Jumat, 06 Maret 2015

Sains Berawal dari Rasa Ingin Tahu





Upaya untuk menyingkap misteri semesta atau jagat raya telah dilakukan oleh peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Persia, Yunani hingga sekarang ini –di mana dulu peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Persia, dan Yunani tersebut sangat menaruh perhatian pada ilmu perbintangan dan upaya untuk memecahkan misteri kosmik itu sendiri secara keseluruhan. Kita tahu, jika kita pernah membaca filsafat Yunani, contohnya, salah-satu konsen (minat dan perhatian) para filsuf Yunani (di masa lampau) adalah pada persoalan “mencari tahu” “Ada yang primordial”, yang kemudian kita kategorikan sebagai filsafat alam Yunani. Mazhab Milesia, contohnya, disibukkan dengan usaha mereka untuk menjelaskan (melakukan eksplanasi) tentang keteraturan dan ragam “Ada” atau struktur “Ada” –bukan “Ada” itu sendiri. Mereka berusaha menemukan apakah substansi primer yang mendasari segala proses dan perbedaan perubahan bentuk di alam atau di semesta.

Ada ragam atau variasi dalam mazhab tersebut. Thales, misalnya, mengatakan bahwa substansi primer alam atau “Ada” adalah air. Anaximenes berpendapat bahwa substansi primer itu adalah udara. Sedangkan Anaximandros berpendapat bahwa substansi primer itu adalah Apeiron atau “yang tak terbatas”. Sementara itu, Pythagoras yang konsen dengan studi matematika dan astronomi, melakukan analisa ragam eksistensi dalam sistem prinsip-prinsip forma. Menurutnya prinsip forma inilah yang mendasari hakikat segala sesuatu dan segala proses di dunia. Pythagoras juga berpendirian bahwa realitas bisa dijelaskan dengan angka-angka dan bisa diukur secara matematik –yah dengan angka-angka tersebut. Ia berpandangan alam dibangun berdasarkan harmoni serta mengatakan bahwa musik dan nada-nada adalah cerminan alam.

Murid dan penerusnya, yaitu Philolaus, bahkan mengatakan bahwa bumi berotasi pada porosnya –yang menyebabkan pergantian waktu siang dan malam. Dalam hal ini, Philolaus mempercayai bahwa semesta adalah sistem ruang-ruang. Mazhab Milesia memang disibukkan dengan usaha untuk menemukan “Ada yang primordial” yang mendasari gerak dan perubahan semesta, namun mereka mengabaikan masalah utama perubahan itu sendiri. Di sini, Heraklitus kemudian menyatakan bahwa “alam adalah perubahan tanpa akhir”, di mana segala sesuatu datang dan pergi. Heraklitus masyhur dengan doktrin Panta Rhei-nya: “Segalanya berkembang, engkau tak mungkin berdiri dua kali di sungai yang sama dalam waktu yang sama”.

Heraklitus memang filsuf yang mengajarkan tentang perubahan yang terus menerus dalam alam, yang bisa ditangkap oleh akal dan pemahaman orang bijak, semacam filsuf atau ilmuwan. Hanya saja, pandangan Heraklitus kemudian mendapatkan penolakan di kalangan Mazhab Elea, di mana dua tokoh utamanya adalah Zeno dan Parmenides. Parmenides sendiri hidup dalam dua pandangan antara doktrin Heraklitus mengenai perubahan yang terus-menerus dan doktrin Xenophanes tentang ide Satu Tuhan yang tidak berubah, dan kemudian Parmenides menyatakan bahwa yang mendasari alam adalah “Ada” yang abadi dan tidak berubah.

Ketegangan antara pandangan Heraklitus dan Mazhab Elea tersebut kemudian disintesiskan oleh Anaxagoras dengan ajaran pluralisme-nya. Ia menolak ajaran esensi kesatuan dari semua “Ada”, di mana menurutnya segala sesuatu adalah keragaman yang tak terbatas dalam jumlah dan jenisnya, yang kemudian kita kenal sebagai pluralisme kualitatif. Sebagai contoh: kayu, besi, rambut, darah, dan lain sebagainya tak mungkin direduksikan satu sama lainnya. Inilah yang disebut oleh Anaxagoras sebagai benih-benih eksistensi, di mana segala sesuatu memiliki benih-benih eksistensinya sendiri –yang tak bisa direduksikan ke dalam jumlah. Dan ini pula-lah yang diklaim sebagai keadaan primordial “Ada” oleh Anaxagoras, yang di sisi lain ia sebut sebagai Nous (gerak atau pikiran) yang mengoperasikan aktivitas kosmik.

Dan hasrat untuk mengetahui misteri alam semesta itu pun terus berlanjut. Ratusan tahun sebelum Newton mengemukakan hukum gerak dan Einstein mengemukakan Teori Relativitas, misalnya, Al-Kindi menyatakan: “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak absolut. Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan benda. Jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan” (al Falsafa al Ula). Sementara itu, Nichomachus of Gerasa dalam Arithmetic-nya menyatakan: “Alam seakan diatur sesuai dengan angka oleh Sang Maha Pencipta –karena pola-polanya telah ditentukan. Seperti goresan-goresan awal sebuah lukisan –oleh dominasi angka yang telah ada sebelumnya di dalam ‘pikiran’ Tuhan Sang Pencipta alam” (Arithmetic I, 6).

Di abad ke-16 –yang lazim kita kenal sebagai Abad Inkuisisi di Eropa itu, Nicolaus Copernicus dengan berani mengemukakan teori dan pandangannya bahwa matahari tidak mengelilingi bumi sebagaimana yang dinyatakan Ptolomeus dan dipercayai Gereja, tapi bumi-lah yang justru mengelilingi matahari. Kesimpulan Heliosentrisnya itu ia dapatkan berdasarkan observasi dan perhitungan matematis, hanya saja ia tidak menerbitkan karyanya kala itu karena khawatir inkuisisi Gereja akan menimpa dirinya. Seabad kemudian setelah temuan Nicolaus Copernicus itu –tepatnya di abad 17, Galileo Galilei dengan teleskop ciptaannya mampu membuktikan teori dan pandangan Nicolaus Copernicus tersebut dengan lebih meyakinkan, bahwa bumi mengelilingi matahari, yang juga menyebabkan terjadinya siang-malam secara bergiliran selama 24 jam. Karena kegigihan dan pembelaannya tersebut, Galileo dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Gereja. Sementara itu, seorang pendeta Dominikan yang juga membenarkan teori-nya Nicolaus Copernicus tersebut, yaitu Giordano Bruno (1548-1600) dibakar hidup-hidup di tiang pancang oleh Gereja di tahun 1600.

Sementara itu, di abad modern, apa yang pernah dilakukan Copernicus dan Galileo itu kemudian dilakukan juga oleh Edwin Hubble, di mana pada tahun 1929, Edwin Hubble menciptakan teleskop di abservatoriumnya di Mountwilson, California. Dan setelah selama berbulan-bulan melakukan pengamatan alias observasi, ia menemukan bahwa bintang-bintang dari hari ke hari semakin menunjukkan spectrum merah. Dalam hal ini, menurut Hukum Fisika, jika benda semakin menjauhi titik pengamatan, maka akan menunjukkan spektrum merah, sedangkan benda yang mendekati titik pengamatan menunjukkan spektrum biru. Penemuan ini sangat penting, karena hal itu menunjukkan alias membuktikan bahwa benda-benda luar angkasa kian hari semakin saling menjauhi satu sama lainnya. Singkatnya, alam semesta semakin meluas dan mengembang, dan hal ini menggugurkan pandangan yang menyatakan bahwa alam semesta atau jagat raya statis atau tetap sebagaimana yang dikemukakan Immanuel Kant.

Terkait hal ini, Stephen Hawking pernah menyatakan: “Pada awal-mula jagat-raya, segala sesuatu saling berdekatan –sehingga pada saat itu sangat banyak ketidakpastian, serta ada sejumlah keadaan yang mungkin ditempuh jagat-raya. Setiap keadaan awal yang berbeda-beda ini pastilah telah berkembang menjadi sejumlah sejarah yang berbeda-beda untuk jagat-raya. Kebanyakan dari sejarah tadi, sejarah garis besar mempunyai kemiripan. Masing-masing terkait dengan sebuah jagat yang seragam dan mulus –dan terus memuai.

Persis dengan temuannya itulah, Edwin Hubble menyatakan: “Jagat-raya memuai!” Dan kala itulah Edwin Huble kemudian melakukan perhitungan mundur (yang kemudian kesimpulannya persis dengan apa yang dikatakan Hawking di kemudian hari itu), yaitu jika dari hari ke hari benda-benda angkasa semakin menjauh berarti dahulunya benda-benda angkasa bermula dari sesuatu yang padu (satu) dan kemudian meledak dengan kecepatan yang luar biasa. Ledakan inilah yang kemudian kita kenal dengan nama “Big Bang” (Dentuman Akbar). Tentu saja temuan ini sangat mengejutkan, karena menurut perhitungan yang cermat, para ilmuan umumnya dan fisikawan khususnya, menyimpulkan bahwa sesuatu yang padu (satu) itu haruslah bervolume nol –yang artinya jika suatu benda bervolume nol maka ia berawal dari ketiadaan.

Tapi Edwin Hubble bukanlah orang pertama yang menemukan hal tersebut, melainkan si jenius Albert Einstein, di mana melalui perhitungannya yang cermat, Albert Einstein telah memperhitungkan bahwa ruang angkasa tidak statismelainkan terus meluas, di saat para ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya masih berpegang pada kepercayaan bahwa alam semesta bersifat statis (tidak berawal dan kekal). Dan pendapat tentang alam semesta yang statis ini dikemukakan oleh para pendukung evolusionis-materialis (atheis). Singkatnya, Einstein mematahkan pandangan kaum evolusionis materialis ketika teori dan pendapatnya dibenarkan oleh eksperimentasi Edwin Hubble.

Namun, apakah hal itu cukup bagi kemenangan Einstein? Jawabannya tentu saja belum –sebab jika jagat-raya atau alam semesta bermula dari ledakan, tentu ada sisa-sisa ledakannya, sebagaimana dinyatakan seorang fisikawan Amerika yang bernama George Gemof itu? Nah, di tahun 1965, dua orang ilmuwan alias dua fisikawan, yaitu Arnold Pengias dan Robert Wilson, dalam observasi mereka menemukan sisa-sisa radiasi yang tersebar di ruang angkasa. Dan berkat penemuan mereka itu, mereka berdua pun memperoleh anugerah Nobel.

Dan tak hanya itu saja, karena di tahun 1989, NASA meluncurkan satelit ke luar angkasa untuk meneliti tentang gejala radiasi alam semesta. Saat itu, melalui sensor-sensor yang dipasang di satelit yang disebut sensorkobe, mereka menangkap adanya radiasi sisa-sisa ledakan besar yang menyebar di seluruh ruang angkasa. Tak ayal, penemuan hasil observasi langsung ini menghebohkan dunia dan media masa. Atas temuan ini, Stephen Hawking menyebutnya sebagai penemuan terbesar dalam bidang astronomi di abad ini, bahkan mungkin sepanjang masa. Barangkali kita belum lupa dengan apa yang pernah dikatakan Karl Raimund Popper itu, bahwa salah-satu metode kerja sains adalah falsifikasi, di mana sebuah teori (atau temuan) akan gugur jika ada teori atau temuan lainnya yang menggugurkan atau membuktikan kekeliruannya.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar