Sabtu, 08 November 2014

Imam Ali Zainal Abidin, Saksi Tragedi Karbala


Semasa hidup Imam keempat, Imam Ali bin Husain atau Imam Ali Zainal Abidin, lembaran sejarah Islam penuh dengan peristiwa kelam, kelabu dan noda moral kemanusiaan. Pasca tragedi karbala yang menyayat, memalukan sekaligus memilukan itu, dunia Islam dikuasai dan diperintah oleh Yazid bin Muawiyah selama lebih tiga tahun. Setelah Yazid, tampuk kekuasaan juga jatuh ke tangan orang-orang zalim dan tak kalah kejinya dengan Yazid, yaitu Marwan, seluruh keluarga Rasulullah SAW dan Imam Ali Zainal Abidin menyaksikan peristiwa tragis dan memilukan ini berlangsung.

Imam Ali Zainal Abidin adalah satu-satunya pemuda Ahlulbait yang selamat dari tragedi Karbala. Tatkala tragedi Karbala terjadi, Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit keras. Waktu itu usia beliau baru dua puluh tahun. Sakit keras Imam Ali Zainal Abidin telah menyelamatkan beliau dari pembunuhan di padang Karbala oleh musuh-musuh laknat. Dari Imam Ali bin Husain atau Imam Ali Zainal Abidin garis keturunan Rasulullah SAW berlanjut.

Ahmad bin Hanbal berkata, “Penyebab sakitnya Ali bin Husain adalah karena pada suatu hari, beliau mengenakan sebuah baju besi. Tapi baju besi itu ternyata terlalu besar untuk ukuran beliau. Maka beliau pun membengkelinya sendiri untuk menyesuaikannya dengan ukuran tubuh beliau.”

Imam Ali Zainal Abidin adalah pemuda pemilik kesabaran dan ketabahan tiada tara. Di Karbala, Imam Ali Zainal Abidin menderita rasa haus selama tiga hari. Selain itu, beliau juga harus menanggung derita akibat sakit yang dialami beliau. Suhu tubuhya panas yang menyebabkannya lemah tak berdaya. Beban yang beliau tanggung teramat berat. Beliau harus menyaksikan pembantaian yang mengerikan atas ayah beliau, adik-adik, sanak saudara dan sahabat-sahabat beliau.

Beliau menyaksikan pula tepat di hadapan beliau, perkemahan beliau diporak-porandakan dan dibakar tanpa sisa. Andaikan orang lain yang mengalaminya, satu saja dari rangkaian musibah tragedi mengerikan ini pasti sudah luluh-lantak hati dan jiwanya. Tapi beliau adalah Imam Ali Zainal Abidin bin Husain –segala tragedi dan petaka yang dialami beliau tak mampu menggoyahkan dan menghancurkan keimanan beliau. Beliaulah Imam yang penuh kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi tragedi paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia, sejarah Islam khususnya.

Hanya keteguhan, tekad bulat, kesabaran dan ketabahan Imam Ali Zainal Abidin yang membuat beliau mampu bertahan dan menanggung beban derita dengan kehendak Allah SWT. Bayangkan, ketabahan dan kesabarannya ketika Imam Ali Zainal Abidin digiring bersama anak-anak dan wanita-wanita keluarga dan keturunan Rasulullah SAW sebagai tawanan perang. Saat itu, sepanjang jalan dari Karbala hingga Syiria, bersama kaum wanita dan anak-anak Rasulullah SAW, beliau digiring berjalan kaki laksana kawanan domba.

Sepanjang jalan itu pula Ahlulbait Nabi Muhammad dipaksa menonton kepala-kepala syuhada di ujung tombak. Rombongan Ahlulbait itu memasuki singgasana Ubaidillah bin Ziyad, setelah sebelumnya kepala-kepala para syuhada Karbala diarak secara berurutan bersama mereka. Tawanan yang diarak itu terbelenggu rantai tangan kakinya.

Ubaidillah bin Ziyad terheran-heran menyaksikan putra Rasulullah SAW ada yang selamat. Tanpa menunggu jawaban dari yang lainnya, Ubaidillah bin Ziyad bertanya, “Siapa kau?”

Imam Ali Zainal Abidin menjawab, “Aku adalah Ali bin Husain.”

Ubaidillah bin Ziyad bertanya lagi, “Bukankah Allah telah membunuh Ali bin Husain?”

Imam Ali Zainal Abidin menjawab, “Yang mereka bunuh adalah adikku. Dia juga bernama Ali.”

Ubaidillah bin Ziyad bersikeras, berusaha memanfaatkan kebodohan ummat yang menyaksikan keluarga suci yang diyatimkan itu, dia berkata, “Tidak. Bukankah Allah yang membunuhnya.”

Imam Ali menyadari bahwa Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah yang tak tahu malu itu mencoba untuk mengelabui ummat bahwa kemenangan yang telah dicapainya adalah kehendak Allah. Imam Ali Zainal Abidin menyebutkan sebuah ayat Al Quran,

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya”. Kemudian beliau berseru menjelaskan, “Hai lelaki yang tak pernah mengerti Al Quran! Allah mematikan seseorang ketika tiba saat kematiannya!”

“Beraninya Anda mengajarku dengan jawaban seperti itu!” Bentak Ubaidillah bin Ziyad. “Rasakan akibatnya. Kalimat itu akan menjadi kalimat yang terakhir terujur olehmu. Seret dan penggal dia!” Tambah Ubaidillah sambil berkacak pinggang.

Serta merta Zainab, bibi Imam Ali Zainal Abidin, memeluk beliau dan bersuara lantang, “Hai Ibnu Ziyad! Belum puaskah engkau mengalirkan darah kami! Demi Tuhan, aku tidak akan melepaskannya. Jika engkau hendak membunuhnya, maka bunuh aku bersamanya!”

Ubaidilah bin Ziyad melirik Zainab sejenak. Kemudian matanya yang liar melotot persis di muka Imam Ali Zainal Abidin dan berkata, “Persaudaraan luar biasa! Rupanya dia menginginkan untuk membunuh mereka secara bersama. Baiklah, tanpa harus kubunuh bukankah lelaki ini akan mati segera.”

Atas perintah Ubaidillah bin Ziyad, Imam Ali Zainal Abidin dan putri-putri Rasulullah SAW diarak dari Kufah menuju Syiria. Rantai-rantai yang membelenggu bergemerincing menumbuk kaki-kaki yang berjalan lunglai itu. Sungguh laknat orang-orang yang memperlakukan pusaka Rasulullah SAW dengan cara biadab!

Perjalanan menuju Syiria penuh dengan cobaan dan penderitaan. Orang yang berhati paling keras sekali pun pasti menangis mendengar putra-putri Rasulullah SAW diarak sebagai tawanan. Apa dosa mereka? Bukankah putra-putra Rasulullah SAW adalah manusia suci dan putri-putri beliau adalah pembela agama Rasulullah SAW? Semoga Allah melaknat orang-orang yang menganiaya mereka !

Perjalanan menuju Syiria sangat panjang dan melelahkan. Para penjaga tawanan yang keji dan laknat itu mengarak putra-putri Rasulullah SAW tanpa belas kasih dari Irak ke Syiria. Putra-putri Rasulullah SAW itu harus melewati kota demi kota, mulai Kufah, Dondril, Asqalan, Nasibeen, Haman, Hamas, Aleppo hingga Damaskus. Mereka dipaksa berjalan kaki selama dua puluh dua hari.

Setibanya di Damaskus, mereka memasuki singgasana Yazid bin Muawiyah La’natullah. Jika manusia biasa berjalan kaki dari Irak ke Syiria, pasti dia sudah binasa. Allah melimpahkan rahmat dan kasih-Nya kepada keluarga Rasulullah SAW sehingga mereka mampu bertahan dan selamat.

Kala itu, jalan-jalan Damaskus semarak berhiaskan atribut-atribut pesta. Seolah pertanyaan besar sedang berlangsung. Tatkala rombongan putra-putri Rasulullah SAW melintasi lorong-lorong Damaskus, khalayak ramai yang tidak tahu apa-apa menari-nari dan bersorak-sorai menyambut datangnya tawanan yang mereka anggap para pembangkang. Mereka bertepuk tangan dan mengolok-olok keluarga suci itu. Mereka pun melempari kepala-kepala para syuhada yang diarak di ujung-ujung tombak sebagai tanda kemenangan Yazid. Kala itu, penduduk Syiria menganggap kematian para syuhada keluarga Rasulullah SAW dan tawanan yang diarak adalah kemenangan yang layak untuk dirayakan.

Selama diarak sebagai tawanan, Imam Ali Zainal Abidin tetap berusaha meredakan duka hati kaum wanita dan anak-anak yang terkoyak tragedi Karbala. Imam Ali Zainal Abidin menghibur mereka sehingga kesabaran dan tawakkal menaungi keluarga Nabi Muhammad SAW. Tiada yang dapat menandingi kesabaran dan ketabahan hati keluarga Rasulullah SAW kala itu dan seterusnya.

Debu-debu sahara, sebutir demi sebutir menyumbat setiap pori mereka dan menghinggapi rambut mereka. Wajah bocah-bocah itu kusam. Tubuh mereka lemah. Beginilah cara para biadab itu membalas budi kepada Muhammad SAW.

Di singgasana ilegalnya, Yazid duduk dengan pongah. Para bangsawan dan kaum elit kerajaan mengenakan busana kebesaran duduk di hadapan Yazid. Di ruang itulah keluarga Rasulullah SAW yang digembelkan hendak dipermalukan. Duka dan derita tak kunjung usai menghinggapi mereka, seolah mereka menjadi manusia paling hina, seolah menjadi keluarga Rasulullah SAW adalah aib. Betapa kemanusiaan sudah tidak berarti apa-apa kala itu. Tiada sesal apalagi merasa berdosa memperlakukan keluarga Nabi Muhammad yang suci dengan biadab.

Di hadapan para pembesar kerajaan, mata Yazid menyisir satu persatu wajah-wajah kusam berdebu itu. Setelah bersendawa panjang, penjahat cucu Abu Sufyan itu bertanya, “Siapa namamu?“

“Ali bin Husain” jawab putra Rasul dengan memandang tajam mata penjahat yang sedang duduk di singgasananya itu.

Yazid mengangguk-angguk sambil mengelus jenggot. “Hmm! Husain memberi nama Ali kepada semua anaknya,” celotehnya.

Imam Ali Zainal Abidin memotong celotehan sang pemabuk di hadapannya itu, “Ya, karena ayahku sangat menghormati ayah beliau yang mulia, karenanya beliau menamakan semua putra beliau “Ali”

“Bersyukurlah kepada Allah bahwa ayahmu telah terbunuh,”seloroh Yazid sambil meringis bengis.

“Laknat Allah atas orang yang membunuh ayahku,” sergah Imam Ali Zainal Abidin.

Yazid sekonyong-konyong berdiri sambil menjulurkan telunjuknya, “Hai anak muda! Ayahmu berhasrat mendapatkan kerajaan, tapi Allah tak mengizinkannya. Maka mereka pun terbantai “

Imam Ali Zainal Abidin menyergahnya, “Kenabian dan kepemimpinan selalu menjadi milik keluarga kami. Tapi kamu merampasnya.”

Ayahmu tak menghendaki aku untuk menjadi penguasa umat Islam. Dia tidak menganggapku layak memegang jabatan kepemimpinan. Karena itulah, dia menentangku. Karena Allah melihat semua ini, Dia menjadi marah kepadanya,” Yazid berusaha membela diri.

“Tuhan Yang Maha Pengasih berfirman dalam kitab-Nya,

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) kepada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (al-Hadid ayat 22).

Hai Yazid! Aku tak bersedih atas apa yang telah Allah ambil dariku. Aku bersyukur kepada-Nya atas segala anugerah yang Dia limpahkan kepadaku,”jawab Imam Ali Zainal Abidin dengan lantang.

Mendengar kata-kata hikmah Imam Ali Zainal Abidin, Yazid marah bukan kepalang. Yazid lantas memerintahkan agar Imam Ali Zainal Abidin dihukum mati.

Imam Ali Berkata, “Hai Yazid! Jangan mengancamku dnegan kematian! Jika kau membunuhku, siapa yang akan membawa putri-putri Rasulullah SAW kembali ke kota mereka! Selain aku, mereka tak lagi memiliki lelaki yang muhrim. Hai Yazid! Andaikan saat ini Rasulullah datang kemari dan melihat kami ditawan dengan menunggang unta tanpa pelana, pembelaan apakah yang akan kauberikan?”

Mendengar penuturan Imam Ali Zainal Abidin dan melihat tubuh beliau yang kurus dan lemah, semua pembesar kerajaan yang ada diruangan itu menangis, seketika itu Yazid menyadari bahwa perasaan para pembesar kerajaan telah berubah dan menaruh simpati kepada Imam Ali Zainal Abidin, dengan terpaksa, Yazid melepaskan rantai yang membelenggu Imam Ali Zainal Abidin.

Bantahan Imam Ali Zainal Abidin telah membongkar kebohongan Yazid. Rencana Yazid untuk mempermalukan Ahlulbait di hadapan pembesar dan khalayak kerajaan gagal. Kini dia harus berhati-hati menghadapi para tawanan Karbala. Yazid tak punya alasan untuk menyiksa dan mempermalukan mereka setelah tragedi Karbala. Dengan terpaksa akhirnya Yazid mengizinkan Imam Ali Zainal Abidin naik ke mimbar dan menyampaikan khotbah shalat Jum’at.

Imam Ali Zainal Abidin pun naik ke mimbar khotbah, beliau berkhotbah tentang kebijaksanaan perbuatan ayah beliau, Imam Husain. Dijelaskannya bahwa karena kebijaksanaan itulah syariat Islam dapat tetap ditegakkan. Beliau juga menceritakan tentang tragedi Karbala yang memilukan dan mencabik-cabik nurani kemanusiaan. Tragedi itu ditimpakan kepada keluarga Rasulullah SAW.

Khotbah Imam Ali Zainal Abidin menyentuh perasaan masyarakat Syiria. Emosi mereka terbakar mendengarnya. Timbul niat mereka untuk membela Imam Ali Zainal Abidin.

Menyaksikan reaksi masyarakat Syiria, Yazid merasa ketakutan. Dia khawatir huru-hara dan pergolakan massal terjadi di Damaskus. Karenanya, Yazid saat itu juga memerintahkan agar para tawanan Karbala dibebaskan dan segera dipulangkan ke Madinah.

Berita ini pun segera tersiar ke Madinah. Ketika mendengar bahwa Imam Ali Zainal Abidin dan rombongan beliau hampir sampai di kota Madinah, masyarakat Madinah berhamburan keluar rumah. Pria, wanita, anak-anak, kawan maupun lawan, semuanya bergegas menuju perbatasan kota Madinah demi menyambut Imam Ali Zainal Abidin.

Ketika Imam Ali Zainal Abidin dan rombongan keluarga Rasulullah Muhammad SAW tiba, para pemuda Madinah serta merta mengerumuni beliau yang kini menjadi satu-satunya putra Imam Husain yang masih hidup. Setelah hiruk pikuk khalayak Madinah yang mengelilingi beliau mereda, Imam Ali Zainal Abidin memberi isyarat agar semua diam supaya semua dapat mendengarkan orasi beliau. Lalu beliau berorasi –dan berikut penggalan khutbah beliau:

Hai umat! Allah yang Mahakuasa telah menguji kami dengan cobaan dan serangan bertubi-tubi dari musuh-musuh biadab. Syukur kepada Allah sehingga kami berhasil melewati ujian tersebut. Hai masyarakat Madinah! Abu Abdillah al-Husain telah syahid. Kaum wanita, istri-istri dan putri-putri Husain harus menanggung beban derita sebagai tawanan perang yang dibelenggu dengan tali. Kepala para syuhada kami ditancapkan di ujung-ujung tombak dan kami digiring dan diarak dari kota ke kota hingga berbagai belahan negeri. Hai umat! Kami dipaksa meninggalkan kota kami, dan kami diarak dari kota ke kota, melewati setiap pemukiman.