Oleh Sayyid Muhammad Baqir as Shadr (Penerjemah: Muhammad
Nur Mufid) dan disunting ulang oleh Sulaiman Djaya
Dalam logika klasik,
dialektika berarti suatu metode diskusi tertentu dan satu cara tertentu dalam
berdebat yang di dalamnya ide-ide kontradiktif dan pandangan-pandangan yang bertentangan
dilontarkan. Masing-masing pandangan itu berupaya menunjukkan titik-titik
kelemahan dan kesalahan yang ada pada lawannya, berdasarkan
pengetahuan-pengetahuan dan proposisi-proposisi yang sudah diakui. Dengan
demikian berkembanglah pertentangan antara penafian dan penetapan di lapangan
pembahasan dan perdebatan, sampai berhenti pada kesimpulan yang di dalamnya
salah satu pandangan yang bertentangan itu dipertahankan, atau sampai munculnya
cara-pandang baru yang merujukkan semua pandangan dari pergulatan pemikiran
antara hal-hal yang berlawanan tersebut, setelah menyingkirkan pandangan mereka
dan menunjukan kelemahan masing-masingnya. Tetapi, dalam dialektika modern,
perdebatan bukan lagi suatu metode pembahasan dan cara-pandang tertentu untuk bertukar
pendapat. Ia telah menjadi suatu metode untuk menerangkan realitas dan hukum
umum alam yang berlaku di pelbagai realitas dan macam-macam eksistensi. Jadi,
kontradiksi tidak hanya berada di antara pendapat-pendapat dan cara
pandang-cara pandang saja. Namun, ia ada di dalam jantung setiap realitas dan
kebenaran. Karena itu, tidak ada proposisi yang di dalam dirinya tidak
terkandung kontradiksi dan penafiannya sendiri.
Orang pertama yang
membangun suatu logika sempurna berdasarkan (ide dialektika) tersebut adalah
Hegel. Dalam logikanya, kontradiksi dialektik adalah titik sentral dan prinsip
pokok yang menjadi dasar suatu pemahaman baru tentang alam, dan yang melalui
prinsip pokok ini muncullah teori baru tentang alam yang sama sekali berbeda dengan
teori klasik yang dianut orang sejak ia mampu mengetahui dan berpikir. Hegel
bukan orang pertama yang merumuskan prinsip-prinsip dialektika. Prinsip-prinsip
tersebut berakar-dalam di dalam sejumlah ide yang sebentar-sebentar muncul di
atas pentas pikiran manusia. Hanya saja ia tidak terumuskan berdasarkan suatu
logika sempurna yang jelas dalam penjelasan dan pandangannya, dan yang
desain-desain dan aturan-aturannya pasti, kecuali di tangan Hegel yang telah
mendirikan segenap filsafat idealismenya di atas dasar dialektika tersebut.
Kemudian Hegel menjadikannya sebagai penjelasan yang memadai tentang
masyarakat, sejarah, bangsa, dan segala aspek kehidupan. Setelah Hegel, Marx
menganut dialektika tersebut dan menempatkan filsafat materialismenya dalam bentuk
dialektika murni. Jadi, dialektika modern, menurut klaim-klaim kaum
dialektikawan, adalah hukum berpikir dan sekaligus realitas. Karena itu,
dialektika modern adalah metode berpikir dan prinsip yang menjadi dasar
eksistensi dan perkembangan realitas. Berkata Lenin: “Kalau ada
kontradiksi-kontradiksi tertentu dalam ide-ide manusia, hal itu karena realitas
yang dicerminkan pikiran kita mengandung kontradiksi-kontradiksi. Jadi,
pertentangan sesuatu akan menghasilkan pertentangan ide, bukan sebaliknya.”[137]
Berkata Marx: “Gerak pikiran tidak lain hanyalah cermin gerak realitas yang
dipindahkan dan ditransformasikan di dalam benak manusia.“ [138]
Logika Hegel beserta
dialektika dan kontradiksi yang menjadi tumpuannya, dianggap sebagai
benar-benar bertentangan bagi logika klasik dan logika manusia umum. Hal ini
karena logika umum mempercayai adanya prinsip non-kontradiksi, dan
menganggapnya sebagai prinsip primer yang setiap pengetahuan harus berdasarkan
padanya, dan sebagai prinsip niscaya yang dipegang teguh segala sesuatu dalam
alam eksistensi, dan yang tanpa prinsip niscaya itu kebenaran tidak dapat
dibuktikan. Logika Hegel sepenuhnya menolak perinsip non-kontradiksi. Ia
selanjutnya tidak puas dengan penekanan kemungkinan kontradiksi. la bahkan
menjadikan kontradiksi – sebagai ganti lawannya – sebagai prinsip primer setiap
pengetahuan yang benar tentang alam, dan sebagai hukum umum yang menerangkan
seluruh alam semesta melalui sekumpulan kontradiksi. Karena itu, setiap
proposisi tentang alam dianggap sebagai afirmasi; dan pada waktu yang sama ia
membentuk penolakannya sendiri. Afirmasi dan penolakan tersintesiskan dalam
afirmasi baru. Jadi, metode kontradiktif dialektika yang menguasai alam
mengandung tiga tahapan: tesis, antitesis dan sintesis – yakni afirmasi,
penafian, dan penafian terhadap penafian. Menurut tuntutan-tuntutan metode
dialektika ini, setiap sesuatu bersatu dengan lawannya. Ia sekaligus dikukuhkan
dan ditolak, ada dan tidak ada. Logika Hegel mengklaim bahwa ia telah
mengenyahkan – dengan dialektika yang dinisbahkannya kepada eksistensi –
hal-hal pokok logika klasik. Menurut logika Hegel, hal-hal ini adalah sebagai
berikut: Pertama, prinsip non-kontradiksi, yang menyatakan bahwa sesuatu tidak
mungkin disifati dengan suatu sifat tertentu dan sekaligus disifati dengan
lawan sifat tersebut. Kedua, prinsip identitas. Ini adalah prinsip yang
menyatakan bahwa setiap esensi (mahiyyah) adalah bagaimana ia itu secara
niscaya, yakni sesuatu tidak mungkin dilepaskan dari dirinya sendiri. Ketiga,
prinsip diam dan beku dalam alam. Prinsip ini menyatakan negativitas dan
diamnya alam, dan menolak dinamisnya alam materi.
Logika baru ini tidak
memberikan tempat kepada prinsip pertama, karena segala sesuatu yang berkenaan
dengan realitas logika ini didasarkan pada kontradiksi. Nah, kalau kontradiksi
sudah mendominasi sebagai hukum umum, maka adalah wajar untuk menggugurkan
prinsip lain logika klasik, yaitu prinsip non-kontradiksi. Segala sesuatu
kehilangan identitasnya tepat pada waktu dikukuhkan, karena ia berada dalam
proses menjadi terus-menerus. Dan selama kontradiksi adalah fondasi utama,
tidaklah aneh jika kebenaran selalu berarti dua sesuatu yang kontradiksi.
Karena kontradiksi seperti ini, yang berada di jantung setiap realitas,
membangkitkan pertentangan terus-menerus dalam segala sesuatu, dan (karena)
pertentangan berarti gerak dan progresi, maka alam selalu dalam keadaan aktif
dan berkembang, dan selalu dalam keadaan bergerak maju dan menjadi. Inilah
pukulan yang diklaim logika dialektika untuk diarahkan kepada logika manusia
umum dan ide umum tentang alam yang menjadi tumpuan metafisika selama
beribu-ribu tahun.
Metode baru untuk memahami
eksistensi dapat dirangkum dalam asumsi tentang proposisi primer yang
dipandangnya sebagai dasar. Lantas dasar itu berubah menjadi lawannya
dikarenakan pertentangan di antara hal-hal kontradiktif dari kandungan
internal. Setelah itu, dua hal yang berkontradiksi itu tersintesiskan dalam
suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu menjadi dasar dan titik-tolak baru. Demikianlah,
tiga-progresi itu berulang-ulang terus tanpa berhenti dan tanpa batas. Ia
bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan fenomena dan peristiwa-peristiwa
eksistensi.
Hegel memulai dengan
kategori-kategori dan ide-ide umum, kemudian menerapkan dialektika terhadapnya,
dan menyimpulkannya dengan metode dialektik yang didasarkan pada kontradiksi
yang tecermin pada tesis, antitesis dan sintesis. Tiga-serangkainya yang
terkenal dan pertama dalam wilayah ini dimulai dari yang paling sederhana dan
paling primer dari ide-ide itu: ide tentang eksistensi. Jadi, eksistensi itu
ada. Ini merupakan afirmasi atau tesis. Hanya saja ia bukan sesuatu, karena ia
dapat merupakan segala sesuatu. Lingkaran, segi empat, putih, hitam, tetumbuhan
dan batu itu ada. Jadi, eksistensi bukan sesuatu yang pasti. Ia pada gilirannya
adalah tidak maujud. Inilah antitesis yang dihasilkan oleh tesis tersebut.
Demikianlah terjadinya kontradiksi dalam ide tentang eksistensi. Kontradiksi
itu terlarutkan dalam sintesis eksistensi dan non-eksistensi yang menghasilkan
maujud yang tidak sepenuhnya maujud, yakni menjadi dan bergerak. Demikianlah
kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa eksistensi real itu menjadi. Itulah
contoh yang kami kemukakan untuk menjelaskan bagaimana bapak dialektika modern
bergerak dalam menyimpulkan ide-ide umum, dari yang lebih umum ke yang lebih
khusus, dan dari yang lebih kosong dan lemah ke yang lebih berisi dan lebih
dekat kepada realitas eksternal. Bagi Hegel, dialektika seperti ini dalam
menggali ide-ide tersebut hanyalah cermin dialektika segala sesuatu yang aktual
itu sendiri. Kalau suatu ide menimbulkan ide yang menentangnya, hal itu karena
realitas yang digambarkan ide pertama tersebut menuntut realitas yang
menentangnya.
Pandangan sekilas saja terhadap tesis, antitesis dan sintesis dalam isu eksistensi, yang merupakan tiga serangkainya Hegel yang terkenal, menunjukkan dengan jelas bahwa Hegel tidak memahami prinsip non-kontradiksi dengan baik ketika ia mengabaikannya dan lantas menggantinya dengan prinsip kontradiksi. Saya sendiri tidak tahu bagaimana Hegel dapat menjelaskan kontradiksi, atau penafian dan penetapan yang bersatu pada ide eksistensi. Sebenarnya tanpa diragukan lagi, ide tentang eksistensi adalah ide umum. Itulah sebabnya ia dapat merupakan segala sesuatu – ia dapat berupa tetumbuhan atau benda anorganik, benda putih atau hitam, lingkaran atau segi empat. Tetapi apakah ini berarti bahwa segala sesuatu yang berlawanan itu bersatu dalan ide tentang eksistensi tersebut, sehingga menjadi tempat pertemuan bagi hal-hal yang kontradiktif dan berlawanan? Tentu saja tidak. Bersatunya hal-hal yang berlawanan dalam satu subjek adalah satu hal, dan kemungkinan berlakunya satu ide pada hal-hal ini adalah sesuatu yang lain. Jadi, eksistensi adalah ide yang tak mengandung sesuatu pun yang hitam atau putih, seperti tetumbuhan atau benda anorganik. Ia dapat berwujud ini atau itu bukan ia adalah ini dan dalam waku yang sama adalah itu juga.[139]
Pandangan sekilas saja terhadap tesis, antitesis dan sintesis dalam isu eksistensi, yang merupakan tiga serangkainya Hegel yang terkenal, menunjukkan dengan jelas bahwa Hegel tidak memahami prinsip non-kontradiksi dengan baik ketika ia mengabaikannya dan lantas menggantinya dengan prinsip kontradiksi. Saya sendiri tidak tahu bagaimana Hegel dapat menjelaskan kontradiksi, atau penafian dan penetapan yang bersatu pada ide eksistensi. Sebenarnya tanpa diragukan lagi, ide tentang eksistensi adalah ide umum. Itulah sebabnya ia dapat merupakan segala sesuatu – ia dapat berupa tetumbuhan atau benda anorganik, benda putih atau hitam, lingkaran atau segi empat. Tetapi apakah ini berarti bahwa segala sesuatu yang berlawanan itu bersatu dalan ide tentang eksistensi tersebut, sehingga menjadi tempat pertemuan bagi hal-hal yang kontradiktif dan berlawanan? Tentu saja tidak. Bersatunya hal-hal yang berlawanan dalam satu subjek adalah satu hal, dan kemungkinan berlakunya satu ide pada hal-hal ini adalah sesuatu yang lain. Jadi, eksistensi adalah ide yang tak mengandung sesuatu pun yang hitam atau putih, seperti tetumbuhan atau benda anorganik. Ia dapat berwujud ini atau itu bukan ia adalah ini dan dalam waku yang sama adalah itu juga.[139]
Mari kita tinggalkan
kategori-kategori Hegel, untuk mengkaji dialektika Marxisme dalam hal-hal
pokoknya yang konstruksinya dibuat oleh Hegel sendiri. Hal-hal pokok itu ada
empat: gerak perkembangan, kontradiksi-kontradiksi perkembangan,
lompatan-lompatan perkembangan, dan penegasan adanya hubungan umum.
Gerak Perkembangan
Stalin menyatakan: “Dialektika,
berbeda dengan metafisika, tidak menganggap alam sebagai keadaan diam, beku,
dan stabil. Tetapi ia menganggapnya sebagai keadaan yang senantiasa bergerak,
berubah, berkembang, dan dalam pembaruan terus-menerus. Di dalam alam selalu
ada sesuatu yang melahirkan dan berkembang, dan sesuatu yang rusak dan hancur.
Karena itu, kita ingin (menegakkan) metode dialektika, sehingga orang takkan
puas dengan melihat peristiwa-peristiwa dari perspektif hubungan satu peristiwa
dengan lainnya dan dari perspektif beradaptasinya yang satu terhadap lainnya,
tetapi juga dari perspektif gerak, perubahan, perkembangan, kemunculan dan
kelenyapan peristiwa-peristiwa itu.” [140] Berkata pula Engels:
“Sebaiknya kita tidak melihat alam sebagai seolah-olah tersusun dari hal-hal
yang lengkap. Tetapi seyogianya kita melihatnya sebagai seolah-olah tersusun
dalam otak kita. Pasase ini (sampai ke komposisi mental) menunjukkan perubahan
yang tak terputus-putus dari menjadi dan melenyap, di mana akhirnya cahaya
pertumbuhan bersinar, meskipun terdapat hal-hal yang tampak maujud bersamaan
dan lenyap kembali secara temporer.” [141]
Jadi, segala sesuatu
tunduk kepada hukum perkembangan dan menjadi. Berkembang atau menjadi itu tidak
ada yang membatasinya. Sebab, gerak adalah preokupasi (pendudukan) tak terbatas
segenap eksistensi. Kaum dialektikawan mengklaim bahwa mereka sajalah yang
menganggap alam dalam keadaan gerak dan berubah terus-menerus. Mereka mencela
logika metafisis, atau metode tradisional dalam berpikir karena prosedurnya
untuk mempelajari dan memahami segala sesuatu, karena logika atau metode ini
menganggap alam dalam keadaan sepenuhnya diam dan beku. Karena itu, ia tidak
merefleksikan realitas alam yang bergerak dan progresif. Jadi, menurut mereka,
perbedaan antara logika dialektika – yang menganggap alam senantiasa dalam
gerak dan progresi – dan logika formal seperti perbedaan antara dua orang yamg
sama-sama ingin menjelajahi struktur terdalam makhluk hidup dalam berbagai perannya.
Masing-masing melakukan eksperimen-eksperimennya terhadap makhluk hidup itu.
Kemudian salah seorang di antara keduanya itu mengamati perkembangan dan
geraknya yang terus-menerus dan menelaahnya berdasarkan seluruh
perkembangannya. Sementara yang lain hanya mencukupkan diri pada eksperimen
pertama seraya yakin bahwa makhluk hidup tersebut beku dalam strukturnya dan
konstan dalam identitas dan realitasnya. Jadi, alam sebagai suatu keseluruhan
adalah sama dengan makhluk hidup, seperti tetumbuhan ataupun hewan, dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian, pikiran tidak menyertai alam
kecuali jika ia menyerupai alam dalam gerak dan perkembangannya.
Faktanya, hukum
perkembangan dialektika, yang oleh dialektika modern dianggap sebagai salah satu
ciri mendasarnya sendiri, sama sekali bukan hal baru dalam pemikiran manusia.
Yang baru adalah watak dialektiknya, yang dari watak dialektiknya ini ia harus
dilepaskan, seperti akan kita ketahui kelak. Hukum ini, dalam batas-batasnya
yang benar, sesuai dengan logika umum, dan tidak ada hubungannya dengan
dialektika, juga tidak ditemukan oleh dialektika. Untuk menerima hukum itu dan
mengetahui bahwa metafisika menyadarinya sebelum (dialektika), kita hanya perlu
melepaskan hukum ini dari bentuk kontradiksi dan dasar perdebatan yang menjadi
dasar dialektika.
Seorang metafisis, dalam
pandangan seorang dialektikawan, yakin bahwa alam itu beku, diam, tetap tak
berubah dalam segenap aspeknya. Seolah-olah seorang metafisis tidak memiliki
lagi pengetahuan apa pun serta kesadaran dan sensasi. Ia lantas menjadi tidak
perseptif dan tak tahu akan berbagai perubahan dan transformasi dalam dunia
alam yang disadari oleh semua orang bahkan anak-anak sekalipun. Adalah jelas
bagi setiap orang bahwa mempercayai adanya perubahan dalam dunia alam adalah
permasalahan yang tidak butuh studi-studi ilmiah terdahulu, dan juga bukan
ajang perselisihan. Tetapi, yang pantas dikaji adalah watak perubahan tersebut
dan sejauh mana kedalaman dan generalitasnya. Sebab, ada dua perubahan.
Pertama, semata-mata suksesi, dan kedua, gerak. Sejarah filsafat meriwayatkan
pergulatan yang tajam, bukan dalam masalah perubahan secara umum, akan tetapi
dalam esensinya dan penjelasan filosofisnya yang akurat. Pergulatan itu
berpusat pada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah perubahan
yang terjadi pada suatu benda – ketika benda itu mengarungi suatu jarak
tertentu – hanyalah banyak pose yang segera mengikuti satu sama lain dalam
banyak tempat, dan dengan begitu terciptalah dalam benak ide tentang gerak?
Atau dapatkah perubahan tersebut dinisbahkan kepada satu perjalanan yang
berangsur-angsur, yang di dalamnya tidak ada pose maupun diam? Apakah perubahan
yang terjadi pada air, ketika temperatur air bertambah, berarti satu himpunan
temperatur yang suksesif yang mengiringi satu sama lain? Atau ia satu
temperatur yang menjadi lebih sempurna, dan yang berganti dan menjadi semakin
tinggi derajatnya?
Demikianlah, kita
menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut berkenaan dengan setiap macam perubahan
yang membutuhkan penjelasan filosofis dengan salah satu dari dua cara yang
diajukan oleh pertanyaan-pertanyaan tadi. Sejarah Yunani menceritakan bahwa
sebagian aliran filsafat mengingkari gerak dan mengambil penjelasan lain
tentang perubahan, yang menisbahkan perubahan kepada suksesi hal-hal yang diam.
Salah satu tokoh aliran itu adalah Zeno[142] yang menyatakan bahwa
gerak seorang musafir dari satu ujung bumi ke ujung bumi lainnya hanyalah
deretan suksesi hal-hal yang diam. Zeno tidak melihat (gerak) berangsur-angsur
dan proses menyempurna eksistensi. Tetapi ia percaya bahwa setiap fenomena itu
statis dan bahwa perubahan terjadi melalui suksesinya hal-hal yang statis,
bukan melalui perkembangan dan (gerak) berangsur-angsurnya satu benda.
Berdasarkan itu, gerak manusia menempuh jarak tertentu menjadi ungkapan
berhentinya pada titik mula jarak tersebut, kemudian pada titik kedua lantas
pada titik ketiga, dan seterusnya. Kalau kita melihat dua orang, yang satu
berhenti pada titik tertentu, dan yang lain berjalan menuju arah tertentu, maka
keduanya, menurut pendapat Zeno, adalah berdiri dalam diam. Hanya saja yang
pertama tetap diam pada titik tertentu, sedangkan yang lain memiliki diam
sebanyak titik yang dilewatinya. Ia dalam setiap saat berada dalam ruang
tertentu, dan sekaligus tidak berbeda sama sekali dengan orang pertama yang
berhenti pada titik tertentu. Jadi kedua-duanya diam, meskipun diamnya yang
pertama terjadi terus-menerus, dan diamnya yang lain segera berganti ke diam
yang lain pada titik lain dari jarak itu. Karenanya perbedaan antara kedua diam
itu adalah perbedaan antara diam yang sebentar dan diam yang lama.
Inilah yang diupayakan
untuk dijelaskan oleh Zeno dan sebagian filosof Yunani lainnya. Ia membuktikan
cara-pandangnya dengan empat dalil terkenalnya yang tidak mendapatkan kemajuan
dan keberhasilan dalam lapangan filsafat. Karena, aliran Aristoteles – aliran
filsafat terbesar di zaman Yunani – mempercayai gerak, menolak dalil-dalil
tersebut, dan membuktikan adanya gerak dan perkembangan dalam fenomena-fenomena
dan atribut-atribut alam. Hal ini berarti bahwa fenomena alami kiranya tidak
sepenuhnya ada pada satu saat. Tetapi, ia ada secara berangsur-angsur dan terus
memperoleh kemungkinan adanya sedikit demi sedikit. Dengan demikian, terjadilah
perkembangan dan penyempurnaan eksistensi. Ketika temperatur air berlipat
ganda, ini tidak berarti bahwa ia setiap saat menerima derajat tertentu
temperatur yang sepenuhnya maujud, kemudian lanyap dan kemudian tercipta lagi
derajat lain temperatur. Tetapi esensi kegandaan yang ada pada satu temperatur
itu sudah ada dalam air tersebut tapi belum sepenuhnya, dalam arti ia tidak
memperoleh dalam saat pertama segenap daya dan kemungkinannya. Karena itu, ia
mulai memperoleh segenap kemungkinannya dengan berangsur-angsur, dan sesudah
itu bergerak maju dan berkembang. Dengan bahasa filsafat, ia adalah gerak
progresif terus-menerus. Adalah jelas bahwa proses penyempurnaan atau gerak
berkembang tidak mungkin dipahami selain dengan arti itu. Adapun suksesi fenomena-fenomena
– yang masing-masingnya memaujud setelah yang lain dan, melalui pelenyapannya
sendiri, membuka jalan bagi fenomena baru – itu bukanlah pertumbuhan dan
penyempurnaan. Pada gilirannya, ia bukan gerak, tetapi ia adalah semacam
perubahan umum.
Jadi, gerak adalah gerak
maju eksistensi sedikit demi sedikit dan perkembangan sesuatu ke tingkat yang
diizinkan oleh kemungkinan- kemungkinannya. Karena itu, ide filosofis gerak
terdefinisikan sebagai aktualisasi bertahap potensialitas sesuatu.[143]
Definisi ini berdasarkan ide tentang gerak yang telah kami kemukakan di atas.
Gerak, seperti telah kita ketahui, bukan pelenyapan mutlak sesuatu dan adanya
sesuatu lain yang baru. Ia adalah progresi sesuatu dalam tatanan eksistensi.
Jadi, setiap gerak harus mengandung satu eksistensi terus-menerus, sejak
memulai hingga berhenti. Eksistensi inilah yang bergerak, dalam arti bahwa (ia
bergerak maju) berangsur-angsur dan terus semakin “kaya”. Setiap tahap adalah
tahapan dari tahapan-tahapan satu eksistensi tersebut. Dan tahapan-tahapan ini
hanya ada karena gerak. Jadi, sesuatu yang bergerak atau suatu eksistensi yang
berkembang tidak memiliki tahapan-tahapan ini sebelum ia bergerak. Kalau tidak
demikian, tentu tidak ada gerak. [144] Tetapi, pada titik mula, hal itu
atau eksistensi itu terepresentasikan kepada kita sebagai potensialitas dan
kemungkinan-kemungkinan. Dengan geraklah, akan terpenuhi
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Dalam setiap tahap gerak itu, kemungkinan
diganti realitas dan potensialitas diganti aktualitas. Maka, air, sebelum
ditaruh di atas api, tidak memiliki temperatur terinderai itu selain
kemungkinannya. Kemungkinan yang dimilikinya ini bukanlah kemungkinan derajat
tertentu temperatur, tetapi mencakup seluruh derajat temperatur yang pada akhirnya
menyebabkan keadaan uapnya. Ketika air mulai menerima pengaruh panas api,
mulailah temperaturnya berubah dan berkembang. Artinya bahwa
potensialitas-potensialitas dan kemungkinan yang dimiliki air berganti menjadi
realitas. Air, dalam setiap tahapan geraknya, keluar dari kemungkinan ke
aktualitas. Karena itu, potensialitas dan aktualitas bergandengan dalam seluruh
tahap geraknya. Dan pada saat segala kemungkinan habis, berhentilah gerak.
Jadi, dalam setiap tahapan gerak itu ada dua: dari satu sisi, gerak adalah
aktual dan real, karena langkah yang dicatat oleh suatu tahapan ada secara real
dan aktual; dari sisi lain, ia adalah kemungkinan dan potensialitas
langkah-langkah progresif lain yang diharapkan direkam oleh gerak pada
tahapan-tahapan barunya.
Jadi, kalau kita
perhatikan air dalam contoh di atas pada titik tertentu gerak, kita mendapatkan
bahwa air itu benar-benar panas pada temperatur 80°C, misalnya. Tetapi, pada
waktu yang sama, ia mengandung kemungkinan melampaui derajat tersebut dan
potensi maju ke derajat yang lebih tinggi. Aktualitas setiap langkah pada tahap
tertentunya berkaitan dengan potensinya untuk melenyap. Mari kita ambil lagi
contoh gerak yang lebih dalam. Ia (pada mulanya) ovum, kemudian zygote (bakal
janin), janin, kemudian bayi, lantas remaja, lalu dewasa. Makhluk hidup ini,
pada tahapan tertentu geraknya, adalah sperma aktual. Tetapi pada waktu yang
sama, ia adalah sesuatu lain yang tidak seperti sperma dan lebih tinggi, yaitu
secara potensial adalah bayi. Ini berarti bahwa gerak pada makhluk hidup itu
sedemikian, sehingga bercampur di dalamnya aktualitas dan potensialitas. Kalau
saja dalam makhluk hidup itu tidak ada potensialitas dan kemungkinan untuk
suatu tahap baru, tentu tak akan ada gerak. Dan kalau saja tidak ada sesuatu
pun yang aktual, tentu itu adalah ketiadaan murni. Tidak ada gerak juga. Jadi,
perkembangan selamanya terdiri atas sesuatu yang aktual dan sesuatu yang
potensial. Demikianlah, gerak terus-menerus, selama sesuatu mengandung
aktualitas dan sekaligus potensialitas, mengandung juga eksistensi dan
sekaligus kemungkinan. Kalau kemungkinan tak ada, dan tidak ada lagi kapasitas
untuk ke tahap baru, berakhirlah usia gerak.
Inilah pengertian
aktualisasi berangsur dari potensialitas sesuatu, atau bersatunya potensialitas
dan aktualitas dalam gerak. Inilah arti filsafat yang tepat tentang gerak yang
diberikan metafisika. Materialisme dialektik telah mengambil arti ini, tetapi
ia tidak memahaminya dan tidak mengetahuinya secara benar. Ia lantas mengklaim
bahwa gerak tidak terjadi kecuali melalui kontradiksi yang terus-menerus dalam
jantung sesuatu, seperti akan kita ketahui sebentar lagi.
Setelah itu, tibalah
giliran peranan filsafat Islam di tangan filosof Muslim besar, Sadruddin
Asy-Syirazi [145]. Ia membuat teori gerak umum. Ia membuktikan
secara filosofis bahwa gerak, dalam artinya yang akurat yang telah kami
kemukakan, tidak hanya mengenai fenomena alam dan permukaan aksidentalnya saja.
Tetapi gerak fenomena seperti itu tidak lain hanyalah satu aspek dari perkembangan
yang mengungkapkan aspek yang lebih dalam. Yaitu, perkembangan pada jantung
alam dan gerak substansial alam. Hal ini demikian, sebab gerak terluar fenomena
berarti kebaruan dan kerusak-hancuran, maka sebab langsungnya haruslah sesuatu
yang terbarui juga yang esensinya juga tak tetap karena penyebab apa yang tetap
itu tetap, dan penyebab apa yang dapat diubah dan diperbarui adalah dapat
diubah dan diperbarui. Maka penyebab langsung gerak tak mungkin sesuatu yang
tak bergerak. Kalau tidak demikian, bagian-bagian gerak tak akan sirna tetapi
akan menjadi diam. [146]
Filosof Syirazi tidak hanya membuktikan gerak substansial saja. Ia bahkan menjelaskan bahwa prinsip gerak pada alam adalah salah satu prinsip filosofis niscaya metafisika, dan menerangkan, berdasarkan prinsip ini, hubungan yang baru dengan yang lama, [147] dan sejumlah problem filsafat yang lain, seperti persoalan waktu, [148] persoalan dapat dipisah-pisahkannya materi, dan hubungan jiwa dengan badan. [149]
Filosof Syirazi tidak hanya membuktikan gerak substansial saja. Ia bahkan menjelaskan bahwa prinsip gerak pada alam adalah salah satu prinsip filosofis niscaya metafisika, dan menerangkan, berdasarkan prinsip ini, hubungan yang baru dengan yang lama, [147] dan sejumlah problem filsafat yang lain, seperti persoalan waktu, [148] persoalan dapat dipisah-pisahkannya materi, dan hubungan jiwa dengan badan. [149]
Nah, kalau sudah demikian,
dapatkah orang menuduh bahwa teologi dan metafisika menyatakan bahwa alam beku
dan diam? Pada hakikatnya, tuduhan itu tak punya alasan apa pun kecuali karena
materialisme dialektik tidak memahami gerak dalam arti filsafatnya yang benar.
Lantas apakah yang membedakan antara gerak dan hukum umumnya dalam filsafat
kita, dan teori gerak dialektik dalam materialisme dialektik? Sebenarnya,
perbedaan antara dua gerak tersebut terangkum dalam dua hal dasariah berikut:
Hal pertama adalah bahwa gerak, dalam arti dialektiknya, berdasarkan
kontradiksi dan pergulatan di antara hal-hal kontradiktif. Kontradiksi dan
pergulatan seperti ini adalah daya internal yang menyebabkan gerak dan
menciptakan perkembangan. Hal ini berbeda sama sekali dengan konsep filsafat
kita tentang gerak. Konsep kita menganggap gerak sebagai perjalanan dari satu
tahap ke tahap yang berlawanan tanpa bersatunya tahap-tahap yang berlawanan
tersebut dalam satu dari tahapan-tahapan gerak. Agar hal ini menjadi jelas,
kita harus membedakan antara potensialitas dan aktualitas dan menganalisis
kesalahan Marxis yang bertumpu pada anggapan bahwa potensialitas dan aktualitas
adalah unit-unit yang kontradiktif. Gerak tersusun dari potensialitas dan
aktualitas. Potensialitas dan aktualitas bergandengan dalam berbagai tahap
gerak. Tidak mungkin bagi alam gerak untuk memaujud tanpa salah satu dari dua
elemen itu. Jadi, eksistensi dalam setiap tahap progresinya ke kesempurnaan
mengandung derajat aktual tertentu dan derajat yang lebih tinggi daripada yang
berada dalam potensialitas. Pada saat ia beradaptasi dengan derajat (aktual
tertentu) tersebut, ia berjalan menaik dan melangkahi derajat kininya.
Marxisme membayangkan
bahwa ini adalah semacam kontradiksi, bahwa eksistensi progresif mengandung
sesuatu dan hal yang berlawanan, dan bahwa kontradiksi antara dua lawan itu
adalah yang melahirkan gerak. Berkata Engels: “Situasinya akan berbeda sama
sekali jika kita melihat segala yang ada ini dalam keadaan bergerak, berubah,
dan saling mempengaruhi satu terhadap lainnya; karena kita mendapatkan diri
kita, pada awal posisi seperti itu, tenggelam dalam kontradiksi-kontradiksi.
Gerak berkontradiksi dengan fakta bahwa perubahan mekanik paling sederhana pada
tempat tidak mungkin terjadi kecuali dengan perantaraan eksistensi benda
tertentu di tempat tertentu di saat tertentu, dan di tempat lain pada saat yang
sama. Dengan kata lain, maujud dan tak maujudnya ada sekaligus pada satu
tempat. Maka, suksesi bersinambung dari kontradiksi ini dan rekonsiliasi
temporer kontradiksi ini dengan suksesi ini adalah apa yang disebut gerak.”[150]
Lihatlah, betapa tidak
masuk akalnya ide gerak dalam materialisme dialektik, yang diuraikan Engels
berdasarkan kontradiksi, tanpa tahu bahwa jika dua derajat dari gerak itu
benar-benar ada pada tahap tertentu gerak, tentu tidak mungkin ada
perkembangan; dan pada gilirannya, bekulah gerak itu. Karena, gerak adalah
suatu perpindahan maujud dari satu derajat ke derajat lainnya, dari satu batas
ke batas lain. Nah, kalau semua batas dan titik itu benar-benar tersatukan,
tentu saja tidak akan ada gerak. Maka, adalah perlu untuk tidak menafsirkan
gerak kecuali dengan prinsip non-kontradiksi. Kalau tidak, kalau kontradiksi
itu boleh, maka adalah hak kita untuk mempertanyakan: apakah gerak itu
mengandung perubahan dalam derajat-derajat sesuatu yang progresif, dan
pergantian batas-batas dan kualitas sesuatu itu atau tidak? Kalau gerak tidak
mengandung perubahan atau kebaruan apa pun, maka ia bukan gerak, tetapi ia
adalah kebekuan dan kediaman. Dan apabila Marxisme mengakui kebaruan dan
perubahan gerak, untuk apa kebaruan ini, jika semua kontradiksi itu benar-benar
ada dan tak ada pertentangan di antara mereka? Analisis tersederhana terhadap
gerak menunjukkan kepada kita bahwa gerak adalah salah satu fenomena yang mencegah
dan membuat mustahil bersatunya hal-hal yang kontradiktif dan yang berlawanan,
sesuatu yang menyebabkan maujud progresif berubah terus-menerus dalam derajat
dan batasnya. Kontradiksi atau dialektika yang diduga dalam gerak hanyalah
disebabkan oleh kekacauan antara potensialitas dan aktualitas.
Jadi, gerak, dalam setiap
tahapan, tidak mengandung dua derajat atau dua kontradiksi aktual. Tetapi ia
mengandung derajat tertentu dalam aktualitas dan derajat lain dalam potensialitas.
Karena itu, gerak adalah aktualisasi berangsur-angsur potensialitas. Tetapi
pengetahuan filosofis yang tidak memadai itulah yang menjadi sebab
pemutarbalikan ide tentang gerak. Demikianlah menjadi jelas bahwa hukum non-kontradiksi
yang berkontradiksi dan penafsiran gerak dengan hukum itu, dan segala kekacauan
di sekitar hukum itu, dan ketaksenangan serta penghinaan kepada pemikiran
metafisis yang percaya kepada prinsip non-kontradiksi, semua ini dinisbahkan
kepada ide filosofis tentang gerak yang telah kami kemukakan di atas dan yang
disalahpahamkan Marxisme. Karena itu, Marxisme menganggap bergandengnya
potensialitas dengan aktualitas atau bersatunya keduanya pada semua tahapan
gerak sebagai bersatunya hal-hal yang berlawanan secara aktual, kontradiksi
terus menerus dan pergulatan di antara hal-hal yang kontradiksi. Karena itu,
Marxisme lantas menolak prinsip non-kontradiksi dan menyingkirkan segenap
logika umumnya. Sebagian metafisikawan telah mengupayakan sesuatu yang sama
dalam sejarah filsafat kuno, tetapi dengan satu perbedaan antara keduanya:
Marxisme hendak membenarkan kontradiksi dengan upaya tersebut. Adapun mereka
(kaum metafisikawan kuno itu) berusaha membuktikan penafian kemungkinan gerak,
sebab gerak mengandung kontradiksi. Dalam hal ini, Fakhruddin Ar-Razi [151]
juga berusaha, yaitu menjelaskan bahwa gerak adalah progresi berangsur, yakni
adanya sesuatu secara berangsur-angsur. Ia mengklaim bahwa progresi berangsur
eksistensi adalah tak mungkin, karena itu mendatangkan suatu kontradiksi. Dan
para filosof telah menjelaskan bahwa (ide gerak ini) muncul karena salah
memahami makna progresi berangsur dan eksistensi berangsur.
Karena kita sekarang telah
mengetahui dengan jelas bahwa gerak bukanlah konflik di antara hal-hal yang
aktual yang kontradiksi selamanya, tetapi ia adalah terjeratnya potensialitas
dengan aktualitas, dan keberangkatan sesuatu secara sedikit demi sedikit dari
satu keadaan ke keadaan lainnya, maka dapatlah kita mengetahui bahwa gerak
tidak mungkin mandiri (tidak membutuhkan) sebab eksternal; dan bahwa eksistensi
progresif tidak berangkat dari aktualitas kecuali karena sebab luar, dan
konflik di antara hal-hal yang berkontradiksi bukanlah sebab internal
keberangkatan tersebut. Karena, dalam gerak tak ada kesatuan hal-hal yang
berkontradiksi dan hal-hal yang berlawanan yang dari sini muncul gerak. Jadi,
selama pada permulaan gerak, eksistensi progresif tidak memiliki
derajat-derajat atau jenis-jenis yang akan dicapainya melalui tahapan-tahapan
gerak, dan selama ia secara internal tidak melibatkan sesuatu kecuali
kemungkinan derajat-derajat itu dan kesiapan untuk derajat-derajat ini, maka
harus ada sebab untuk mengeluarkan eksistensi itu dari potensialitas ke
aktualitas, supaya kemungkinannya yang ada di dalam maujud terdalamnya berubah
menjadi realitas.
Dengan demikian, kita tahu
bahwa hukum umum gerak pada alam membuktikan dengan dirinya sendiri keniscayaan
adanya prinsip di luar batas batas material alam. Hal ini karena, gerak,
menurut hukum itu, adalah cara (proses) adanya alam. Jadi, adanya alam adalah
bentuk lain gerak dan progresi berangsur alam, dan juga keberangkatan
terus-menerusnya dari potensial ke aktualitas. Teori mandirinya gerak
dikarenakan kontradiksi-kontradiksi internalnya yang konfliknya di antara satu
sama lain menghasilkan gerak, dalam pandangan Marxis, sudah rubuh, karena
memang tidak ada konflik dan kontradiksi. Karena itu, harus ada kausasi, dan
kausasi itu harus dengan sesuatu di luar batas-batas alam. Karena, apa pun yang
ada dalam alam adalah sedemikian sehingga eksistensinya adalah gerak dan
progresi berangsur, karena, menurut hukum umum gerak, tidak ada ketetapan di
dalam alam ini. Jadi, dalam mencari sebab (primer) tidak mungkin kita berhenti
pada sesuatu yang alami.
Hal kedua, gerak, menurut
pandangan Marxis, tidak berhenti pada batas-batas realitas objektif alam.
Tetapi, ia mencakup realitas-realitas dan pikiran-pikiran manusia. Jadi,
sebagaimana realitas luar materi berkembang dan tumbuh, demikian pula
kebenaran-kebenaran dan persepsi mental tunduk kepada hukum perkembangan dan
pertumbuhan yang berlaku pada dunia alam. Berdasarkan hal ini, dalam pandangan
Marxisme tentang ide tidak ada kebenaran mutlak. Berkata Lenin: “Jadi,
dialektika, dalam pandangan Marx, adalah ilmu hukum-hukum umum gerak, baik di
dunia luar maupun dalam pikiran manusia.” [152] Dalam pandangan
kita, hukum gerak umum adalah kebalikannya. Ia adalah hukum alami yang
menguasai alam materi dan tidak mencakup dunia pikiran dan pengetahuan. Tidak
mungkin terdapat perkembangan, dalam arti filosofisnya yang akurat, dalam
kebenaran atau pengetahuan, seperti telah kami terangkan dengan jelas dalam
pembahasan pertama (“Teori Pengetahuan”).
Maksud kita sekarang
mengkaji gerak dialektik yang diduga ada dalam pengetahuan dan kebenaran adalah
mengemukakan usaha-usaha pokok yang diambil Marxisme untuk membuktikan
dialektika pikiran dan geraknya. Dalam hal ini ada tiga upaya. Upaya pertama
adalah bahwa pikiran dan pengetahuan adalah refleksi-refleksi realitas
objektif. Agar pikiran dan pengetahuan itu sesuai dengan realitas objektif,
keduanya harus mencerminkan hukum-hukum, perkembangan dan geraknya. Alam
berkembang dan berubah terus-menerus sesuai hukum gerak. Tidak mungkin
kebenaran menggambarkan alam dalam akal manusia kalau ia adalah beku dan diam.
Tetapi kebenaran itu ada di dalam pikiran kita jika pikiran itu sedemikian
sehingga tumbuh dan berkembang secara dialektik, yang pada gilirannya
menyebabkan pikiran kita tentang sesuatu sesuai dengan sesuatu itu sendiri. Ada
baiknya di sini kita perhatikan teks-teks berikut:
“Realitas tumbuh, dan
pengetahuan yang timbul dari realitas itu mencerminkannya, tumbuh sebagaimana
ia tumbuh, dan menjadi elemen efektif pertumbuhannya. Pikiran tidak
menghasilkan subjeknya. Tetapi ia hanyalah mencerminkan dan menggambarkan
realitas objektif dengan menyingkapkan hukum-hukum pertumbuhan realitas ini.”[153]
“Perbedaan antara logika
formal dan logika dialektik terbatas pada fakta bahwa keduanya menghadapi
secara berbeda-beda isu pokok logika, yaitu masalah kebenaran. Dari pandangan
logika dialektik, kebenaran bukanlah sesuatu yang diberikan untuk sekali ini
saja. Ia bukanlah sesuatu yang sempurna, terdeterminasi, beku dan diam. Tetapi
itu berbeda dengan hal ini. Kebenaran adalah proses pertumbuhan pengetahuan
manusia tentang alam objektif.” [154] “Logika dialektik Marxis
membahas sesuatu yang dipelajarinya dari segi sejarah karena ia adalah proses
pertumbuhan dan perkembangan. Ia sesuai dengan sejarah umum pengetahuan dan
sejarah ilmu.” [155]
Tidak diragukan lagi bahwa
pikiran dan pengetahuan menggambarkan realitas objektif dalam bentuk tertentu.
Tetapi, ini tidak berarti bahwa di dalam keduanya tecermin gerak realitas
objektif dan, maka, bahwa tumbuh dan bergerak keduanya mengikuti pertumbuhan dan
geraknya. Hal ini karena:
Pertama, dunia alam – alam perubahan, kebaruan dan gerak –
niscaya mengandung hukum-hukum umum tetap. Inilah yang tidak mungkin diingkari
oleh logika apa pun, kecuali jika ia mengingkari dirinya sendiri. Suatu logika
bukanlah logika, kecuali kalau ia mendasarkan metode berpikirnya dan pemahamannya
terhadap alam pada hukum-hukum tertentu yang tetap. Bahkan dialektika sendiri
menganggap bahwa sejumlah hukum menguasai alam dan selalu mengaturnya. Di
antaranya adalah hukum gerak. Jadi, di dalam dunia alam, baik tunduk kepada
hukum manusiawi umum atau kepada hukum dialektika, terdapat hukum-hukum yang
tetap yang mencerminkan kebenaran-kebenaran yang tetap di dunia pikiran dan lapangan
pengetahuan manusia.
Kaum dialektikawan, berkenaan
dengan keberatan ini, harus: (1) menganggap hukum gerak itu konstan dan
permanen, jadi kebenaran langgeng itu ada; (2) hukum yang sama ini terevaluasi
kembali. Hal ini berarti bahwa gerak itu tidak konstan, bahwa ia dapat berganti
menjadi diam, dan bahwa kebenaran, setelah bergerak, kembali diam. Pada salah
satu kasus, dialektika terpaksa harus mengakui adanya suatu kebenaran ketiga.
Kedua, pengetahuan dan kebenaran tidak mencerminkan
karakteristik-karakteristik aktual alam. Dalam “Teori Pengetahuan”, kami telah
menjelaskan bahwa akal manusia mempersepsi ide-ide dan watak-watak hal-hal
objektif. Ide-ide tentang hal-hal yang tecermin di dalam benak berbeda dengan
realitas luar dalam eksistensi dan karakteristiknya. Karena itu, ilmuwan dapat
membentuk ide ilmiah yang akurat tentang mikroba, susunannya, aktivitas
tertentunya, dan interaksinya dengan badan manusia. Tetapi bagaimanapun akurat
dan rincinya ide tersebut, di dalamnya tidak terdapat sifat-sifat mikroba
eksternal, dan tidak dapat memainkan peranan yang dimainkan oleh realitas
objektifnya sendiri. Seorang fisikawan dapat mendapatkan ide ilmiah yang akurat
tentang atom radium dan menentukan bobot atomiknya, jumlah kandungan
elektronnya, muatan negatif dan positifnya, kuantitas radiasi yang dipancarkannya,
dan proporsi ilmiah akurat radiasi ini terhadap radiasi yang dipancarkan oleh
atom-atom uranium, dan juga rincian-rincian dan informasi lainnya. Tetapi, ide
ini, tak soal dengan kedalamannya atau pengungkapan mendalamnya tentang
rahasia-rahasia elemen radium, tidak akan mendapatkan sifat-sifat realitas
objektif, yakni sifat-sifat radium, juga tidak akan memancarkan radiasi yang
dipancarkan atom-atom dan elemen ini. Akibatnya, ide kita tentang atom takkan
berkembang menjadi radiasi, sebagaimana dilakukan beberapa atom dalam alam
eksternal.
Demikianlah, menjadi jelas
bahwa hukum-hukum dan sifat-sifat realitas objektif tidak terdapat pada ide itu
sendiri. Di antara hukum-hukum dan sifat-sifat itu adalah gerak. Jadi, meskipun
itu satu sifat umum materi dan salah satu hukumnya yang pasti, tetapi kebenaran
di dalam akal kita atau ide yang mencerminkan alam tidak mengandung sifat
tersebut. Suatu ide yang sahih tidak perlu mencerminkan realitas objektif dalam
sifat-sifat dan berbagai macam aktivitasnya. Kalau tidak demikian, kita tidak
akan memiliki ide yang sahih. Jadi, metafisika, meski menganggap bahwa alam
adalah dunia gerak dan berkembang yang permanen, berbeda dengan dialektika.
Metafisika menolak aplikasi hukum gerak pada ide-ide mental, karena di dalam
ide-ide seperti itu tidak ada semua sifat realitas objektif. Ini tidak berarti
bahwa jika kaum metafisikawan menciptakan ide tentang alam pada salah satu
tahapannya, maka mereka akan membekukan pikiran mereka, menghentikan penelitian
mereka dan menganggap ide tersebut memadai untuk mengungkapkan misteri-misteri
terdalam alam dalam segenap tahapannya. Kita tidak tahu seorang pandai yang
hanya mencukupkan, misalnya, dengan ide ilmiahnya yang diciptakannya tentang
ovum, sehingga tidak meneliti perjalanan makhluk hidup pada tahapan keduanya,
dan mencukupkan diri dengan ide ilmiah yang dibuatnya tentangnya pada tahapan
tertentu itu.
Jadi, kita mempercayai
bahwa alam berkembang, dan kita mendapati niscayanya mempelajarinya dalam
setiap tahapan pertumbuhan dan geraknya, dan membuat ide tentangnya. Dan ini
bukanlah sesuatu yang terbatas pada dialektika. Hanya, yang ditolak metafisika
adalah adanya gerak dinamis alami pada setiap ide mental. Maka metafisika
menuntut pembedaan antara ovum dan ide ilmiah kita tentang ovum. Ovum tumbuh
dan berkembang secara alami. Kemudian ia menjadi zygote, dan kemudian janin.
Adapun ide kita tentangnya adalah konstan. Tidak mungkin ia menjadi sperma
dalam keadaan apa pun. Untuk mengetahui apakah sperma itu, kita harus membuat
ide lain berdasarkan pengamatan terhadap ovum pada tahap baru. Jadi, perumpamaan
pikiran tentang perkembangan ovum ialah seperti film yang mengambil sejumlah
gambar yang sambung-menyambung. Gambar pertama dalam film bukanlah gambar yang
berkembang dan bergerak. Tetapi itu adalah suksesi di antara gambar yang
membentuk film. Berdasarkan hal itu, maka pengetahuan manusia tidak
mencerminkan realitas, kecuali karena film mencerminkan macam-macam gerak dan
aktivitas yang dihimpun oleh film tersebut. Jadi, pengetahuan itu tidak
berkembang atau tumbuh secara dialektik mengikuti realitas yang tecermin.
Tetapi, adalah niscaya membentuk pengetahuan yang konstan mengenai setiap
tahapan realitas.
Mari kita ambil contoh
lain, yaitu elemen uranium yang mempertunjukkan gelombang alfa, beta dan gamma,
dan berangsur-angsur menjadi elemen lain yang berat atomnya lebih ringan
daripada uranium itu, yaitu elemen radium yang pada gilirannya berangsur-angsur
berubah menjadi elemen yang lebih ringan daripada radium, dan terus melalui
(berbagai) tahap sampai menjadi timah hitam. Ini adalah realitas objektif yang
dijelaskan ilmu pengetahuan tersebut. Nah, apakah yang dimaksudkan Marxisme
dengan perkembangan dialektik ide mental atau kebenaran sesuai dengan
perkembangan realitas? Apabila Marxisme memaksudkan hal ini bahwa ide kita
tentang uranium itu sendiri berkembang secara dialektik dan alami mengikuti
perkembangan uranium, sehingga memancarkan gelombang-gelombang tertentu uranium
dan berubah pada akhirnya menjadi timah hitam, maka ini lebih dekat kepada
omongan canda daripada pembicaraan filosofis yang rasional. Kalau Marxisme
memaksudkan hal ini dengan menyatakan bahwa orang tidak boleh melihat uranium
sebagai elemen beku yang tidak bergerak, tetapi sebagai sesuatu yang
melanjutkan perjalanannya dan yang tentang setiap tahapnya orang membuat ide,
maka ini akan mendekati diskusi; (karena) ia tak memaksudkan gerak dialektik
kebenaran dan ide. Setiap ide yang kita ciptakan tentang tahapan tertentu
perkembangan uranium adalah konstan dan tidak berkembang secara dialektik ke
ide lain. Tetapi ditambahkan padanya ide baru. Pada akhir proses ini kita
memiliki sejumlah ide dan kebenaran konstan, yang masing-masing menggambarkan
derajat tertentu realitas objektif. Nah, mana dialektika dalam pikiran? Mana
pula ide yang berkembang secara alami mengikuti perkembangan luar? Inilah semua
yang berhubungan dengan upaya (penjelasan) dan penolakan Marxisme tentangnya.
Upaya kedua yang dibuat
Marxisme untuk membuktikan dialektika dan perkembangan pikiran adalah bahwa
pikiran atau pengetahuan adalah salah satu fenomena alam dan merupakan produk
lebih tinggi materi dan pada gilirannya adalah bagian dari alam. Ia diatur oleh
undang-undang yang menguasai alam. Ia berubah dan tumbuh secara dialektik,
sebagaimana dilakukan semua fenomena alam.
Kami harus mengingatkan
bahwa pembuktian ini berbeda dengan pembuktian terdahulu. Dalam pembuktian
terdahulu, Marxisme berupaya membuktikan adanya gerak dalam pikiran disebabkan
karakter pikiran adalah refleksi realitas yang bergerak. Refleksi tidak akan
sempurna, jika realitas bergerak itu tidak tecermin dalam pikiran dalam gerak
dan pertumbuhannya. Namun dalam upaya ini, Marxisme berupaya menunjukkan bahwa
gerak dialektik pikiran disebabkan oleh karakter pikiran sebagai bagian dari
alam. Hukum-hukum dialektika berlaku pada materi dan sekaligus pengetahuan, dan
mencakup baik realitas maupun pikiran. Karena, keduanya adalah suatu aspek dari
alam. Jadi, pikiran atau kebenaran tumbuh dan berkembang, bukan saja karena ia
mencerminkan suatu realitas yang berkembang dan tumbuh, karena ia sendiri
adalah bagian dari alam yang berkembang sesuai hukum-hukum dialektika.
Dialektika, selain memastikan adanya gerak dinamis, yang berdasarkan
kontradiksi internal di dalam maujud terdalam setiap fenomena objektif alam,
juga memastikan adanya gerak dinamis dalam fenomena-fenomena pikiran dan
pengetahuan. Mari kita telaah apa yang berkaitan dengan subjek ini dalam
teks-teks berikut: “Maujud adalah gerak materi yang tunduk kepada hukum-hukum. Sebab,
pengetahuan kita hanyalah produk superior alam. Oleh karena itu, ia hanyalah
mencerminkan hukum-hukum ini.” [156]
“Kalau kita pertanyakan
alam pikiran itu, alam kesadaran dan sumber keduanya, kita dapatkan bahwa
manusia itu sendiri adalah produk alam. Ia tumbuh dalam suatu komumtas tertentu
dan bersama tumbuhnya komunitas tersebut. Ketika inilah ia menjadi jelas bahwa
produk-produk akal manusia yang adalah juga, pada analisis akhir, merupakan
produk-produk alam, bukan berada dalam kontradiksi, tetapi dalam kesesuaian
dengan seluruh alam yang saling berhubungan.”[157]
Titik pokok yang menjadi
tumpuan pembuktian ini adalah mengambil penjelasan materialis murni terhadap
pengetahuan yang dikenakan pada pengetahuan alam, termasuk hukum gerak. Kami
akan menganalisis titik pokok ini pada bagian tersendiri dari pembahasan ini.
Tetapi, di sini kita coba pertanyakan kepada kaum Marxis: Apakah penjelasan
materialistik tentang pikiran atau pengetahuan dikhususkan bagi pikiran-pikiran
kaum dialektikawan saja? Atau seluruh pikiran orang-orang non-dialektikawan,
yaitu orang-orang yang tidak mempercayai dialektika? Kalau ini mencakup segenap
pikiran – seperti dipastikan filsafat materialistik – maka semua pikiran harus
tunduk kepada hukum-hukum perkembangan umum materi. Dan karena itu, secara aneh
menjadi kontradiksi bagi Marxisme untuk menuduh pemikiran-pemikiran lain
sebagai beku dan mandek, dan menganggap pemikirannya sebagai satu-satunya yang
berkembang dan tumbuh dikarenakan fakta bahwa ia bagian dari alam yang
progresif, padahal segenap pikiran manusia, menurut ide materialisme, tidak
lain hanyalah produk alam. Yang terkandung pada masalah tersebut adalah bahwa
para pengikut logika umum atau logika formal – seperti yang mereka klaim –
tidak mempercayai perkembangan dialektik pikiran, seperti dilakukan kaum
Marxis. Tetapi, kapan kepercayaan terhadap suatu hukum alam itu menjadi suatu
kondisi bagi adanya hukum itu? Bukankah tubuh Pasteur, [158] yang
menemukan mikroba itu dan tubuh Ibn Sina, yang tak tahu apa pun tentang
mikroba, sama-sama bereaksi terhadap hasil-hasil (germs [159]),
sesuai dengan hukum-hukum alam yang menguasai hasil-hasil (germs)? Demikian
pula halnya dengan setiap hukum alam. Jadi, kalau dialektika adalah hukum alam
yang berlaku pada pikiran dan juga materi sekaligus, maka ia berlaku pada (semua)
pikiran manusia juga. Dan jika dalam pengungkapannya ada sesuatu, maka ia hanya
kecepatan gerak berkembang saja.
Upaya ketiga adalah
mengeksploitasi kemenyeluruhan dan perkembangan ilmiah di berbagai lapangan dan
menganggapnya sebagai dalil empirik atas dialektika dan perkembangan pikiran.
Sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri – dalam pandangan Marxisme – adalah
sejarah gerak dialektik pikiran yang semakin sempurna dalam perjalanan zaman.
Berkata Kedrov: “Dan kebenaran mutlak, hasil dari kebenaran-kebenaran nisbi,
adalah gerak historik perkembangan. Ia adalah gerak pengetahuan. Oleh sebab
itu, logika dialektik Marxis membahas sesuatu yang dipelajarinya dari
cara-pandang kesejarahan, dari cara-pandang bahwa maujudnya sesuatu itu adalah
proses pertumbuhan dan perkembangan. Logika ini sesuai dengan sejarah umum
pengetahuan dan sejarah ilmu. Dan Lenin – ketika menunjukkan bahwa dialektika
mendapatkan kesimpulan-kesimpulannya dari sejarah pikiran dan sekaligus
menyatakan bahwa sejarah pikiran dalam logika harus sesuai, sebagian atau
seluruhnya, dengan hukum-hukum pikiran – menggunakan sebagai contoh ilmu-ilmu
alam, ekonomi, politik dan sejarah.” [160]
Adapun bahwa sejarah
pengetahuan dan ilmu manusia itu penuh dengan kemajuan dan kesempurnaan ilmu
pengetahuan di berbagai lapangan dan berbagai bentuk kehidupan dan pengalaman,
ini tidak diperdebatkan lagi. Sekali pandang kepada ilmu pengetahuan sekarang
dan dulu membuat kita sangat mempercayai tentang perkembangan yang cepat dan
penyempumaan yang pesat yang telah dicapai ilmu pengetahuan pada pacuan
terakhirnya. Tetapi, perkembangan ilmiah itu bukanlah sejenis gerak dalam arti
filosofis yang dimaksudkan Marxisme. Bahkan itu tak lebih dari berkurangnya
kuantitas kesalahan dan bertambahnya kuantitas kebenaran. Ilmu pengetahuan
berkembang tidak dalam arti bahwa kebenaran ilmiah tumbuh dan menyempurnma,
tetapi dengan pengertian bahwa kebenaran-kebenarannya bertambah dan semakin
banyak, sementara kesalahan-kesalahannya menyusut dan semakin sedikit,
mengikuti membesarnya ruang lingkup eksperimen, semakin mendalamnya eksperimen,
dan ketepatan perangkat-perangkat eksperimen.
Untuk memperjelas hal itu,
kita harus memberikan ide tentang prosesi perkembangan ilmiah dan metode
progresi dan menyempurna berangsur-angsur teori-teori dan kebenaran-kebenaran
ilmiah, agar kita dapat membedakan perbedaan antara apa yang diduga sebagai
dialektika pikiran di satu segi, dan perkembangan historis ilmu-ilmu manusia,
dari segi lain. Kebenaran-kebenaran ilmiah bermula dengan prosedur teoretis,
seperti hipotesis riset yang terlintas dalam benak ilmuwan alam disebabkan
sejumlah informasi terdahulu dan observasi-observasi ilmiah atau sederhana.
Jadi, hipotesis adalah tahapan pertama yang dilalui teori ilmiah dalam prosesi
developmentalnya. Kemudian, ilmuwan tersebut memulai penelitian ilmiah dan
pengkajian eksperimental terhadap hipotesis tersebut. Ia lantas melakukan
berbagai pengujian melalui observasi-observasi ilmiah yang akurat dan
bermacarn-macam eksperimen di lapangan yang berkaitan dengan hipotesis tadi.
Nah, apabila hasil-hasil observasi atau eksperimen itu sesuai dengan hipotesis
itu dan selaras dengan wataknya dan watak fenomenanya, maka hipotesis tersebut
mendapatkan karakter baru, yaitu karakter sebuah hukum ilmiah. Teori tersebut
kemudian memasuki tahapan kedua prosesi ilmiahnya. Tetapi, perkembangan yang
memindahkan teori tersebut dari tangga hipotesis ke tangga hukum, tidak berarti
bahwa kebenaran ilmiah itu telah tumbuh dan berubah. Tetapi artinya adalah
bahwa ide tertentu itu pada mulanya diragukan, lantas dipercaya atau diyakini
secara ilmiah. Teori Pasteur tentang makhluk hidup mikrobik yang dibuatnya
berdasarkan intuisi, kemudian didukung oleh observasi-observasi cermat dengan
perangkat-perangkat ilmiah modern. Juga teori gravitasi umum, yang hipotesis
untuknya dibangkitkan di dalam benak Newton oleh pemandangan sederhana
(pemandangan jatuhnya buah apel di atas tanah), membuat Newton bertanya:
Mengapa kekuatan yang membuat apel itu jatuh ke atas tanah bukan kekuatan yang
menjaga keseimbangan bulan dan memandu geraknya? Kemudian eksperimen-eksperimen
dan observasi-observasi ilmiah mendukung berlakunya gravitasi pada benda-benda
samawi, dan menganggapnya sebagai hukum umum yang didasarkan pada hubungan
tertentu.
Begitu pula dengan teori
yang menyatakan bahwa perbedaan kecepatan jatuhnya benda-benda dinisbahkan
kepada resistensi udara, bukan kepada perbedaan massanya, yang lahir sebagai
peristiwa ilmiah (yang penting) yang kebenarannya kemudian dikukuhkan ilmu
melalui eksperimen-eksperimen terhadap berbagai benda di suatu ruang hampa
udara sehingga menunjukkan bahwa benda-benda itu sama memiliki derajat tertentu
kecepatan – saya katakan, teori-teori tersebut dan beribu-ribu teori lainnya,
semuanya telah melewati tahapan perkembangan yang telah disebutkan di atas
dengan melalui tangga hipotesis ke tangga hukum. Mereka tidak mengungkapkan
melalui pelaluan dan perkembangan pertumbuhan pada kebenaran itu sendiri,
tetapi perbedaan derajat pembenaran ilmiah terhadap teori tersebut. Jadi, ide
itu adalah ide yang sama, hanya ia telah melewati ujian ilmiah. Karena ini, ia
menjadi jelas sebagai kebenaran, setelah sebelumnya ia diragukan.
Setelah teori itu mencapai
tempatnya yang tepat di antara hukum-hukum ilmiah, ia memerankan peran
aplikasinya, dan mendapatkan kualitasnya sebagai referensi ilmiah untuk
menerangkan fenomena-fenomena alam yang tampak dalam observasi, eksperimen,
atau pengungkapan realitas-realitas dan misteri-misteri baru. Semakin teori itu
mampu mengungkapkan realitas-realitas tersembunyi, kemudian eksperimen
mempertegas kebenarannya, semakin kukuh dan jelaslah teori tersebut dalam
mentalitas ilmiah. Karena itu, ditemukannya planet Neptunus oleh para ahli
berdasarkan hukum gravitasi dan formula matematisnya dianggap sebagai
kemenangan besar bagi teori gravitasi umum. Adanya planet ini lalu dikukuhkan
oleh observasi-observasi ilmiah. Ini juga hanyalah semacam kepercayaan ilmiah
yang kuat terhadap kebenaran teori tersebut. Jika teori senantiasa disertai
keberhasilan dalam lapangan ilmiah, berarti kebenarannya terkukuhkan. Jika, di
lain pihak, ia mulai bergeser dari bersesuaian dengan realitas yang secara
ilmiah diselidiki dengan cermat, setelah dengan hati-hati menelaah
sistem-sistem dan alat-alatnya, dan setelah membuat observasi-observasi dan
pengujian-pengujian yang luas, teori itu memulai pada titik itu tahap
penyesuaian (adjustment) dan pembaruan. Pada tahap ini, observasi-observasi dan
eksperimen-eksperimen baru kiranya diperlukan untuk melengkapi teori ilmiah sebelumnya
melalui ide-ide baru yang ditambahkan pada teori sebelumnya, sehingga satu
penjelasan tentang segenap realitas eksperimental akan didapat. Keping-keping
bukti ilmiah dapat mengungkapkan kepalsuan teori sebelumnya. Maka, berdasarkan
eksperimen dan observasi, teori ini gugur dan diganti teori lain.
Dalam hal itu semua, tidak
mungkin kita memahami perkembangan ilmiah secara dialektik atau membayangkan
kebenaran itu sebagaimana diasumsikan dialektika bahwa ia tumbuh dan berubah
sesuai dengan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya, dan karenanya, mengambil
bentuk baru dalam setiap tahap, sedangkan dalam semua bentuk tersebut ia adalah
kebenaran ilmiah yang sempurna. Hal ini sangat jauh dari realitas ilmiah
pikiran manusia. Tapi, apa yang terjadi dalam lapangan penyesuaian ilmiah
adalah pencapaian realitas-realitas baru yang ditambahkan kepada realitas yang
sudah konstan, atau pengungkapan kesalahan kebenaran terdahulu dan kebenaran
ide lain untuk menerangkan realitas. Apa yang terjadi pada teori atomik (teori
atomisme) termasuk kategori pertama: pencapaian kebenaran-kebenaran baru yang
ditambahkan kepada kebenaran ilmiah yang tetap. Teori ini pada mulanya adalah
hipotesis, dan lalu sesuai dengan eksperimen-eksperimen, ia menjadi hukum
ilmiah. Lalu berdasarkan eksperimen-eksperimen, fisika dapat mencapai
(kesimpulan) bahwa atom bukanlah unit primordial materi, tetapi bahwa ia
sendiri juga tersusun dari bagian-bagian. Demikianlah, bagaimana teori atomik
dilengkapi ide ilmiah baru tentang nucleus dan muatan-muatan yang darinya atom
tersusun. Jadi, kebenaran tidak tumbuh, tetapi kebenaran-kebenaran ilmiah
bertambah. Dan pertambahan kuantitatif bukanlah pertumbuhan dialektik dan gerak
filosofis kebenaran.
Termasuk ke dalam kategori
kedua (pengungkapan kesalahan teori terdahulu dan validitas ide lain) adalah
apa yang terjadi dalam teori gravitasi umum (penjelasan mekanik tentang alam
dalam teori-teori Newton). Penjelasan ini telah diketahui tidak sesuai dengan
sejumlah fenomena elektrik dan magnetik, dan tidak tepat untuk menerangkan
bagaimana caranya cahaya terbentuk dan tersebar, dan juga hal-hal serupa yang
diambil kaum fisikawan modern untuk membentuk bukti tentang kesalahan konsep
Newton tentang alam. Berdasarkan itu, Einstein mengemukakan teori relativitasnya
yang dituangkannya dalam penjelasan tentang alam secara matematis yang berbeda
sama sekali dengan penjelasan Newton. Nah, apakah mungkin kita katakan bahwa
teori Newton dan teori Einstein dalam menjelaskan alam itu adalah sama-sama
benar, dan bahwa kebenaran telah berkembang dan tumbuh sedemikian sehingga ia
berbentuk teori relativitas setelah sebelumnya berbentuk (teori) gravitasi
umum? Apakah ruang, waktu dan massa[161] – tiga serangkai besaran
konstan mutlak dalam penjelasan Newton – adalah kebenaran ilmiah yang tumbuh
dan berubah sesuai dengan hukum gerak dialektik, lantas berubah menjadi
relativitas dalam ruang, waktu dan massa? [162] Atau daya gravitasi
dalam teori Newton berkembang menjadi keluk pada ruang dan waktu; lantas daya
mekanik oleh gerak merupakan sifat geometri dunia, [163] yang
melaluinya gerak bumi di sekitar matahari dan gerak-gerak lainnya dijelaskan,
sebagaimana kelukan radiasi nuklir?
Satu-satunya
(interprestasi) yang rasional adalah bahwa eksperimen yang banyak sekali atau cermat
telah menampakkan kesalahan (tidak sempurnanya) teori terdahulu, tiadanya
kebenaran (atau generalitas) di dalamnya, dan bukti adanya kebenaran (atau
generalitas) dalam penafsiran lain.[164] Demikianlah, apa yang kami
tegaskan menjadi jelas akhirnya: bahwa perkembangan ilmiah tidak berarti bahwa
kebenaran itu tumbuh dan berangsur-angsur menjadi maujud. Tetapi artinya adalah
menyempurnanya pengetahuan karena pengetahuan adalah suatu keseluruhan, yakni
karena ia adalah himpunan teori dan hukum. Lantas, arti menyempurnanya ialah
kenaikan kuantitatif kebenaran-kebenarannya dan berkurangnya secara kuantitatif
kesalahan-kesalahannya.
Akhirnya kita ingin tahu
apa yang diupayakan Marxisme dalam perkembangan kebenaran itu dan berlakunya
dialektika pada kebenaran. Pertama, ia berupaya menafikan kebenaran mutlak.
Kalau kebenaran berada dalam gerak dan pertumbuhan selamanya, maka tidak ada
kebenaran-kebenaran yang konstan dan mutlak. Dan pada gilirannya, akan rubuhlah
kebenaran-kebenaran konstan metafisis, yang untuk itu Marxisme mengutuk
teologi. Kedua, ia berupaya menafikan kesalahan mutlak dalam perjalanan
perkembangan ilmiah. Perkembangan ilmiah, dalam arti dialektika, tidak berarti
bahwa teori terdahulu adalah salah mutlak, tetapi bahwa itu adalah kebenaran
nisbi. Ini berarti bahwa ia adalah benar pada tahapan tertentu perkembangan dan
pertumbuhan. Dengan itulah, Marxisme menempatkan jaminan kebenaran dalam berbagai
tahap penyempumaan ilmiah.
Dua sasaran tersebut
menjadi tumbang, berdasarkan penjelasan yang benar dan rasional terhadap
perkembangan ilmiah yang telah kami uraikan. Menurut penjelasan tersebut,
perkembangan ilmiah bukanlah tumbuhnya kebenaran tertentu, tetapi adalah
penemuan-penemuan baru kebenaran-kebenaran yang sebelumnya tidak diketahui, dan
juga pembetulan kesalahan-kesalahan terdahulu. Setiap kesalahan yang dapat
diperbaiki adalah kesalahan mutlak, dan setiap kebenaran yang dapat terungkap
adalah kebenaran mutlak. Saya tambahkan, bahwa Marxisme telah jatuh ke dalam
kekacauan yang mendasar antara kebenaran, dalam arti pikiran, dan kebenaran,
dalam arti realitas objektif yang mandiri. Metafisika menyatakan adanya
kebenaran mutlak dalam arti kedua. Ia meyakini suatu realitas objektif yang
tetap di balik batas-batas alam. Ini tidak bertentangan dengan penafian
kebenaran dalam arti yang pertama dan perkembangan yang terus menerus.
Asumsikanlah bahwa kebenaran dalam akal orang itu berkembang dan bergerak
selamanya. “Mudarat” apa yang dikenakan sebab ini kepada realitas metafisis
yang diyakini teologi, selama kita menerima kemungkinan adanya realitas
objektif. yang berdiri sendiri yang terlepas dari kesadaran dan pengetahuan?
Marxisme dapat memenuhi kehendaknya jika kita menuntut idealisme dan kita
katakan bahwa realitas adalah kebenaran yang maujud di dalam akal kita saja.
Kalau kebenaran di dalam pikiran kita itu berkembang dan berubah, maka tidak
akan ada tempat untuk mempercayai suatu realitas mutlak. Jika di lain pihak,
kita membedakan antara pikiran dan realitas, dan menerima kemungkinan adanya
realitas yang berdiri sendiri yang lepas dari kesadaran dan pikiran, maka tak
akan ada mudarat bagi adanya realitas mutlak di luar batas-batas pengetahuan,
sekalipun kiranya tidak terdapat kebenaran mutlak apa pun di dalam pikiran
kita.
Kontradiksi-Kontradiksi Perkembangan
Berkata Stalin: “Titik
mula dialektika, berbeda dengan metafisika, adalah pandangan yang berdasarkan
fakta bahwa segala sesuatu dan peristiwa-peristiwa alam mengandung kontradiksi-kontradiksi,
karena semuanya memiliki segi negatif dan segi positif di masa lalu dan kini.
Di dalam semuanya itu terdapat elemen-elemen yang hancur dan berkembang. Jadi,
pergulatan hal-hal yang berlawanan tersebut terletak dalam kandungan internalnya
yang membuat perubahan-perubahan kuantitatif menjadi perubahan-perubahan
kualitatif.”[165] Berkata pula Mao Tse Tung: “Hukum kontradiksi
dalam sesuatu, yakni hukum kesatuan hal-hal yang berlawanan, adalah hukum yang
paling mendasar dan terpenting dalam materialisme dialektika. Berkata Lenin:
‘Dialektika, dalam artinya yang akurat, adalah mempelajari kontradiksi dalam
esensi terdalam sesuatu.’ Dan Lenin sering menyebut hukum ini ‘esensi
dialektika’, sebagaimana ia menyebutnya ‘jantung dialektika’.” [166]
Inilah hukum dasar yang
diyakini dialektika sebagai dapat menjelaskan alam dan dunia, dan dapat
membenarkan gerak linier dan perkembangan-perkembangan serta lompatan-lompatan
gerak ini. Ketika Lenin menjauhkan ide prinsip pertama dari filsafatnya, dan
menganggap sepenuhnya mustahil asumsi suatu sebab di luar alam, ia perlu
memberikan alasan dan penjelasan tentang perjalanan yang terus-menerus dan
perubahan yang konstan di dalam dunia materi, untuk menunjukkan bagaimana
materi itu berkembang dan bentuknya berbeda-beda. Yakni, untuk menentukan
sumber gerak dan sebab primer fenomena-fenomena wujud. Ia kemudian
mengasumsikan bahwa sumber tersebut ada dalam kandungan internal materi. Jadi,
materi mengandung pemasokan terus-menerus suatu gerak. Namun bagaimana materi
itu memiliki pemasokan tersebut? Inilah pertanyaan mendasar dalam masalah
tersebut yang dijawab dialektika dengan bahwa materi adalah kesatuan hal-hal
yang berlawanan dan himpunan kontradiksi. Nah, kalau semua hal berlawanan dan
kontradiksi itu menyatu, melebur dalam unitas tertentu, maka adalah alami bahwa
di antara kontradiksi-kontradiksi itu terjadi konflik untuk mendapatkan
pengetahuan. Dari konflik inilah muncul perkembangan dan penisbahan. Dan pada
gilirannya, alam mencapai tahap-tahap penyempurnaannya melalui cara itu. Atas
dasar hal itu, Marxisme mencampakkan prinsip non-kontradiksi, dan menganggapnya
sebagai karakteristik berpikir metafisis dan salah satu dasar logika formal
yang tunduk kepada cangkul tajam dialektika. Ini ditegaskan Kedrov seraya
berkata: “Kita memahami kata ‘logika formal’ sebagai logika yang berdasarkan
hanya empat hukum pikiran: hukum identitas, kontradiksi, konversi, dan
pembuktian. Logika ini berhenti pada batas ini. Tetapi kita menganggap logika
dialektika sebagai ilmu pikiran yang berdasarkan metode Marxisme yang dicirikan
oleh hal-hal pokok ini: mengakui (1) hubungan umum, (2) gerak perkembangan, (3)
lompatan-lompatan perkembangan, dan (4) kontradiksi perkemb angan.” [167]
Demikianlah kita melihat
dialektika menjauhkan sebagian besar pikiran intuitif manusia dari lapangannya.
Ia mengingkari prinsip non-kontradiksi dan menganggap kontradiksi sebagai hukum
umum alam dan wujud. Dialektika, dalam pengingkaran dan pengasumsian ini,
menerapkan prinsip non-kontradiksi tanpa disadarinya. Seorang dialektikawan,
ketika mempercayai kontradiksi-kontradiksi dialektik dan penjelasan dialektik
tentang alam, mendapati dirinya terpaksa menolak prinsip non-kontradiksi dan
penjelasan metafisisnya. Adalah jelas bahwa ini tidak lain hanya karena watak
manusia tidak dapat mengkompromikan antara penafian dan afirmasi. Tetapi, ia
merasakan secara esensial adanya pertentangan mutlak antara keduanya. Kalau
tidak begini, mengapa Marxisme menolak prinsip non-kontradiksi dan yakin akan
kepalsuannya? Bukankah itu karena ia mempercayai adanya kontradiksi, dan tidak
kuasa mempercayai penafiannya selama ia mempercayai afirmasinya?
Dan demikianlah kita tahu
bahwa prinsip non-kontradiksi adalah prinsip pokok umum yang pikiran manusia
tidak dapat terlepas darinya, bahkan dalam saat bersemangat terhadap
dialektika. Kontradiksi dialektik juga menyebabkan digugurkannya prinsip
identitas (A adalah A) dari kamus dialektika, dan diperbolehkan sesuatu itu
menjadi bukan dirinya. Bahkan kontradiksi dialektik umum meniscayakan hal itu,
karena setiap sesuatu mengandung hal yang bertentangan dengannya dan
mengungkapkan penafiannya pada saat penetapannya. Jadi, “A adalah A” tidak
demikian secara mutlak. Bahkan setiap maujud adalah hal kontradiktif dan
penafian dirinya, sebagaimana ia adalah penetapannya. Karena maujudnya secara
esensial kontradiktif dan mengandung penafian serta penetapan yang selalu
berkonflik dan yang melalui konflik mereka, meletuskan gerak.
Kaum Marxis tidak berusaha
membuktikan kontradiksi segala sesuatu, yakni hukum dialektika dan asas
dialektiknya, kecuali dengan sejumlah contoh dan fenomena. Mereka berupaya
menunjukkan kontradiksi dan dialektika alam dengan contoh-contoh dan
fenomena-fenomena tersebut. (Bagi mereka) kontradiksi merupakan salah satu
hukum logika dialektika, karena alam itu sendiri kontradiktif dan dialektik.
Ini terjelaskan oleh jenis-jenis kontradiksi yang dikemukakan indera atau yang
diungkapkan ilmu pengetahuan, yang menghancurkan prinsip non-kontradiksi dan
menjadikannya tidak selaras dengan realitas dan hukum-hukum alam yang menguasai
berbagai lapangan dan wilayah alam.
Sebelumnya pernah kita
singgung bahwa Marxisme tidak mendapatkan jalan bagi dinamisme alam dan
bagaimana membuat kekuatan-kekuatan yang aktif oleh gerak sebagai kandungan
internal materi progresif itu sendiri, kecuali dengan berangkat dari
kontradiksi dan mempercayai bersatunya hal-hal kontradiktif dalam suatu
kesatuan yang progresif, mengikuti pergulatan hal-hal kontradiktif tersebut.
Jadi, permasalahan tersebut, dalam pandangan Marxisme, hanya mempunyai dua
sisi. Pertama, kita membentuk ide kita tentang alam berdasarkan prinsip yang
menyatakan tidak adanya kontradiksi. Maka, tidak ada penafian dan penetapan
dalam jantung segala sesuatu, dan tidak ada konflik hal-hal kontradiktif di
dalamnya. Dan pada gilirannya, mestilah kita mencari sumber gerak dan
perkembangan dalam sebab yang lebih tinggi daripada alam dan
perkembangan-perkembangannya. Kedua, kita bangun logika kita berdasarkan
keyakinan akan adanya kontradiksi dalam jantung segala sesuatu, pada setiap
maujud hal-hal kontradiktif atau penafian dan penetapan menyatu.[168]
Dengan demikian, kita mendapati rahasia perkembangan dalam kontradiksi internal
itu. Karena alam, dalam keyakinan Marxisme, mengajukan bukti dan kesaksian
dalam setiap kesempatan dan bidang tentang kontradiksi dan bersatunya hal-hal
kontradiktif, maka orang harus mengambil cara-pandang yang kedua.
Faktanya, prinsip non-kontradiksi
adalah hukum yang paling umum dan yang paling lazim bagi berbagai lapangan
aplikasi. Tidak ada sama sekali fenomena eksistensi atau maujud yang terlepas
darinya. Setiap upaya dialektik yang bertujuan untuk menolaknya, atau untuk
menunjukkan alam sebagai kontradiktif adalah upaya sederhana yang berdasarkan
salah paham terhadap prinsip non-kontradiksi, atau berdasarkan kesesatan
tertentu. Karena itu, sebelumnya, mari kita jelaskan prinsip nonkontradiksi
dalam arti niscayanya, yang dianggap oleh logika umum sebagai prinsip pokok
pikiran manusia. Setelah itu kita bahas fenomena-fenomena dari apa yang diduga
sebagai kontradiksi dalam alam dan wujud. Berdasarkan fenomena inilah Marxisme
mendirikan logika dialektiknya dan menghancurkan prinsip non-kontradiksi dan
prinsip identitas. Kemudian kami akan menjelaskan keharmonisan
fenomena-fenomena tersebut dengan kedua prinsip itu, dan menjelaskan kosongnya[169]
kedua prinsip itu dari kontradiksi-kontradiksi dialektik. Dengan begitu,
dialektika kehilangan sandarannya dalam alam dan bukti materialnya. Dan pada
gilirannya, kita akan tetapkan sejauh mana dialektika tidak marnpu menerangkan
alam dan membuktikan adanya.
Watak Prinsip Non-kontradiksi
Prinsip
non-kontradiksi adalah prinsip yang mengatakan bahwa kontradiksi itu mustahil.
Jadi, penafian dan penetapan itu tidak mungkin berkompromi dalam setiap
keadaan. Ini sudah jelas. Tetapi kontradiksi macam apakah yang ditolak prinsip
tersebut, dan yang tidak mungkin diterima akal? Apakah itu setiap penafian dan
penetapan? Tentu saja tidak. Tidak semua penafian itu berkontradiksi dengan
setiap penetapan, dan tidak setiap penetapan bertentangan dengan setiap
penafian. Tetapi, penetapan berkontradiksi dengan penafiannya sendiri, bukan
dengan penafian terhadap penetapan yang lain. Adanya sesuatu bertentangan
secara mendasar dengan tidak adanya sesuatu itu, bukan dengan tidak adanya
sesuatu yang lain. Yang dimaksudkan dengan pertentangan keduanya adalah bahwa
keduanya itu tidak mungkin menyatu atau ada bersama-sama. Segi empat memiliki
empat sisi. Ini adaIah kebenaran geometrik yang konstan. Segi tiga tidak
mempunyai empat sisi. Ini adalah penafian sahih yang konstan. Antara penafian
ini dan penetapan itu tidak ada kontradiksi sama sekali. Karena masing-masing
berkenaan dengan subjek tertentu yang berbeda dengan subjek yang ditangani yang
lainnya. Jadi, sisi empat itu ada dalam segi empat dan tidak ada dalam segi
tiga. Kita tidak menafikan apa yang kita tetapkan, juga tidak menetapkan apa
yang kita nafikan. Kontradiksi itu ada jika kita menetapkan dan sekaligus
menafikan konteradiksi itu empat atau jika menetapkan dan sekaIigus menafikan
bahwa empat sisi itu ada pada segi tiga.
Dengan
pertimbangan tersebut, logika metafisis menetapkan bahwa kontradiksi itu hanya
ada antara penafian dan penetapan yang sesuai keadaannya. Nah, kaIau keadaan
penafian itu berbeda dengan keadaan penetapan, tentu penetapan dan penafian itu
tidak akan kontradiktif. Mari kita ambil beberapa contoh penafian dan penetapan
yang berbeda-beda keadaan-keadaan keduanya.
1.
“Empat adalah genap”. “Tiga bukan genap”. Nah, penafian dan penetapan dalam dua
proposisi ini tidak kontradiktif karena berbedanya subjek yang satu dengan
subjek yang lainnya. Penetapan tersebut berkaitan dengan “empat”, dan penafian
itu berkaitan dengan
2. “Manusia, ketika bayi, cepat percaya”. “Manusia tidak segera percaya ketika muda dan dewasa”. Penafian dan penetapan dalam kedua proposisi ini berkaitan dengan “manusia”. Tetapi, masing-masing mempunyai masanya sendiri yang berbeda dengan masa yang lainnya. Karena itu, tidak ada kontradiksi di sini antara penafian dan penetapan tersebut.
2. “Manusia, ketika bayi, cepat percaya”. “Manusia tidak segera percaya ketika muda dan dewasa”. Penafian dan penetapan dalam kedua proposisi ini berkaitan dengan “manusia”. Tetapi, masing-masing mempunyai masanya sendiri yang berbeda dengan masa yang lainnya. Karena itu, tidak ada kontradiksi di sini antara penafian dan penetapan tersebut.
3.
“Seorang bayi secara aktual tidak mengetahui”. “Seorang bayi mengetahui secara
potensial, yakni ia mungkin mengetahui”. Di sini kita menghadapi penafian dan
penetapan yang tidak kontradiktif. Karena, dalam proposisi pertama, kita tidak
menafikan penetapan yang dikandung proposisi kedua. Proposisi pertama menafikan
adanya atribut tahu pada seorang bayi, dan proposisi kedua tidak menetapkan
adanya atribut tersebut, tetapi menetapkan kemungkinannya, yakni kapasitas
seorang bayi dan kesiapannya untuk mendapatkannya. Jadi, potensi mengetahui
pada bayi itulah yang ditetapkan proposisi kedua ini, bukan tahunya bayi itu
secara aktual.
Demikianlah,
kita tahu bahwa kontradiksi antara penafian dan penetapan hanya terjadi jika
keduanya sama-sama memiliki subjek yang sama, dan selaras berkenaan dengan
kondisi-kondisi ruang dan waktu, dan lain sebagainya. Sedangkan jika penetapan
dan penafian tersebut tidak sekaligus ada dalam semua kondisi ini, maka antara
keduanya tidak akan ada kontradiksi. Tidak ada seseorang atau suatu logika apa
pun yang dapat menetapkan kemustahilan kebenaran dalam kasus ini.
Cara Marxisme Memahami Kontradiksi
Setelah
kita kaji ide kontradiksi dan kandungan prinsip dasar logika umum (prinsip non-kontradiksi),
kita harus menyoroti pemahaman Marxisme terhadap prinsip tersebut dan
alasan-alasan mengapa Marxisme menolaknya. Tidaklah sulit untuk mengetahui
bahwa Marxisme tidak mampu, atau tidak ingin, memahami prinsip non-kontradiksi
itu dalam artinya yang sahih. Karena itu, ia mengingkarinya untuk membenarkan
materialismenya sendiri. Ia menghimpun sejumlah contoh yang diklaimnya tidak
sesuai dengan prinsip tersebut. Akibatnya, Marxisme membuat kontradiksi dan
konflik antara hal-hal kontradiktif sebagai prinsip logika barunya. Marxisme
memenuhi dunia dengan kegaduhan tentang prinsip ini dan membuat kepada logika
manusia umum tentang menciptakan prinsip ini dan menemukan kontradiksi dan
konflik antara hal-hal yang berlawanan.
Untuk
mengetahui sejauh mana kesalahan Marxisme dan yang mendorongnya untuk menolak
prinsip non-kontradiksi dan prinsip-prinsip lain yang berdasarkan padanya,
seperti logika metafisis, kita harus membedakan secara gamblang antara dua hal:
Pertama, konflik antara hal-hal berlawanan secara eksternal; kedua, konflik
antara hal-hal berlawanan dan kontradiksi-kontradiksi yang berkumpul dalam
suatu kesatuan tertentu. Yang kedua itulah yang bertentangan dengan prinsip non-kontradiksi.
Sedangkan yang pertama tidak berhubungan sama sekali dengan bersatunya
kontradiksi. Karena, ia tidak berkenaan dengan bersatunya dua hal yang
berlawanan. Tetapi, justru dirujukkan kepada eksistensi mandiri masing-masing
dari hal-hal itu. Adanya pergulatan antara keduanya melahirkan hasil tertentu.
Bentuk pantai, misalnya, adalah hasil dari saling aksi antara ombak-ombak air dan
arus-arus air, di satu pihak, yang bertabrakan dengan daratan (sehingga membuat
tepinya mundur) dan, di lain pihak, kekuatan daratan dalam menghadapi arus dan
sedikit banyak mendorong kembali ombak-ombak tersebut. Bentuk suatu bejana dari
tanah liat adalah hasil proses yang terjadi antara sekuantitas tanah liat dan
tangan pengrajin.
Kalau
materialisme dialektik memaksudkan konflik antara hal-hal yang berlawanan
secara eksternal tersebut, maka ini tidak bertentangan sama sekali dengan
prinsip non-kontradiksi, dan tidak menuntut diterima-nya kontradiksi yang
ditolak pikiran manusia sejak permulaan adanya. Karena, hal-hal kontradiktif
tidak pernah berkumpul dalam suatu kesatuan. Masing-masing itu ada secara
mandiri dalam lingkungannya sendiri. Masing-masing saling beraksi sehingga
tercapai suatu hasil tertentu. Juga, prinsip tidak membenarkan kemandirian dan
tidak dibutuhkannya sebab luar. Bentuk pantai atau bentuk bejana tersebut tidak
terdeterminasikan dan tidak maujud melalui perkembangan yang berdasarkan
kontradiksi-kontradiksi internal. Tetapi itu terjadi melalui proses eksternal
yang direalisasikan oleh dua hal yang berlawanan yang berdiri sendiri. Konflik
antara hal-hal kontradiktif eksternal dan proses-proses mereka bukanlah penemuan
materialisme atau dialektika. Tetapi ia adalah sesuatu yang sudah jelas dan
ditetapkan oleh setiap logika dan setiap filosof – baik itu materialis maupun
teolog – sejak jauh sebelum masa-masa materialisme dan teologi, dan sampai hari
ini. Mari kita ambil Aristoteles, tokoh aliran metafisika dalam filsafat
Yunani, sebagai contoh. Kita jadikan Aristoteles sebagai contoh bukan lantaran
ia filosof teologi saja, tetapi juga karena ia telah mengemukakan kaidah, prinsip-prlnsip
dan asas-asas logika umum yang oleh kaum marxis dinamakan logika formal”.
Aristoteles percaya adanya konflik antara hal-hal kontradiktif eksternal,
meskipun ia mendirikan logika itu berdasarkan prinsip non-kontradiksi. Tidak
terlintas dalam pikiran Aristoteles bahwa beratus-ratus tahun kemudian
seseorang akan tampil untuk menganggap konflik tersebut sebagai bukti gugurnya
prinsip niscaya ini. Berikut ini beberapa teks Aristoteles tentang konflik
antara hal-hat kontradiktif eksternal.
“Secara
ringkas, sesuatu dari genus yang sama dapat benar-benar diterima oleh sesuatu
yang lain dari genus yang sama. Sebabnya adalah bahwa segala hal kontradiktif
itu adalah dari genus yang sama, dan bahwa hal-hal kontradiktif mempengaruhi
satu sama lain dan menerima satu sama lain dari yang lain.” [170] “Maka
sesuai dengan bentuk, dan tak sesuai dengan materi, sesuatu yang tertentu
ditambahkan ke setiap bagian dengan cara apa pun. Meskipun begitu keseluruhan
menjadi lebih besar, karena sesuatu ditambahkan kepadanya. Sesuatu itu disebut
‘makanan’, dan disebut juga ‘lawan’. Tetapi sesuatu itu tidak lebih daripada
berubahnya (keseluruhan) itu sendiri. Misalnya, ketika bendungan ditambahkan ke
kering, ia berubah dengan menjadikan dirinya kering. Sesungguhnya, adalah
mungkin bahwa yang serupa tumbuh melalui apa-apa yang dengannya ia serupa, dan
di pihak lain melalui apa-apa yang dengannya ia tak sama.” [171]
Maka
menjadi jelas bahwa operasi-operasi hal-hal yang berlawanan secara eksternal
tak mengungkapkan dialektika, dan juga tak menolak logika metafisis, juga tak
membentuk sesuatu baru dalam lapangan filsafat. Tetapi, itu adalah kebenaran
yang terdeterminasikan dengan jelas dalam berbagai filsafat sejak fajar sejarah
filsafat. Di dalamnya tidak ada apa pun yang membantu mencapai tujuan-tujuan
filosofis Marxis yang hendak dicapai Marxisme berdasarkan dialektika. Sedangkan
kalau Marxisme memaksudkan “kontradiksi” dalam arti real istilah itu, yang
menisbahkan sumber internal kepada gerak – sesuatu yang ditolak prinsip dasar
dalam logika kita – maka kontradiksi akan menjadi sesuatu yang tak dapat
diterima pikiran sehat. Marxisme tak memiliki contoh apa pun mengenai
kontradiksi dalam arti ini dari alam dan fenomena-fenomena wujud sama sekali.
Semua yang dianggap Marxisme sebagai kontradiksi-kontradiksi alam tidak ada
hubungannya dengan dialektika. Mari kita tampilkan beberapa contoh seperti itu
yang melalui ini Marxisme berupaya membuktikan logika dialektiknya, agar kita
tahu sejauh mana kelemahan dan kegagalan Marxisme dalam membuktikan logikanya.
1.
Kontradiksi-kontradiksi gerak. Berkata Georges Lafebvre: [172]
“Ketika tak ada yang terjadi, di sana tidak ada kontradiksi. Sebaliknya, jika
tak ada kontradiksi tidak ada yang terjadi, tak ada yang maujud, dan tidak
terlihat aktivitas apa pun, dan tidak maujud sesuatu yang baru. Apakah materi
berhubungan dengan keadaan mandek, keseimbangan temporer, ataupun dengan
keadaan berkembang, maka maujud atau sesuatu yang tak-kontradiksi pada dirinya
itu ada pada keadaan diam sementara.” [173] Berkata Mao Tse Tung:
“Suatu proposisi dengan kontradiksi umum atau keberadaan mutlak kontradiksi
memiliki pengertian ganda. Pertama adalah bahwa kontradiksi ada dalam proses
perkembangan segala sesuatu. Kedua adalah bahwa dari permulaan hingga akhir
perkembangan setiap sesuatu, ada gerak hal-hal kontradiktif. Berkata Engels
bahwa gerak itu sendiri adalah kontradiktif.” [174] Teks-teks
tersebut menjelaskan bahwa Marxisme mempercayai adanya pertentangan antara
hukum berkembang dan menyempurna dan hukum non-kontradiksi. Ia juga yakin bahwa
berkembang dan menyempurna itu tidak mungkin terealisasikan kecuali berdasarkan
kontradiksi yang terus-menerus. Nah, selama perkembangan dan gerak tersebut
terealisasikan di dunia alam, maka orang harus membuang ide non-kontradiksi dan
harus mengambil dialektika, yang akan menerangkan kepada kita gerak dengan berbagai
bentuk dan macamnya.
Telah
kita singgung di depan – yaitu dalam menelaah gerak perkembangan – bahwa
berkembang dan menyempurna itu sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip
non-kontradiksi, dan bahwa pemikiran yang menyatakan adanya pertentangan antara
keduanya itu bertumpu pada kekacauan antara potensialitas dan aktualitas. Gerak
adalah, dalam setiap tahapnya, penetapan dalam aktualitas dan penafian dalam
potensialitas. Jadi, germ suatu makhluk hidup, ketika berkembang di dalam telur
sampai menjadi anak ayam sampai menjadi ayam dewasa, perkembangan ini tidak
berarti bahwa telur itu pada periode awalnya bukanlah telur dalam aktualitas.
Tetapi, ia adalah telur dalam aktualitas
dan ayam dalam potensialitas, yakni ia bermungkinan menjadi ayam dewasa.
Karena itu, kemungkinan untuk menjadi ayam dewasa dan sifat telur, bukan sifat
telur dan sifat ayam dewasa, bersatu dalam esensi telur. Sesungguhnya kita tahu
lebih dari itu, yaitu bahwa gerak berkembang tidak mungkin dipahami selain
dengan prinsip non-kontradiksi. Kalau saja hal-hal kontradiktif itu dapat
berkumpul dalam esensi sesuatu, tentu tidak akan terjadi perubahan, dan tentu
sesuatu itu tidak akan dapat berganti dari satu ke lain keadaan, dan pada
gilirannya tentu tidak akan ada perubahan dan perkembangan.
Kalau
Marxisme hendak menunjukkan kepada kita bahwa proses gerak mengandung
kontradiksi yang benar-benar bertentangan dengan prinsip non-kontradiksi, maka
hendaklah ia mengajukan contoh perkembangan yang di dalamnya terdapat gerak dan
tidak terdapat gerak, yakni di dalamnya baik penafian maupun penetapan berlaku
pada perkembangan. Apakah Marxisme, setelah menolak prinsip non-kontradiksi,
boleh menyatakan bahwa sesuatu itu berkembang dan tidak berkembang sekaligus?
Kalau ini boleh, Marxisme harus menunjukkan bukti kebolehan itu dalam alam dan
eksistensi. Dan kalau tidak boleh, maka hal itu tidak lain adalah pengakuan
adanya prinsip non-kontradiksi dan kaidah-kaidah logika metafisis.
2. Kontradiksi-kontradiksi kehidupan atau makhluk hidup. Berkata Georges Lefebvre: “Dan meskipun begitu, apakah tidak jelas bahwa kehidupan adalah kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan? Hanya saja maujud hidup tidak mungkin tumbuh tanpa berubah dan berkembang, yakni tanpa berhenti menjadi bagaimana ia itu. Agar ia menjadi orang dewasa, ia harus meninggalkan dan kehilangan masa kanak-kanak. Segala sesuatu yang niscaya menyertai diam akan gugur dan tercampakkan. Jadi, setiap maujud hidup itu berjuang melawan kematian, karena ia membawa kematiannya di dalam dirinya sendiri.”[175] Berkata Engels: “Kita telah melihat sebelumnya bahwa esensi kehidupan adalah bahwa maujud hidup dalam setiap saat adalah dirinya sendiri, dan sekaligus ia bukan dirinya, yakni ia adalah sesuatu yang bukan dirinya. Jadi, kehidupan adalah kontradiksi yang pasti dalam maujud-maujud dan proses-proses itu sendiri.” [176]
2. Kontradiksi-kontradiksi kehidupan atau makhluk hidup. Berkata Georges Lefebvre: “Dan meskipun begitu, apakah tidak jelas bahwa kehidupan adalah kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan? Hanya saja maujud hidup tidak mungkin tumbuh tanpa berubah dan berkembang, yakni tanpa berhenti menjadi bagaimana ia itu. Agar ia menjadi orang dewasa, ia harus meninggalkan dan kehilangan masa kanak-kanak. Segala sesuatu yang niscaya menyertai diam akan gugur dan tercampakkan. Jadi, setiap maujud hidup itu berjuang melawan kematian, karena ia membawa kematiannya di dalam dirinya sendiri.”[175] Berkata Engels: “Kita telah melihat sebelumnya bahwa esensi kehidupan adalah bahwa maujud hidup dalam setiap saat adalah dirinya sendiri, dan sekaligus ia bukan dirinya, yakni ia adalah sesuatu yang bukan dirinya. Jadi, kehidupan adalah kontradiksi yang pasti dalam maujud-maujud dan proses-proses itu sendiri.” [176]
Tidak
diragukan lagi bahwa maujud hidup mengalami dua proses yang dapat diperbarui:
kehidupan dan kematian. Selama dua proses itu melakukan fungsinya, maka
kehidupan pun ada. Tetapi, tidak ada kontradiksi dalam hal ini. Karena kalau
kita analisis kedua proses ini, dan tambahkan kedua proses itu kepada satu
maujud hidup pada mula-mula, kita tahu bahwa proses kematian dan proses
kehidupan tidak bertemu pada satu subjek. Jadi, maujud hidup, dalam setiap
tahap, menerima sel-sel[177] baru dan meninggalkan sel-sel yang
sudah aus. Kematian dan kehidupan menyekat sel-sel (maujud itu). Sel yang rusak
pada satu saat bukanlah sel yang ada dan hidup pada saat tertentu tersebut.
Demikianlah, bagaimana maujud hidup itu pada umumnya tetap bertahan bersama.
Karena, proses kehidupan menggantikan pada dirinya sel-sel yang mati dengan
sel-sel baru. Maka, terus berlangsung kehidupan itu sampai
kemungkinan-kemungkinannya habis dan nyala kehidupannya padam. Tetapi, terdapat
kontradiksi, jika kematian dan kehidupan mencakup semua sel maujud hidup pada
saat tertentu. Tetapi ini bukanlah yang kita ketahui dari watak kehidupan dan
maujud hidup. Maujud hidup tidak membawa dalam dirinya kecuali kemungkinan
mati. Kemungkinan mati tidak berkontradiksi dengan kehidupan. Tetapi, yang
berkontradiksi dengan kehidupan adalah kematian aktual.
3.
Kontradiksi dalam kemampuan manusia untuk tahu. Berkata Engels, menerangkan
prinsip kontradiksi dalam dialektika: “Seperti yang telah kita lihat,
kontradiksi, misalnya, antara kemampuan orang untuk mengetahui, kernampuan yang
mengakar dan tidak terbatas, dan realisasi kemampuan tersebut secara aktual
pada manusia yang terbatas oleh kondisi-kondisi lingkungannya dan kesiapan
menerima pengetahuan secara mental untuk mendapatkan ketetapannya dalam suksesi
tak terbatas generasi-generasi dalam kemajuan tak terhingga, paling tidak
berkenaan dengan kita, dan menurut pandangan praktis.”[178]
Dalam
hal ini kita mendapatkan contoh baru, bukan tentang prinsip kontradiksi, tetapi
tentang kesalahpahaman Marxisme terhadap prinsip non-kontradiksi. Kalau benar
bahwa manusia mampu berpengetahuan sempurna, dan mampu mendapatkan pengetahuan
tersebut dengan dirinya sendiri, maka ini takkan membenarkan dialektika, juga
takkan menjadi fenomena yang merupakan kekecualian bagi logika metafisis serta
prinsip dasar logika ini. Tetapi, ia seperti keyakinan kita bahwa tentara mampu
mempertahankan negeri, dan anggota tentara itu tidak memiliki kemampuan itu.
Nah, apakah ini adalah kontradiktif? Apakah ini sesuatu yang pada penolakannya
logika metafisis bersandar? Sungguh tidak. Kontradiksi ada di antara penafian
dan penetapan, jika subjek keduanya satu. Kalau penetapan berkenaan dengan
seluruh manusia, sementara penafian berkenaan dengan masing-masing individu
secara berdiri sendiri – seperti pada contoh yang dikemukakan Engels – maka di
sini tidak terdapat pertentangan antara penafian dan penetapan.
4.
Kontradiksi dalam fisika: antara muatan negatif dan positif.[179]
Apa yang diduga sebagai kontradiksi ini mengandung dua kesalahan: Pertama,
menganggap muatan positif dan negatif sebagai termasuk dalam kategori ada dan
tak ada, penafian dan penetapan, dikarenakan bahwa ungkapan ilmiah untuk yang
pertama adalah “muatan positif” dan untuk yang lain “muatan negatif”. Padahal
kita semua tahu bahwa ungkapan-ungkapan tersebut semata-mata istilah fisikal
teknis. Hal ini tidak berarti bahwa keduanya adalah dua hal yang kontradiktif,
sebagaimana non-positif dan positif, atau penafian dan penetapan. Maka muatan
positif adalah yang sama dengan muatan yang dihasilkan oleh batangan kaca yang
digosok dengan sepotong sutra. Dan muatan negatif adalah sama dengan muatan
yang dihasilkan oleh ion yang digosok dengan kulit kucing. Jadi, masing-masing
dua muatan itu adalah satu jenis tertentu muatan listrik. Yang satu bukanlah
adanya sesuatu, dan yang lain tidak adanya sesuatu itu. Kedua, menganggap
atraksi sebagai sejenis persatuan. Berdasarkan ini, hubungan atraksi antara
muatan positif dan muatan negatif diterangkan sebagai hubungan kontradiksi, dan
kontradiksi itu dianggap sebagai salah satu fenomena dialektika. Padahal
faktanya, muatan negatif dan positif tersebut tidak berkumpul dalam satu
muatan. Tetapi keduanya adalah dua muatan yang berdiri sendiri-sendiri yang
saling menarik satu sama lain, sebagaimana saling menariknya dua kutub magnet
yang berbeda, tanpa mengindikasikan satu muatan yang positif dan sekaligus negatif
pada saat yang sama, atau adanya satu kutub magnetik yang utara dan sekaligus
selatan. Jadi, saling menarik antara muatan-muatan yang berbeda itu (atau
penolakan antar-muatan yang sama) adalah satu corak interaksi antara hal-hal
kontradiktif eksternal yang berdiri sendiri satu sama lain. Dalam uraian yang
lalu kita telah tahu bahwa interaksi antara hal-hal kontradiktif eksternal sama
sekali bukanlah dialektika, dan tidak berhubungan sama sekali dengan
kontradiksi yang ditolak logika metafisis. Karena itu, permasalahannya adalah
permasalahan dua kekuatan yang satu mempengaruhi yang lain, bukan permasalahan
kekuatan yang melibatkan kontradiksi dalam kandungan dalamnya, seperti diklaim
dialektika.
5.
Kontradiksi aksi dan reaksi dalam mekanika. [180] Menurut Marxisme
dan Newton, hukum mekanika yang mengatakan bahwa setiap aksi pasti mempunyai
reaksi yang menyamainya dalam kuantitas dan bertentangan arah dengannya (bagi
setiap aksi ada reaksi yang sama dan bertentangan) adalah salah satu fenomena
kontradiksi dialektik. Sekali lagi kita mendapati diri kita perlu menegaskan
bahwa hukum Newton ini tidak dengan corak apa pun membenarkan
kontradiksi-kontradiksi dialektik. Karena aksi dan reaksi adalah dua kekuatan
yang ada dalam dua tubuh, bukan dua kontradiksi yang berkumpul dalam satu
tubuh. Dua roda belakang mobil mendorong bumi dengan kekuatan. Ini adalah aksi.
Bumi mendorong dua roda mobil itu dengan kekuatan lain yang secara kuantitatif
sama dan berkebalikan arah dengan kekuatan yang pertama. Ini adalah reaksi, dan
melalui ini, mobil bergerak. Jadi, tubuh yang satu tidak mengandung dua
kekuatan yang kontradiktif, dan kandungan dalamnya juga tidak mengalami
pergulatan antara penafian dan penetapan, atau antar hal yang kontradiktif.
Tetapi, mobil itu mendorong bumi ke satu arah, dan bumi mendorong mobil ke arah
lain.
Dialektika
berusaha menjelaskan pertumbuhan dan gerak sesuatu dengan dua kekuatan penolak
internal atau pergulatan dua kontradiktif internal, masing-masing melawan yang
lain agar yang satu menang atas yang lain dan membentuk sesuatu (yang
mengandung keduanya) mengikuti dirinya. Apakah ini tak berbeda dengan dua
kekuatan luar yang satu melahirkan aksi tertentu dan yang lain reaksi? Kita
semua tahu bahwa dua kekuatan yang saling berlawanan itu, yang keduanya
dilahirkan oleh aksi dan reaksi itu ada dalam dua tubuh, dan tidak mungkin
keduanya ada dalam satu tubuh. Karena, keduanya saling bertentangan dan saling
menafikan. Dan ini tidak lain kecuali karena prinsip non-kontradiksi.
6.
Kontradiksi-kontradiksi perang yang dikemukakan Mao Tse Tung (dalam
kata-katanya): “Sesungguhnya, dalam perang, menyerang dan bertahan, maju dan
mundur, menang dan kalah, semuanya itu adalah fenomena-fenomena kontradiktif.
Yang satu tak mungkin ada tanpa yang lain. Kedua ekstrem itu saling menyerang
(konflik), sebagaimana keduanya menyatu satu sama lain, sehingga membentuk
totalitas perang, sehingga berkembang, dan memecahkan problem-problem perang.”[181]
Pada
faktanya, teks tersebut adalah teks yang paling aneh di antara teks-teks
terdahulu. Di dalamnya, Mao Tse Tung menganggap perang sebagai suatu maujud
hidup real yang mengandung dua kontradiksi, menang dan kalah. Padahal ide
tentang perang ini tidak benar kecuali bagi mentalitas primitif yang telah
terbiasa memandang segala sesuatu dalam kerangka yang umum. Peperangan, dalam
analisis filosofis, tak lain adalah multiplisitas peristiwa-peristiwa, yang
tersatukan hanya dalam cara pengungkapannya saja. Menang bukanlah kalah, dan
tentara yang menang bukanlah tentara yang kalah, dan metode-metode atau
titik-titik kekuatan yang mempersiapkan untuk kemenangan bukanlah metode-metode
atau titik-titik kelemahan yang menyebabkan kekalahan. Hasil-hasil yang
menentukan yang ke sini peperangan mengarah, bukan disebabkan oleh konflik dialektik
dan hal-hal berlawanan yang menyatu. Tetapi disebabkan oleh konflik antara
kedua kekuatan luar yang dari sini yang satu mengatasi yang lain.
