Senin, 16 Maret 2015

Hafiz di Era Demokrasi dan Kapitalisme Liberal (Bagian Pertama)




Jika disaintifikasi, dapat dikatakan puisi lahir dari “rumah bathin” sekaligus “pengalaman empirik” yang sifatnya interaktif satu sama lainnya, meski kadang puisi ditulis sebagai sebuah perlawanan atas kenyataan empirik itu sendiri. Dan sejauh menyangkut puisi kaum darwis, allegory-nya acapkali mengandung pedagogi “moral” yang nilai dan jangkauannya universal.

Sementara itu, karena yang dibahas dalam esai singkat ini adalah salah seorang pujangga dari negeri Persia (Iran), maka tak ada salahnya kita simak sejenak komentar Terence Ward dalam bukunya yang berjudul Searching for Hassan itu, menyangkut tempat dan posisi puisi bagi bangsa Persia (Iran), bahwa: “Sebagaimana opera bagi bangsa Italia, puisi adalah semangat berseni yang dimiliki oleh seluruh bangsa Iran”, yang berarti dapat kita katakan bahwa puisi adalah “jiwa” bangsa Iran itu sendiri.

Dan tentang Hafiz, rasanya tak lengkap bila kita tak menyertakan penghormatan yang diberikan oleh pujangga Jerman, Goethe, melalui puisinya yang diterjemahkan oleh Berthold Damshauser dan Agus R Sarjono berikut, yaitu “Tak Terbatas”:

Bahwa kau tak bisa usai, kau gemilang,
Bahwa kau tak juga mulai, itu nasibmu.
Lagumu berulang bagai kubah gemintang,
Awal dan akhir senantiasa sama,
Dan yang di tengah pun ternyata
Sama belaka dengan akhir dan mula.

Kau sumber sukacita pujangga sejati,
Darimu ombak tak henti-henti.
Kaulah mulut yang siap bercium,
Dendang di dada merdu mengalir,
Tenggorok tergiur tuk meminum,
Jiwa meluap luhur membanjir.

Biar dunia runtuh lintang pukang,
Wahai Hafiz, hanya dengan kau seorang
Ingin aku bertanding! Nikmat dan siksa
Bagi sang kembar, kita berdua!
Bercinta bagai kau, minum bagai kau
Menjadi hidupku menjadi marwahku.

Dengan api sendiri, kini berdendanglah, lagu!
Sebab kau lebih tua, sebab kau lebih baru.

Penghormatan Goethe, pujangga Jerman yang oleh James Joyce disebut sebagai salah-satu dari tiga penghuni Olympus Eropa bersama Dante Alighieri dan William Shakespeare itu, sudah cukup bagi kita untuk menilai posisi Hafiz dan karya-karyanya, selain komentar dan penilaian-penilaian yang diberikan oleh para penulis dan pujangga lain, semisal oleh Ralph Waldo Emerson.

Sejumlah puisi Hafiz, yang bernama asli Syamsuddin Muhammad ini, bagi saya sebagai pembaca, memiliki ciri “meditatif kedalam”, sementara yang lainnya menyuarakan pedagogi moral dan “ajaran” religius bagi para pembacanya, utamanya kepada mereka yang dimaksudkan sebagai “sasaran” sindiran alegoris puisinya, semisal:

“Ketika aku mampu melihat dengan begitu jelas
telah engkau bangun dengan penuh kasih sayang
bilik yang begitu besar –untuk rumah
segala kesenanganmu.
Bahkan engkau telah membentengi tempat lusuhmu
dengan pasukan-pasukan bersenjata
dan anjing-anjing ganas
untuk melindungi hasratmu”.

Lagi-lagi bagi saya, contoh puisi Hafiz tersebut masih relevan dan mendapatkan konteks “suaranya” untuk jaman atau era material dan komsumtif masyarakat kapitalis saat ini, yang urat nadi kehidupan kesehariannya telah terkepung oleh “imperatif pasar” yang telah menggiring ummat manusia pada kecenderungan materialistik dan tak bosan-bosan untuk membeli komoditas yang diiklankan oleh sejumlah reklame dan mesin-mesin pemasaran, yang juga telah mengepung kita di segala sudut dan sisi kehidupan dan keberadaan kita, utamanya melalui instrumen media.

Hal lain yang dapat kita bayangkan adalah bahwa anggaplah puisi tersebut merupakan kritik dan sindiran terhadap fenomena korporasi, contohnya korporasi persenjataan dan tekhnologi perang dan pertahanan, yang salah-satunya, menghalalkan perang dan pertumpahan darah demi terjualnya komoditas-komoditas dan produk-produk yang mereka produksi itu, persis ketika kita membaca bait, parafrase, atau kalimat yang berbunyi: “Bahkan engkau telah membentengi tempat lusuhmu dengan pasukan-pasukan bersenjata dan anjing-anjing ganas untuk melindungi hasratmu”.

Anggap saja anjing-anjing ganas di situ sebagai mesin-mesin perang dan persenjataan yang diproduksi korporasi dunia saat ini demi melayani interest atau kepentingan politis, ekonomis, singkatnya hasrat materialis, para korporat alias para pemiliki pabrik, industri, dan infrastruktur-infrastruktur yang memproduksi senjata dan tekhnologi “perang dan pertahanan” super canggih di jaman kita saat ini.

Dengan demikian, nilai “universal” puisi tersebut tak lain karena suaranya seakan datang dari hari dan jaman kita saat ini, dari sebuah dunia dan situasi yang kita alami dan kita ketahui saat ini. Persis ketika konflik berdarah dan perang di sejumlah Negara dan belahan dunia, di Bumi kita ini, ternyata tak dapat dilepaskan dari interest para korporat, yang dapat dikatakan sebagai para penguasa sesungguhnya dari kekuasaan dan pemerintahan-pemerintahan Negara, bahkan organisasi-organisasi dunia.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar