Jika Muthahhari menilai
agama secara positif dan memandangnya sebagai entitas konstitutif dalam
masyarakat, menyehatkan masyarakat dan membangun peradaban, sebaliknya dari
perspektif yang berseberangan dan bertolak-belakang, Russell senantiasa melihat
agama secara kritis dan tak jarang melontarkan pernyataan-pernyataan sinis terkait agama dan kaum agamawan, bahkan tak segan-segan memandang agama sebagai “penyakit”
dalam masyarakat dan peradaban ummat manusia: “Pandangan saya akan agama sama
dengan Lucretius,” demikian tulis Russell, “saya menganggap agama sebagai
penyakit yang timbul dari rasa takut dan sebagai sumber penderitaan yang tak
terungkapkan bagi umat manusia”.
Yang haruslah kita pahami
dalam konteks pandangan dan kritik Russell terhadap agama yang acapkali agak sinis adalah
bahwa Russell senantiasa melihat dan mendekati agama sebagai seorang filsuf,
lebih tepatnya sebagai seorang pemikir bebas yang memang dekat ke watak kaum
ateis, kritikus sosial, dan tentu saja sebagai individu –yang acapkali kecewa
dengan agama institusional yang seringkali terpolitisasi oleh politik dan
kekuasaan. Sesekali Russell pun tak sungkan-sungkan melontarkan sindirian
anti-agama, misalnya saat ia mengungkapkan bahwa ‘ketika ia akan dibawa ke
hadapan Tahta Langit (Tuhan), ia akan menegur Penciptanya karena tidak
menyediakan cukup bukti akan eksistensi-Nya’.
Meskipun demikian bagi
kita para pembaca, demi menghindari tuduhan yang terlampau terburu-buru
terhadap Russell dan demi menghindari simplifikasi tanpa dasar, kita sepertinya
harus juga mengetahui bahwa seringkali pandangan Russell terhadap agama
bersikap mendua dan fluktuatif, semisal pandangannya yang memuji agama
(religiusitas personal), di mana ia acapkali juga menaruh hormat kepada agama,
tepatnya sikap keberagamaan, yang mengembangkan simpati dan kasih-sayang: “Saya
menganggap beberapa bentuk agama personal sangat dibutuhkan dan merasa banyak
orang tidak puas karena tidak memilikinya”.
Singkat kata, agama yang
dikritik dan diserang Russell adalah agama yang, misalnya, gandrung mengobarkan
kebencian, permusuhan, perang, dan yang sejenisnya –yang menurutnya bersumber
dari dogmatisme keagamaan yang seringkali bercampur dengan kepentingan politik
dan kekuasaan institusional agama itu sendiri, hingga ia dengan cukup ekstrem
menyatakan: “Kasih-sayang terhadap manusia bagi saya adalah dasar untuk
melepaskan diri dari kesia-siaan mencari Tuhan”.
Hanya saja, ekstremisme
Russell tersebut-lah yang justru dikritik oleh Muthahhari, di mana Russell
seakan-akan tidak bisa memisahkan antara ‘agama’ itu sendiri dan perilaku para
penganut agama bersangkutan, yang memang acapkali “memolitisasi” agamanya dan “menaklukkan”
dan “memanipulasi” agama untuk kepentingan diri sendiri, golongan, atau
kelompok yang acapkali “menggunakan” agama atau “mengatasnamakan” agama
demi kekuasaan dan ambisi politik,
contohnya. Dengan kata lain, Russell mereduksi fenomena perilaku para penganut
agama dan “menyamaratakan” atau main pukul rata dalam melihat dan memandang
agama secara kritis dan sinis.
Harus diakui, memang
banyak sekali pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan Russell yang sangat
keras mengkritik agama, misalnya:
“Mudah-mudahan kita
sepakat (sependapat) untuk sementara bahwa agama adalah kepercayaan dengan
banyak dogma yang mengarahkan perilaku manusia dan tidak didasarkan atas –atau bertentangan
dengan- bukti yang riil.”
Beberapa komentator
memandang kritik-kritik Russell terhadap agama tak jauh berbeda dengan serangan
dan kritik Freud. Sementara itu, dalam konteks jaman kita saat ini, ada banyak
contoh kritik dan serangan Russell terhadap agama mirip (atau malah
pengembangan dari argumen dan retorika Russell sendiri) dengan retorika dan argumen kaum
ateis militan mutakhir, semisal Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennet dan yang
lainnya, yang ironisnya menempatkan diri di garis kaum fundamentalist, tanpa
mereka sadari.
Hak cipta © pada Sulaiman Djaya
Agreeddd
BalasHapus