Minggu, 01 Maret 2015

Teladan Pemimpin





Radar Banten, 07 Juni 2014

Dalam Sad Pand va Hekayat Imam Ali diceritakan seorang perempuan tua dengan fisik yang lemah sedang mengangkat tempat air besar. Dengan terseok-seok dan napas yang terengah-engah perempuan tua itu melangkah menuju rumahnya. Tiba-tiba ada seorang pria tak dikenal mendekatinya dan menawarkan untuk membawakan tempat air yang berat itu. Perempuan tua itu menggerakkan bibirnya dan berterima kasih kepada Allah Swt. Ia kemudian berkata pada pria yang tak dikenal itu, “Allah mengirim engkau untuk menolongku. Insya Allah, engkau akan mendapatkan pahala dari perbuatanmu ini dari Allah.”Rumah perempuan tua itu tidak terlalu jauh. Ketika sampai, perempuan tua itu membukakan pintu. Anak-anaknya yang masih kecil begitu gembira setelah tahu ibu mereka telah kembali. Tapi rasa ingin tahu membuat mereka bertanya-tanya siapa orang asing ini.

Pria tak dikenal itu kemudian meletakkan tempat air di tanah dan bertanya kepada perempuan itu, “Jelas bahwa tidak ada pria di rumah ini, sehingga engkau sendiri yang mengangkat air. Apa yang terjadi sehingga engkau tinggal sendiri?” Perempuan itu menarik napas panjang dan berkata, “Suamiku dulunya adalah seorang pejuang. Ia berperang bersama Ali bin Abi Thalib dalam sebuah perang dan di sana ia meninggal. Ia meninggalkan saya dengan beberapa orang anak.” Mendengar ucapan perempuan tua, pria tak dikenal itu tidak dapat berkata apa-apa. Tapi dari wajahnya terlihat ia begitu sedih. Ia hanya bisa menundukkan kepala, kemudian meminta diri dan pergi dari situ. Tapi tidak berapa lama ia kembali ke sana sambil membawa sejumlah makanan.

Perempuan tua itu mengambil makanan dari pria tak dikenal itu dan berkata, “Semoga Allah meridhaimu!” Pria asing itu berkata, “Saya ingin membantu pekerjaanmu. Perkenankan saya membuat adonan roti, membakarnya atau menjaga anak-anak ini.” Perempuan itu berkata, “Baiklah! Jelas saya lebih baik dalam membuat adonan roti dan membakarnya. Engkau mengawasi anak-anak, sampai aku selesai membakar roti.” Pria asing itu menerima dan pergi menemui anak-anak itu. Tapi sebelum itu ia menghampiri bungkusan yang dibawanya dan mengambil daging lalu membakarnya. Setelah matang, dengan sabar ia menyuapi anak-anak itu. Ia berkata, “Anak-anakku! Relakanlah Ali bin Abi Thalib, bila ada kekurangan yang dilakukan terkait kalian…”

Adonan roti telah siap. Perempuan tua itu berkata, “Wahai hamba Allah! Nyalakan api untuk membakar roti ini…” Pria itu beranjak dari tempatnya dan pergi untuk menyalakan api. Tungku telah menyala. Air mata telah menggenang di pelupuk mata pria asing itu. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke api sambil berkata, “Rasakan panasnya api! Inilah balasan orang yang tidak mengurusi anak-anak yatim dengan baik dan tidak tahu kondisi para wanita yang menjanda…” Pada waktu itu, ada tetangga perempuan yang rumahnya bersebelahan dengan perempuan tua itu datang ke rumahnya. Ketika ia melihat pria tak dikenal itu, dengan segera ia menghadapi perempuan tua itu dan berkata, “Celakalah engkau! Tahukah siapa pria yang engkau perbantukan ini?”

Perempuan tua itu terkejut dan berkata, “Tidak. Saya tidak mengenalnya. Ketika hendak kembali ke rumah saya bertemu dengan dia dan langsung menawarkan diri untuk membantu saya.” Tetangganya berkata, “Pria itu adalah Ali bin Abi Thalib, Amir al-Mukminin!” Begitu mengetahui pria asing yang membantunya adalah Ali bin Abi Thalib, perempuan tua itu langsung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan ia mendekati pria itu dan berkata, “Wahai pria penolong! Maafkan saya yang tidak mengenalmu dan memintamu untuk membantuku.” Imam Ali berkata, “Tidak! Saya yang harus meminta maaf kepadamu. Karena saya tidak melaksanakan kewajibanku dengan baik kepadamu dan anak-anak yatim ini.”

Setelah itu, Imam Ali secara berkala mendatangi rumah perempuan tua itu dan menanyakan keadaan mereka, sambil membantu makanan dan uang sesuai kemampuan beliau kepada mereka. Cerita atau tarikh Islam ini menyarikan inti saripati tentang keteladanan seorang pemimpin yang peduli dan menyatu dengan rakyatnya. Pemimpin yang peduli dan terlibat, dan tak hanya duduk di kursi atau meja “kepemimpinannya” semata.

Mahkota Sejati Pemimpin

Yang barangkali juga penting untuk disimak adalah bahwa saat terjadi krisis politik, Imam Ali Bin Abi Thalib berjanji untuk meredam pemberontakan Muawiyah Bin Abu Sufyan, meski ada perasaan terpaksa dalam hati Imam Ali Bin Abi Thalib. Itu semua karena menurutnya dan menurut mayoritas kaum muslim pada masa itu pembangkangan Muawiyah Bin Abu Sufyan lebih karena motif haus kuasa dan sifat tamak, alias bukan atas dasar cita-cita kemaslahatan ummat, tetapi lebih karena ambisi pribadi semata. Muawiyah Bin Abi Sufyan sendiri memang dikenal haus kuasa dan tak segan menggunakan segala cara, hingga istana pribadinya semegah istana kekaisaran Persia dan Romawi. Berbeda dengan para sahabat di era awal Islam, semisal Abu Dzar al Ghifari dan Salman al Farisi yang hidup sederhana, misalnya.

Pada suatu hari, misalnya, seorang Yahudi dari Bait al Maqdis hampir tak percaya ketika berkunjung ke Madinah. Rasa heran orang Yahudi itu tak lain karena ia tak mendapati istana megah khalifah. Karena rasa herannya itu, ia pun bertanya kepada salah seorang penduduk Madinah yang ditemuinya: “Di manakah istana khalifah?” Mendengar pertanyaan pengunjung Yahudi itu, salah-seorang penduduk Madinah pun menjawab: “Istana khalifah ar Rasyidin adalah di akhirat kelak”. Mendengar jawaban salah-seorang penduduk Madinah tersebut, sang pengunjung Yahudi itu pun kembali bertanya: “Apakah khalifah ar rasyidin mengenakan mahkota di kepala? Dan adakah mahkota khalifah terbuat dari emas atau berlian?” “Mahkota khalifa ar rasyidin adalah mahkota budi pekerti dan sikap amanah.” Begitulah salah-seorang penduduk Madinah menjawabnya.

Bagi kita saat ini, ilustrasi tersebut tak ragu lagi mengandung sindiran atas budaya dan perilaku korupsi yang masih menjalar di negeri ini. Di sisi lain, ilustrasi tersebut juga menggambarkan keteladanan dan kesederhanaan para sahabat seperti yang telah disebutkan, yang juga memang dikenal sebagai para pemimpin yang berusaha hidup sederhana, agar mereka yang miskin dan kekurangan mendapatkan kesepadanan dalam diri para pemimpin mereka, sekaligus tidak merasa iri dan cemburu kepada para pemimpin mereka. Selain sederhana, mereka juga dikenal sebagai para pemimpin yang tahu kebijakan apa dan kapan sebuah kebijakan politik mesti dilakukan dengan keras atau tidak. Tentu saja, dengan berpegang pada sikap adil dan benar. Ketegasan mereka didasarkan kepada rasa keadilan, begitu pun ketika mereka harus mengambil keputusan dan kebijakan politik yang keras, semisal perang, tak lain dalam rangka menegakkan keadilan dan stabilitas ummat itu sendiri.

Jika demikian, selain mereka juga dikenal sebagai para pemuka agama, mereka pun para negarawan, yang seperti banyak diceritakan, bahkan keterpilihan Ali Bin Abi Thalib, misalnya, menjadi khalifah tidak didasarkan kepada keinginan pribadi, tapi atas permintaan ummat. Tak hanya itu, Ali Bin Abi Thalib bahkan tetap bertanya kepada jamaah bila saja ada kaum muslim yang tidak setuju kepada dirinya yang didesak sebagai khalifah.

Dalam hal yang demikian itu, dapat dikatakan, dipilihnya seseorang untuk menjadi seorang pemimpin mestilah karena keinginan dan kesepakatan rakyat dalam ummat itu sendiri, bukan atas dasar desakan pribadi seseorang yang ingin menjadi penguasa, semisal dicontohkan dengan sosok Muawiyah Bin Abi Sufyan yang haus kuasa dan ingin menjadikan dirinya sendiri sebagai kaisar, laiknya seorang Kaisar Persia atau seorang Kaisar Romawi. Berbeda dengan khalifa ur rasyidin yang tidak memiliki mahkota di kepala mereka, Muawiyah Bin Abi Sufyan memahkotai dirinya sendiri sebagaimana para kaisar Persia dan Romawi mengenakan mahkota.

Muawiyyah Bin Abi Sufyan, dengan begitu, merupakan kebalikan 180 derajat dari keteladanan dan kesederhanaan yang dicontohkan para figur Islam teladan, semisal Abu Dzar al Ghifari dan Salman al Farisi. Pun, kita tahu, di jaman Muawiyah itulah budaya dan perilaku korupsi mulai merebak dalam lingkup kekuasaan dan pemerintahan. Rupa-rupanya, sikap dan perilaku hidup yang kontras berbeda antara para sahabat teladan dan Muawiyah Bin Abu Sufyan itu juga menjadi pengaruh faktor budaya dan politik yang juga sangat bersebrangan. Sementara, di jaman Muawiyah Bin Abi Sufyan, acapkali korupsi para gubernur tetap dibiarkan sepanjang gubernur tersebut patuh kepada Muawiyah. Sedikitnya, situasi di jaman Muawiyah Bin Abi Sufyan itu agak mirip dengan di jaman orde baru, juga ketika korupsi seakan-akan dibiarkan, yang memang demi melanggengkan kepatuhan para pejabat dan birokrat kepada Soeharto.

Sulaiman Djaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar