsep proposisi dalam pikiran dan apa pun yang benar-benar objektif yang berada di luar batas-batas akal dan kata-kata.
Marxisme dan Filsafat
Sikap Marxisme mengenai
filsafat secara esensial mirip dengan sikap positivisme. Marxisme menolak
sepenuhnya filsafat yang lebih tinggi yang dikenakan pada ilmu-ilmu pengetahuan,
dan yang tidak muncul dari ilmu-ilmu pengetahuan itu. Sebab, Marxisme, baik
dalam pandangan maupun metode berpikirnya, adalah empirikal. Karena itu, adalah
wajar jika Marxisme tidak memberikan tempat bagi metafisika dalam
pembahasan-pembahasannya. Dan karena itu, ia memerlukan filsafat ilmiah, yaitu
materialisme dialektis, dan mengklaim bahwa filsafat itu berdasarkan ilmu-ilmu
alam dan menjadi kuat berkat perkembangan ilmiah dalam berbagai bidang. Berkata
Lenin:[44] “Jadi, materialisme dialektis tidak lagi membutuhkan
filsafat yang lebih tinggi daripada ilmu-ilmu lain. Apa yang masih ada pada
filsafat terdahulu adalah teori dan hukum-hukum pikiran, yaitu logika formal
dan dialektika.” [45] Dan berkata Roger Garaudy: [46]
“Tugas teori materialisme tentang pengetahuan tidak akan pernah memutuskan
pemikiran filsafat dari pemikiran ilmiah, dan tidak pula dari aktivitas praktis
historis.”[47]
Meskipun Marxisme terus-menerus menekankan watak ilmiah filsafatnya, dan menolak setiap bentuk metafisika, kita mendapatkan bahwa filsafat Marxisme tidak terbatas pada batasan-batasan ilmiah bagi suatu pembahasan. Hal itu dikarenakan filsafat, yang muncul dari pengalaman ilmiah, melaksanakan fungsinya dalam lapangan ilmiah, dan tidak menyeberang ke lapangan-lapangan lain. Karena itu, bidang filsafat ilmiah, seperti filsafat Marxisme, menurut Marxisme, meskipun lebih luas daripada bidang lain apa pun yang diperuntukkan bagi setiap ilmu pengetahuan, sebab ia dipandu oleh berbagai ilmu pengetahuan, sama sekali tidak boleh lebih luas daripada bidang-bidang ilmiah secara keseluruhan, yakni bidang ilmiah umum yang merupakan alam yang dapat ditundukkan kepada pengalaman inderawi atau observasi empirikal yang terorganisasikan. Jadi, bukanlah kepentingan filsafat ilmiah untuk membicarakan persoalan-persoalan metafisika, dan menegaskan atau menafikannya. Karena sumber-sumber ilmiahnya tidak memberinya (informasi) apa pun mengenai persoalan-persoalan seperti itu. Karena itu proposisi filosofis yang menyatakan “alam memiliki prinsip metafisikal pertama”, bukanlah hak filsafat ilmiah untuk meneguhkan dan menafikannya. Sebab, kandungan proposisi itu berada di luar bidang pengalaman inderawi.
Meskipun demikian, kita melihat bahwa Marxisme memberikan tanggapan negatif terhadap proposisi tersebut. Hal ini menjadikannya menentang batas-batas filsafat ilmiah, dan membuatnya melakukan pembahasan metafisis. Sebab, penafian berkenaan dengan hal-hal metafisikal sama juga dengan peneguhan. Yaitu kedua-duanya adalah bagian dari filsafat metafisika. Dengan demikian, tampaklah kontradiksi antara batasan-batasan yang membatasi Marxisme dalam pembahasan filosofisnya, karena ia dicirikan dengan memiliki filsafat ilmiah, dan oleh langkah pembahasannya ke batas-batas yang lebih luas.
Sesudah Marxisme menghubungkan filsafatnya dengan ilmu pengetahuan, yang menyatakan harus selarasnya hasil-hasil filsafat dengan ilmu-ilmu alam dan partisipasi filsafat dalam perkembangan dan integrasi ilmu pengetahuan, sebagai hasil dari adanya penekanan pada pengalaman inderawi dan kemendalamannya sejalan dengan berlakunya waktu, maka adalah wajar bagi Marxisme untuk menolak setiap perenungan filosofis (mengenai apa pun) di luar ilmu pengetahuan. Hal itu adalah hasil dari kesalahan Marxisme dalam teori tentang pengetahuan dan kepercayaannya pada pengalaman inderawi semata-mata. Sedangkan dalam pandangan doktrin rasional dan kepercayaan akan adanya pengetahuan terdahulu, filsafat bertumpu pada prinsip-prinsip pokok yang pasti, yaitu kepingan-kepingan pengetahuan rasional terdahulu yang pasti dan yang tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Karena itu, kandungan filsafat tidak harus berubah terus-menerus mengikuti penemuan-penemuan empirikal.
Dengan uraian di atas kami tidak bermaksud memutuskan hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Hubungan antara keduanya sangat erat. Karena ilmu pengetahuan kadang-kadang memberikan fakta-fakta tertentu kepada filsafat agar filsafat dapat menerapkan prinsip-prinsipnya pada fakta-fakta itu. Dengan begitu, ia dapat mengemukakan kesimpulan-kesimpulan filsafat baru.[48] Filsafat juga membantu metode empirikal dalam ilmu pengetahuan dengan hukum-hukum dan prinsip-prinsip rasional yang digunakan seorang ilmuwan untuk melangkah dari pengalaman langsung ke hukum ilmiah umum. [49] Karena itu, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan itu kuat. [50] Hanya saja, meskipun demikian, filsafat terkadang tidak membutuhkan pengalaman inderawi sama sekali, tetapi ia menyimpulkan teori filosofis dari pengetahuan rasional terdahulu. [51] Karena itu kita katakan bahwa tidaklah harus bagi kandungan filsafat itu untuk berubah terus-menerus mengikuti pengalaman empirikal, dan tidak harus pula bagi keseluruhan filsafat untuk menyertai prosesi ilmu pengetahuan dalam tahapan perjalanannya.
Meskipun Marxisme terus-menerus menekankan watak ilmiah filsafatnya, dan menolak setiap bentuk metafisika, kita mendapatkan bahwa filsafat Marxisme tidak terbatas pada batasan-batasan ilmiah bagi suatu pembahasan. Hal itu dikarenakan filsafat, yang muncul dari pengalaman ilmiah, melaksanakan fungsinya dalam lapangan ilmiah, dan tidak menyeberang ke lapangan-lapangan lain. Karena itu, bidang filsafat ilmiah, seperti filsafat Marxisme, menurut Marxisme, meskipun lebih luas daripada bidang lain apa pun yang diperuntukkan bagi setiap ilmu pengetahuan, sebab ia dipandu oleh berbagai ilmu pengetahuan, sama sekali tidak boleh lebih luas daripada bidang-bidang ilmiah secara keseluruhan, yakni bidang ilmiah umum yang merupakan alam yang dapat ditundukkan kepada pengalaman inderawi atau observasi empirikal yang terorganisasikan. Jadi, bukanlah kepentingan filsafat ilmiah untuk membicarakan persoalan-persoalan metafisika, dan menegaskan atau menafikannya. Karena sumber-sumber ilmiahnya tidak memberinya (informasi) apa pun mengenai persoalan-persoalan seperti itu. Karena itu proposisi filosofis yang menyatakan “alam memiliki prinsip metafisikal pertama”, bukanlah hak filsafat ilmiah untuk meneguhkan dan menafikannya. Sebab, kandungan proposisi itu berada di luar bidang pengalaman inderawi.
Meskipun demikian, kita melihat bahwa Marxisme memberikan tanggapan negatif terhadap proposisi tersebut. Hal ini menjadikannya menentang batas-batas filsafat ilmiah, dan membuatnya melakukan pembahasan metafisis. Sebab, penafian berkenaan dengan hal-hal metafisikal sama juga dengan peneguhan. Yaitu kedua-duanya adalah bagian dari filsafat metafisika. Dengan demikian, tampaklah kontradiksi antara batasan-batasan yang membatasi Marxisme dalam pembahasan filosofisnya, karena ia dicirikan dengan memiliki filsafat ilmiah, dan oleh langkah pembahasannya ke batas-batas yang lebih luas.
Sesudah Marxisme menghubungkan filsafatnya dengan ilmu pengetahuan, yang menyatakan harus selarasnya hasil-hasil filsafat dengan ilmu-ilmu alam dan partisipasi filsafat dalam perkembangan dan integrasi ilmu pengetahuan, sebagai hasil dari adanya penekanan pada pengalaman inderawi dan kemendalamannya sejalan dengan berlakunya waktu, maka adalah wajar bagi Marxisme untuk menolak setiap perenungan filosofis (mengenai apa pun) di luar ilmu pengetahuan. Hal itu adalah hasil dari kesalahan Marxisme dalam teori tentang pengetahuan dan kepercayaannya pada pengalaman inderawi semata-mata. Sedangkan dalam pandangan doktrin rasional dan kepercayaan akan adanya pengetahuan terdahulu, filsafat bertumpu pada prinsip-prinsip pokok yang pasti, yaitu kepingan-kepingan pengetahuan rasional terdahulu yang pasti dan yang tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Karena itu, kandungan filsafat tidak harus berubah terus-menerus mengikuti penemuan-penemuan empirikal.
Dengan uraian di atas kami tidak bermaksud memutuskan hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Hubungan antara keduanya sangat erat. Karena ilmu pengetahuan kadang-kadang memberikan fakta-fakta tertentu kepada filsafat agar filsafat dapat menerapkan prinsip-prinsipnya pada fakta-fakta itu. Dengan begitu, ia dapat mengemukakan kesimpulan-kesimpulan filsafat baru.[48] Filsafat juga membantu metode empirikal dalam ilmu pengetahuan dengan hukum-hukum dan prinsip-prinsip rasional yang digunakan seorang ilmuwan untuk melangkah dari pengalaman langsung ke hukum ilmiah umum. [49] Karena itu, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan itu kuat. [50] Hanya saja, meskipun demikian, filsafat terkadang tidak membutuhkan pengalaman inderawi sama sekali, tetapi ia menyimpulkan teori filosofis dari pengetahuan rasional terdahulu. [51] Karena itu kita katakan bahwa tidaklah harus bagi kandungan filsafat itu untuk berubah terus-menerus mengikuti pengalaman empirikal, dan tidak harus pula bagi keseluruhan filsafat untuk menyertai prosesi ilmu pengetahuan dalam tahapan perjalanannya.
Catatan:
6. Al-tashawwur (bentuk,
konsepsi).
7. Yaitu, pengetahuan tanpa penilaian. Ini untuk mengatakan bahwa konsepsi adalah penang- kapan suatu objek tanpa menilai objek itu.
8. Al-tashdiq (kepercayaan, penilaian, pembenaran).
9. Bandingkan ini dengan paham Ibnu Sina tentang konsepsi dan tashdiq dalam Ibnu Sina, Remarks and Admonitions, Bagian Pertama, “Logic”, diterjcmahkan oleh Syams C. Inati, Toronto, Ontario, Kanada, Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1984, h. 5-6 dan 49-50.
10. Teks: ka-tashawwurina, yang kami pilih untuk diterjemahkan di sini sebagai “penangkapan” dan bukannya “konsepsi”, seperti yang kami lakukan untuk sebagian besar dalam karya ini. Hal ini karena tak akan menolong untuk mengatakan bahwa konsepsi tercontohkan dalam konsepsi.
11. Teks: ka-tashdiqina, yang kami pilih untuk diterjemahkan di sini sebagai “penilaian” dan bukannya sebagai “pembenaran”, supaya dapat menerangkan dengan lebih baik apa yang dimaksud dengan “pembenaran”.
12. Beberapa fiosof empirisis seperti John Stuart Mill (1806-1873) mempunyai teori khusus tentang tashdiq. Dengan teori khusus itu, mereka mencoba menafsirkan tashdiq dengan dua konsepsi tensosiasi. Pangkal tashdiq adalah hukum-hukum asosiasi ide-ide. Isi jiwa tak lain hanyalah konsepsi tentang subjek dan konsepsi tentang predikat. Namun, pada hakikatnya, asosiasi ide-ide itu berbeda sama sekali dengan watak tashdiq. Terkadang ia terealisasikan pada banyak lapangan yang tidak terdapat tashdiq. Misalnya, konsepsi dalam benak kita tentang tokoh-tokoh sejarah yang dinisbahi oleh mitos-mitos dengan pelbagai jenis heroisme, berkaitan dengan konsepsi tentang aksi-aksi heroik itu. Kedua konsepsi itu lalu terasosiasikan. Padahal, kita kadang sama sekali tidak membenarkan legenda-legenda tersebut. Jadi, tashdiq adaiah unsur baru yang berbeda dengan konsepsi murni. Tidak dibedakannya antara tashdiq dan tashawwur (konsepsi) dalam beberapa studi filsafat modern mendatangkan sejumlah kesalahan, dan membuat beberapa filosof mempelajari persoalan bagaimana menjustifikasi pengetahuan dan persepsi tanpa membuat garis pemisah (pembeda) antara tashawwur dan tashdiq. Anda akan mengetahui bahwa teori Islam tentang pengetahuan memisahkan antan keduanya, dan menjelaskan persoalan pada masing-masing dengan metode khusus.
13. Untuk teori pengetahuan sebagai pengingatan kembali, lihat Plato, Meno 81c, 85d, 98a; Philebus 34c; Theaetetus 198d.
14. Disebut juga archetypes Plato yang merujuk kepada “bentuk-bentuk” atau “ide-ide”. Itu adalah model-model segala sesuatu. Itu ada1ah realitas-realitas imaterial, tetap, dan primer, yang terpisah, tak terbagi, tak berubah dan tak rusak.
15. Rene Descartes, filosof Prancis. Descartes mengingatkan kita kepada Al-Ghazali yang, dalam menuntut pengetahuan tertentu, memulai dengan meragukan segaja sesuatu. Namun jika meragukan segaia sesuatu, ia harus eksis agar dapat ragu; karena ragu adalah satu bentuk berpikir, dan berpikir berarti eksis. “Aku berpikir, karena itu aku eksis” adalah proporsi pertama yang baginya adalah pasti. Lalu ia mencapai pengetahuan bahwa Tuhan ada karena kepastian pengetahuannya tentang dirinya. Tetapi, menurut definisi, Tuhan itu baik. Karena itu, tak mungkin Ia penipu. Maka ide-ide tentang eksistensi suatu dunia eksternal yang dimaujudkan oleh-Nya pada diri kita tentulah benar. Juga, pandangan terkenal Descartes adalah pandangan tentang dualitas jiwa dan raga. Sebab jiwa itu tak bergantung pada raga, ia dapat survive tanpa raga setelah terpisah dari raga. Karena itu, imortalitas itu mungkin. Tu1isan-tulisan pentingnya ialah Discourse on Method, The Meditations, Principles of Philosophy, The Passions of the Soul dan Rules for the Direction of the Mind.
16. Immanuel Kant, filosof Jerman. Posisi Kant merupakan sintesis rasionalisme dan empi- risisme masa itu. Dalam masterpiece-nya, Critique of Pure Reason, “murni” di sini digunakan dalam arti “a priori” – yaitu, apa-apa yang dapat diketahui tanpa melalui pengalaman inderawi. Kant secara kritis menelaah watak nalar. Ia menyimpulkan bahwa tak ada ide-ide fitri – yaitu ide-ide yang diketahui sebelum pengalaman inderawi apa pun. Namun ini tak membuatnya menyimpulkan seperti yang disimpulkan oleh kaum empirisis, yaitu bahwa segenap pengetahuan adalah produk pengalaman inderawi. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang mengola pengalaman kita. Ini berarti bahwa kualitas-kualitas tertentu yang kita persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami sensibilitas dan pemahaman kita. Sensibilitas memberi kita objek-objek yang tak memiliki regularitas apa pun. Lalu pernahaman mengambil alih dan mengorganisasikan pengalaman inderawi kita sebagai pengalaman akan dunia alami. Pandangan Kant sangat jelas. Regularitas alam adalah kontribusi pemahaman kita sendiri. Ia percaya bahwa pemahaman ini memiliki dua belas konsep atau “kategori” yang bukan diturunkan dari pengalaman inderawi. Terlepas dari pengalaman inderawi, konsep-konsep ini hampa, dan tanpa konsep-konsep ini pengalaman inderawi akan kacau dan takkan dapat dipahami. Aplikabilitas konsep-konsep ini terbatas pada lingkungan pengalaman inderawi. Kant menyimpulkan bahwa metafisika spekulatif itu sia-sia, karena ia berusaha menerapkan konsep-konsep ini pada objek-objek yang ada di luar alam empirikal. Namun upaya tak layak seperti itu merupakan suatu kecenderungan alami pikiran manusia.
Kant menulis dua kritik lain, Critique of Practical Reason dan Critique of Judgement, dan juga beberapa karya penting lainnya, seperti Groundwork of Methaphysics of Morals. Namun pemaparan ringkas ini tak mungkin menyinggung ide-ide Kant dalam karya-karya itu. Kami hanya memaparkan secara sekilas pandangan-pandangan utamanya dalam kritik pertama, bukan saja karena merupakan pilar-pilar utama sistem filsafatnya, tetapi juga karena itu adalah yang paling relevan dengan Falsafatuna.
17. Dua belas kategori Kant adalah: (1) kuantitas, yang di bawahnya ada (a) unital, (b) plura- litas dan (c) totalitas; (2) kualitas, yang di bawahnya ada (a) realitas, (b) penafian dan (c) limitasi; (3) hubungan, yang di bawahnya ada (a) inherence dan subsistence (substansi dan widen), (b) kausalitas dan keberuntungan (sebab dan akihat) dan (c) resiprositas komunitas antara agen dan pasien; (4) modalitas, yang di bawahnya ada (a) kemungkinan-kemustahilan, (b) ada-tiada dan (c) keniscayaan-ketakniscayaan (Critique of Pure Reason: Analytic of Concepts, Bab I, B95 dan 106, A70 dan 80).
18. John Locke, filosof Inggris. Ia mengingkari adanya ide-ide fitri – yaitu ide-ide sejak lahir. Menurutnya, sumber segala ide kita adalah pengalaman, yang terdiri atas sensasi dan refleksi. Karya filosofis terkenalnya adalah Essay concerning Human Understanding (1690).
19. George Berkeley, filosof Irlandia. Menurutnya, apa yang disebut Locke sebagai kualitas- kualitas primer atau objektif, seperti jarak, ukuran dan situasi hanya ada dalam benak. Ada berarti ada bagi benak – yaitu menjadi ide, atau menjadi benak. Tulisan-tulisan utamanya: A New Theory of Vision, Treatise concerning the Principles of Human Knowledge dan Three Dialogues between Hylas and Philonous.
20. David Hume adalah filosof asal Skotlandia. Tema sentral filsafatnya begini. Pengalaman terdiri atas kesan dan ide. Kesan lebih hidup daripada, dan sumber, ide. Ada prinsip-prinsip tertentu yang memandu kita dalam mengasosiasi ide-ide. Yaitu persamaan (resemblance), perhampiran (contiguity), serta sebab dan akibat. Pengalaman menghasilkan pada diri kita kebiasaan (custom), yang bertanggung jawab menghubungkan dua peristiwa suksesif secara kausal. Ia membuat pembedaan penting antara hal-hal faktual dan hubungan-hubungan ide-ide. Hanya yang terakhirlah yang melibatkan keniscayaan. Tulisan-tulisan utamanya: Treatise on Human Nature, Enquiry concerning Human Understanding, Enquiry concerning the Principles of Morals, History of England dan Dialogue corcerning Natural Religion.
21. Secara lebih terinci, banyaknya efek menunjukkan: (1) banyaknya agen; (2) banyaknya resipien; (3) tatanan logis di anura efek-efek itu sendiri; atau (4) banyaknya kondisi. Mengenai persoalan kita, tak djragukan bahwa konsepsi, yang sumberya adalah pokok perhatian kita, banyak dan bermacam-macam jenisnya, meskipun agen atau resipiennya tak banyak. Sebab, agen dan resipien konsepsi adalah jiwa, sedangkan jiwa itu simpel. Juga, tak ada tatanan di anura konsepsi-konsepsi. Karena itu, kita tetap harus mengambil penjelasan terakhir, yaitu banyaknya konsepsi bergantung pada kondisi-kondisi eksternal – kondisi-kondisi ini adalah persepsi inderawi yang berbeda-beda.
22. Seperti satu. Tetapi jika ada satu konsepsi fitri sederhana dalam jiwa, timbul pcrtanyaan bagaimana dapat muncul banyak konsepsi dari konsepsi ini. Jika, di lain pihak, jumlah terbatas konsepsi fitri ini paling banyak dua, maka inilah multiplisitas (kebergandaan).
23. Georga Politzer adalah seorang komunis Prancis. Lahir di Hongaria. Pada usia tujuh belas tahun meninggalkan tanah kelahirannya menuju Prancis. Semenjak itu ia menjadi salah seorang Prancis paling patriotik. Ia adalah anggota Partai Komunis Prancis, dan banyak sumbangannya ternadap koran Partai ini, L ‘Humanite. Pada 1940, melalui partainya ia mendorong orang untuk membela Paris melawan orang-orang Jerman. Pada 1941, ia menulis dan mengedarkan sebuah pamflet setebal 45 halaman yang dinamakannya Revolution and Counterrvolution in the Twentieth Century. Pada 1942, ia dipenjarakan bersama dengan 140 orang komunis. Ia dieksekusi pada tahun in juga. Karya utamanya adalah Elementary Principles of Philosophy.
24. Mao Tse Tung dilahirkan di Cina bagian tengah. Pada usia enam tahun, ia mulai bekerja di ladang bersama ayahnya, seorang petani. Ketika berusia delapan tahun, ia masuk SD setempat sampai berusia tiga belas tahun. Setelah melanjutkan pendidikannya di propinsinya sendiri, ia bergabung dengan Partai Komunis di Peking. Ia memimpin perlawanan terhadap Kuomintang di bawah Chiang Kai-shek. Pada 1 Oktober 1949, ia menjadi pemimpin pertama RRC sampai 1959.
25. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 75.
26. Ibid., h. 71-72.
27. Hawl al-Tathbiq, h.11.
28. Ibid., h. 14.
29. Inilah baris-baris yang diingat penulis “....tetap tak ada pada sejumlah contohyang ber- beda dengan setiap contoh yang diduga persis lama, kecuali hanya bahwa setelah mengulang-ulang contoh-contoh yang sama, pikiran menjadi terbiasa, dengan munculnya satu peristiwa, untuk mengharapkan kehadirannya seperti biasa dan percaya bahwa itu ada. Karena itu, hubungan yang kita rasakan dalam pikiran ini, transisi yang sudah biasa yaitu imajinasi dari satu subjek ke kehadirannya seperti biasa, adalah sentimen atau usan yang dari sini kita membentuk ide kekuatan (kekuasaan) atau hubungan niscaya. Tak ada yang lebih jauh dalam kasus ini. Renungkan subjek ini pada segala sisinya, takkan pernah kau dapati sebab lain apa pun bagi ide ini. Inilah pcrbedaan satu-satunya antara satu contoh, yang darinya kita takkan pernah menerima ide hubungan, dan sejumlah contoh serupa, yang melaluinya itu tersugestikan. Pertama kali orang melihat komunikasi gerak melalui impuls, sebagaimana melalui guncangan dua bola biliar, ia tak dapat menyatakan bahwa satu peristiwa itu terhubungkan, tetapi hanya bahwa itu terhubungkan dengan yang lain, Setelab mengamati beberapa contoh alam ini, maka ia menyatakan bahwa itu berhubungan. Pengubahan apa yang telah melahirkan ide baru hubungan ini? Tak ada apa-apa kecuali bahwa ia kini mcrasa bahwa pcristiwa-peristiwa ini berhubungan dalam imajinasinya, dan segera dapat meramalkan adanya yang satu disebabkan adanya yang lain.” (The Enquiry concerning Human Understanding, VII, Edisi 1772, h. 88-89).
30. Yaitu, ide-ide sebab dan akibat, substansi dan aksiden, kemungkinan dan keniscayaan, unitas dan multiplisitas, ada dan tak ada (lihat h. 66 teks asli).
31. Induksi adalah penyimpulan yang mungkin.
32. Silogisme adalah bentuk penalaran yang di dalamnya dua proposisi dengan niscaya me- nyebabkan yang ketiga.
33. Ada empat bentuk mood silogisme kategorikal yang sesuai dengan posisi term tengah dalam premis-premis itu. Bila term tengah adalah subjek dalam premis mayor dan predikat dalam premis minor, kita mendapatkan bentuk pertama. Biia itu predikat dalam kedua premis, kita mendapatkan bentuk kcdua. Bila itu subjek dalam kedua premis, kita mendapatkan bentuk ketiga. Dan bila itu predikat dalam premis mayor dan subjek dalam premis minor, kita mendapatkan bentuk keempat.
34. Masing-masing dari dua pernyataan itu yang bersama-sama menghasilkan sebuah konklusi disebut “premis”.
35. Yaitu, sementara pengalaman dapat menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu tak ada, ia tak dapat menunjukkan kepada kita bahwa tak mungkin sesuatu itu ada.
36. Inilah contoh-contoh hal-hal yang tak ada namun mungkin ada.
37. Inilah contoh-contoh hal-hal yang tak ada dan mustahil ada.
38. Adalah benar-banar aneh apa yang diupayakan oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, yaitu mendasarkan bantahan tadi pada penalaran silogistik, seperti ucapan kita: “Setiap manusia mati. Muhammad adalah manusia. Jadi, Muhammad pasti mati”. Ia berkata bahwa Anda mungkin saja mengatakan, “Tetapi ketika saya membuat generalisasi dalam premis pertama, saya tidak memaksudkan manusia itu individu demi individu, sebab menganggap mereka seperti ini adalah mustahil. Tetapi yang saya maksudkan ialah spesies (manusia) secara umum.” Namun jika ini yang Anda pun, maka bagaimana Anda dapat menerapkan penilaian secara khusus kepada Muhammad. Karena Muhammad bukanlah spesies secara umum itu. Ia ada1ah individu tertentu yang khusus. Jadi, penilaian Anda terhadap Muhammad yang Anda berlaknkan pada spesies secara umum pada hakikatnya adalah silogisme yang salah. (Al-Manthiq Al-Wadh’iy, hal. 250).
Ini adalah kekacauan yang aneh antara maksud awal dan maksud kedua, dalam istilah ahli logika. Sebab penilaian mengenai spesies secara umum berarti: Pertama, penilaian terhadap manusia dicirikan oleh apa yang umum atau oleh spesies manusia itu. Dan adalah jelas bahwa penilaian seperti itu tak mungkin dikhususkan kepada Muhammad, sebab Muhammad tak memiliki kualitas generalitas atau sebagai spesies. Kedua, penilaian atas manusia itu sendiri tidaklah relatif. Yaitu tak berkaitan khusus dengannya. Penilaian seperti ini dapat kita terapkan kepada Muhammad, karena Muhammad adalah manusia. Jadi kata (term) tengahnya memiliki pengertian yang lama yang diulang-ulang pada premis minor dan juga pada premis mayor. Degan demikian, silogisme tersebut dapat menghasilkan kesimpulan.
39. Hawl Al-Tathbiq, h. 14.
40. Ibid., h. 6.
41. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 114.
42. Hawl Al-Tathbiq, h.4.
43. Alfred Ayer, filosof Inggris (1910- ). Seorang empirisis logis. Ia menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang asli itu kalau tak faktual, analitik. Kriteria berartinya pernyataan-pernyataan jenis pcrtama ialah verifiabilitas pernyataan-pernyataan itu. Namun, ia tak sampai seperti kaum positivis logis yang menyatakan bahwa yang dimaksud verifiabilitas adalah penegakan konklusif suatu pernyataan faktual dalam pengalaman, tetapi hanya pernyataan seperti itu dimungkinkan oleh pengalaman. Karya-karya utamanya: Language, Truth and Logic, The Foundarions of Empirical Knowledge, Philosophical Essays dan Philosophy and Language.
44. Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin, pendiri Uni Sovyet (1870-1924). Dibuang dari Rusia pada 1905-1917 karena memimpin revolusi pada 1905. Dari 1918 sampai 1924 menjadi kepala negara dan tokoh teoretisi Marxis. Karya-karya terkenalnya: Materialism and Empirocriticism dan Imperialism, Final Stage of Capitalism.
45. Lenin, Marx, Engels and Marxism, h. 24.
46. Roger Garaudy, Profesor Filsafat pada Poitiers University dan anggota Politbiro Partai Komunis Prancis (1909). Pada 1965, ia berbicara pada sejumlah univenitas Amerika, ter-masuk Harvard, St. Louis dan Temple. Karya terkenalnya: La Liberte en Sursis. (Kini ia telah memeluk Islam dan karya-karyanya tentang Islam telah banyak yang diterjemahklm ke dalam bahasa Indonesia – penerj.).
47. Ma Hiya Al-Madda, h. 46.
48. Ini tercontohkan dalam fakta bahwa ilmu-ilmu alam membuktikan kemungkinan mentransfer elemen-elemen sederhana ke elemen-elemen lebih sederhana. Inilah realitas ilmiah yang menjadi subjek investigasi filsafat, dan kepadanya filsafat menerapkan hukum rasional yang menyatakan bahwa kualitas esensial tak pcrnah absen dari sesuatu ini. Dari sini kita menyimpulkan bahwa bentuk elemen sederhana, seperti bentuk emas, tak esensial bagi materi emas itu; sebab kalau tidak, itu tak dapat dipisahkan darinya. Tetapi, itu adalah kualitas aksidental. Tetapi filsafat melangkah lebih jauh dari ini. Ia menerapkan hukum yang mengatakan bahwa setiap kualitas aksidental memiliki sebab eksternal. Maka, ia berkesimpulan: “Agar materi itu emas, loyang, atau sesuatu lain, ia perlu sebab eksternal.” Ini konklusi filosofis yang bertumpu pada aturan-aturan umum yang dituju oleh metode rasional ketika diterapkan kepada material mentah yang diberikan ilmu kepada filsafat.
49. Contoh-contoh tentang ini sudah dikemukakan sebelumnya. Kita melihat betapa teori ilmiah, yang menyatakan bahwa gerak itu sebab atau substansi panas, memerlukan sejumlah prinsip-prinsip rasional primer.
50. Agar dapat dikatakan berdasarkan apa yang telah kita tentukan – tak seperti tendensi umum yang kita ikuti dalam buku ini – bahwa tak ada garis pemisah antara hukum-hukum filsafat dan hukum-hukum ilmu. Garis pembagi seperti itu tercontohkan dalam pernyataan: “Setiap hukum yang bertumpu pada dasar-dasar rasional itu filosofis, sedangkan setiap hukum yang bertumpu pada dasar-dasar empirik itu ilmiah.” Sebab kita tahu dengan jelas bahwa dasar-dasar rasional dan pengalaman inderawi menyatu dalam sejumlah proposisi filosofis dan ilmiah. Hukum ilmiah itu bukan produk pengalaman inderawi saja, ia juga produk diterapkannya prinsip-prinsip rasional kepada kandungan pengalaman ilmiah. Hukum filsafat juga tak mungkin tak memerlukan pengalaman inderawi. Tetapi pengalaman ilmiah dapat menjadi subjek investigasi filsafat atau premi. minor dalam silogisme, seperti diajarkan logika Aristoteles. Beda antara filsafat dan ilmu adalah bahwa filsafat dapat tak memerlukan premis minor empirik, dan juga tak pcrlu meminjam material mentah dari pengalaman inderawi – seperti akan segera kami paparkan. Sementara itu, ilmu memerlukan pengalaman empirik terorganisasikan untuk segenap hukumnya.
51. Contohnya adalah hukum keterbatasan, yang menyatakan bahwa sebab itu ada batasnya. Ketika filsafat mengakui hukum ini, ia merasa tak memerlukan pengalaman ilmiah apa pun. Tetapi ia menariknya dari prinsip-prinsip rasional primer, meskipun secara tak langsung.
7. Yaitu, pengetahuan tanpa penilaian. Ini untuk mengatakan bahwa konsepsi adalah penang- kapan suatu objek tanpa menilai objek itu.
8. Al-tashdiq (kepercayaan, penilaian, pembenaran).
9. Bandingkan ini dengan paham Ibnu Sina tentang konsepsi dan tashdiq dalam Ibnu Sina, Remarks and Admonitions, Bagian Pertama, “Logic”, diterjcmahkan oleh Syams C. Inati, Toronto, Ontario, Kanada, Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1984, h. 5-6 dan 49-50.
10. Teks: ka-tashawwurina, yang kami pilih untuk diterjemahkan di sini sebagai “penangkapan” dan bukannya “konsepsi”, seperti yang kami lakukan untuk sebagian besar dalam karya ini. Hal ini karena tak akan menolong untuk mengatakan bahwa konsepsi tercontohkan dalam konsepsi.
11. Teks: ka-tashdiqina, yang kami pilih untuk diterjemahkan di sini sebagai “penilaian” dan bukannya sebagai “pembenaran”, supaya dapat menerangkan dengan lebih baik apa yang dimaksud dengan “pembenaran”.
12. Beberapa fiosof empirisis seperti John Stuart Mill (1806-1873) mempunyai teori khusus tentang tashdiq. Dengan teori khusus itu, mereka mencoba menafsirkan tashdiq dengan dua konsepsi tensosiasi. Pangkal tashdiq adalah hukum-hukum asosiasi ide-ide. Isi jiwa tak lain hanyalah konsepsi tentang subjek dan konsepsi tentang predikat. Namun, pada hakikatnya, asosiasi ide-ide itu berbeda sama sekali dengan watak tashdiq. Terkadang ia terealisasikan pada banyak lapangan yang tidak terdapat tashdiq. Misalnya, konsepsi dalam benak kita tentang tokoh-tokoh sejarah yang dinisbahi oleh mitos-mitos dengan pelbagai jenis heroisme, berkaitan dengan konsepsi tentang aksi-aksi heroik itu. Kedua konsepsi itu lalu terasosiasikan. Padahal, kita kadang sama sekali tidak membenarkan legenda-legenda tersebut. Jadi, tashdiq adaiah unsur baru yang berbeda dengan konsepsi murni. Tidak dibedakannya antara tashdiq dan tashawwur (konsepsi) dalam beberapa studi filsafat modern mendatangkan sejumlah kesalahan, dan membuat beberapa filosof mempelajari persoalan bagaimana menjustifikasi pengetahuan dan persepsi tanpa membuat garis pemisah (pembeda) antara tashawwur dan tashdiq. Anda akan mengetahui bahwa teori Islam tentang pengetahuan memisahkan antan keduanya, dan menjelaskan persoalan pada masing-masing dengan metode khusus.
13. Untuk teori pengetahuan sebagai pengingatan kembali, lihat Plato, Meno 81c, 85d, 98a; Philebus 34c; Theaetetus 198d.
14. Disebut juga archetypes Plato yang merujuk kepada “bentuk-bentuk” atau “ide-ide”. Itu adalah model-model segala sesuatu. Itu ada1ah realitas-realitas imaterial, tetap, dan primer, yang terpisah, tak terbagi, tak berubah dan tak rusak.
15. Rene Descartes, filosof Prancis. Descartes mengingatkan kita kepada Al-Ghazali yang, dalam menuntut pengetahuan tertentu, memulai dengan meragukan segaja sesuatu. Namun jika meragukan segaia sesuatu, ia harus eksis agar dapat ragu; karena ragu adalah satu bentuk berpikir, dan berpikir berarti eksis. “Aku berpikir, karena itu aku eksis” adalah proporsi pertama yang baginya adalah pasti. Lalu ia mencapai pengetahuan bahwa Tuhan ada karena kepastian pengetahuannya tentang dirinya. Tetapi, menurut definisi, Tuhan itu baik. Karena itu, tak mungkin Ia penipu. Maka ide-ide tentang eksistensi suatu dunia eksternal yang dimaujudkan oleh-Nya pada diri kita tentulah benar. Juga, pandangan terkenal Descartes adalah pandangan tentang dualitas jiwa dan raga. Sebab jiwa itu tak bergantung pada raga, ia dapat survive tanpa raga setelah terpisah dari raga. Karena itu, imortalitas itu mungkin. Tu1isan-tulisan pentingnya ialah Discourse on Method, The Meditations, Principles of Philosophy, The Passions of the Soul dan Rules for the Direction of the Mind.
16. Immanuel Kant, filosof Jerman. Posisi Kant merupakan sintesis rasionalisme dan empi- risisme masa itu. Dalam masterpiece-nya, Critique of Pure Reason, “murni” di sini digunakan dalam arti “a priori” – yaitu, apa-apa yang dapat diketahui tanpa melalui pengalaman inderawi. Kant secara kritis menelaah watak nalar. Ia menyimpulkan bahwa tak ada ide-ide fitri – yaitu ide-ide yang diketahui sebelum pengalaman inderawi apa pun. Namun ini tak membuatnya menyimpulkan seperti yang disimpulkan oleh kaum empirisis, yaitu bahwa segenap pengetahuan adalah produk pengalaman inderawi. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang mengola pengalaman kita. Ini berarti bahwa kualitas-kualitas tertentu yang kita persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami sensibilitas dan pemahaman kita. Sensibilitas memberi kita objek-objek yang tak memiliki regularitas apa pun. Lalu pernahaman mengambil alih dan mengorganisasikan pengalaman inderawi kita sebagai pengalaman akan dunia alami. Pandangan Kant sangat jelas. Regularitas alam adalah kontribusi pemahaman kita sendiri. Ia percaya bahwa pemahaman ini memiliki dua belas konsep atau “kategori” yang bukan diturunkan dari pengalaman inderawi. Terlepas dari pengalaman inderawi, konsep-konsep ini hampa, dan tanpa konsep-konsep ini pengalaman inderawi akan kacau dan takkan dapat dipahami. Aplikabilitas konsep-konsep ini terbatas pada lingkungan pengalaman inderawi. Kant menyimpulkan bahwa metafisika spekulatif itu sia-sia, karena ia berusaha menerapkan konsep-konsep ini pada objek-objek yang ada di luar alam empirikal. Namun upaya tak layak seperti itu merupakan suatu kecenderungan alami pikiran manusia.
Kant menulis dua kritik lain, Critique of Practical Reason dan Critique of Judgement, dan juga beberapa karya penting lainnya, seperti Groundwork of Methaphysics of Morals. Namun pemaparan ringkas ini tak mungkin menyinggung ide-ide Kant dalam karya-karya itu. Kami hanya memaparkan secara sekilas pandangan-pandangan utamanya dalam kritik pertama, bukan saja karena merupakan pilar-pilar utama sistem filsafatnya, tetapi juga karena itu adalah yang paling relevan dengan Falsafatuna.
17. Dua belas kategori Kant adalah: (1) kuantitas, yang di bawahnya ada (a) unital, (b) plura- litas dan (c) totalitas; (2) kualitas, yang di bawahnya ada (a) realitas, (b) penafian dan (c) limitasi; (3) hubungan, yang di bawahnya ada (a) inherence dan subsistence (substansi dan widen), (b) kausalitas dan keberuntungan (sebab dan akihat) dan (c) resiprositas komunitas antara agen dan pasien; (4) modalitas, yang di bawahnya ada (a) kemungkinan-kemustahilan, (b) ada-tiada dan (c) keniscayaan-ketakniscayaan (Critique of Pure Reason: Analytic of Concepts, Bab I, B95 dan 106, A70 dan 80).
18. John Locke, filosof Inggris. Ia mengingkari adanya ide-ide fitri – yaitu ide-ide sejak lahir. Menurutnya, sumber segala ide kita adalah pengalaman, yang terdiri atas sensasi dan refleksi. Karya filosofis terkenalnya adalah Essay concerning Human Understanding (1690).
19. George Berkeley, filosof Irlandia. Menurutnya, apa yang disebut Locke sebagai kualitas- kualitas primer atau objektif, seperti jarak, ukuran dan situasi hanya ada dalam benak. Ada berarti ada bagi benak – yaitu menjadi ide, atau menjadi benak. Tulisan-tulisan utamanya: A New Theory of Vision, Treatise concerning the Principles of Human Knowledge dan Three Dialogues between Hylas and Philonous.
20. David Hume adalah filosof asal Skotlandia. Tema sentral filsafatnya begini. Pengalaman terdiri atas kesan dan ide. Kesan lebih hidup daripada, dan sumber, ide. Ada prinsip-prinsip tertentu yang memandu kita dalam mengasosiasi ide-ide. Yaitu persamaan (resemblance), perhampiran (contiguity), serta sebab dan akibat. Pengalaman menghasilkan pada diri kita kebiasaan (custom), yang bertanggung jawab menghubungkan dua peristiwa suksesif secara kausal. Ia membuat pembedaan penting antara hal-hal faktual dan hubungan-hubungan ide-ide. Hanya yang terakhirlah yang melibatkan keniscayaan. Tulisan-tulisan utamanya: Treatise on Human Nature, Enquiry concerning Human Understanding, Enquiry concerning the Principles of Morals, History of England dan Dialogue corcerning Natural Religion.
21. Secara lebih terinci, banyaknya efek menunjukkan: (1) banyaknya agen; (2) banyaknya resipien; (3) tatanan logis di anura efek-efek itu sendiri; atau (4) banyaknya kondisi. Mengenai persoalan kita, tak djragukan bahwa konsepsi, yang sumberya adalah pokok perhatian kita, banyak dan bermacam-macam jenisnya, meskipun agen atau resipiennya tak banyak. Sebab, agen dan resipien konsepsi adalah jiwa, sedangkan jiwa itu simpel. Juga, tak ada tatanan di anura konsepsi-konsepsi. Karena itu, kita tetap harus mengambil penjelasan terakhir, yaitu banyaknya konsepsi bergantung pada kondisi-kondisi eksternal – kondisi-kondisi ini adalah persepsi inderawi yang berbeda-beda.
22. Seperti satu. Tetapi jika ada satu konsepsi fitri sederhana dalam jiwa, timbul pcrtanyaan bagaimana dapat muncul banyak konsepsi dari konsepsi ini. Jika, di lain pihak, jumlah terbatas konsepsi fitri ini paling banyak dua, maka inilah multiplisitas (kebergandaan).
23. Georga Politzer adalah seorang komunis Prancis. Lahir di Hongaria. Pada usia tujuh belas tahun meninggalkan tanah kelahirannya menuju Prancis. Semenjak itu ia menjadi salah seorang Prancis paling patriotik. Ia adalah anggota Partai Komunis Prancis, dan banyak sumbangannya ternadap koran Partai ini, L ‘Humanite. Pada 1940, melalui partainya ia mendorong orang untuk membela Paris melawan orang-orang Jerman. Pada 1941, ia menulis dan mengedarkan sebuah pamflet setebal 45 halaman yang dinamakannya Revolution and Counterrvolution in the Twentieth Century. Pada 1942, ia dipenjarakan bersama dengan 140 orang komunis. Ia dieksekusi pada tahun in juga. Karya utamanya adalah Elementary Principles of Philosophy.
24. Mao Tse Tung dilahirkan di Cina bagian tengah. Pada usia enam tahun, ia mulai bekerja di ladang bersama ayahnya, seorang petani. Ketika berusia delapan tahun, ia masuk SD setempat sampai berusia tiga belas tahun. Setelah melanjutkan pendidikannya di propinsinya sendiri, ia bergabung dengan Partai Komunis di Peking. Ia memimpin perlawanan terhadap Kuomintang di bawah Chiang Kai-shek. Pada 1 Oktober 1949, ia menjadi pemimpin pertama RRC sampai 1959.
25. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 75.
26. Ibid., h. 71-72.
27. Hawl al-Tathbiq, h.11.
28. Ibid., h. 14.
29. Inilah baris-baris yang diingat penulis “....tetap tak ada pada sejumlah contohyang ber- beda dengan setiap contoh yang diduga persis lama, kecuali hanya bahwa setelah mengulang-ulang contoh-contoh yang sama, pikiran menjadi terbiasa, dengan munculnya satu peristiwa, untuk mengharapkan kehadirannya seperti biasa dan percaya bahwa itu ada. Karena itu, hubungan yang kita rasakan dalam pikiran ini, transisi yang sudah biasa yaitu imajinasi dari satu subjek ke kehadirannya seperti biasa, adalah sentimen atau usan yang dari sini kita membentuk ide kekuatan (kekuasaan) atau hubungan niscaya. Tak ada yang lebih jauh dalam kasus ini. Renungkan subjek ini pada segala sisinya, takkan pernah kau dapati sebab lain apa pun bagi ide ini. Inilah pcrbedaan satu-satunya antara satu contoh, yang darinya kita takkan pernah menerima ide hubungan, dan sejumlah contoh serupa, yang melaluinya itu tersugestikan. Pertama kali orang melihat komunikasi gerak melalui impuls, sebagaimana melalui guncangan dua bola biliar, ia tak dapat menyatakan bahwa satu peristiwa itu terhubungkan, tetapi hanya bahwa itu terhubungkan dengan yang lain, Setelab mengamati beberapa contoh alam ini, maka ia menyatakan bahwa itu berhubungan. Pengubahan apa yang telah melahirkan ide baru hubungan ini? Tak ada apa-apa kecuali bahwa ia kini mcrasa bahwa pcristiwa-peristiwa ini berhubungan dalam imajinasinya, dan segera dapat meramalkan adanya yang satu disebabkan adanya yang lain.” (The Enquiry concerning Human Understanding, VII, Edisi 1772, h. 88-89).
30. Yaitu, ide-ide sebab dan akibat, substansi dan aksiden, kemungkinan dan keniscayaan, unitas dan multiplisitas, ada dan tak ada (lihat h. 66 teks asli).
31. Induksi adalah penyimpulan yang mungkin.
32. Silogisme adalah bentuk penalaran yang di dalamnya dua proposisi dengan niscaya me- nyebabkan yang ketiga.
33. Ada empat bentuk mood silogisme kategorikal yang sesuai dengan posisi term tengah dalam premis-premis itu. Bila term tengah adalah subjek dalam premis mayor dan predikat dalam premis minor, kita mendapatkan bentuk pertama. Biia itu predikat dalam kedua premis, kita mendapatkan bentuk kcdua. Bila itu subjek dalam kedua premis, kita mendapatkan bentuk ketiga. Dan bila itu predikat dalam premis mayor dan subjek dalam premis minor, kita mendapatkan bentuk keempat.
34. Masing-masing dari dua pernyataan itu yang bersama-sama menghasilkan sebuah konklusi disebut “premis”.
35. Yaitu, sementara pengalaman dapat menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu tak ada, ia tak dapat menunjukkan kepada kita bahwa tak mungkin sesuatu itu ada.
36. Inilah contoh-contoh hal-hal yang tak ada namun mungkin ada.
37. Inilah contoh-contoh hal-hal yang tak ada dan mustahil ada.
38. Adalah benar-banar aneh apa yang diupayakan oleh Dr. Zaki Najib Mahmud, yaitu mendasarkan bantahan tadi pada penalaran silogistik, seperti ucapan kita: “Setiap manusia mati. Muhammad adalah manusia. Jadi, Muhammad pasti mati”. Ia berkata bahwa Anda mungkin saja mengatakan, “Tetapi ketika saya membuat generalisasi dalam premis pertama, saya tidak memaksudkan manusia itu individu demi individu, sebab menganggap mereka seperti ini adalah mustahil. Tetapi yang saya maksudkan ialah spesies (manusia) secara umum.” Namun jika ini yang Anda pun, maka bagaimana Anda dapat menerapkan penilaian secara khusus kepada Muhammad. Karena Muhammad bukanlah spesies secara umum itu. Ia ada1ah individu tertentu yang khusus. Jadi, penilaian Anda terhadap Muhammad yang Anda berlaknkan pada spesies secara umum pada hakikatnya adalah silogisme yang salah. (Al-Manthiq Al-Wadh’iy, hal. 250).
Ini adalah kekacauan yang aneh antara maksud awal dan maksud kedua, dalam istilah ahli logika. Sebab penilaian mengenai spesies secara umum berarti: Pertama, penilaian terhadap manusia dicirikan oleh apa yang umum atau oleh spesies manusia itu. Dan adalah jelas bahwa penilaian seperti itu tak mungkin dikhususkan kepada Muhammad, sebab Muhammad tak memiliki kualitas generalitas atau sebagai spesies. Kedua, penilaian atas manusia itu sendiri tidaklah relatif. Yaitu tak berkaitan khusus dengannya. Penilaian seperti ini dapat kita terapkan kepada Muhammad, karena Muhammad adalah manusia. Jadi kata (term) tengahnya memiliki pengertian yang lama yang diulang-ulang pada premis minor dan juga pada premis mayor. Degan demikian, silogisme tersebut dapat menghasilkan kesimpulan.
39. Hawl Al-Tathbiq, h. 14.
40. Ibid., h. 6.
41. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 114.
42. Hawl Al-Tathbiq, h.4.
43. Alfred Ayer, filosof Inggris (1910- ). Seorang empirisis logis. Ia menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang asli itu kalau tak faktual, analitik. Kriteria berartinya pernyataan-pernyataan jenis pcrtama ialah verifiabilitas pernyataan-pernyataan itu. Namun, ia tak sampai seperti kaum positivis logis yang menyatakan bahwa yang dimaksud verifiabilitas adalah penegakan konklusif suatu pernyataan faktual dalam pengalaman, tetapi hanya pernyataan seperti itu dimungkinkan oleh pengalaman. Karya-karya utamanya: Language, Truth and Logic, The Foundarions of Empirical Knowledge, Philosophical Essays dan Philosophy and Language.
44. Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin, pendiri Uni Sovyet (1870-1924). Dibuang dari Rusia pada 1905-1917 karena memimpin revolusi pada 1905. Dari 1918 sampai 1924 menjadi kepala negara dan tokoh teoretisi Marxis. Karya-karya terkenalnya: Materialism and Empirocriticism dan Imperialism, Final Stage of Capitalism.
45. Lenin, Marx, Engels and Marxism, h. 24.
46. Roger Garaudy, Profesor Filsafat pada Poitiers University dan anggota Politbiro Partai Komunis Prancis (1909). Pada 1965, ia berbicara pada sejumlah univenitas Amerika, ter-masuk Harvard, St. Louis dan Temple. Karya terkenalnya: La Liberte en Sursis. (Kini ia telah memeluk Islam dan karya-karyanya tentang Islam telah banyak yang diterjemahklm ke dalam bahasa Indonesia – penerj.).
47. Ma Hiya Al-Madda, h. 46.
48. Ini tercontohkan dalam fakta bahwa ilmu-ilmu alam membuktikan kemungkinan mentransfer elemen-elemen sederhana ke elemen-elemen lebih sederhana. Inilah realitas ilmiah yang menjadi subjek investigasi filsafat, dan kepadanya filsafat menerapkan hukum rasional yang menyatakan bahwa kualitas esensial tak pcrnah absen dari sesuatu ini. Dari sini kita menyimpulkan bahwa bentuk elemen sederhana, seperti bentuk emas, tak esensial bagi materi emas itu; sebab kalau tidak, itu tak dapat dipisahkan darinya. Tetapi, itu adalah kualitas aksidental. Tetapi filsafat melangkah lebih jauh dari ini. Ia menerapkan hukum yang mengatakan bahwa setiap kualitas aksidental memiliki sebab eksternal. Maka, ia berkesimpulan: “Agar materi itu emas, loyang, atau sesuatu lain, ia perlu sebab eksternal.” Ini konklusi filosofis yang bertumpu pada aturan-aturan umum yang dituju oleh metode rasional ketika diterapkan kepada material mentah yang diberikan ilmu kepada filsafat.
49. Contoh-contoh tentang ini sudah dikemukakan sebelumnya. Kita melihat betapa teori ilmiah, yang menyatakan bahwa gerak itu sebab atau substansi panas, memerlukan sejumlah prinsip-prinsip rasional primer.
50. Agar dapat dikatakan berdasarkan apa yang telah kita tentukan – tak seperti tendensi umum yang kita ikuti dalam buku ini – bahwa tak ada garis pemisah antara hukum-hukum filsafat dan hukum-hukum ilmu. Garis pembagi seperti itu tercontohkan dalam pernyataan: “Setiap hukum yang bertumpu pada dasar-dasar rasional itu filosofis, sedangkan setiap hukum yang bertumpu pada dasar-dasar empirik itu ilmiah.” Sebab kita tahu dengan jelas bahwa dasar-dasar rasional dan pengalaman inderawi menyatu dalam sejumlah proposisi filosofis dan ilmiah. Hukum ilmiah itu bukan produk pengalaman inderawi saja, ia juga produk diterapkannya prinsip-prinsip rasional kepada kandungan pengalaman ilmiah. Hukum filsafat juga tak mungkin tak memerlukan pengalaman inderawi. Tetapi pengalaman ilmiah dapat menjadi subjek investigasi filsafat atau premi. minor dalam silogisme, seperti diajarkan logika Aristoteles. Beda antara filsafat dan ilmu adalah bahwa filsafat dapat tak memerlukan premis minor empirik, dan juga tak pcrlu meminjam material mentah dari pengalaman inderawi – seperti akan segera kami paparkan. Sementara itu, ilmu memerlukan pengalaman empirik terorganisasikan untuk segenap hukumnya.
51. Contohnya adalah hukum keterbatasan, yang menyatakan bahwa sebab itu ada batasnya. Ketika filsafat mengakui hukum ini, ia merasa tak memerlukan pengalaman ilmiah apa pun. Tetapi ia menariknya dari prinsip-prinsip rasional primer, meskipun secara tak langsung.
Sumber: Sayyid Muhammad Baqir as Shadr,
FALSAFATUNA
|
Penerjemah : M. Nur
Mufid bin Ali
|
Penerbit : Mizan
|
Tahun Penerbitan : Jumada
Al-Awwal 1415/Oktober 1994
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar