Sabtu, 12 September 2015

Syi’ah, Peradaban, dan Sains



Oleh Prof. Dr. Sulaiman Dunya (Guru Besar Filsafat dari Fakultas Usuluddin di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir)

“Agar terjalin pertalian antara Syi’ah dan Sunni atas dasar prinsip-prinsip persaudaraan, pertalian cinta-kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini”

Segala puji dan syukur hanya kepada Allah; Tuhan alam semesta. Shalawat dan salam atas Rasulullah, sebaik-baiknya makhluk, dan atas keluarganya yang suci nan mulia, serta atas segenap sahabatnya.

Amma ba'du. Beberapa waktu yang lalu, saya telah menulis sebuah risalah sederhana di bawah judul “Antara Syi’ah dan Sunni”; risalah yang menyimpan harapan yang besar dan keinginan yang kuat agar terjalin pertalian antara Syi’ah dan Sunni atas dasar prinsip-prinsip persaudaraan, pertalian cinta-kasih dan solidaritas, sekaligus mencerabut benih-benih perpecahan yang telah ditanamkan oleh musuh-musuh kedua mazhab ini ke dalam jiwa-jiwa setiap penganutnya. Masih di dalam risalah yang sama, saya menyerukan supaya setiap mazhab memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa hanya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti.

Telah saya katakan di sana, bahwa bila semangat yang kita warisi dari orang-orang soleh kita yang terdahulu itu telah menekankan keharusan komitmen pada kebenaran di mana pun, dan menerangkan bahwa kebenaran adalah pusaka berharga seorang mukmin yang hilang yang akan ia ambil di mana pun ia menemukannya, meskipun jatuh dari mulut orang kafir. Mereka menegaskan kepada kita bahwa orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia juga akan mengenal orang-orang yang benar.

Oleh karena itu, telah menjadi keharusan atas kita sebagai generasi penerus mereka, supaya senantiasa mencari kebenaran, berpegang teguh padanya, mempersiapkan diri dalam rangka menyampaikan pesan-pesannya dan bergerak di sekitar porosnya, tanpa lagi memandang siapa yang menyerukannya kepada kita.

Tentunya, dapat dimaklumi oleh orang-orang yang berakal bahwa perkara-perkara yang secara yakin masih belum diketahui selalu menjadi titik silang pendapat. Begitu pula, sikap saling menghormati setiap pendapat oleh setiap pengkaji dalam segala persoalan yang membuka pelbagai macam benturan pemikiran adalah sebuah keharusan dan tuntutan. Maka itu, mereka dapat berselisih pandangan dan, pada saat yang sama, duduk sejajar sebagai sahabat-sahabat yang baik.

Semoga Allah swt. melimpahkan rahmat kepada seseorang yang mengatakan: "Selisih pendapat tidaklah mengancam jalinan cinta". Sesungguhnya Islam adalah agama yang menjunjung semangat toleransi dan keterbukaan sebegitu tingginya. Al-Quran menyatakan: "Dan berserulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan sebaik-baiknya cara". Maka, bila seseorang ingin menikmati kebebasan dirinya dan mengekspresikan hasil-hasil kajian dan pikirannya, tidaklah sepatutnya memungkiri hak kebebasan pada orang lain untuk berbicara dan mengungkapkan hasil-hasil pemikiran dan pencarian intelektualnya.

Dan cukuplah sebuah kebanggaan bagi kaum Muslim tatkala mereka bersatu dan mufakat di atas prinsip-prinsip agama. Tampak begitu jelas; bagaimana prinsip ketuhanan menempati puncak sakralitas di dalam jiwa-jiwa Muslim, bagaimana prinsip Hari Kebangkitan, prinsip Kenabian dan kebergantungan umat manusia kepada prinsip-prinsip ini serta penutupan silsilah kenabian oleh Tuan umat manusia, Muhammad bin Abdillah saw., bagaimana mereka semua mempercayai kebenaran Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. Semua prinsip kepercayaan agama ini terpatri kuat di dalam dada dan jiwa segenap umat Islam.

Kehormatan dan sakralitas tiap-tiap prinsip itu tak terimbangi oleh sakralitas dan fanatisme agama apapun pada jiwa para penganutnya. Semua di atas tadi telah saya sampaikan bahkan lebih intensif lagi dalam risalah sederhana "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah (Sunni)", meskipun di dalam risalah ini saya belum sempat menuliskan apa yang ingin aku ungkapkan lantaran pertimbangan kondisi proses penyetakan kala itu.

Dan kini adalah sebuah kebahagiaan besar bagi saya; yaitu diberi kesempatan guna membubuhkan kata pengantar untuk sebuah karya Sayyid Hasan Abu Muhammad, yang berjudul "Peradaban Syi’ah dan Ilmu Keislaman". Di dalamnya, beliau membuka sebentang cakrawala yang barangkali masih asing bagi kebanyakan masyarakat Sunni.

Pada mulanya, saya ingin sekali mempelajari buku ini secara objektif, sehingga berdasarkan sejumlah data dan argumentasi, akan tampak jelas nilai kebenaran duduk persoalan yang tengah diupayakan oleh penulisnya untuk ditangani. Namun, saya mendapatkan buku ini justru di atas kapasitas dan kualifikasi saya sendiri, sebab penulis ra. memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan kekayaan data yang melimpah, sehingga beliau mampu memetakan semua ilmu-ilmu Islam dan Arab, memberikan klaim dan penilaian selayaknya seorang yang menguasai seluk beluknya, menggali kandungan rahasianya, membongkar faktor-faktor kelahirannya dan melacak tahaptahap perkembangannya.

Pada dasarnya, setiap jenjang ilmiah di atas menuntut keterlibatan sejumlah kelompok pakar dalam setiap ilmu tersebut, sehingga masing-masing pakar meneliti materi penelitiannya, lalu penulis yang mulia menerimanya atas dasar bukti, sebagaimana ia pun dapat menolaknya atas dasar bukti pula. Dan seandainya saya tidak lagi sempat berkecimpung di bidang ini dan mencermati subjek buku ini secara kritis lantaran kepercayaan saya pada kesungguhan para pakar yang begitu besar dalam mempelajari buku ini, tentu saya akan kecewa bila saja saya kehilangan kesempatan guna menorehkan sebuah kalimat yang saya anggap sebagai pendalaman atas apa yang telah tertulis di dalam risalah saya; "Antara Syi’ah dan Ahli Sunnah". Kalimat itu ialah bahwa penulis yang mulia ra. mengklaim Syi’ah sebagai pelopor dalam merintis ilmu-ilmu agama dan Arab, lalu beliau membawakan bukti-bukti pendukung. Oleh sebab itu, buku ini berkisar pada penguraian klaim ini dan pemaparan argumentasinya.

Sementara di hadapan klaim tersebut, pembaca berada di antara dua sikap: Sikap pertama adalah sikap kaum pelajar, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap peletak dan penggagas suatu bidang ilmu, dan hanya sibuk mempelajari materi-materi ilmu itu sendiri. Bagi mereka, tidaklah penting identitas para penggagas ilmu-ilmu; apakah ilmu itu hasil kreativitas Muslim Syi’ah saja, atau hasil kreativitas Muslim Sunni saja, atau hasil kerja sama mereka berdua.

Sikap kedua adalah sikap kaum terpelajar, yaitu mereka yang selain mempelajari ilmu-ilmu itu sendiri, juga mengamati kelahiran dan para penggagasnya serta tahap-tahap perkembangan yang dilaluinya. Karena, semua bidang ilmu mempunyai awal pembentukan dan perumusannya, persis dengan awal kelahiran tokoh-tokoh besar. Maka dari itu, setiap ilmu memiliki latar belakang sejarah sebagaimana akar sejarah kelahiran para tokoh besar tersebut.

Kepada kaum terpelajar saya katakan, bahwasanya buku ini merupakan usaha keras yang patut disyukuri. Penulisnya telah mengetengahkan buku tersebut kepada dunia Islam sebagai langkah partisipasi dalam mengemban tugas yang semestinya dipikul oleh para ulama Islam. Itulah sejarah ilmu-ilmu keislaman dan sejarah ilmu-ilmu lain yang diturunkannya.

Untuk itu, tidaklah pantas membalas budi usaha keras dan besar ini dengan cara pandang yang dangkal yang berdasar pada sikap acuh atau sinis. Tidaklah sepatutnya kita mengatakan, misalnya, bahwa usaha ini hanyalah fanatisme, atau penantangan, atau apa saja yang senada dengan kata-kata ini, sebagaimana yang digunakan sebagai alasan pembenaran diri oleh orang yang tidakmenginginkan dirinya terlibat di dalam jerih penelitian.

Sekali lagi, tidaklah sepatutnya kita beranggapan bahwa hanya ini, tidak ada selainnya. Sebab, tidak ada alasan untuk bersikap fanatik, pun tidak ada dalih untuk berlaga menantang, karena Syi’ah sebagaimana Sunni; mereka adalah Muslimin. Perselisihan pendapat mereka dengan Sunni hanya seputar persoalan-persoalan yang masih berada di bawah dataran prinsip agama. Maka itu, Syi’ah adalah saudara Muslim seiman, dan kepeloporan mereka dalam merintis sebagian bidang ilmu tak ubahnya dengan keunggulan seorang saudara di atas saudara lainnya. Dan bagaimanapun, fakta ini menumbuhkan semangat bersaing dan gairah kompetisi, tanpa menciptakan dampak negatif semacam kecurigaan, permusuhan dan pertikaian. Oleh kerena itu, kita tidak punya selain dua pilihan berikut ini:

Pertama, menundukkan kepala sebagai rasa syukur dan penghargaan atas usaha keras yang telah dicurahkan oleh penulis yang mulia, dan atas hasil-hasil penelitian yang telah dicapainya.

Kedua, membalas usaha keras penulis dengan cara dan kerja serupa, serta menawarkan hasilhasil penelitian yang diraih, berikut bukti-bukti yang kuat dan argumentasi yang dapat diterima.

Selanjutnya, saya menghadapkan diri kepada Allah; Dzat Yang Maha Kuasa, sambil berharap semoga Dia menyucikan jiwa-jiwa dari noda-noda yang mencemari mereka dan menggantikannya dengan benih-benih cinta, ketulusan dan persaudaraan, mengembalikan persatuan kepada Muslimin, memahamkan agama kepada mereka, mengingatkan akibat dari setiap urusan mereka, memberikan taufik-Nya kepada mereka sehingga tertuntun di bawah hidayah Islam dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, dan mengaruniakan inayah-Nya pada mereka agar dapat menyampaikan ajaran agama kepada umat manusia dengan mengamalkannya dan menjaga hukum-hukumnya sebagai bukti yang kuat atas keindahan dan kesempurnaannya.

Pada kesempatan ini, saya ingin sekali menyinggung salah satu keunggulan dan kegemilangan kaum Muslimin yang patut kita angkat dan kita banggakan, yaitu karya-karya Sayyid Muhammad Baqir Ash-Ashadr. Saya tidak mengira bahwa dunia sekarang dapat menciptakan semacamnya di tengah-tengah kondisi yang mempersulit penyusunannya. Kecerdasan beliau yang luar biasa telah menghasilkan dua karya besar; yaitu "Falsafatuna" dan "Iqtishoduna". Itulah karya-karya yang mengetengahkan akidah Islam dan sistem sosialnya, dengan tetap mengoreksi pandangan-pandangan yang digagas oleh arus ateis Barat dan para antek-antek mereka yang seringkali memakai jubah Islam sedangkan Islam sendiri tampak jauh dari mereka.

Itulah pandangan-pandangan laksana tumbuhan kesembuhan yang sempat mengapung di permukaan laut lalu tenggelam hilang seakan tak pernah muncul. Untuk itu, kepada mereka yang mengoleksi pelbagai teori palsu di dalam kepala, saya menganjurkan agar menelaah karya-karya itu, dengan harapan mereka dapat menyucikan diri dari kotoran dan najis kebatilan dengan air suci kebenaran, dan menangkap cahaya wujud dari balik hati nurani mereka setelah tersesat di tengah arus alienasi, serta dapat menemukan diri mereka setelah menyia-nyiakannya.

Dan kepada kaum remaja Muslim yang terkecoh oleh sebersit janji peradaban yang palsu, saya menganjurkan agar meluangkan waktu guna membaca karya-karya tersebut. Pada saat yang sama, saya pun sadar bahwa bagaimana membaca karya-karya itu menjadi terasa sukar bagi mereka yang hidup dengan gaya hedonistik dan serba puas, hilang kesungguhan, lebih kerap dengan kebatilan daripada dengan kebenaran. Sebab, kebatilan dan hidup bersenang-senang adalah dua kendala yang telah menyelimuti akal, naluri dan hati sehingga mereka lalai dari kesungguhan dan kebenaran.

Begitu pula saya menganjurkan kepada para guru agar mempelajari karya-karya tersebut sehingga dapat membina jiwa-jiwa yang telah rusak, hati-hati yang telah gelap, akal-akal yang telah lumpuh dan terhina di mata para pecandu dunia lantaran mereka tidak mengecap betapa besar berkah dan fungsinya, dan pada gilirannya mereka pun tidak lagi mengenal nilai yang sesungguhnya. Dengan begitu, keadaan mereka tak menentu, kehidupan mereka menyimpang dan harapan-harapan mereka kabur, dan akhirnya mereka jatuh ke dalam kondisi yang perlu diciptakan kembali dari awal.


Di akhir pengantar ini, tidak ada yang layak saya sampaikan selain ungkapan terima kasih kepada saudara yang terhormat, Sayyid Murtadha Ar-Radhawi, pemilik perpustakaan An-Najah di kota Najaf, Republik Irak, atas usaha-usahanya yang mulia dalam menebarkan ilmu dan memperkenalkan khazanah-khazanah yang selama ini terpendam, juga atas kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat mengetahui karya ilmiah yang berharga ini [Peradaban Syi’ah dan Ilmu Keislaman].

Saya percaya bahwa buku ini akan menjadi subjek penelitian yang amat berarti bagi kaum pelajar dan terpelajar seketika edisi penerbitan terbarunya sampai di tangan mereka, Insya-Allah.

20 Ramadhan 1386 / 1 Januari 1967 



Rabu, 02 September 2015

Spirit Islam Imam Husain




Oleh Sulaiman Djaya (esais dan penyair). Sumber: Radar Banten, 17 Mei 2013

“Tragedi Karbala adalah sebuah lensa sejarah di mana ummat Islam atau masyarakat mana pun dapat melihat pantulan kesadaran dan pelajaran tentang semangat kebebasan, kemanusiaan, dan sejarah itu sendiri”

Menjadi pribadi yang tegak, menyongsong kemajuan, dan memberikan kebaikan bagi semua ummat manusia, itulah teladan Asyura Imam Husain. Demikianlah kesan singkat saya saat beberapa kali membaca ulang kisah dan peristiwa paling menyedihkan dalam sejarah, sekelompok kecil manusia harus menemui ajalnya dalam keadaan sangat mengenaskan dan bersimbah darah di tangan ribuan tentara, yang memang merupakan sebuah peristiwa pembantaian oleh satu kelompok di satu sisi, sekaligus teladan keteguhan, kesabaran, dan keberanian dalam kelompok yang lain, yaitu barisan Imam Husain as Syahid.

Sementara itu, menurut Ali Syari’ati, contohnya, peristiwa Karbala sebenarnya telah memberikan kepada kita tentang tiga gambaran dan karakter individu dan masyarakat, yang mungkin tetap relevan di setiap masa. Kelompok pertama –adalah mereka yang menyadari sebuah situasi yang tak hanya memerlukan kezuhudan semata untuk melakukan perubahan masyarakat dan situasi ke arah yang lebih baik, tetapi memang harus dengan tenaga dan jihad dalam arti fisik (yang dalam hal ini kesadaran dan perjuangan mereka untuk melawan tirani dan rezim despotik). Kelompok pertama ini tak lain adalah Imam Husain dan para pengikutnya, yang memang selain merupakan pribadi-pribadi yang zuhud, juga adalah individu-individu yang telah matang di medan laga demi mempertahankan kehormatan dan tonggak masyarakat yang berdiri di aras kebajikan dan keadilan, keteguhan demi menegakkan diri berhadapan dengan tirani.

Kelompok kedua –adalah orang-orang yang cenderung mencari jalan aman dan kepentingan diri sendiri, hingga memilih tidak berpihak kepada dua sudut yang tengah berlawanan. Dan kelompok yang ketiga –adalah mereka yang menjadi budak tirani dan tak sanggup melakukan kesadaran, di mana kelompok ini digambarkan lewat tokoh Syimir sang jagal kesayangan Yazid bin Muawwiyah dan Marwan ibn Hakam sang broker politik.

KARBALA SEBAGAI LENSA SEJARAH
Di mata Ali Syariati, sang filsuf dan sosiolog itu, contohnya, Karbala adalah sebuah lensa sejarah di mana ummat Islam atau masyarakat mana pun dapat melihat pantulan kesadaran dan pelajaran tentang semangat kebebasan, kemanusiaan, dan sejarah itu sendiri dari gambar yang ditampilkannya kepada kita saat merenungi dan membaca peristiwa dan tragedi yang sangat keji dan berdarah tersebut. Sementara itu, Imam Husain sendiri tak ubahnya “figur” yang dipinjam sebagai seorang saksi (syahid = yang menyaksikan) akan pentingnya kesadaran dan perlawanan untuk menolak tirani. Dengan demikian, secara kiasi, Peristiwa Karbala merupakan sebuah perumpamaan yang telah ditampilkan oleh sejarah di mana kita dapat memetik pelajaran atau pun refleksi kemanusiaan darinya, yang salah-satunya adalah penolakan terhadap tirani dan rezim yang despotik.

Figur Imam Husain, demikian lanjut Ali Syariati, tak diragukan lagi merupakan figur dan contoh seseorang yang zuhud, namun sekaligus seorang yang memiliki visi politik yang bertolak-belakang dengan tirani dan rezim despotik ala Yazid bin Muawwiyah yang meraih kekuasaannya dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan cita-cita etis dan politik kekuasaan itu sendiri. Bila demikian, Yazid bin Muawwiyah adalah seorang fasis dan despotik dalam arti yang nyata, sedangkan kekuasaan politiknya itu sendiri merupakan bentuk pengingkaran terhadap semangat keadilan dan tujuan politik itu sendiri. Sebaliknya, Imam Husain, adalah sebuah simbol di mana politik dan kekuasaan tidak bisa dipaksakan tanpa kerelaan dan persetujuan ummat.

Kita tahu, di Karbala ribuan tahun silam itu, Imam Husain dan para pengikutnya berjuang dengan sekuat tenaga dalam keadaan kehausan, dikepung oleh ribuan pasukan rezim despotik Yazid bin Muawwiyah dari segala sudut. Menurut catatan sejarah, Imam Husain beserta para keluarga dan pengikutnya yang hanya berjumlah puluhan orang, itu terpaksa berjuang mempertahankan diri melawan ribuan pasukan Ubaydullah ibn Ziyad, Gubernur Kufah yang sangat patuh kepada Yazid demi mempertahankan kedudukannya sendiri sebagai gubernur. Alhasil, pertempuran itu memang lebih merupakan ladang pembantaian paling sadis dan keji dalam sejarah yang menimpa Imam Husain dan para pengikutnya, meski mulanya Imam Husain dan para pengikutnya telah membuat gugur ratusan tentara rezim tiran Yazid bin Muawwiyah.

Karbala, demikian masih menurut Ali Syariati, di sisi lain, juga menggambarkan sebuah situasi politik dan kondisi masyarakat yang tengah berada dalam situasi yang sulit dan tengah mengalami krisis kesadaran. Sebuah situasi dan kondisi ketika masyarakat kehilangan kesadaran dan keberanian untuk melawan tirani, hingga nyaris menganggap “wajar” despotisme Yazid bin Muawwiyah itu sendiri. Dalam situasi seperti itulah, Imam Husain dan para pengikutnya merupakan pengecualian. Di mana Imam Husain dan para pengikutnya mencerminkan individu-individu yang memiliki kesadaran untuk mendapatkan dan meraih kondisi politik yang lebih baik, semacam hijrah dalam arti yang sebenarnya, dari situasi politik yang lalim dan tiranis menuju masyarakat yang menjunjung keadilan dan martabat kemanusiaan. Yang kira-kira kalau dibahasakan dengan bahasa yang sederhana, adalah masyarakat kreatif yang sanggup menolong dirinya sendiri.

MAKNA HISTORIS KARBALA
Jika demikian, Tragedi Karbala, sebagai lensa sejarah, memiliki makna yang tidak remeh. Sejumlah ulama dan penulis bahkan meyakini Karbala memang “rekayasa” dan “kehendak” Tuhan itu sendiri sebagai cermin untuk direnungi, mirip sebuah ajaran kiasi, di mana figur Imam Husain beserta keluarga dan para pengikutnya yang setia itu sengaja dipinjam oleh Tuhan agar menjadi contoh dan teladan agar kita menjadi individu dan masyarakat yang kreatif, dapat menolong diri sendiri, dan sanggup melawan situasi dan keadaan yang akan memandulkan kreativitas dan kesadaran kita. Singkatnya, para syuhada di Karbala itu merupakan gambaran orang-orang yang memiliki kesadaran dan menolak tunduk kepada tirani dan ketidakadilan yang tengah menjelmakan dirinya dalam bentuk figur Yazid bin Muawwiyah, yang memang dalam beberapa hal tak ubahnya metamorfosis Fir’aun di jaman Nabi Musa.

Begitulah, karena koherensi dan relevansinya yang melampaui sekat-sekat dan batas-batas antara Sunni atau Syi’ah, atau bahkan relevan untuk seluruh ummat manusia, Tragedi Karbala memang merupakan peristiwa sejarah yang menjelmakan dirinya sebagai lensa sejarah dan kiasan nyata di mana kita dapat mengambil atau “memetik” untaian-untaian makna yang terkandung dari peristiwa nyata sejarah tersebut.

Di sana, meski terjadi ribuan tahun silam, masih tetap terpancar sebuah pesan sekaligus kiasan dan “ibrah” bagi kita tentang nilai-nilai martabat dan keutamaan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam segala situasi dan kondisi, untuk menjadi manusia yang kreatif dan senantiasa memiliki kesadaran dan lanskap-wawasan demi terus-menerus sanggup menentukan pilihan kita sendiri agar senantiasa menjadi individu dan masyarakat yang merdeka, secara lahir maupun bathin, syahid dalam arti yang sesungguhnya.