7. Kontradiksi-kontradiksi penilaian yang dibicarakan Kedrov: “Betapapun[182] sederhananya suatu penilaian dan bagaimanapun biasanya penilaian itu, ia mengandung benih-benih atau elemen-elemen kontradiksi dialektik yang bergerak dan mmbuh dalam kerangka semua pengetahuan manusia.” [183] Hal ini ditegaskan Lenin dalam kata-katanya: “Memulai dengan proposisi paling sederhana atau dengan proposisi paling biasa dan umum, dan lain-lain, seperti: ‘Daun-daun pohon hijau’, ‘Ivan adalah seorang laki-laki’, ‘Zhucha adalah anjing’, dan seterusnya, juga melibatkan dialektika. Yang khusus adalah yang umum; yakni hal-hal berlawanan (yang khusus itu adalah lawan yang umum) adalah identik. Bahkan di sini juga ada prinsip-prinsip primer, ide-ide niscaya, dan hubungan objektif dengan alam, dan seterusnya. Maka, yang aksidental, yang niscaya, yang lahir, yang substansi, ada di sini. Jadi, kalau saya berkata: ‘Ivan adalah seorang laki-laki’, ‘Zhucha adalah anjing’, ‘Ini adalah daun pohon’, dan seterusnya, maka saya hanya menolak deretan lambang-lambang, karena hal-hal itu adalah aksidental, dan saya memisahkan permukaan dari subtansi serta menetapkaan kontradiksi antara keduanya. Demikian pula, dalam setiap proposisi dan dalam setiap sel, kita dapat mengungkapkan semua unsur dialektika.” [184]
7. Kontradiksi-kontradiksi penilaian yang dibicarakan Kedrov: “Betapapun[182] sederhananya suatu penilaian dan bagaimanapun biasanya penilaian itu, ia mengandung benih-benih atau elemen-elemen kontradiksi dialektik yang bergerak dan mmbuh dalam kerangka semua pengetahuan manusia.” [183] Hal ini ditegaskan Lenin dalam kata-katanya: “Memulai dengan proposisi paling sederhana atau dengan proposisi paling biasa dan umum, dan lain-lain, seperti: ‘Daun-daun pohon hijau’, ‘Ivan adalah seorang laki-laki’, ‘Zhucha adalah anjing’, dan seterusnya, juga melibatkan dialektika. Yang khusus adalah yang umum; yakni hal-hal berlawanan (yang khusus itu adalah lawan yang umum) adalah identik. Bahkan di sini juga ada prinsip-prinsip primer, ide-ide niscaya, dan hubungan objektif dengan alam, dan seterusnya. Maka, yang aksidental, yang niscaya, yang lahir, yang substansi, ada di sini. Jadi, kalau saya berkata: ‘Ivan adalah seorang laki-laki’, ‘Zhucha adalah anjing’, ‘Ini adalah daun pohon’, dan seterusnya, maka saya hanya menolak deretan lambang-lambang, karena hal-hal itu adalah aksidental, dan saya memisahkan permukaan dari subtansi serta menetapkaan kontradiksi antara keduanya. Demikian pula, dalam setiap proposisi dan dalam setiap sel, kita dapat mengungkapkan semua unsur dialektika.” [184]
Tetapi,
adalah hak kita untuk bertanya kepada Lenin tentang sifat umum yang dinisbahkannya
kepada makna kata “seorang laki-laki”. Apakah ia adalah sifat ide yang kita
ciptakan dalam akal kita tentang kata “seorang laki-laki”, atau realitas
objektif kata tersebut? Pertanyaan ini tidak membutuhkan banyak permenungan
agar mencapai jawaban yang benar, yaitu sebagai berikut. Umum adalah sifat ide,
bukan sifat realitas. Ide kita tentang kata “seorang laki-laki” membuat ide
umum yang mengungkapkan banyak partikular yang memiliki nama ini. Ivan adalah
seorang laki-laki, Kedrov adalah seorang laki-laki, dan Lenin adalah seorang
laki-laki, dalam arti bahwa ide yang kita miliki tentang kata “laki-laki”
adalah produk mental yang mencakup individu-individu tersebut. Sedangkan
realitas objektif laki-laki selalu adalah sesuatu tertentu dan terbatas. Kalau
pernyataan ini kita pertimbangkan, kita dapat mengetahui bahwa kontradiksi
dalam kata-kata kita: “Ivan adalah seorang laki-laki” hanya ada jika kita ingin
menilai ide tertentu kita tentang Ivan sebagai sama dengan ide umum yang kita
miliki tentang laki-laki. Ini adalah kontradiksi yang jelas dan sama sekali
tidak benar. Karena, ide tertentu tentang Ivan tidak mungkin menjadi ide umum
tentang laki-laki. Kalau tidak demikian, tentu yang umum dan yang khusus
(tertentu) akan menjadi hal yang sama seperti yang dipikirkan Lenin.
Dengan
demikian, apabila kita mengambil Ivan sebagai ide khusus, dan laki-laki sebagai
ide umum, kita akan mendapatkan diri kita dalam kontradiksi ketika kita mencoba
menyatukan dua ide tersebut. Tetapi, ucapan kita, “Ivan adalah seorang
laki-laki”, tidak lantas berarti bersatunya dua ide tersebut, namun bersatunya
realitas objektif kata “Ivan” dan realitas objektif kata “laki-laki”, dalam
arti bahwa kedua ungkapan itu adalah satu realitas objektif. Adalah jelas bahwa
realitas laki-laki tidak berkontradiksi dengan realitas eksternal Ivan; tetapi
ia adalah satu dan serupa dengannya. Karena itu, penyatuan keduanya itu tidak
mengandung kontradiksi. Demikianlah, menjadi jelas bahwa kontradiksi, yang
diduga Marxisme ada dalam proposisi “Ivan adalah seorang laki-laki” tersebut
didasarkan pada penafsiran yang salah terhadap proposisi tersebut, yang
menganggap proposisi tersebut sebagai penyatuan dua ide, yang satu umum dan
yang lain khusus, bukan dua realitas yang sama-sama objektif.
Sekali
lagi, kita tanyakan kontradiksi yang diduga ada dalam proposisi “Ivan adalah
seorang laki-laki”. Apa konsekuensinya? Bagaimana perkembangan yang muncul
darinya? Kontradiksi-kontradiksi internal itu, dalam pendapat Marxisme,
menyalakan konflik dan dianggap sebagai bahan bakar bagi perkembangan itu. Nah,
bagaimana Marxisme dapat menerangkan kepada kita cara berkembangnya proposisi
“Ivan adalah seorang laki-laki”? Apakah proposisi itu menjadi bentuk lain
disebabkan kontradiksi-kontradiksinya?
Kesimpulan-kesimpulan
dari studi kita terhadap kontradiksi-kontradiksi dialektik adalah bahwa semua
kontradiksi yang dikemukakan Marxisme dalam lapangan filsafat dan ilmu atau
dalam lapangan umum bukanlah jenis kontradiksi yang ditolak prinsip dasar
logika metafisis, dan tidak mungkin dianggap sebagai dalil untuk menolak
prinsip tersebut. Tetapi itu tidak lebih daripada hal-hal yang berlawanan dari
Maltese Chrysippus[185] (2000 tahun lalu) terhadap prinsip non-kontradiksi
sembari [186] berkata: “Kalau
bapakmu datang kepadamu dengan memakai selubung, engkau tidak akan mengenalnya.
Jadi engkau tahu dan sekaligus tidak tahu bapakmu.” Adalah intuitif bahwa
corak-corak hal-hal berlawanan sederhana itu tidak mungkin menghancurkan
prinsip niscaya umum pikiran manusia, yaitu prinsip non-kontradiksi. Kebenaran
yang jelas bagi kita dari sejumlah contoh kontradiksi dialektik adalah konflik
dan interaksi antara hal-hal berlawanan secara eksternal. Kita telah tahu bahwa
corak interaksi ini antara hal-hal berlawanan itu bukanlah salah satu atribut
dialektika, tetapi ia adalah salah satu ketetapan metafisika, seperti kita
ketahui dari teks-teks Aristoteles. Apabila kita mau mengabaikan
kesalahan-kesalahan Marxisme dalam memahami kontradiksi dan kegagalannya
membuktikan hukum dialektika, kita tetap akan mendapatkan bahwa kontradiksi
dialektik tidak mengajukan kepada kita penjelasan yang dapat diterima tentang
alam, dan ia juga tidak dapat memberikan justifikasi yang sahih, sebagaimana
akan kita terangkan dalam bab “Materi dan Tuhan”.
Adalah
menarik untuk menunjuk ke contoh kontradiksi yang diajukan salah seorang
penulis modern [187] untuk menolak prinsip non-kontradiksi. Ia
mengatakan bahwa prinsip non-kontradiksi menetapkan bahwa setiap kuantitas
dapat berhingga dan dapat juga tak berhingga, dan tidak mungkin berhingga dan
sekaligus tidak berhingga disebabkan oleh mustahilnya kontradiksi. Jika
masalahnya demikian, maka setengahnya kuantitas yang berhingga itu selalu
berhingga. Ia tidak mungkin tidak berhingga. Kalau tidak, jumlah dua kuantitas
tak berhingga itu berhingga. Dan ini mustahil. Maka deretan yang mengandung
kuantitas 1, 1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32 ( yang masing-masing kuantitas memiliki
separuhnya kuantitas yang mendahuluinya), setiap bagian dari deretan ini harus
berhingga, bagaimanapun panjangnya deretan ini. Kalau deretan tanpa batas,
tentu ada sukses tak terhingga kuantitas-kuantitas yang masing-masing darinya
berhingga. Maka jumlah bagian-bagian deretan itu akan menjadi jumlah bilangan
tak berhingga kuantitas-kuantitas yang berhingga. Itulah sebabnya ia harus tak
berhingga. Tetapi, dengan sedikit mengetahui matematika kita akan tahu ia
berhingga, karena ia adalah 2. [188]
Demikianlah,
penulis tersebut hendak menyimpulkan bahwa kontradiksi antara yang berhingga
dan yang tak berhingga itu memperbolehkan dua kutub yang kontradiksi untuk
berkumpul dalam satu kuantitas. Tetapi, ia lupa bahwa kuantitas yang tidak
berhingga dalam contohnya itu adalah bukan kuantitas yang berhingga. Karenanya,
tidak ada kontradiksi. Tidak benar bahwa satu kuantitas itu berhingga dan bukan
berhingga, kalau kita tengok prinsip non-kontradiksi, seperti yang dicoba
simpulkan penulis tersebut. Hal itu karena kuantitas-kuantitas yang diasumsikan
dalam deretan tadi, yang darinya masing-masing adalah separuhnya kuantitas yang
mendahului, karena itu adalah unit-unit, dan kita dapat menghitungnya seperti
kita menghitung satuan-satuan buah kenari, atau kita seperti menghitung
matarantai-matarantai dari rantai besi yang panjang. Dalam kasus ini, kita akan
menghadapi sejumlah tak terhingga satuan-satuan. Jadi, bilangan lengkap (1)
adalah satuan pertama, dan pecahan 1/2 adalah satuan kedua, dan pecahan 1/4
adalah satuan ketiga. Demikianlah, jumlah bertambah satu demi satu sampai tak
berhingga. Jadi, ketika menambahi bilangan-bilangan tersebut, kita tidak
menghadapi sesuatu seperti satuan-satuan. (2). Tetapi kita menghadapi bilangan
yang banyak sekali tanpa hingga. Sedangkan jika kita hendak menambahi
kuantitas-kuantitas yang dilambangkan bilangan-bilangan tersebut, maka kita
akan mencapai bilangan 2 saja. Karena, jumlah matematis kuantitas-kuantitas
defisien tersebut adalah cuma itu. Jadi, yang tak berhingga adalah kuantitas
bilangan yang sama yang dapat ditambah karena hal itu adalah satuan-satuan yang
kita tambahkan satu dengan yang lain, seperti kita menambahkan pena kepada pena
atau buah kenari kepada buah kenari. Dan yang berhingga bukanlah kuantitas
bilangan-bilangan yang dapat ditambah karena itu satuan-satuan dan
sesuatu-sesuatu yang dapat ditambah, tetapi kuantitas-kuantitas yang
dilambangkan bilangan-bilangan tersebut. Dengan kata lain, ada dua kuantitas:
yang pertama adalah kuantitas bilangan-bilangan yang sama karena mereka
satuan-satuan, yang kedua adalah kuantitas dari apa yang secara matematis
dilambangkan oleh bilangan-bilangan itu, disebabkan oleh fakta bahwa setiap
bilangan dalam deretan tersebut melambangkan kuantitas tertentu. Yang pertama
tak berhingga, dan mustahil itu berhingga. Yang kedua adalah berhingga, dan
mustahil itu tak berhingga.
Sasaran Politis Luar Gerak Kontradiktif
Gerak dan kontradiksi –
keduanya adalah dua hal dialektik yang telah kami kritik dengan terinci –
membentuk bersama-sama hukum gerak dialektik atau hukum gerak kontradiktif yang
perkembangannya senantiasa berdasarkan prinsip-prinsip dialektik. Marxisme
telah mengambil hukum tersebut sebagai hukum permanen alam. Ia bertujuan
mengeksploitasi hukum ini di lapangan politis bagi kepentingannya sendiri.
Maka, aksi politis adalah sasaran pertama yang mengharuskan Marxisme menuangkan
hukum ini dalam cetakan filosofis yang membantunya membuat kebijakan baru bagi
dunia seluruhnya. Hal ini dikatakan Marx dengan sedikit hati-hati: “Para
filosof itu tidak berbuat apa-apa, selain menafsirkan dunia dalam berbagai
cara. Tetapi masalahnya adalah masalah perkembangannya.”[189]
Jadi, permasalahannya
adalah perkembangan politis yang dikemukakan yang harus menemukan logika untuk
membenarkannya, dan filsafat yang pada prinsip-prinsipnya ia bertumpu. Karena
itu, Marxisme mengemukakan hukum yang cocok dengan rencana-rencana politisnya,
kemudian mengupayakan bukti untuk hukum ini dalam lapangan-lapangan ilmiah
seraya percaya sebelumnya dan sebelum bukti apa pun pada keniscayaan mengambil
hukum ini, selama hukum ini menyoroti jalan aksi dan perjuangan. Dalam
kesempatan ini, ada baiknya kita mendengarkan Engels ketika ia berbicara
tentang penelitian-penelitian yang dilakukannya dalam bukunya, Anti Duhring: “Tak
perlu dikatakan, saya telah mengemukakan dengan terburu-buru dan ringkas
mengenai subjek-subjek matematika dan ilmu alam untuk mendapatkan kedamaian
pikiran berkenaan dengan detil-detil dari apa yang tak saya ragukan pada
umumnya, (yakni) bahwa hukum-hukum dialektik gerak itu sendiri, yang menguasai
spontanitas terang peristiwa-peristiwa dalam sejarah , juga melicinkan jalannya
dalam alam.”[190]
Dalam teks tersebut,
Marxisme meringkaskan untuk kita metodenya dalam upaya-upaya filosofisnya, dan
bagaimana ia sangat mempercayai penemuan hukum-hukum dunia dan meyakini
hukum-hukum itu sebelum ia tahu sejauh mana aktualitas hukum-hukum itu dalam
lapangan-lapangan ilmiah dan matematis. Setelah itu, Marxisme berhati-hati
menerapkan hukum-hukum itu pada lapangan-lapangan tersebut, dan menundukkan
alam kepada dialektika dalam presentasi yang terburu-buru, menurut istilah
Engles, tak soal dengan biaya yang kiranya dikeluarkan ini, dan walaupun hal
tersebut menimbulkan protes para ahli matematika dan ilmu alam, seperti diakui Engels
dalam frasa yang mendekati teks yang kami nukil barusan. Karena tujuan pokok
menciptakan logika baru itu ialah menciptakan senjata mental bagi Marxism dalam
pergulatan politisnya maka adalah wajar bahwa Marxisme memulai – pertama-tama
dan sebelum segalanya – dengan menerapkan hukum dialektik pada lapangan politis
dan sosial. Ia menerangkan masyarakat dengan segala bagiannya menurut hukum
gerak kontradiktif atau kontradiksi bergerak. Ia menundukkan masyarakat kepada
dialektika yang diklaimnya sebagai hukum pikiran dan sekaligus hukum dunia
eksternal. Marxisme lantas berasumsi bahwa masyarakat itu berkembang dan
bergerak mengikuti kontradiksi-kontradiksi kelas yang terkandung di dalamnya.
Masyarakat, dalam setiap tahap perkembangan, mengambil bentuk kemasyarakatan
hal yang selaras dengan kelas yang dominan dalam masyarakat. Kemudian mulailah
pergulatan berdasarkan kontradiksi yang dikandung dalam bentuk tersebut.
Sebagai hasil dari hal ini, Marxisme menyimpulkan bahwa analisis atas kandungan
sosial masyarakat kapitalis adalah pergulatan antara hal-hal kontradiktif di
dalam masyarakat tersebut, antara kelas pekerja di satu pihak dan kelas pemilik
modal di pihak lain. Pergulatan ini memberi masyarakat gerak berkembang yang
akan melumatkan kontradiksi-kontradiksi kapitalis ketika kepemimpinan
diserahkan kepada kelas pekerja yang terwakili dalam partai yang didirikan
berdasarkan materialisme dialektik, yang dapat mengangkat
kepentingan-kepentingan kelas pekerja dengan metode ilmiah yang terkomposisi.
Sekarang kita hendak
mendiskusikan penjelasan dialektik Marxis mengenai masyarakat dan
perkembangannya, suatu penjelasan yang tumbang secara alami, sehingga kita
dapat mengkritik dan mengungkapkan kekeliruan dialektika sebagai logika umum,
seperti yang kita determinasikan dalam studi kita ini. Materialisme historis
akan kami studi secara kritis dan terinci dalam buku Masyarakat Kita atau
Ekonomi Kita.[191] Tetapi, sekarang kami hanya hendak menjelaskan
satu hal penting dalam aplikasi sosial dialektika yang berkaitan dengan
dialektika itu sendiri secara umum. Hal tersebut adalah bahwa aplikasi sosial
dan politis dialektika seperti yang dituntut. Marxisme menyebabkan segera
ditolaknya dialektika. Karena jika gerak berkembang masyarakat memperoleh bahan
bakar niscayanya dari pergulatan kelas antara kontradiksi-kontradiksi yang
terkandung dalam struktur kemasyarakatan umum, dan jika justifikasi
kontradiktif gerak itu adalah penjelasan satu-satunya tentang masyarakat dan
sejarah, maka pada akhirnya gerak pasti akan diam. Juga perbedaan-perbedaan
antara hal-hal kontradiktif dan antara rentang gerak hal-hal kontradiktif akan
menjadi diam dan beku, karena Marxisme menganggap tahapan yang dihasilkan
berdasarkan hal-hal kontradiksi itu, dan yang ke sana ia berupaya memandu perjalanan
ras manusia adalah tahap yang di dalamnya tak ada kelas-kelas dan masyarakat
akan menjadi satu kelas. Kalau macam-macam kelas dalam masyarkat sosialis yang
dikedepankan itu sudah tidak ada, maka padamlah nyala konflik, dan lenyaplah
gerak-gerak kontradiktif sama sekali, dan mencapailah masyarakat suatu
stabilitas konstan. Karena, bahan bakar
satu-satunya bagi perkembangan masyarakat, dalam pandangan Marxisme, adalah
legenda kontradiksi kelas yang diciptakan perkembangan itu. Nah, jika
kontradiksi itu sudah hilang, itu berarti bebasnya masyarakat dari pengaruh
dialektika, dan dengan begitu, maka dialektika akan melepaskan posisi menguasai
alam.
Demikianlah, kita tahu
bahwa penjelasan Marxisme mengenai perkembangan masyarakat berdasarkan
kontradiksi kelas dan prinsip-prinsip dialektika menyebabkan terhentinya sama
sekali perkembangan tersebut. Kebalikan dari hal itu juga benar apabila kita
menempatkan api perkembangan atau bahan bakar gerak dalam kesadaran atau
pikiran atau pada apa pun saja selain kontradiksi kelas yang dianggap Marxisme
sebagai sumber umum semua perkembangan dan gerak.
Nah, selanjutnya, bukankah
pantas kita menggambarkan penjelasan dialektik tentang sejarah dan masyarakat
itu sebagai satu-satunya penjelasan yang .menerakan kebekuan dan ketetapan pada
manusia, bukan penjelasan yang meletakkan sumber perkembangan pada sumber yang
tidak pernah kering, yaitu kesadaran dengan berbagai coraknya? Selain ini juga
kebekuan yang dihasilkan Marxisme sendiri, dan yang membencanai dialektika mental
manusia yang dibangga-banggakan Marxisme, ketika dialektika dan infinitas dunia
dianggap sebagai kebenaran-kebenaran mutlak, dan ketika negara mengambil
dialektika sebagai doktrin resmi yang tak dapat lagi diperdebatkan dan
didiskusikan, dan sebagai rujukan akhir yang kepadanya segenap ilmu dan
pengetahuan harus ditundukkan. Pikiran apa pun atau upaya mental yang tak
selaras dengannya dan yang tidak dimulai dengannya harus dihentikan. Maka
pikiran manusia dalam berbagai lapangan kehidupan tertawan oleh suatu logika
tertentu. Segenap bakat dan kapasitas intelektual dimasukkan ke dalam lingkaran
yang dirancang untuk manusia oleh filosof resmi negara.
Dalam bab-bab mendatang,
insya Allah, kami akan membantah legenda kontradiksi kelas, dan mengungkapkan
kekontroversialan Marxisme dalam memerinci kontradiksi-kontradiksi hak milik,
dan memberikan penjelasan yang sahih tentang masyarakat dan sejarah.[192]
Lompatan-Lompatan Suatu Perkembangan
Stalin berkata:
“Dialektika, berbeda dengan metafisika, tidak menganggap perubahan-perubahan
kualitatif. Tetapi, ia menganggapnya sebagai perkembangan yang bergerak dari
perubahan-perubahan kuantitatif kecil dan tersembunyi kepada
perubahan-perubahan yang fenomenal dan mendasar, yakni kepada
perubahan-perubahan kualitatif. Perubahan- perubahan kualitatif tersebut bukan
berangsur-angsur, tetapi cepat dan tiba-tiba, terjadi secara melompat-lompat
dari satu tahap ke lain tahap. Perubahan-perubahan itu bukan hanya mungkin,
tetapi merupakan keniscayaan. Ia adalah hasil akumulasi perubahan-perubahan
kuantitatif tak terinderai dan berangsur-angsur. Karena itu, menurut metode
dialektika, adalah perlu untuk memahami gerak berkembang, bukan sebagai gerak
melingkar atau semata-mata pengulangan prosedur yang sama, tetapi sebagai gerak
maju linier dan perpindahan dari tahap kualitatif lama ke tahap kualitatif
baru.”[193]
Dalam hal ini, dialektika
menegaskan bahwa perkembangan dialektis materi itu memiliki dua corak: yang
pertama, perubahan kuantitatif secara berangsur-angsur; dan yang kedua,
perubahan kualitatif secara tiba-tiba, yang terjadi segera, sebagai hasil dari
perubahan-perubahan kuantitatif berangsur-angsur. Ini berarti bahwa
perubahan-perubahan kuantitatif – ketika mencapai titik transisi – berubah dari
kuantitas tertentu ke kualitas baru.
Perkembangan dialektis itu
bukan gerak melingkar materi yang di dalamnya materi kembali kepada sumber yang
sama. Tetapi, ia adalah gerak menyempurna yang senantiasa menaik. Jika dalam
hal ini orang keberatan kepada Marxisme seraya mengatakan bahwa alam bergerak
secara melingkar, seperti pada buah yang berkembang menjadi pohon, kemudian
pada gilirannya kembali menjadi buah seperti sebelumnya. Marxisme menjawab
bahwa gerak tersebut adalah juga gerak menyempurna, dan bukan melingkar seperti
gerak-gerak yang dibuat oleh jangka. Hanya saja penyempurnaan di dalamnya itu
disebabkan oleh segi kuantitatif, bukan kualitatif. Jadi, meskipun buah kembali
dalam perjalanannya yang linier menjadi buah lagi, ia menyempurna secara
kuantitatif. Karena, pohon, yang tumbuh dari satu buah, berbiak menjadi
beratus-ratus buah. Maka, tidak pernah terjadi kembali (return) ke gerak
(asal).[194]
Pertama-tama kita harus
memperhatikan tujuan yang ada di balik masalah dialektis baru itu. Kita telah
tahu bahwa Marxisme membuat rancangan praktis bagi pengembangan politis yang
dimauinya. Kemudian ia mengupayakan pembenaran logis dan filosofis untuk
rancangan tadi. Nah, bagaimanakah rancangan-rancangannya, yang untuk itu hukum
dialektis tersebut dibangun?
Adalah mudah sekali
menjawab pertanyaan itu. Marxisme berpendapat bahwa satu-satunya hal yang
melicinkan jalan bagi penguasaan politisnya atau bagi penguasaan politis dari
kepentingan kepentingan yang dibangunnya, adalah penjungkirbalikan (revolusi).
Karena itu ia terus mengupayakan pembenaran filosofis bagi revolusi itu. Tetapi
ia tidak mendapatkannya, baik dalam hukum gerak maupun dalam kotradiksi.
Karena, kedua hukum itu menuntut masyarakat untuk berkembang mengikuti
kontradiksi-kontradiksi yang menyatu di dalamnya. Prinsip gerak kontradiksi
tidak cukup untuk menjelaskan metode dan langsungnya perkembangan. Karena itu,
menjadi niscaya untuk membuat hukum lain yang menjadi tumpuan revolusi
tersebut. Hukum itu adalah hukum “lompatan-lompatan perkembangan,” yang menyatakan
adanya transformasi langsung kuantitas ke kualitas. Berdasarkan hukum itu,
revolusi bukan saja dapat, tetapi merupakan keniscayaan dan keharusan, sesuai
dengan hukum-hukum umum alam semesta. Jadi, perubahan-perubahan kuantitatif
yang berangsur-angsur dalam masyarakat menjadi – dalam kisaran-kisaran historis
yang besar – perubahan kualitatif. Maka, tumbanglah bentuk kualitatif lama
bangunan masyarakat umum dan berubah ke bentuk baru.
Demikianlah, seharusnya –
bukan hanya sebaiknya – kontradiksi- kontradiksi bangunan masyarakat umum
timbul dari prinsip revolusioner yang luas aplikasinya, yang menurutnya, kelas
yang sebelumnya berkuasa, dan yang menjadi kelompok kedua (turunan) dalam
proses kontradiksi tumbang dan hancur, sehingga kontradiksi yang baru yang
telah diunggulkan oleh kontradiksi-kontradiksi internal sebagai sisi utama
dalam proses kontradiksi, akan memiliki kesempatan untuk berkuasa. Berkata Marx
dan Engels: “Orang-orang komunis tidak hendak menyembunyikan pendapat mereka,
maksud-maksud serta rencana-rencana mereka. Mereka memproklamasikan dengan
lantang bahwa tujuan mereka tidak mungkin dicapai dan direalisasikan, kecuali
dengan merubuhkan segenap sistem kemasyarakatan tradisional, dengan kekerasan
dan kekuatan.”[195] Berkata pula Lenin: “Revolusi proletariat
tidaklah mungkin terjadi tanpa penghancuran dengan kekerasan sistem borjuasi
negara.” [196]
Setelah membuat hukum
lompatan-lompatan perkembangan, ia harus memberikan sejumlah contoh,
“menyajikannya dengan cepat”, menurut istilah Engels, untuk mendemonstrasikan
dengannya hukum itu dalam kasus-kasus umum dan khususnya. Inilah tepatnya yang
dilakukan Marxisme; ia memberi kita sejumlah contoh yang menjadi landasan hukum
umumnya. Di antara contoh-contoh yang dikemukakan Marxisme mengenai hukum
tersebut adalah contoh air: Ketika air diletakkan di atas api, maka naiklah
temperaturnya secara berangsur-angsur. Karena kenaikan yang berangsur-angsur
itulah terjadi perubahan-perubahan kuantitatif secara pelan-pelan.
Perubahan-perubahan itu, pada mulanya, tidak mempengaruhi keadaan air, karena
ia itu cair. Tetapi, kalau temperaturnya naik menjadi 100°C, maka pada saat itu
air itu akan berubah dari keadaan cair ke uap. [197] Kuantitas
berubah menjadi kualitas. Demikian pula, jika temperatur air itu menurun ke
0°C, air itu akan segera berubah menjadi es. [198] [199]
Engels mengemukakan
contoh-contoh lain tentang lompatan-lompatan dialektik asam-asam organik dalam
kimia, yang masing-masing memiliki derajat tertentu untuk mencair atau
mendidihnya. Dengan mencapai derajat tersebut, ia melompat ke keadaan
kualitatif baru. Asam formik, misalnya, akan mendidih pada 100°C dan meleleh
pada 15°C, dan asam asetik titik didihnya adalah 118°C dan titik lelehnya 17°C
dan seterusnya. [200] Jadi, dalam mendidih dan meleleh, senyawa
hidrokarbon mengikuti hukum lompatan-lompatan dan transformasi- transformasi
langsung.
Kita tidak ragu bahwa
perkembangan kualitatif sejumlah fenomena alam berlangsung dengan
lompatan-lompatan seketika, seperti perkembangan air dalam contoh yang sudah
disebutkan tadi atau perkembangan asam organik dalam keadaan mendidih dan
mencairnya, juga seperti semua senyawa lainnya yang watak dan
kualitas-kualitasnya bergantung pada proporsi-proporsi yang dari
proporsi-proporsi itu masing-masing tersusun. [201] Tetapi, hal itu
tidak berarti bahwa dalam segala bidang perkembangan itu niscaya melompat pada
tahapan-tahapan tertentu agar menjadi perkembangan kualitatif. Memberikan
sejumlah contoh tidaklah cukup untuk membuktikan secara ilmiah atau filosofis
keharusan lompatan-lompatan tersebut dalam sejarah perkembangan, terutama
ketika Marxisme menyeleksi contoh-contoh seperti itu dan mengabaikan
contoh-contoh yang digunakan untuk menjelaskan hukum dialektika yang lain,
hanya karena contoh-contoh itu tidak cocok dengan hukum baru tersebut. Marxisme
telah menggambarkan kontradiksi-kontradiksi perkembangan dengan germ hidup di
dalam telur yang cenderung menjadi anak ayam [202] dan dengan benih
yang melibatkan kontradiksinya, yang dengan demikian berkembang dan menjadi
pohon berkat konflik internalnya. Tidakkah kita berhak meminta Marxisme
mempertimbangkan lagi contoh-contoh tersebut, supaya kita tahu bagaimana ia
bisa menjelaskan kepada kita lompatan-lompatan perkembangan dalam contoh-contoh
tersebut? Apakah proses menjadinya benih ke pohon, atau germ ke anak ayam
(berkembangnya tesis menjadi antitesis), atau menjadinya anak ayam ke ayam
dewasa (berkembangnya antitesis menjadi sintesis) itu, disebabkan oleh salah
satu lompatan dialektik, dan dengan demikian mengubah seketika germ menjadi
anak ayam dan benih menjadi pohon, dan tranformasi itu terjadi dengan gerak linier
berangsur-angsur? Bahkan dalam elemen-elemen kimiawi yang bisa meleleh, kita
mendapatkan dua corak perubahan sekaligus. Seperti perubahan terjadi dalam
elemen-elemen kimiawi tersebut dengan satu lompatan, ia bisa pula terjadi
dengan berangsur-angsur. Kita tahu, misalnya, bahwa elemen-elemen kristal
berubah dari keadaan keras ke keadaan cair secara tiba-tiba, seperti es yang
meleleh pada temperatur 80°C. Pada saat itu es segera menjadi cair. Kebalikan
hal itu adalah elemen-elemen yang tidak kristal, seperti kaca dan lilin.
Keduanya tidak meleleh dan tidak berubah secara kualitatif sekaligus, tetapi
secara berangsur-angsur. Dengan demikian temperatur lilin, misalnya, meninggi
selama proses pelelehan, sehingga jika mencapai derajat tertentu, soliditas
lilin menjadi melunak dan melembek. Lilin mulai menjadi, secara
berangsur-angsur dan terlepas dari segala sesuatu yang lain, lebih fleksibel dan
mudah dibentuk (malleable). Dalam keadaan fleksibel, ia (berubah)
berangsur-angsur; ia tidak solid dan tidak cair. Ini bersinambungan sampai ia
menjadi elemen yang cair.
Mari kita ambil contoh
lain dari fenomena-fenomena kemasyarakatan yaitu bahasa sebagai fenomena yang
berkembang dan berubah dan yang tidak tunduk kepada hukum dialektika. Sejarah
bahasa tidak menceritakan kepada kita tentang perubahan kualitatif langsung
bahasa dalam perjalanan sejarahnya. Tetapi, ia mengungkapkan transformasi- transformasi
berangsur-angsur dalam bahasa dari segi kuantitas dan kualitas. Kalau bahasa
tunduk kepada hukum lompatan-lompatan, dan jika perubahan-perubahan kuantitatif
berangsur menjadi perubahan langsung dan menentukan, tentu kita dapat menangkap
hal-hal yang menentukan dalam kehidupan bahasa, yang di dalamnya bahasa berubah
dari satu bentuk ke lain bentuk sebagian hasil perubahan-perubahan kuantitatif
pelan-pelan. Tetapi ini adalah sesuatu yang tidak berlaku untuk setiap bahasa
yang digunakan orang dalam kehidupan bermasyarakatnya.
Jadi, kita bisa
mengetahui, berdasarkan segenap fenomena alam itu, bahwa lompatan dan
kesegeraan (immediacy) bukanlah keniscayaan bagi perkembangan kualitatif.
Selanjutnya, sebagaimana perkembangan bisa segera, ia juga bisa secara berangsur-angsur.
Mari kita ambil contoh air yang dalam keadaan beku dan mendidihnya, seperti
yang sudah disebutkan tadi. Mari kita perhatikan berikut ini: Pertama, gerak
perkembangan yang dikandung contoh tersebut bukanlah gerak dialektik, karena
eksperimen tidak membuktikan bahwa perkembangan ini adalah hasil dari
kontradiksi-kontradiksi internal air, sebagaimana yang dituntut
kontradiksi-kontradiksi perkembangan dialektik itu. Kita semua tahu bahwa kalau
bukan karena temperatur dari luar, air akan tetap air, dan tidak akan berubah
menjadi uap. Jadi, tidak berlangsung perkembangan konversional air secara
dialektik. Kalau kita mau menganggap hukum yang mengatur perubahan-perubahan
kemasyarakatan itu sama dengan hukum yang menurutnya perubahan segera air atau
segenap senyawa kimiawi terjadi (seperti diasumsikan Marxisme), tentu ini
membawa ke hasil yang berbeda dengan yang dimaksudkan Marxisme. Alasannya
begini: Lompatan-lompatan perkembangan dalam sistem kemasyarakatan menjadi
konversi-konversi yang disebabkan oleh faktor-faktor luar, bukan oleh
semata-mata kontradiksi-kontradiksi yang dikandung di dalam sistem itu sendiri.
Dan hilanglah sifat keniscayaan dari lompatan-lompatan tersebut, dan menjadi
bukan keniscayaan, jika faktor-faktor luar tidak tersedia.
Adalah jelas bahwa kita,
selain dapat menjaga keadaan fluiditas air dan menjauhkan air dari
faktor-faktor yang membuatnya melompat ke keadaan uap, juga dapat pula menjaga
sistem kemasyarakatan dan menjauhkannya dari faktor-faktor luar yang membuatnya
hancur. Karena itu, menjadi jelas bahwa menerapkan juga hukum dialektik atas
perkembangan segera air dalam mendidih dan membekunya, dan atas masyarakat
dalam perubahan-perubahannya, berarti membuat kesimpulan-kesimpulan yang
bertentangan dengan apa yang justru diharapkan oleh dialektika.
Kedua, gerak berkembang
air bukanlah gerak linier. Tetapi, ia adalah gerak melingkar yang di dalamnya
air berubah menjadi uap dan uap kembali lagi ke keadaan semula, tanpa
menghasilkan penyempurnaan kuantitatif atau kualitatif. Kalau gerak itu
dianggap dialektik, maka artinya bahwa bukanlah keniscayaan bagi gerak itu
untuk linier dan maju selamanya. Bukan pula keharusan bagi perkembangan
dialektik di dalam dunia alam atau masyarakat untuk menjadi sempurna dan maju.
Ketiga, lompatan air ke
uap yang terjadi bila temperatur mencapai derajat tertentu, tidak harus
meliputi sekaligus seluruh air. Setiap orang tahu bahwa berbagai kuantitas air
laut dan samudera menguap berangsur-angsur. Tidak benar bahwa seluruh air itu
membuat lompatan seketika ke keadaan uap. Ini menunjukkan bahwa perkembangan
kualitatif di tempat-tempat yang di dalamnya perkembangan ini segera terjadi
tidak serta merta meliputi perkembangan wujud sebagai suatu keseluruhan. Tetapi
perkembangan ini dimulai pada bagian-bagian wujud itu, yang melompat bersama
bagian-bagian itu ke keadaan uap. Lompatan-lompatan itu terjadi
beriring-iringan dan berulang-ulang sampai keseluruhannya berubah. Perubahan
kualitatif tidak akan bisa mencakup keseluruhannya. Maka, ia tetap terbatas
pada bagian-bagian yang di dalam bagian-bagian ini ada kondisi-kondisi luar
perubahan itu. Kalau ini adalah yang dimaksudkan oleh hukum dialektik berkenaan
dengan alam, mengapa lompatan itu dalam lapangan kemasyarakatan diterapkan atas
sistemnya secara menyeluruh? Mengapa, menurut hukum alami masyarakat, mesti
menumbangkan struktur kemasyarakatan dalam setiap tahapan melalui perubahan
yang segera lagi menyeluruh (revolusi)? Dan mengapa lompatan dialektik dalam
lapangan kemasyarakatan tidak dapat menggunakan metode yang sama dengan metode
yang digunakan di lapangan alam – dengan demikian tidak mempengaruhi apa pun
selain aspek-aspek yang di dalamnya kondisi-kondisi perubahan terpenuhi, dan
yang kemudian bergerak berangsur-angsur sampai pada akhirnya perubahan umum
terealisasikan?
Akhirnya, perubahan
kuantitas ke kualitas tidak dapat diterapkan dengan saksama pada contoh air
yang berubah menjadi uap atau es, sesuai dengan naik dan turunnya derajat
temperatur air, seperti yang diperbuat Marxisme. Ini karena Marxisme menganggap
temperatur sebagai kuantitas, sedang uap dan es sebagai kualitas. Karena itu,
ia menegaskan bahwa kuantitas dalam contoh tersebut berubah ke kualitas. Paham
Marxis tentang temperatur uap dan es ini tidak berdasar. Sebab, ungkapan kuantitatif
temperatur yang digunakan ilmu pengetahuan ketika berkata bahwa temperatur air
itu 1000 atau 50 (misalnya), bukanlah esensi temperatur. Namun itu ungkapan
metode ilmiah untuk mereduksi fenomena alami ke kuantitas-kuantitas, untuk
memudahkan pengaturan dan penetapannya. Jadi, berdasarkan metode ilmiah dalam
mengungkapkan sesuatu, temperatur bisa dianggap sebagai kuantitas. Metode
ilmiah itu tidak hanya menganggap temperatur sebagai fenomena kuantitatif.
Malah perubahan air ke uap, misalnya, juga diungkapkan secara kuantitatif.
Persis seperti temperatur, dalam menjadi fenomena kuantitatif di dalam bahasa
ilmiah. Ini karena ilmu pengetahuan menentukan perpindahan dari keadaan cair ke
keadaan uap dengan tekanan yang bisa diukur secara kuantitatif, atau dengan
hubungan-hubungan dan sifat- sifat atom-atom yang juga bisa diukur secara
kuantitatif, sebagaimana begitu pula dengan temperatur. Jadi, dalam kaca mata
ilmiah, contoh tersebut tidak mengandung apa pun selain kuantitas-kuantitas
yang sebagiannya berubah ke sebagian yang lain. Adapun dalam kaca mata empirik
– yaitu gagasan tentang temperatur yang diberikan oleh persepsi inderawi ketika
kita celupkan tangan kita ke dalam air, atau gagasan tentang uap yang diberikan
oleh persepsi inderawi ketika melihat air berubah menjadi uap – temperatur itu
suatu keadaan kualitatif, seperti uap, keadaan ini mengganggu kita ketika
temperaturnya tinggi. Jadi, kualitas berubah ke kualitas.
Karena itu kita mendapati
bahwa air, dalam temperatur dan penguapannya, tidak mungkin diberikan sebagai
contoh perubahan kuantitas ke kualitas, kecuali jika kita balik sendiri, yaitu
melihat temperatur dengan kaca mata ilmiah dan melihat keadaan uap dengan kaca
mata empirik. Akhirnya, ada baiknya kita
sendiri akhiri pembicaraan tentang lompatan-lompatan perkembangan ini dengan
contoh perkembangan ini yang diberikan Marx dalam bukunya, The Capitalism. Ia
menyebutkan bahwa tidak setiap kuantitas uang dapat diubah secara serampangan
menjadi modal. Memang untuk terjadinya pengubahan itu, pemilik uang sebelumnya
harus menguasai (memiliki) sejumlah minimum uang yang membuat kehidupannya
melebihi taraf penghidupan pekerja biasa. Hal itu bergantung pada kemampuannya
mempekerjakan delapan pekerja. Untuk
menjelaskan itu, Marx memakai paham-paham utama ekonominya, yaitu nilai
surplus, transformable capital dan modal tetap. Ia mengambil contoh pekerja
yang bekerja delapan jam bagi dirinya sendiri, yakni untuk menghasilkan nilai
upahnya, dan akibatnya bekerja empat jam untuk pemilik modal untuk menghasilkan
nilai suprlus yang didapat pemilik uang. Dalam keadaan ini, pemilik modal
(kapitalis) terkondisikan untuk memiliki sejumlah tertentu uang yang cukup
memampukannya memasok dua pekerja dengan bahan-bahan mentah, sarana-sarana
kerja dan upah, supaya setiap hari ia dapat menciptakan nilai lebih yang cukup
memampukannya memiliki makanan yang sama dengan yang dimiliki salah satu
pekerjanya.
Tetapi, karena tujuan
kapitalis bukan semata-mata makanan, namun menambah kekayaan, maka produser
dengan dua pekerja ini tetap bukan kapitalis. Agar ia dapat memiliki kehidupan
(taraf hidup) yang melebihi taraf hidup pekerja biasa, ia harus dapat
mempekerjakan delapan pekerja, selain mengubah separuh nilai surplus yang
dihasilkan menjadi modal. Akhirnya, Marx mengomentari hal itu: “Dalam hal ini,
seperti dalam ilmu alam, keabsahan hukum, yang ditemukan Hegel – yaitu hukum
transformasi perubahan-perubahan kuantitatif ke perubahan-perubahan kualitatif
– menjadi kuat ketika perubahan-perubahan kuantitatif mencapai batas tertentu.[203]
Contoh Marx itu dengan
jelas menunjukkan kepada kita sejauh mana toleransi yang ditampakkan Marxisme
dalam menyajikan contoh-contoh hukum-hukum yang dibuatnya. Meskipun toleransi
dalam segala hal itu baik dan bajik, dalam lapangan ilmiah – terutama ketika
maksudnya adalah menyingkapkan rahasia-rahasia alam, untuk mendirikan alam baru
berdasarkan rahasia-rahasia dan hukum-hukum tersebut – toleransi itu adalah
cacat (shortcoming) yang tak terampunkan. Bagaimanapun, sekarang kami tidak
ingin membahas isu-isu aktual ekonomi, yang menjadi tumpuan contoh di atas,
seperti isu yang berhubungan dengan nilai surplus dan konsep laba kapitalis
menurut Marx. Tapi, yang penting bagi kami adalah penerapan secara filosofis hukum
lompatan terhadap kapital. Karena itu, mari kita tutup pandangan kita terhadap
segi-segi lain, dan kita arahkan ke satu segi ini.
Marx berpendapat bahwa
uang bergerak melalui perubahan-perubahan kuantitatif sederhana dan
berangsur-angsur. Kalau laba kapitalis mencapai batas tertentu, segera
terjadilah perubahan esensial dan perubahan kualitatif. Dan uang pun menjadi
modal batas itu dua kali lipat gaji pekerja biasa, setelah separuh (nilai
surplus itu) dijadikan lagi sebagai modal. Selama uang tidak mencapai batas
ini, ia tak akan mengalami perubahan kualitatif mendasar, dan tak akan menjadi
kapital. Jadi, “kapital” adalah kata yang diucapkan Marx untuk menunjuk kepada
sejumlah tertentu uang. Setiap orang memiliki kebebasan yang penuh untuk
menerapkan dan menggunakan istilah-istilahnya. Baiklah kita anggap benar
istilah Marx ini. Walau demikian itu tetap tidak benar dan secara filosofis
tidak karuan bila beranggapan bahwa dengan mencapai batas tertentu itu uang
berarti mengalami perubahan kualitatif dan lompatan dari satu kualitas ke
kualitas lain. Sampainya uang pada batas tersebut tidak berarti apa-apa selain
kenaikan kuantitatif. Tidak ada perubahan kualitatif uang selain apa yang
selalu dihasilkan oleh kenaikan-kenaikan kuantitatif berangsur-angsur.
Kalau mau, kita bisa
kembali kepada tahapan-tahapan terdahulu perkembangan elemen-elemen uang dalam
perubahan-perubahan kuantitatifnya yang berturut-turut. Kalau seseorang
memiliki uang yang memungkinkan ia dapat memasok tujuh pekerja dengan alat-alat
dan upah mereka, maka apa keuntungan (profit)-nya menurut Marx? Menurut kalkulasi Marx, keuntungannya itu
berupa nilai surplus yang sebanding dengan gaji tiga setengah pegawai, yakni
yang sama dengan dua puluh delapan jam kerja. Karena itu, ia bukan kapitalis.
Sebab, kalau separuh dari nilai surplus itu diubah menjadi kapital, tentu sisa
dari nilai surplus itu tidak cukup memberinya dua kali gaji salah satu pekerja
itu. Kalau kita andaikan ada kenaikan dalam nilai sederhana uang yang dimiliki
sang pemilik, sehingga si pemilik itu dapat membeli – selain yang sudah dimilikinya
– tenaga-tenaga setengah hari dari seorang pekerja yang bekerja untuk sang
pemilik kapital selama enam jam, dan bekerja untuk orang lain selama enam jam
lainnya, maka ia akan memperoleh dari pekerja tersebut setengah dari yang
diperolehnya dari pekerjaan masing-masing tujuh pekerja lainnya. Ini berarti
bahwa keuntungannya akan sama dengan tiga puluh jam kerja, ia akan bisa hidup
lebih baik dari sebelumnya.
Kita ulangi lagi asumsi
itu. Dapat kita bayangkan si pemilik, yang dapat, sebagai akibat dari sejumlah
tambahan baru uangnya, membeli dari pekerja kedelapan tiga per empat jam,
sehingga pekerja itu tidak lagi berhubungan dengan majikan lain kecuali tiga
jam. Apakah, dalam hal ini, kita menghadapi kenaikan jumlah keuntungan dan
standar hidup si pemilik, selain yang kita hadapi ketika terjadi perubahan
kuantitatif di atas? Misalkan pemilik itu mampu memperbesar uangnya dengan
menambahkan sejumlah baru yang memungkinkan membeli dari pekerja kedelapan
seluruh pendapatannya setiap hari. Nah, apa yang bakal terjadi ada kenaikan
nilai surplus dan standar hidup selain yang biasa terjadi sehagai akibat dari
kenaikan-kenaikan kuantitatif sebelumnya? Memang, satu hal terjadi pada uang
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah sesuatu yang berhubungan
dengan segi kata saja, yaitu bahwa Marx tidak menamakan uang itu kapital.
Sedangkan sekarang, ia tepat dinamakan dengan kata itu (kapital). Nah, apakah
ini adalah perubahan kualitatif yang terjadi pada uang? Apakah perbedaan
menyeluruh antara tahap uang ini dan tahap-tahap sebelumnya itu adalah masalah
kata semata, sehingga kalau kita terapkan kata “kapital” pada tahap sebelumnya,
maka akan terjadi perubahan kualitatif pada waktu itu?
Kaitan Umum
Stalin berkata:
“Dialektika, berbeda dengan metafisika, tidak menganggap alam sebagai akumulasi
aksidental hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang sebagian terpisah, terisolasi
atau lepas dari sebagian yang lain. Tapi, ia menganggap alam sebagai satu
keseluruhan yang kukuh yang di dalamnya hal-hal dan peristiwa-peristiwa saling
berhubungan secara organik, dan saling bergantung satu sama lain. Sebagian
merupakan kondisi (syarat) bagi sebagian yang lain secara timbal balik.”[204]
Jadi, alam, dengan
bagian-bagiannya yang bermacam-macam, tidak mungkin dipelajari menurut metode
dialektik ketika bagian-bagian ini saling terpisah satu sama lain dan terpisah
dari kondisi-kondisi dan keadaan-keadaannya, dan juga dari apa pun yang lalu
dan kini yang berhubungan dengan realitasnya, tidak seperti metafisika yang
tidak melihat alam sebagai jaringan hubungan (net of lingkage and conjuction)
tetapi melihat secara abstraktif murni. Karena itu, menurut paham dialektik,
setiap peristiwa tidak dapat dimengerti jika terpisah dari peristiwa-peristiwa
lain di sekitamya, dan jika dipelajari secara metafisik murni. Memang, kalau
untuk menumbangkan filsafat itu cukup melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak
benar terhadapnya, tentu tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Marxisme dalam hal
baru ini terhadap metafisika akan cukup untuk menghancurkan metafisika dan menolak
pandangan isolasionisnya tentang alam yang berlawanan dengan jiwa hubungan yang
kuat di antara bagian-bagian alam. Namun, biarlah Marxisme berkata kepada kita
yang meragukan hubungan itu, dan yang metafisika tidak menerimanya, jika
dilepaskan dari titik-titik lemah yang merepresentasikannya sebagai memiliki
watak dialektik, dan jika ia bertumpu di atas asas filsafat yang kukuh dari
prinsip kausalitas dan hukum-hukumnya (Bab VI kami khususkan untuk
menelaahnya).
Peristiwa-peristiwa, dalam
pandangan umum terhadap alam, tidak lain adalah: (1) merupakan himpunan akumulasi kebetulan, dalam arti setiap
peristiwa terjadi secara kebetulan semata-mata, tanpa ada keniscayaan yang
menuntut adanya. Ini adalah pandangan pertama; (2) bagian-bagian alam itu pada esensinya adalah
keniscayaan-keniscayaan. Setiap bagian itu maujud karena keniscayaan
esensialnya sendiri tanpa membutuhkan atau terpengaruh oleh, faktor eksternal.
Ini adalah pandangan kedua. Kedua pandangan ini tidak sesuai dengan prinsip
kausalitas yang menyatakan: setiap peristiwa, dalam wujudnya, berhubungan dengan
sebab-sebab dan kondisi-kondisinya yang khusus. Prinsip ini menolak
kebetulannya peristiwa-peristiwa, dan juga menolak keniscayaan esensial
peristiwa-peristiwa. Karena itu, menurut prinsip ini, ada pandangan lain
tentang alam. Yaitu ini: (3) alam
dianggap sebagai saling berhubungan secara sempurna, sesuai dengan prinsip dan
hukum-hukum kausalitas. Masing-masing bagian alam itu menempati tempat khusus
dalam alam yang dituntut oleh syarat-syarat keberadaannya dan himpunan
sebab-sebabnya. Ini adalah pandangan ketiga yang menegakkan metafisika di atas
dasar pemahamannya terhadap alam. Karena itu timbul perlanyaan: “Mengapa alam
ada?” Ini salah satu dari empat pertanyaan[205] yang menuntut
jawaban yang tepat dan sepatutnya, menurut logika metafisika, untuk mengetahui
secara ilmiah sesuatu.
Ini jelas berarti bahwa
metafisika sama sekali tidak menerima kcmungkinan memisahkan peristiwa dari
lingkungan dan kondisi-kondisinya, dan tidak mempertanyakan hubungannya dengan
peristiwa-peristiwa lain. Jadi, keyakinan akan hubungan umum tidak bergantung
pada dialektika. Tetapi, ia termasuk di antara hal-hal yang ke sana asas-asas
filsafat, yang dibangun metafisika dalam menelaah kausalitas dan hukum-hukumnya,
niscaya memandu.
Adapun rancangan-rancangan hubungan di antara bagian-bagian alam, dan pengungkapan rincian-rincian dan misteri-misterinya, itu diserahkan metafisika kepada berbagai ilmu pengetahuan. Logika filsafat umum tentang alam hanya mcmaparkan masalah utamanya saja. Ia membuat teori hubungannya berdasarkan kausalitas dan hukum-hukum filosofisnya. Selanjutnya, tinggallah tugas ilmu pengetahuan untuk menjelaskan rincian-rincian bidang-bidang yang dapat dijangkau metode-metode ilmiah dan menjelaskan corak-corak hubungan aktual dan misteri-misteri corak-corak ini, sehingga dengan demikian memberikan kepada setiap hal apa yang menjadi haknya.
Kalau kita mau berbuat
adil terhadap metafisika dan dialektika, kita harus menunjukkan bahwa hal baru
yang dibawa dialektika Marx bukanlah hukum umum hubungan itu sendiri, yang
tentangnya metafisika sudah berbicara dengan caranya sendiri dan yang sekaligus
jelas bagi semua, dan bukanlah lagi menjadi ajang diskusi. Tetapi Marxisme
adalah yang pertama menganjurkan tujuan-tujuan politik atau aplikasi-aplikasi
politik hukum tersebut yang memberikan kemungkinan baginya untuk mengoperasikan
rencana-rencana dan program-programnya. Jadi, masalah inovasi berkaitan dengan
penerapan, bukan dengan hukum itu, berkenaan dengan aspek logis dan
filosofisnya.
Dalam kesempatan ini,
baiklah akan kami paparkan apa yang dicatat penulis Marxis, Emile Burns,[206]
tentang hubungan tersebut dalam konsep Marxis. Ia menulis: Alam, termasuk di
dalamnya masyarakat manusia, tidak terbentuk dari hal-hal yang berdiri sendiri
satu sama lain. Setiap ilmuwan tahu itu, dan merasa benar-benar sulit untuk
menentukan sebab-sebab, bahkan, dari faktor-faktor utama yang mempengaruhi
hal-hal tertentu yang dipelajarinya. Air adalah air. Tetapi, jika temperaturnya
naik sampai derajat tertentu, ia berubah menjadi uap, dan jika temperaturnya
menurun (sampai derajat tertentu), ia berubah menjadi es. Ada juga faktor-
faktor lain yang mempengaruhi air. Setiap orang awam, kalau mengalami hal-hal,
menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang sepenuhnya berdiri sendiri, dan
bahwa segala sesuatu dipengaruhi oleh segala sesuatu yang lain. Selanjutnya ia
berkata:
Hubungan di antara segala
sesuatu itu tampak intuitif sedemikian, sehingga setiap sebab yang memalingkan
perhatian kepadanya itu jelas. Tetapi sebenarnya begini. Orang tidak selalu
tahu (mencerap) hubungan di antara segala sesuatu, dan tidak juga tahu bahwa
apa yang hakiki pada kondisi-kondisi tertentu itu bisa tidak hakiki pada
kondisi-kondisi lain. Mereka selamanya menerapkan paham-paham yang telah mereka
bentuk di bawah situasi-situasi tertentu atas situasi-situasi lain yang sama
sekali berbeda dengan situasi-situasi yang pertama. Contoh terbaik yang bisa
diberikan dalam hal ini adalah sudut pandang sekitar kebebasan berbicara.
Kebebasan berbicara secara umum melayani tujuan demokrasi dan membantu orang
untuk mengungkapkan kehendaknya. Karena itu, ia berguna bagi perkembangan
masyarakat. Tetapi, kebebasan berbicara fasisme (prinsip pertama yang mencoba
mengekang demokrasi) adalah hal yang sama sekali berbeda, karena ia
menghentikan gerak maju masyarakat. Tak soal dengan seruan berulang-ulang untuk
kebebasan berbicara, apa yang berlaku padanya dalam kondisi-kondisi normal
berkenaan dengan kelompok-kelompok yang mengupayakan demokrasi itu, tidak
berlaku pada kelompok-kelompok fasis. [207]
Teks Marxis ini mengakui
bahwa hubungan umum itu dipahami oleh setiap ilmuwan, bahkan setiap orang awam
yang telah mengalami hal-hal, sebagaimana dinyatakan Emile Burns, dan bukan
sesuatu yang baru dalam pemahaman umum manusia. Tetapi, yang baru adalah apa
yang diupayakan Marxisme dari (hubungan) itu, berdasarkan rentang hubungan
solid antara permasalahan kebebasan berbicara dan permasalahan-permasalahan
lain yang masuk dalam lingkungannya. Seperti itu pula yang berlaku pada
penerapan-penerapan lain yang serupa yang dapat kita jumpai dalam teks-teks
Marxisme yang lain. Nah, mana penyingkapan logis lagi tajam dialektika itu?
Dua Hal mengenai Kaitan Umum
Adalah perlu menunjukkan,
dalam konteks pembicaraan tentang teori hubungan umum dalam metafisika, dua hal
penting: Yang pertama adalah bahwa dalam konsep metafisika, hubungan
masing-masing bagian dari alam dengan sebab-sebab, kondisi-kondisi dan
situasi-situasi yang relevan dengannya tidak berarti tidak adanya kemungkinan
melihatnya secara mandiri, atau membuat definisi khusus tentangnya. Karena itu,
definisi adalah salah satu topik yang dibahas logika metafisik. Sangat mungkin
bahwa hal itulah yang mendorong Marxisme menuduh bahwa metafisika tidak
mempercayai adanya hubungan umum, dan tidak mempelajari alam berdasarkan
hubungan tersebut. Alasannya ialah Marxisme mendapati bahwa metafisika
mengambil satu hal, lantas mencoba mengidentifikasikan dan mendefinisikannya
secara tersendiri terlepas dari hal-hal yang lain. Disebabkan oleh hal itu,
Marxisme beranggapan bahwa ahli metafisika tidak mengakui hubungan di antara
hal-hal dan tidak mempelajari hal-hal kecuali apabila sebagiannya terpisah dari
sebagian yang lain. Dengan demikian, ketika ahli metafisika mendefinisikan
manusia sebagai kehidupan dan pikiran; dan mendefinisikan hewan sebagai
kehidupan dan kehendak, ia telah memisahkan kemanusiaan dan kehewanan dari
kondisi-kondisi dan ikatan-ikatan keduanya, dan melihat keduanya sebagai
berdiri sendiri.
Tetapi, faktanya adalah
bahwa defeniisi-defenisi yang logika metafisik biasa berikan kepada hal khusus
apa pun sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip yang mengatakan adanya
hubungan umum di antara segala sesuatu, juga tidak dimaksudkan untuk menunjukkan
kebebasan hal-hal atau cukupnya mempelajari hal-hal ini dengan memberikan kepada
hal-hal ini definisi-defenisi khusus. Ketika kita mendefinisikan manusia
sebagai “hidup dan berpikir”, kita tidak mengupayakan hal ini dengan pengingkaran
terhadap hubungan manusia dengan faktor-faktor dan sebab-sebab luar. Tapi,
lewat definisi itu, kita bermaksud memberikan gagasan tentang sesuatu yang
berhubungan dengan faktor-faktor dan sebab-sebab itu, agar kita dapat menelaah
faktor-faktor dan sebab-sebab yang berkaitan dengan hal itu. Bahkan Marxisme
sendiri menganggap definisi sebagai metode untuk merealisasikan tujuan yang
sama. Maka ia mendefinisikan dialektika, materi dan seterusnya. Lenin,
misalnya, telah mendefinisikan dialektika sebagai “ilmu tentang hukum-hukum
umum gerak”.[208] Ia juga mendefinisikan materi sebagai realitas
objektif yang diberikan kepada kita oleh indera. [209]
Dapatkah dari
definisi-definisi itu dipahami bahwa Lenin memisahkan dialektika dari
bagian-bagian lain pengetahuan ilmiah manusia, dan tidak meyakini adanya
hubungan dialektika dengan bagian-bagian itu? Dapatkah dipahami bahwa ia
memandang materi sebagai mandiri dan menelaahnya tanpa memperhatikan
hubungan-hubungan dan interaksi-interaksinya? Sama sekali tidak! Suatu definisi
tidak berarti, baik sebagai suatu keseluruhan maupun bagian, tidak menghiraukan
dan mengabaikan hubungan di antara segala sesuatu. Tetapi, ia menetapkan bagi
kita paham yang berbagai hubungannya kita coba ungkapkan, agar memudahkan kita
membicarakan dan mempelajari hubungan-hubungan itu.
Yang kedua adalah bahwa
hubungan antara bagian-bagian alam tidak mungkin melingkar. Maksudnya adalah
bahwa dua peristiwa yang saling berhubungan, seperti mendidih dan panas, tidak
mungkin masing-masingnya menjadi syarat bagi keberadaan yang lainnya. Nah,
karena panas merupakan syarat bagi adanya mendidih, maka tidak mungkin mendidih
menjadi syarat bagi adanya panas juga.[210]
Jadi, setiap bagian dari
alam – dalam catatan tentang hubungan umum – memiliki derajatnya sendiri yang
menetapkan baginya keadaan-keadaan yang mempengaruhi keberadaannya dan
fenomena-fenomena yang keberadaannya dipengaruhinya. Adapun bila masing-masing
dari dua bagian atau dua peristiwa itu adalah penyebab adanya yang lainnya dan
sekaligus keberadaannya adalah berkat yang lain, ini akan membuat hubungan
kausal itu melingkar, berputar-putar, kembali ke titik mulanya. Ini tidak
mungkin.
Akhirnya, mari kita telaah
sebentar pernyataan Engels tentang hubungan umum dan banyaknya bukti-bukti
ilmiah tentangnya. Ia berkata: “Terutama ada tiga penemuan yang membantu
memajukan langkah para pemikir besar berkenaan dengan pengetahuan kita tentang
hubungan-proses-proses alami yang progresif. Pertama adalah ditemukannya sel
sebagai kesatuan yang darinya tetumbuhan organik dan elemen hewan semuanya
berkembang melalui pembiakan dan pengelompokan. Kita tak tahu bahwa
perkembangan semua elemen organik primer dan yang menyerupainya mengikuti satu
sama lain sesuai dengan satu hukum umum saja. Tetapi, kemampuan sel untuk
berubah menunjukkan jalan yang menurutnya elemen-elemen organik dapat mengubah
jenis-jenis mereka. Dengan begitu, mereka mencapai perkembangan yang lebih
besar daripada yang dapat dicapai masing-masing secara individual. Dan kedua
adalah ditemukannya perubahan energi yang menjelaskan bahwa semua potensi yang
memiliki pengaruh primer atas alam, bukanlah elemen-elemen organik. Ini
menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan tersebut adalah manifestasi-manifestasi
yang berbeda-beda dari suatu gerak umum, yang masing-masing manifestasi ini
berlalu ke yang lain dengan proporsi-proporsi kuantitatif tertentu. Yang ketiga
adalah hujjah yang komprehensif, di mana Darwin [211] adalah orang
pertama yang membicarakannya dan yang menyatakan babwa semua produk alam,
termasuk manusia, yang ada di sekitar kita kini, tidak lain adalah
produk-produk suatu proses panjang perkembangan.” [212]
Penemuan yang pertama adalah termasuk penemuan ilmiah yang di dalamnya metafisika mencatat suatu kemenangan, karena penemuan ini membuktikan bahwa sumber kehidupan adalah sel hidup (protoplasma). Maka dengan itu, ia menghilangkan ilusi yang mengatakan adanya kemungkinan berlangsungnya kehidupan di dalam elemen organik apa pun, yang di dalamnya ada faktor-faktor materi tertentu. Dan ia juga membuat pembedaan antara makhluk-makhluk hidup dan mati, berdasarkan fakta bahwa germ tertentu kenidupan sajalah yang bertanggung jawab membawa misterinya sendiri yang besar. [213] Karena itu, penemuan sel hidup, yang menunjukkan adanya satu asal bagi makhluk-makhluk hidup, juga sekaligus menunjukkan sejauh mana perbedaan antara makhluk hidup dan lainnya.
Sedangkan penemuan kedua
dianggap juga penemuan besar lain bagi metafisika, karena ia membuktikan secara
ilmiah bahwa semua bentuk yang diambil energi termasuk kualitas material
adalah-kualitas kualitas dan karakteristik-karakteristik aksidental. Karena
itu, ia membutuhkan sebab dari luar, sebagaimana akan kami jelaskan pada Bab
VII. Penemuan tersebut berlawanan dengan hukum-hukum dialektika. Karena ia
berasumsi bahwa energi memiliki kuantitas terbatas dan tetap yang tidak dapat
terkena gerak dialektik yang oleh argumen Marxis diklaim sebagai berlaku pada
semua segi dan fenomena alam. Nah, kalau ilmu pengetahuan membuktikan bahwa
segi tertentu alam merupakan kekecualian bagi hukum-hukum dialektika, maka
hilanglah keniscayaan dan sifat pastinya.
Adapun teori Darwin
tentang perkembangan spesies dan evolusi sebagiannya dari sebagian yang lain,
juga tidak sesuai dengan hukum-hukum dialektika. Ia tak mungkin dijadikan
sandaran ilmiah bagi metode dialektik di dalam menerangkan peristiwa-peristiwa.
Charles Darwin dan lain-lainnya yang ikut membangun dan memperbaiki teori ini
menerangkan perkembangan spesies menjadi spesies lain berdasarkan bahwa
sebagian spesies pertama memperoleh atribut-atribut dan
karakteristik-karakteristik secara mekanik (mechanical coincidence) atau
melalui faktor luar tertentu, seperti lingkungan dan komunitas. Segala atribut
yang diperoleh individu akan tetap pada dirinya dan dialihkan ke keturunannya
secara pewarisan. Dengan itu, lahirlah generasi yang kuat [214]
berkat atribut-atribut yang didapatkannya. Dalam sengitnya upaya mendapatkan
makanan dan bertahan hidup antara yang kuat dari generasi tersebut dan
individu-individu yang lemah[215] dari spesies yang tidak mendapatkan
atribut-atribut semacam itu, hukum upaya bertahan hidup memenuhi fungsinya.
Maka musnahlah yang lemah, dan kekallah individu-individu yang kuat.
Karakteristik-karakteristik itu terhimpun melalui penurunan dari satu generasi
ke generasi berikutnya karakteristik-karakteristik yang dicapai generasi
sebelumnya berkat komunitas dan lingkungan hidupnya. Demikianlah seterusnya,
sampai lahir spesies baru yang menikmati seluruh karakteristik yang telah
didapat generasi pendahulunya melalui perjalanan waktu. Kita dapat mengetahui
dengan jelas sejauh mana kontradiksi antara teori Darwin ini dan metode
dialektik umum.
Watak mekanik teori itu
terjelaskan dalam penafsiran Darwin tentang perkembangan hewan yang disebabkan
oleh faktor-faktor luar. Karakteristik-karakteristik dan perbedaan-perbedaan
individual yang diperoleh generasi yang kuat dari suatu spesies bukanlah hasil
proses perkembangan, bukan pula hasil kontradiksi internal, tetapi itu adalah
hasil kejadian mekanik atau faktor-faktor luar, seperti komunitas dan
lingkungan. Jadi, kondisi-kondisi objektif, yang di dalamnya individu-individu
yang kuat hidup, itulah yang memberi mereka elemen-elemen kekuatan mereka dan
karakteristik-karakteristik yang membedakan mereka dari yang lain, bukan upaya
(struggle) internal dalam wujud mereka yang paling dalam, seperti yang
diasumsikan oleh dialektika.
Karakteristik-karakteristik
yang diperoleh dari individu secara mekanik – yakni melalui faktor-faktor luar
dari lingkungan-lingkungan yang di dalamnya ia hidup – tidak berkembang melalui
gerak dinamik dan tidak tumbuh melalui kontradiksi internal, sehingga ia
mengubah hewan menjadi jenis baru. Tapi, ia itu tetap, dan berpindah secara terus-menerus
dan tanpa berkembang, dan terus begitu melalui perubahan sederhana dan tetap.
Kemudian, karakteristik lain tertambahkan pada yang sebelumnya yang, pada
gilirannya, dilahirkan secara mekanik melalui kondisi-kondisi obyektif. Maka,
terjadilah perubahan sederhana yang lain. Demikian seterusnya, dan beginilah
karakteristik-karakteristik lahir secara mekanik, dan meneruskan keberadaan
mereka pada keturunan mereka secara turun-temurun. Mereka itu stabil dan tetap.
Ketika berhimpun, mereka akhirnya membentuk jenis baru yang lebih tinggi.
Ada juga perbedaan besar
antara hukum upaya bertahan hidup dalam teori Darwin dan gagasan tentang upaya
lawan dalam dialektika. Gagasan tentang upaya lawan, menurut penganut
dialektika, mengungkapkan konflik antara dua sosok yang berlawanan yang, pada
analisis akhirnya, memandu ke penyatuan keduanya dalam susunan yang lebih
tinggi yang sesuai dengan tiga scrangkai: tesis, antitesis dan sintesis. Jadi,
di dalam konflik kelas, misalnya, peperangan antara dua sosok yang berlawanan
itu berkobar dalam struktur internal masyarakat. Kedua kelas itu adalah kelas
kapitalis dan kelas pekerja. Konflik akan berakhir dengan diserapnya kelas
kapitalis oleh kelas pekerja. Dan menyatulah kedua kelas itu bersama-sama dalam
masyarakat tak berkelas, yang masing-masing individunya adalah pemilik
sekaligus pekerja. Di lain pihak, upaya bertahan hidup antara yang kuat dan
yang lemah, dalam teori Darwin, tidak dialektik, sebab ia tidak memandu ke
penyatuan sosok-sosok yang berlawanan dalam komposisi yang lebih tinggi.
Sebagai gantinya ia mendatangkan kehancuran salah satu dari dua sosok yang
berlawanan dan mengekalkan yang lain. Ia sepenuhnya melenyapkan
individu-individu yang lemah dari spesies itu dan mengekalkan yang kuat dan
tidak menghasilkan suatu komposisi baru yang di dalamnya yang lemah dan yang
kuat (dua sosok yang berlawanan yang berkonflik) menyatu, sebagaimana
diasumsikan dialektika dalam tiga serangkai tesis, antitesis dan sintesis.
Kalau kita membuang
gagasan tentang upaya bertahan hidup atau hukum seleksi alami sebagai penjelas
perkembangan spesies-spesies, dan kita gantikan dengan gagasan konflik antara
hewan dan lingkungannya, suatu struggle yang membantu membentuk sistem organik
yang sesuai dengan kondisi-kondisi komunitas, dan jika kita katakan bahwa
struggle yang terakhir (sebagai ganti konflik antara yang kuat dan yang lemah
adalah sumber perkembangan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Roger Garaudy, [216]
“Saya katakan jika kita kembangkan teori ini dan kita terangkan progresivitas
spesies berdasarkan konflik antara binatang [217] dan lingkungannya,
maka kita tidak akan pernah sampai pada kesimpulan dialektik juga. Ini karena
struggle antara komunitas dan sistem organik tidak menyebabkan bertemu dan
bersatunya keduanya dalam suatu komposisi yang lebih tinggi. Tetapi, tetap saja
tesis dan antitesis terpisah. Dalam hal ini, meski dua hal yang berlawanan di
sini – hewan [218] dan lingkungan – tetap ada pada akhir struggle,
yang di antara keduanya tidak ada yang hancur, tetap saja keduanya tidak
menyatu dalam komposisi baru, seperti menyatunya kelas kapitalis dan kelas
pekerja dalam susunan masyarakat yang baru.”
Akhirnya, mana kesegeraan
dan mana penyempurnaan biologis menurut Darwin itu? Dialektika menyatakan bahwa
transformasi-transformasi kualitatif terjadi segera, yang berbeda dengan
perubahan kuantitatif yang terjadi perlahan-lahan. Ia juga menyatakan bahwa
gerak itu terus-menerus mengarah kepada kesempurnaan dan menaik. Teori Darwin
atau ide perkembangan biologis menunjukkan kemungkinan terbalik sama sekali.
Para ahli biologi menjelaskan bahwa dalam alam hidup ada keadaan-keadaan gerak
berangsur-angsur, sebagaimana di dalamnya ada pula keadaan-keadaan gerak dengan
lompatan-lompatan yang tiba-tiba. [219] Lagi pula interaksi yang
dipaparkan Darwin antara makhluk hidup dan alam tidak memerlukan adanya
penyempurnaan makhluk hidup yang berkembang. Tapi, justru oleh sebab itu,
makhluk hidup dapat kehilangan sebagian kesempurnaan yang didapatnya, sesuai
dengan hukum-hukum Darwin dalam teorinya tentang interaksi antara kehidupan dan
alam. Ini tercontohkan pada hewan-hewan yang terpaksa sejak masa-masa dahulu
hidup di gua-gua dan meninggalkan kehidupan cahaya. Maka hewan-hewan itu,
menurut Darwin, kehilangan penglihatan karena berinteraksi dengan lingkungan
tertentu, dan karena mereka tidak menggunakan indera mata mereka dalam
kehidupan. Dengan begitu, perkembangan komposisi organik mereka mengalami
kemunduran. Ini berbeda dengan pandangan Marxis yang menyatakan bahwa
proses-proses perkembangan yang berkait-kaitan di dalam alam dan yang timbul
dari kontradiksi-kontradiksi dalam, selalu bertujuan menyempurna, karena itu
adalah proses-proses maju lagi linier.
Catatan:
137. Al-Madiyyah wa
Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 83.
138. Ibid.
139. Sebagai tambahan, apa yang diduga sebagai kontradiksi dalam tiga serangkai eksistensi bertumpu pada kekacauan lain antara ide tentang sesuatu dan realitas objektif sesuatu itu. Konsep tentang eksistensi tak lain adalah ide tentang eksistensi dalam benak kita. Itu bukanlah realitas objektif eksistensi. Kalau kita mengenali antara ide tentang eksistensi dan realitas eksistensi, maka akan lenyaplah kontradiksi itu. Realitas eksistensinya tertentukan dan terbatas. Tak mungkin sama sekali untuk melepaskannya dari atribut eksistonsi. Ide kita tentang eksistensi, di lain pihak, bukanlah suatu eksistonsi real. Tapi, itu merupakan suatu konsep mental yang diambil dari eksistensi real itu.
140. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 7.
141. Hadzihi Hiya Al-Dialaktikiyyah, h. 97-98.
142. Zeno dari Elea adalah para filosof Yunani (490-430 S.M.). Murid dan pembela Parmenides. Terkenal karena paradoks-paradoksnya tentang ruang, waktu, gerak dan perubahan. Beberapa fragmen dari karyanya, yang di dalamnya ia mengemukakan paradoks-paradoksnya, masih ada.
143. Potensialitas adalah kemungkinan sesuatu, sedang aktualitas adalah eksistensi real sesuatu.
144. Dengan kata lain, gerak untuk mendapatkan tahap-tahap berkembang atau menyempurna ini. Karena itu, ketika tahap-tahap itu tercapai, berhentilah gerak.
145. Shadruddin Asy-Syirazi, lebih dikenal dengan Mulla Shadra (1572-1641 M). Lahir di Syiraz. Di sini ia mengajar pada sebuah sekolah keagamaan. Konon pergi berhaji ke Makkah tujuh kali dengan jalan kaki. Ia percaya bahwa filsafat kuno dipadu dengan kebenaran samawi memberikan bentuk tertinggi kebenaran. Ia menulis komentar-komentar tentang Hikmah Al-Isyraq-nya As-Suhrawardi dan bagian-bagian dari Al-Syifa-nya Ibnu Sina. Juga menulis sejumlah karya asli, yang terkenal adalah Kitab Al-Hikmah Al-Muta’alliyah – judul lain karya ini adalah Kitab Al-Asfar Al-Arba’ah (Empat Perjalanan, yaitu pembahasan tentang jiwa).
146. Bukti pokok untuk gerak substansial dapat dirangkum dalam dua hal berikut. Pertama, sebab langsung gerak aksidental dan terluar benda – baik itu mekanik maupun alami – merupakan suatu daya spesifik dalam benda itu. Ide ini benar, bahkan tentang gerak mekanik yang pada mulanya tampak seolah-olah berasal dari suatu daya tersendiri. Misalnya, jika Anda mendorong suatu benda pada garis horisontal atau vertikal, konsep sederhana tentang gerak ini adalah bahwa gerak ini merupakan efek dari daya eksternal dan sebab tersendiri. Tapi ini tidak benar. Penggerak sejatinya adalah daya yang maujud dalam benda itu. Karena hal ini, gerak bersinambung setelah terpecahnya benda yang bergerak dari daya eksternal dan sebab eksternal; dan sistem mekanik yang dapat digerakkan terus bergerak sebentar, setelah terkena sebab instrumental yang bergerak. Berdasarkan hal ini, mekanika modern membuat hukum limitasi esensial (qanun al-qushur al-dzatiy). Hukum ini mengatakan jika suatu benda digerakkan, ia terus bergerak, kecuali ada sesuatu eksternal yang menghentikan geraknya. Namun hukum ini disalahgunakan, sebab ia dianggap sebagai hujah bahwa bila gerak mulai, setelah itu, ia tak memerlukan alasan spesiftk atau sebab khusus. Ia diambil untuk menolak prinsip kausalitas dan hukum-hukumnya. Sebenarnya, eksperimen-eksperimen ilmiah dalam mekanika modern menunjukkan bahwa sebab eksternal yang berdiri sendiri itu bukanlah sebab sejati gerak; kalau tidak demikian, gerak benda takkan bersinambung setelah benda itu terpisah dari sebab eksternal yang mandiri itu. Karena hal ini, sebab langsung gerak (terus-menerus) tentulah suatu daya yang ada dalam benda itu (yang dikenal sebagai momentum), dan sebab-sebab eksternal tentulah kondisi-kondisi bagi, dan pengaruh-pengaruh terhadap daya itu. Kedua, efek haruslah sesuai dengan sebab dalam hal stabil dan dapat diperbarui. Jika sebab itu stabil, efeknya harus pula stabil; dan jika efek dapat diperbarui dan prosesif, sebabnya juga harus dapat diperbarui dan prosesif. Berdasarkan hal ini, sebab gerak niscaya dapat digerakkan dan diperbarui, selaras dengan pembaruan dan progresi gerak itu scndiri. Karena, jika sebab gerak itu stabil, maka apa pun yang dihasilkannya akan stabil. Maka, gerak menjadi diam. Tapi ini bertentangan dengan arti gerak dan berkembang. Berdasarkan dua hal di atas, tersimpul hal-hal sebagai berikut. Pertama, daya yang ada dalam suatu benda dan yang menggerakkannya adalah daya yang dapat digerakkan dan progrresif. Berkat progresinya, daya ini merupakan sebab bagi segenap gerak aksidental dan terluar. Selanjutnya, ia adalah daya substansial, sebab ia niscaya menyebabkan gerak substansial; karena suatu aksiden itu maujud berkat suatu substansi. Ini membuktikan adanya gerak substansial dalam alam. Kedua, benda selalu tersusun dari suatu materi yang diperjelas oleh gerak, dan suatu daya substansial prosesif, yang berkat daya ini gerak terluar terjadi pada fenomena-fenomena dan aksiden-aksiden benda itu. Pada kesempatan ini kami tak dapat membabas gerak substansial dan hujah-hujahnya dengan lebih panjang lebar lagi.
147. Problem hubungan antara yang baru dan yang lama adalah begini. Karena sebab itu lama dan abadi, tentu ia merupakan sebab bagi apa yang sesuai dengannya baik dalam hal lama maupun abadi. Berdasarkan hal ini, sejumlah ahli metafisika membayangkan bahwa mempercayai Pcncipta yang Abadi secara filosofis meniscayakan mempercayai lama dan abadinya alam, sehingga efek takkan terpisah dari sebabnya. Asy-Syirazi memecahkan problem ini dengan gerak substansial. Menurut gerak ini, alam materi itu terus memperbarui dan berkembang. Maka, berdasarkan hal ini, memaujudnya alam ini adalah efek niscaya dari watak yang dapat diperbaruinya sendiri, bukan efek dari maujud dan pembaruan Pencipta Pertama.
148. Asy-Syirazi menyodorkan pcnjelasan baru tentang waktu, yang di dalamnya waktu dinisbahkan kepada gerak substansial alam. Maka, dalam pandangan filsafat Asy-Syirazi, waktu menjadi elemen pembentuk benda, dan tak lagi terpisah dan mandiri darinya.
149. Pada bab terakhir buku ini, akan kami bahas tentang dapat dipisahkannya materi dan hubungan jiwa dengan tubuh.
150. Dhid Duharnak Al-Falsafah, h. 202.
151. Fakhruddin Ar-Razi, teolog dan filosof agama Muslim (1149-1209 M). Pengikut Asy’ari. Banyak berdebat dengan orang-orang Mu’tazilah. Namun, pada akhir hayatnya, ia melihat tak bernilainya metode dialektika itu. Pada awal karirnya, ia menulis Lubab Al-Isyarah (sebuah ulasan tentang Al-Isyarah wa Al-Tanbihah-nya Ibn Sina). Ulasan ini dikritik oleh Nasiruddin Ath-Thusi). Karya-karya awal lainnya: Al-Mabahits Al-Masyriqiyyah dan sebuah karya semi otobiografis, Munazharah Al-‘Allamah Fakhr Al-Din (sebuah deskripsi tentang pertemuannya dengan tokoh-tokoh tertentu). Karya teologisnya yang terpenting adalah sebuah ulasan tentang Al-Quran, Mafatih Al-Ghayb. Karya penting lainnya adalah Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i.
152. Marx, Engels wa Al-Marksiyyah, h. 24.
153. Ma Hiya Al-Madda, h. 56.
154. Al-Manthiq Al-Syakliy wa Al-Manthiq Al-Dialaktikiy, h.9.
155. Ibid., h. 12.
156. Lihat h. 172 (teks asli).
157. Lihat h. 172 (teks asli).
158. Louis Pasteur, kimiawan sekaligus mikrobilog Prancis (1822-1895). Ia menunjukkan bahwa fermentasi dan penyakit-penyakit tertentu disebahkan oleh mikroorganisme-mikroorganisme. Pelopor dalam penggunaan vaksin. Yang pertama, misalnya, menggunakan vaksin untuk rabies. Konon dialah yang menyelamatkan industri-industri anggur, bir dan sutera di sejumlah negara Eropa. Kita berutang kepadanya untuk pengetahuan kita tentang pasteurisasi. Publikasi utamanya adalah Studies on Beer (1876 M). Pada 1879, karya ini diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Studies on Fermentation.
159. Germ: I. Poni suatu organisme hidup yang mampu menjadi suatu organisme baru; 2. Mikroba atau hasil, khususnya yang menimbulkan penyakit (penyunting).
160. Al-Manthiq Al-Syakliy Ula Al-Manthiq Al-Dialaktikiy, h. 12-15.
161. Teks: al-tsiql (berat).
162. Teks: al-tsiql (berat).
163. Fa-ashbahat al-quwwah al-mikanikiyyah khassat handasa li al-‘alam.
164. Bandingkan apa yang telah kami sebutkan dengan keterangan Marxis tentang transformasi dalam ilmu-ilmu mekanika. Keterangan ini diberikan oleh Dr. Taqi Arni dalam bukunya, Materialism Diyalaktic, h. 23. Keterangannya didasarkan atas adanya kebenaran pada mekanika relativitas dan mekanika Newton, dan pada berkembangnya kebenaran pada kedua mekanika ini, menurut dialektika.
165. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 12.
166. Hawl Al-Tanaqud, h. 4.
167. Al-Manthiq Al-Syakliy wa Al-Manthiq Al-Dialaktikiyyah, h. 9.
168. Perhatikan, Semua teks Marxis menyalahgunakan istilah “kontradiksi” dan “penentangan”. Maka, Marxisme menganggap kedua istilah ini dalam arti yang sama, meskipun keduanya tak sama dalam tradisi-tradisi filsafat. Kontradiksi adalah keadaan penafian dan afirmasi; sedangkan penentangan berarti dua afirmasi yang bertentangan. Lurus dan tidak lurusnya suatu garis adalah kontradiksi, karena keduanya itu (masing-masing) merupakan afirmasi dan penafian. Namun, lurusnya sebuah garis dan bengkoknya sebuah garis adalah dua hal yang bertentangan. Kontradiksi dalam arti filsafat tak berlaku pada yang terakhir, sebab salah satu dari keduanya tak menafikan yang lain. Tapi, itu adalah afirmasi yang paralel dongan afirmasi terhadap yang lain. Begitu pula, Marxisme salah memahami penentangan, atau menyalahgunakan istilah “penentangan”. Ia memandang sesuatu yang berbeda dari yang lain sebagai lawannya. Maka, menurutnya, anak ayam itu lawan telur, dan ayam dewasa itu lawan anak ayam, meskipun penentangan dalam arti filsafat bukan saja perbedaan di antara hal-hal, tetapi juga atribut yang tak dapat bersatu dengan atribut lain dalam satu hal. Dalam buku ini, kami (menggunakan istilah-istilah ini) sesuai dengan arti Marxis untuk kemudahan dan kejelasan.
169. Teks: wa khuluwuihima (kehampaan dua prinsip ini).
170. Al-Kawn wa Al-Fasad, h. 168-169.
171. Ibid., h. 154.
172. Georges Lefebvre, sejarahwan Prancis (1874-1959 M). Kontribusinya terutama dalam bidang sosial-ekonomi. Ia melakukan studi atas sejarah-agrarian Revolusi Prancis. Karya utamanya, The Agrarian Question during the Reign of Terror (diterjemahkan ke bahasa Rusia pada 1936), The French Revolution dan A Study of the French Revolution.
173. Karl Marx, h. 58.
174. Hawl Al-Tanaqud, h. 13.
175. Karl Marx, h. 60.
176. Dhid Duharnak, h. 203.
177. Sel (cell): Unit mikroskopis materi hidup yang mengurong suatu nucleus dengan gen-gen yang memproduksi-sendiri (penyunting).
178. Ibid., h. 203-204.
179. Hawl Al-Tanaqud, h. 14.
180. Ibid., h. 14-15.
181. Ibid.
182. Ayyam.
183. Al-Manthiq Al-Syakliy wa Al-Manthiq Al-Dialaktikiy, h. 20-21.
184. Ibid.
185. Teks: Ubulidas. Kami tak dapat mengcnali siapa penulis yang bernama seperti ini. Meskipun yang dirujuk di sini adalah Chrysippus yang disebut oleh Diogenes sebagai telah memberikan argumen tentang ayah yang berselubung itu (Life of Diogenes, VII, Bab 44 dan 82).
186. Teks: Ubulidas.
187. Al-Mas’alah Al-Falsafiyyah, Muhammad ‘Abd Al-Rahman Marhaba, h. 103.
188. Tak pernah mencapai 2, tapi mendekati 2.
189. Karl Marx, h. 21; Hadzihi Hiya Al-Dialaktikiyyah, h. 78.
190. Dhid Duharnak: al-iqtishad al-siyasiy, h. 195.
191. Iqtishaduna sudah terbit. Di dalamnya tercakup salah satu studi paling ekstensif tentang materialisme sejarah, berdasarkan prinsip-prinsip filsafat dan jalur umum sejarah manusia dalam kehidupan nyata.
192. Lihat Iqtishaduna (Ekonomi Kita).
193. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 8-9.
194. Yaitu, ke keadaan semulanya.
195. At-Bayan Al-Syuyu’i, h.8.
196. Usus Al-Lininiyyah, h.66.
197. Melti disebutkan bahwa hal ini demikian hanya di bawah tekanan normal (76 sentimeter air raksa).
198. Dhid Duharnak, h. 211-212; At-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al- Tarikhiyyah, h. 10.
199. Yaitu, hanya jika air tidak sepenuhnya murni dan di bawah tekanan normal yang konstan.
200. Dhid Duharnak, h.214.
201. Tetapi perubahan-perubahan fase ini dari solid ke cair lalu ke uap sama sekali tidak berlaku pada senyawa-senyawa yang dikutip.
202. Hadzihi Hiya Ad-Dialaktikiyyah Mabadi’ Al-Falsafah Al-Awwaliyyah, George Politzer, h.10.
203. Dhid Duharnak, h. 210.
204. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 6.
105. Empat pertananyaan itu adalah seperti berikut: “Apakah itu?” “Adakah itu?” “Seperti apakah itu?” “Kenapa itu?” Untuk memperjelas, kami akan memberlakukan pertanyaan- pmanyaan ini pada salah satu fenomena alam.
Mari kita ambil contoh, panas, dan kemudian memberlakukan pertanyaan-pertanyaan ini kepadanya. “Apakah panas itu?” Dengan pertanyaan ini, kita berusaha menjelaskan paham tertentu tentang panas. Dengan demikian, kita jawab pertanyaan ini, misalnya – dengan mengatakan – bahwa ia meripakan sebentuk daya. “Apakah panas ada di alam?” Jawaban kita tentu saja: “Ya.” “Seperti apakah panas itu?” Dengan kata lain, apakah fenomena-fenomena dan sifat-sifat panas itu? Jawabannya diberikan oleh fisika. Dengan demikian dikatakan, misalnya, bahwa di antara sifat-sifat panas itu adalah memanaskan, memperbesar, memperkecil, mengubah beberapa karakteristik alami materi, dan seterusnya. Akhirnya, “Kenapa panas itu ada?” Pertanyaan ini muncul karena kepentingan dalam memahami faktor-faktor dan aebab-sebab yang menimbulkan panas, dan kondisi-kondisi eksternal yang menjadi tumpuan panas. Jawabnya, misalnya, adalah bahwa bumi memperoleh daya panas dari mataharl, dan kemudian memancarkannya, dan seterusnya.
Dengan ini Anda tahu bahwa logika metafisika menempatkan isu hubungan sesuatu dengan sebab-sebab dan keadaan-keadaannya pada kelas yang sama dengan isu-isu utamna lain yang berkenaan dengan realitas, eksistensi, dan sifat-sifat hal ini.
206. Emile Burns, seorang Marxis Inggris (1899- ).
207. Ma Hiya Al-Marxiyyah, h. 75-76.
208. Marx Engels wa Al-Marxiyyah, h. 24.
209. Ma Hiya Al-Madda, h. 29.
210. Interaksi antara hal-hal berlawanan secara eksternal tidak dapat dianggap sebagai hujah untuk kemungkinan hal ini, karena interaksi antara hal-hal berlawanan secara eksternal tidak berarti bahwa masing-masing hal itu merupakan kondisi dan sebab bagi eksistensi hal berlawanan yang lain. Namun, interaksi ini sebenarnya disebabkan oleh fakta bahwa masing-masing hal berlawanan itu memperoteh atribut yang sebelumnya tidak dimilikinya dan yang berkenaan dengan hal berlawanan yang lain. Dengan demikian, muatan negatif dan muatan positif berinteraksi, bukan dalam arti bahwa masing-masing dari dua muatan itu maujud sebagai hasil dari yang lain, tetapi dalam arti bahwa muatan negatif menghasilkan keadaan tertarik tertmtu pada muatan positif. Begitu pula dengan kebalikan dari hal ini.
211. Charles Robert Darwin, seorang naturalis Inggris (1809-1882). Salah satu pembela tergigih dan terkenal evolusi organik. Karya terpentingnya adalah The Origin of Species by Means of Natural Selection (1859).
212. Ludwig Feuerbach, h, 88,
213. Mesti dicatat bahwa perbedaan ini tidak lagi diakui.
214. Yaitu, suatu generasi yang teradaptasi.
215. Yaitu, tak teradaptasi.
216. Al-Ruh Al-Hizbiyyah fi Al-‘Ulum, h. 43.
217. Teks: al-bi’a (komunitas).
218. Teks: al-bi’a (komunitas).
219. Ibid., h.44.
138. Ibid.
139. Sebagai tambahan, apa yang diduga sebagai kontradiksi dalam tiga serangkai eksistensi bertumpu pada kekacauan lain antara ide tentang sesuatu dan realitas objektif sesuatu itu. Konsep tentang eksistensi tak lain adalah ide tentang eksistensi dalam benak kita. Itu bukanlah realitas objektif eksistensi. Kalau kita mengenali antara ide tentang eksistensi dan realitas eksistensi, maka akan lenyaplah kontradiksi itu. Realitas eksistensinya tertentukan dan terbatas. Tak mungkin sama sekali untuk melepaskannya dari atribut eksistonsi. Ide kita tentang eksistensi, di lain pihak, bukanlah suatu eksistonsi real. Tapi, itu merupakan suatu konsep mental yang diambil dari eksistensi real itu.
140. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 7.
141. Hadzihi Hiya Al-Dialaktikiyyah, h. 97-98.
142. Zeno dari Elea adalah para filosof Yunani (490-430 S.M.). Murid dan pembela Parmenides. Terkenal karena paradoks-paradoksnya tentang ruang, waktu, gerak dan perubahan. Beberapa fragmen dari karyanya, yang di dalamnya ia mengemukakan paradoks-paradoksnya, masih ada.
143. Potensialitas adalah kemungkinan sesuatu, sedang aktualitas adalah eksistensi real sesuatu.
144. Dengan kata lain, gerak untuk mendapatkan tahap-tahap berkembang atau menyempurna ini. Karena itu, ketika tahap-tahap itu tercapai, berhentilah gerak.
145. Shadruddin Asy-Syirazi, lebih dikenal dengan Mulla Shadra (1572-1641 M). Lahir di Syiraz. Di sini ia mengajar pada sebuah sekolah keagamaan. Konon pergi berhaji ke Makkah tujuh kali dengan jalan kaki. Ia percaya bahwa filsafat kuno dipadu dengan kebenaran samawi memberikan bentuk tertinggi kebenaran. Ia menulis komentar-komentar tentang Hikmah Al-Isyraq-nya As-Suhrawardi dan bagian-bagian dari Al-Syifa-nya Ibnu Sina. Juga menulis sejumlah karya asli, yang terkenal adalah Kitab Al-Hikmah Al-Muta’alliyah – judul lain karya ini adalah Kitab Al-Asfar Al-Arba’ah (Empat Perjalanan, yaitu pembahasan tentang jiwa).
146. Bukti pokok untuk gerak substansial dapat dirangkum dalam dua hal berikut. Pertama, sebab langsung gerak aksidental dan terluar benda – baik itu mekanik maupun alami – merupakan suatu daya spesifik dalam benda itu. Ide ini benar, bahkan tentang gerak mekanik yang pada mulanya tampak seolah-olah berasal dari suatu daya tersendiri. Misalnya, jika Anda mendorong suatu benda pada garis horisontal atau vertikal, konsep sederhana tentang gerak ini adalah bahwa gerak ini merupakan efek dari daya eksternal dan sebab tersendiri. Tapi ini tidak benar. Penggerak sejatinya adalah daya yang maujud dalam benda itu. Karena hal ini, gerak bersinambung setelah terpecahnya benda yang bergerak dari daya eksternal dan sebab eksternal; dan sistem mekanik yang dapat digerakkan terus bergerak sebentar, setelah terkena sebab instrumental yang bergerak. Berdasarkan hal ini, mekanika modern membuat hukum limitasi esensial (qanun al-qushur al-dzatiy). Hukum ini mengatakan jika suatu benda digerakkan, ia terus bergerak, kecuali ada sesuatu eksternal yang menghentikan geraknya. Namun hukum ini disalahgunakan, sebab ia dianggap sebagai hujah bahwa bila gerak mulai, setelah itu, ia tak memerlukan alasan spesiftk atau sebab khusus. Ia diambil untuk menolak prinsip kausalitas dan hukum-hukumnya. Sebenarnya, eksperimen-eksperimen ilmiah dalam mekanika modern menunjukkan bahwa sebab eksternal yang berdiri sendiri itu bukanlah sebab sejati gerak; kalau tidak demikian, gerak benda takkan bersinambung setelah benda itu terpisah dari sebab eksternal yang mandiri itu. Karena hal ini, sebab langsung gerak (terus-menerus) tentulah suatu daya yang ada dalam benda itu (yang dikenal sebagai momentum), dan sebab-sebab eksternal tentulah kondisi-kondisi bagi, dan pengaruh-pengaruh terhadap daya itu. Kedua, efek haruslah sesuai dengan sebab dalam hal stabil dan dapat diperbarui. Jika sebab itu stabil, efeknya harus pula stabil; dan jika efek dapat diperbarui dan prosesif, sebabnya juga harus dapat diperbarui dan prosesif. Berdasarkan hal ini, sebab gerak niscaya dapat digerakkan dan diperbarui, selaras dengan pembaruan dan progresi gerak itu scndiri. Karena, jika sebab gerak itu stabil, maka apa pun yang dihasilkannya akan stabil. Maka, gerak menjadi diam. Tapi ini bertentangan dengan arti gerak dan berkembang. Berdasarkan dua hal di atas, tersimpul hal-hal sebagai berikut. Pertama, daya yang ada dalam suatu benda dan yang menggerakkannya adalah daya yang dapat digerakkan dan progrresif. Berkat progresinya, daya ini merupakan sebab bagi segenap gerak aksidental dan terluar. Selanjutnya, ia adalah daya substansial, sebab ia niscaya menyebabkan gerak substansial; karena suatu aksiden itu maujud berkat suatu substansi. Ini membuktikan adanya gerak substansial dalam alam. Kedua, benda selalu tersusun dari suatu materi yang diperjelas oleh gerak, dan suatu daya substansial prosesif, yang berkat daya ini gerak terluar terjadi pada fenomena-fenomena dan aksiden-aksiden benda itu. Pada kesempatan ini kami tak dapat membabas gerak substansial dan hujah-hujahnya dengan lebih panjang lebar lagi.
147. Problem hubungan antara yang baru dan yang lama adalah begini. Karena sebab itu lama dan abadi, tentu ia merupakan sebab bagi apa yang sesuai dengannya baik dalam hal lama maupun abadi. Berdasarkan hal ini, sejumlah ahli metafisika membayangkan bahwa mempercayai Pcncipta yang Abadi secara filosofis meniscayakan mempercayai lama dan abadinya alam, sehingga efek takkan terpisah dari sebabnya. Asy-Syirazi memecahkan problem ini dengan gerak substansial. Menurut gerak ini, alam materi itu terus memperbarui dan berkembang. Maka, berdasarkan hal ini, memaujudnya alam ini adalah efek niscaya dari watak yang dapat diperbaruinya sendiri, bukan efek dari maujud dan pembaruan Pencipta Pertama.
148. Asy-Syirazi menyodorkan pcnjelasan baru tentang waktu, yang di dalamnya waktu dinisbahkan kepada gerak substansial alam. Maka, dalam pandangan filsafat Asy-Syirazi, waktu menjadi elemen pembentuk benda, dan tak lagi terpisah dan mandiri darinya.
149. Pada bab terakhir buku ini, akan kami bahas tentang dapat dipisahkannya materi dan hubungan jiwa dengan tubuh.
150. Dhid Duharnak Al-Falsafah, h. 202.
151. Fakhruddin Ar-Razi, teolog dan filosof agama Muslim (1149-1209 M). Pengikut Asy’ari. Banyak berdebat dengan orang-orang Mu’tazilah. Namun, pada akhir hayatnya, ia melihat tak bernilainya metode dialektika itu. Pada awal karirnya, ia menulis Lubab Al-Isyarah (sebuah ulasan tentang Al-Isyarah wa Al-Tanbihah-nya Ibn Sina). Ulasan ini dikritik oleh Nasiruddin Ath-Thusi). Karya-karya awal lainnya: Al-Mabahits Al-Masyriqiyyah dan sebuah karya semi otobiografis, Munazharah Al-‘Allamah Fakhr Al-Din (sebuah deskripsi tentang pertemuannya dengan tokoh-tokoh tertentu). Karya teologisnya yang terpenting adalah sebuah ulasan tentang Al-Quran, Mafatih Al-Ghayb. Karya penting lainnya adalah Manaqib Al-Imam Asy-Syafi’i.
152. Marx, Engels wa Al-Marksiyyah, h. 24.
153. Ma Hiya Al-Madda, h. 56.
154. Al-Manthiq Al-Syakliy wa Al-Manthiq Al-Dialaktikiy, h.9.
155. Ibid., h. 12.
156. Lihat h. 172 (teks asli).
157. Lihat h. 172 (teks asli).
158. Louis Pasteur, kimiawan sekaligus mikrobilog Prancis (1822-1895). Ia menunjukkan bahwa fermentasi dan penyakit-penyakit tertentu disebahkan oleh mikroorganisme-mikroorganisme. Pelopor dalam penggunaan vaksin. Yang pertama, misalnya, menggunakan vaksin untuk rabies. Konon dialah yang menyelamatkan industri-industri anggur, bir dan sutera di sejumlah negara Eropa. Kita berutang kepadanya untuk pengetahuan kita tentang pasteurisasi. Publikasi utamanya adalah Studies on Beer (1876 M). Pada 1879, karya ini diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Studies on Fermentation.
159. Germ: I. Poni suatu organisme hidup yang mampu menjadi suatu organisme baru; 2. Mikroba atau hasil, khususnya yang menimbulkan penyakit (penyunting).
160. Al-Manthiq Al-Syakliy Ula Al-Manthiq Al-Dialaktikiy, h. 12-15.
161. Teks: al-tsiql (berat).
162. Teks: al-tsiql (berat).
163. Fa-ashbahat al-quwwah al-mikanikiyyah khassat handasa li al-‘alam.
164. Bandingkan apa yang telah kami sebutkan dengan keterangan Marxis tentang transformasi dalam ilmu-ilmu mekanika. Keterangan ini diberikan oleh Dr. Taqi Arni dalam bukunya, Materialism Diyalaktic, h. 23. Keterangannya didasarkan atas adanya kebenaran pada mekanika relativitas dan mekanika Newton, dan pada berkembangnya kebenaran pada kedua mekanika ini, menurut dialektika.
165. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 12.
166. Hawl Al-Tanaqud, h. 4.
167. Al-Manthiq Al-Syakliy wa Al-Manthiq Al-Dialaktikiyyah, h. 9.
168. Perhatikan, Semua teks Marxis menyalahgunakan istilah “kontradiksi” dan “penentangan”. Maka, Marxisme menganggap kedua istilah ini dalam arti yang sama, meskipun keduanya tak sama dalam tradisi-tradisi filsafat. Kontradiksi adalah keadaan penafian dan afirmasi; sedangkan penentangan berarti dua afirmasi yang bertentangan. Lurus dan tidak lurusnya suatu garis adalah kontradiksi, karena keduanya itu (masing-masing) merupakan afirmasi dan penafian. Namun, lurusnya sebuah garis dan bengkoknya sebuah garis adalah dua hal yang bertentangan. Kontradiksi dalam arti filsafat tak berlaku pada yang terakhir, sebab salah satu dari keduanya tak menafikan yang lain. Tapi, itu adalah afirmasi yang paralel dongan afirmasi terhadap yang lain. Begitu pula, Marxisme salah memahami penentangan, atau menyalahgunakan istilah “penentangan”. Ia memandang sesuatu yang berbeda dari yang lain sebagai lawannya. Maka, menurutnya, anak ayam itu lawan telur, dan ayam dewasa itu lawan anak ayam, meskipun penentangan dalam arti filsafat bukan saja perbedaan di antara hal-hal, tetapi juga atribut yang tak dapat bersatu dengan atribut lain dalam satu hal. Dalam buku ini, kami (menggunakan istilah-istilah ini) sesuai dengan arti Marxis untuk kemudahan dan kejelasan.
169. Teks: wa khuluwuihima (kehampaan dua prinsip ini).
170. Al-Kawn wa Al-Fasad, h. 168-169.
171. Ibid., h. 154.
172. Georges Lefebvre, sejarahwan Prancis (1874-1959 M). Kontribusinya terutama dalam bidang sosial-ekonomi. Ia melakukan studi atas sejarah-agrarian Revolusi Prancis. Karya utamanya, The Agrarian Question during the Reign of Terror (diterjemahkan ke bahasa Rusia pada 1936), The French Revolution dan A Study of the French Revolution.
173. Karl Marx, h. 58.
174. Hawl Al-Tanaqud, h. 13.
175. Karl Marx, h. 60.
176. Dhid Duharnak, h. 203.
177. Sel (cell): Unit mikroskopis materi hidup yang mengurong suatu nucleus dengan gen-gen yang memproduksi-sendiri (penyunting).
178. Ibid., h. 203-204.
179. Hawl Al-Tanaqud, h. 14.
180. Ibid., h. 14-15.
181. Ibid.
182. Ayyam.
183. Al-Manthiq Al-Syakliy wa Al-Manthiq Al-Dialaktikiy, h. 20-21.
184. Ibid.
185. Teks: Ubulidas. Kami tak dapat mengcnali siapa penulis yang bernama seperti ini. Meskipun yang dirujuk di sini adalah Chrysippus yang disebut oleh Diogenes sebagai telah memberikan argumen tentang ayah yang berselubung itu (Life of Diogenes, VII, Bab 44 dan 82).
186. Teks: Ubulidas.
187. Al-Mas’alah Al-Falsafiyyah, Muhammad ‘Abd Al-Rahman Marhaba, h. 103.
188. Tak pernah mencapai 2, tapi mendekati 2.
189. Karl Marx, h. 21; Hadzihi Hiya Al-Dialaktikiyyah, h. 78.
190. Dhid Duharnak: al-iqtishad al-siyasiy, h. 195.
191. Iqtishaduna sudah terbit. Di dalamnya tercakup salah satu studi paling ekstensif tentang materialisme sejarah, berdasarkan prinsip-prinsip filsafat dan jalur umum sejarah manusia dalam kehidupan nyata.
192. Lihat Iqtishaduna (Ekonomi Kita).
193. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 8-9.
194. Yaitu, ke keadaan semulanya.
195. At-Bayan Al-Syuyu’i, h.8.
196. Usus Al-Lininiyyah, h.66.
197. Melti disebutkan bahwa hal ini demikian hanya di bawah tekanan normal (76 sentimeter air raksa).
198. Dhid Duharnak, h. 211-212; At-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al- Tarikhiyyah, h. 10.
199. Yaitu, hanya jika air tidak sepenuhnya murni dan di bawah tekanan normal yang konstan.
200. Dhid Duharnak, h.214.
201. Tetapi perubahan-perubahan fase ini dari solid ke cair lalu ke uap sama sekali tidak berlaku pada senyawa-senyawa yang dikutip.
202. Hadzihi Hiya Ad-Dialaktikiyyah Mabadi’ Al-Falsafah Al-Awwaliyyah, George Politzer, h.10.
203. Dhid Duharnak, h. 210.
204. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 6.
105. Empat pertananyaan itu adalah seperti berikut: “Apakah itu?” “Adakah itu?” “Seperti apakah itu?” “Kenapa itu?” Untuk memperjelas, kami akan memberlakukan pertanyaan- pmanyaan ini pada salah satu fenomena alam.
Mari kita ambil contoh, panas, dan kemudian memberlakukan pertanyaan-pertanyaan ini kepadanya. “Apakah panas itu?” Dengan pertanyaan ini, kita berusaha menjelaskan paham tertentu tentang panas. Dengan demikian, kita jawab pertanyaan ini, misalnya – dengan mengatakan – bahwa ia meripakan sebentuk daya. “Apakah panas ada di alam?” Jawaban kita tentu saja: “Ya.” “Seperti apakah panas itu?” Dengan kata lain, apakah fenomena-fenomena dan sifat-sifat panas itu? Jawabannya diberikan oleh fisika. Dengan demikian dikatakan, misalnya, bahwa di antara sifat-sifat panas itu adalah memanaskan, memperbesar, memperkecil, mengubah beberapa karakteristik alami materi, dan seterusnya. Akhirnya, “Kenapa panas itu ada?” Pertanyaan ini muncul karena kepentingan dalam memahami faktor-faktor dan aebab-sebab yang menimbulkan panas, dan kondisi-kondisi eksternal yang menjadi tumpuan panas. Jawabnya, misalnya, adalah bahwa bumi memperoleh daya panas dari mataharl, dan kemudian memancarkannya, dan seterusnya.
Dengan ini Anda tahu bahwa logika metafisika menempatkan isu hubungan sesuatu dengan sebab-sebab dan keadaan-keadaannya pada kelas yang sama dengan isu-isu utamna lain yang berkenaan dengan realitas, eksistensi, dan sifat-sifat hal ini.
206. Emile Burns, seorang Marxis Inggris (1899- ).
207. Ma Hiya Al-Marxiyyah, h. 75-76.
208. Marx Engels wa Al-Marxiyyah, h. 24.
209. Ma Hiya Al-Madda, h. 29.
210. Interaksi antara hal-hal berlawanan secara eksternal tidak dapat dianggap sebagai hujah untuk kemungkinan hal ini, karena interaksi antara hal-hal berlawanan secara eksternal tidak berarti bahwa masing-masing hal itu merupakan kondisi dan sebab bagi eksistensi hal berlawanan yang lain. Namun, interaksi ini sebenarnya disebabkan oleh fakta bahwa masing-masing hal berlawanan itu memperoteh atribut yang sebelumnya tidak dimilikinya dan yang berkenaan dengan hal berlawanan yang lain. Dengan demikian, muatan negatif dan muatan positif berinteraksi, bukan dalam arti bahwa masing-masing dari dua muatan itu maujud sebagai hasil dari yang lain, tetapi dalam arti bahwa muatan negatif menghasilkan keadaan tertarik tertmtu pada muatan positif. Begitu pula dengan kebalikan dari hal ini.
211. Charles Robert Darwin, seorang naturalis Inggris (1809-1882). Salah satu pembela tergigih dan terkenal evolusi organik. Karya terpentingnya adalah The Origin of Species by Means of Natural Selection (1859).
212. Ludwig Feuerbach, h, 88,
213. Mesti dicatat bahwa perbedaan ini tidak lagi diakui.
214. Yaitu, suatu generasi yang teradaptasi.
215. Yaitu, tak teradaptasi.
216. Al-Ruh Al-Hizbiyyah fi Al-‘Ulum, h. 43.
217. Teks: al-bi’a (komunitas).
218. Teks: al-bi’a (komunitas).
219. Ibid., h.44.
Sumber: Sayyid Muhammad Baqir as Shadr,
FALSAFATUNA
|
Penerjemah : M. Nur
Mufid bin Ali
|
Penerbit : Mizan
|
Tahun Penerbitan :
Jumada Al-Awwal 1415/Oktober 1994
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar