Kabar Banten, 23 November 2012
Cara pandang atau wawasan
manusia dalam memandang dan memahami dirinya di dalam dan terhadap alam,
ternyata akan berdampak pada bagaimana manusia itu sendiri bersikap atau
memperlakukan alam dan lingkungannya dalam hidup keseharian. Soal ini juga
sangat terkait erat dan berdampak langsung dalam soal-soal ekologis dan
persoalan-persoalan penanganan sampah di sekitar lingkungan kita, utamanya di
tempat-tempat dan kawasan perkotaan yang paling banyak memproduksi sampah
setiap harinya. Inilah yang menjadi keprihatinan para pemikir dan aktivis
lingkungan, semisal Fritjof Capra, terkait tidak berimbangnya antara produksi
sampah dan penanganannya secara memadai.
Sebenarnya, jauh sebelum
Fritjof Capra menuliskan pandangan-pandangan yang ditimbanya dari Taoisme dan
sejumlah khasanah filsafat Timur lainnya itu, masyarakat-masyarakat di negeri
kita sudah sejak lama memiliki dan memelihara kearifan-kearifan mereka, yang
ternyata berkaitan dengan lingkungan, baik dalam bentuk mitos atau pun
kepercayaan-kepercayaan sacral mereka menyangkut alam dan benda-benda yang
mereka anggap sebagai sesuatu yang sakral dan keramat, semisal kearifan lokal
masyarakat Baduy tentang hunian yang selaras dengan lingkungan mereka, selain
mereka juga memiliki kearifan pangan. Kearifan seperti itu juga dimiliki
masyarakat-masyarakat di Banten Selatan lainnya, semisal masyarakat Cisungsang,
Citorek, dan Ciptagelar.
Mengkritik
Antroposentrisme
Belakangan, semakin
disadari, seperti yang pernah dikemukakan Capra atau para pengusung kearifan
Timur lainnya, itu bahwa “egoisme” manusia yang terlampau menuruti hasratnya
demi memuaskan dirinya sendiri itu sebenarnya sudah tercermin lewat cara
berpikir antroposentrisme manusia itu sendiri. Sebagaimana kita tahu,
antroposentrisme merupakan suatu sikap ilmiah dan wawasan yang terlampau
menganggap manusia sebagai ukuran cara pandang atau terlampau mendudukkan
manusia sebagai pusat semesta. Antroposentrisme ini lahir dan berkembang
terutama di Barat, semisal dicontohkan dengan filsafat Cartesianisme dan sains
Newtonian.
Sementara itu, manusia
Timur sebenarnya tidak mengenal wawasan-sikap antroposentris seperti itu, sebab
mereka, terutama bila kita membaca dengan seksama mitos-mitos masyarakat adat
dan masyarakat tradisional yang berkaitan dengan alam, lebih seringkali
memandang alam sebagai sesuatu yang mistis, magis, dan akan marah bila kita
mencederainya. Wawasan itu misalnya tercermin dalam kepercayaan masyarakat
tradisional, semisal masyarakat Baduy, sebagaimana dapat dibaca dalam khasanah
sastra lisan, berupa pantun dan mantra, yang mereka bacakan dan mereka
pergelarkan setiap kali mengadakan upacara keagamaan atau pun ruwatan.
Menyelaraskan Ekonomi
dan Ekologi
Wawasan-sikap
antroposentris itu pula lah yang saat ini tercermin dalam hasrat ekonomis dunia
kapitalis dan konsumeris untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan
memandang persoalan ekologis hanya akan menghambat upaya ekonomis tersebut. Di
saat yang sama, upaya “manusia eknomis” modern untuk menciptakan efisiensi dan
kecepatan, sebagai contohnya, telah menghasilkan produk-produk yang
bertentangan dan melawan alam, semisal sampah-sampah plastik yang yang sulit
didaur-ulang.
Kenyataan yang demikian
akan berbeda dengan sikap dan wawasan masyarakat tradisional. Sebagai ilustrasi
kita dapat mencontohkan bagaimana masyarakat tradisional di pedesaaan di waktu
dulu menggunakan daun jati atau daun pisang untuk membungkus bekal dan makanan
mereka, yang ketika sisa bungkus itu dibuang di kebun atau ladang akan menjelma
pupuk atau humus seiring dengan proses alam dalam peleburannya. Hal itu tentu
saja berbeda dengan produk-produk instan masyarakat modern, seperti plastik,
yang tidak mudah hancur, dan tak ragu lagi akan menjelma sampah, terutama
sekali di wilayah-wilayah perkotaan. Meski belakangan, dilema sampah modern,
seperti plastik itu, juga sampai ke sudut-sudut pedesaan.
Dengan ilustrasi itu, kita
dapat mengetahui bahwa sampah jenis pertama adalah sampah yang harmonis dari
segi biologis dan ekologis, karena tidak bertentangan dengan proses alam alias
sejalan dengan hukum ekosistem alam, sementara tidak demikian dengan “sampah
modern” yang memang telah mewujud sebagai entitas yang secara nyata melawan
alam. Dan ternyata, soal antroposentrisme itu tak hanya tercermin dari sikap
dan wawasan “manusia ekonomis” yang melawan ekologi demi mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya tersebut, tapi juga tercermin dalam sikap manusia modern
dalam upaya mereka untuk menangani sampah yang menganggap sampah sebagai objek
dan realitas di luar diri mereka, bukan “dampak” dari sikap dan gaya hidup
mereka itu sendiri sebagai manusia konsumtif.
Sampah dan Gaya-Hidup
Jika demikian, persoalan
sampah sebenarnya adalah persoalan gaya hidup “manusia modern” itu sendiri yang
memang senantiasa menghasilkan sampah secara terus-menerus tanpa dibarengi oleh
suatu kesadaran bahwa perilaku mereka itu sendirilah yang menjadi rahim bagi
sampah itu sendiri. Berbeda dengan manusia modern, yang gaya hidupnya merupakan
pabrik sampah itu, manusia atau masyarakat tradisional, sebutlah masyarakat ada
terpencil, justru hidup harmonis dengan alam dan lingkungan mereka. Singkatnya,
persoalan sampah dapat dikatakan merupakan persoalan modern yang muncul
bersamaan dengan maraknya industri dan gaya hidup konsumtif. Sebab masyarakat
tradisional yang hidupnya selaras dengan ritme dan ekosistem alam, tidak
mengenal sampah sebagaimana sampahnya orang modern tersebut.
Secara ilmiah dan analogis
dapat dikatakan bahwa residu atau sampah adalah fenomena modern, terutama dalam
masyarakat konsumeristis. Sampah, selain karena dampak dari upaya industri
dalam memproduksi ragam barang dan kemasan demi efektivitas dan efisiensi,
seperti plastik, juga merupakan dampak langsung dari gaya hidup masyarakat
konsumeristis, yang tak hanya datang dari kerja dan limbah industri tapi juga
dari dapur-dapur rumah tangga. Sementara itu, alam sebagai contohnya, tidak
menghasilkan residu karena alam memiliki mekanisme tersendiri dalam
“mendaur-ulang” dirinya sendiri, seperti ketika daun-daun yang jatuh ke tanah
menjadi humus.
Pentingnya Eco-literacy
Persoalan tersebut,
seperti telah kita ketahui dan kita rasakan belakangan ini, semakin mendesak
dan menjadi keharusan untuk menanganinya dengan serius dan seimbang. Fritjof
Capra, contohnya, memandang penting menyebarkan wawasan eco-literacy atau sadar
lingkungan dalam kehidupan masyarakat modern. Tak hanya itu saja, Capra juga
menawarkan eco-design, yaitu bagaimana pembangunan dan penciptaan masyarakat
perkotaan dapat semaksimal mungkin menjaga keharmonisan ekologis itu sendiri,
demi menciptakan masyarakat yang sehat dan selaras.
Secara singkat,
eco-literacy adalah sebuah wawasan yang akan memungkinkan kita semakin sadar
akan dampak sosial jika alam dan sebuah lingkungan menjadi rusak, semisal
maraknya kekeringan dan krisis air bersih karena banyaknya penggundulan hutan
atau penebangan pohon secara liar. Hal itu dikarenakan, lagi-lagi meminjam
wawasannya Capra, alam dan lingkungan kita ini tak ubahnya jarring-jaring
kehidupan atau Web of Life, yang saling terhubung atau terkoneksi satu sama
lainnya, sehingga bila yang satu rusak maka akan berakibat pada yang lainnya.
Jika demikian, maka tak
diragukan lagi, sadar lingkungan atau gerakan-gerakan lingkungan dan pentingnya
penerapan eco-design dan green economy seperti yang dipaparkan Prof. Dr. Surna
Tjahja Djajadiningrat merupakan sebuah keniscayaan modern pula bila kita ingin
membangun dan mengembangkan kawasan perkotaan dan ekonomi kita, di satu sisi,
tetapi dengan tetap menjaga dan merawat alam dan lingkungan itu sendiri secara
bersamaan di sisi lainnya. Sejumlah negara dan kota bahkan telah menerapkan
pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan dan industi yang sesuai dengan
wawasan eco-literacy dan eco-design seperti ini. Atau yang juga kita kenal
dengan istilah green economy.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar