Upaya
untuk menyingkap misteri semesta atau jagat raya telah dilakukan oleh
peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Persia, Yunani hingga sekarang ini –di
mana dulu peradaban-peradaban Mesir, Babilonia, Persia, dan Yunani tersebut
sangat menaruh perhatian pada ilmu perbintangan dan upaya untuk memecahkan
misteri kosmik itu sendiri secara keseluruhan. Kita tahu, jika kita pernah
membaca filsafat Yunani, contohnya, salah-satu
konsen (minat dan perhatian) para filsuf Yunani (di masa lampau) adalah pada
persoalan “mencari tahu” “Ada yang primordial”, yang kemudian kita kategorikan
sebagai filsafat alam Yunani. Mazhab Milesia, contohnya, disibukkan dengan
usaha mereka untuk menjelaskan (melakukan eksplanasi) tentang keteraturan dan
ragam “Ada” atau struktur “Ada” –bukan “Ada” itu sendiri. Mereka berusaha
menemukan apakah substansi primer yang mendasari segala proses dan
perbedaan perubahan bentuk di alam atau di semesta.
Ada ragam atau variasi
dalam mazhab tersebut. Thales, misalnya, mengatakan bahwa substansi primer alam
atau “Ada” adalah air. Anaximenes berpendapat bahwa substansi primer itu adalah
udara. Sedangkan Anaximandros berpendapat bahwa substansi primer itu adalah
Apeiron atau “yang tak terbatas”. Sementara itu, Pythagoras yang konsen dengan
studi matematika dan astronomi, melakukan analisa ragam eksistensi dalam sistem
prinsip-prinsip forma. Menurutnya prinsip forma inilah yang mendasari hakikat
segala sesuatu dan segala proses di dunia. Pythagoras juga berpendirian bahwa
realitas bisa dijelaskan dengan angka-angka dan bisa diukur secara matematik
–yah dengan angka-angka tersebut. Ia berpandangan alam dibangun berdasarkan
harmoni serta mengatakan bahwa musik dan nada-nada adalah cerminan alam.
Murid dan penerusnya,
yaitu Philolaus, bahkan mengatakan bahwa bumi berotasi pada porosnya –yang
menyebabkan pergantian waktu siang dan malam. Dalam hal ini, Philolaus
mempercayai bahwa semesta adalah sistem ruang-ruang. Mazhab Milesia memang
disibukkan dengan usaha untuk menemukan “Ada yang primordial” yang mendasari
gerak dan perubahan semesta, namun mereka mengabaikan masalah utama perubahan
itu sendiri. Di sini, Heraklitus kemudian menyatakan bahwa “alam adalah
perubahan tanpa akhir”, di mana segala sesuatu datang dan pergi. Heraklitus
masyhur dengan doktrin Panta Rhei-nya: “Segalanya berkembang, engkau tak
mungkin berdiri dua kali di sungai yang sama dalam waktu yang sama”.
Heraklitus memang filsuf
yang mengajarkan tentang perubahan yang terus menerus dalam alam, yang bisa
ditangkap oleh akal dan pemahaman orang bijak, semacam filsuf atau ilmuwan. Hanya
saja, pandangan Heraklitus kemudian mendapatkan penolakan di kalangan Mazhab
Elea, di mana dua tokoh utamanya adalah Zeno dan Parmenides. Parmenides sendiri
hidup dalam dua pandangan antara doktrin Heraklitus mengenai perubahan yang
terus-menerus dan doktrin Xenophanes tentang ide Satu Tuhan yang tidak berubah,
dan kemudian Parmenides menyatakan bahwa yang mendasari alam adalah “Ada” yang
abadi dan tidak berubah.
Ketegangan antara
pandangan Heraklitus dan Mazhab Elea tersebut kemudian disintesiskan oleh
Anaxagoras dengan ajaran pluralisme-nya. Ia menolak ajaran esensi kesatuan dari
semua “Ada”, di mana menurutnya segala sesuatu adalah keragaman yang tak
terbatas dalam jumlah dan jenisnya, yang kemudian kita kenal sebagai pluralisme
kualitatif. Sebagai contoh: kayu, besi, rambut, darah, dan lain sebagainya tak
mungkin direduksikan satu sama lainnya. Inilah yang disebut oleh Anaxagoras
sebagai benih-benih eksistensi, di mana segala sesuatu memiliki benih-benih
eksistensinya sendiri –yang tak bisa direduksikan ke dalam jumlah. Dan ini
pula-lah yang diklaim sebagai keadaan primordial “Ada” oleh Anaxagoras, yang di
sisi lain ia sebut sebagai Nous (gerak atau pikiran) yang mengoperasikan
aktivitas kosmik.
Dan
hasrat untuk mengetahui misteri alam semesta itu pun terus berlanjut. Ratusan tahun sebelum Newton mengemukakan hukum gerak
dan Einstein mengemukakan Teori Relativitas, misalnya, Al-Kindi
menyatakan: “Waktu, ruang, gerakan, dan benda, semuanya relatif dan tak
absolut. Waktu hanya eksis dengan gerakan; benda dengan gerakan; gerakan dengan
benda. Jika ada gerakan, di sana perlu benda; jika ada sebuah benda, di sana
perlu gerakan” (al Falsafa al Ula). Sementara itu, Nichomachus of Gerasa dalam Arithmetic-nya menyatakan: “Alam seakan diatur
sesuai dengan angka oleh Sang Maha Pencipta –karena pola-polanya telah
ditentukan. Seperti goresan-goresan awal sebuah lukisan –oleh dominasi angka
yang telah ada sebelumnya di dalam ‘pikiran’ Tuhan Sang Pencipta alam”
(Arithmetic I, 6).
Di abad
ke-16 –yang lazim kita kenal sebagai Abad Inkuisisi di Eropa itu, Nicolaus
Copernicus dengan berani mengemukakan teori dan pandangannya bahwa matahari
tidak mengelilingi
bumi sebagaimana yang dinyatakan Ptolomeus dan dipercayai Gereja, tapi bumi-lah
yang justru mengelilingi matahari. Kesimpulan Heliosentrisnya itu ia dapatkan
berdasarkan observasi dan perhitungan matematis, hanya saja ia tidak
menerbitkan karyanya kala itu karena khawatir inkuisisi Gereja akan menimpa
dirinya. Seabad kemudian setelah temuan Nicolaus Copernicus itu –tepatnya di
abad 17, Galileo Galilei dengan teleskop ciptaannya mampu membuktikan teori dan
pandangan Nicolaus Copernicus tersebut dengan lebih meyakinkan, bahwa bumi
mengelilingi matahari, yang juga
menyebabkan terjadinya siang-malam secara bergiliran selama 24 jam. Karena
kegigihan dan pembelaannya tersebut, Galileo dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup oleh Gereja. Sementara itu, seorang pendeta Dominikan yang juga
membenarkan teori-nya Nicolaus Copernicus tersebut, yaitu Giordano Bruno
(1548-1600) dibakar hidup-hidup di tiang pancang oleh Gereja di tahun 1600.
Sementara
itu, di abad modern, apa yang pernah dilakukan Copernicus dan Galileo itu
kemudian dilakukan juga oleh Edwin Hubble, di mana pada tahun 1929, Edwin
Hubble menciptakan teleskop di abservatoriumnya di Mountwilson, California.
Dan setelah selama berbulan-bulan melakukan pengamatan alias observasi, ia
menemukan bahwa bintang-bintang dari hari ke hari semakin menunjukkan spectrum
merah. Dalam hal ini, menurut Hukum Fisika, jika benda semakin menjauhi titik
pengamatan, maka akan menunjukkan spektrum merah, sedangkan benda yang
mendekati titik pengamatan menunjukkan spektrum biru. Penemuan ini sangat
penting, karena hal itu menunjukkan alias membuktikan bahwa benda-benda luar
angkasa kian hari semakin saling menjauhi satu sama lainnya. Singkatnya, alam
semesta semakin meluas dan mengembang, dan hal ini menggugurkan pandangan yang
menyatakan bahwa alam semesta atau jagat raya statis atau tetap sebagaimana
yang dikemukakan Immanuel Kant.
Terkait
hal ini, Stephen Hawking pernah menyatakan: “Pada
awal-mula jagat-raya, segala sesuatu saling berdekatan –sehingga pada saat itu
sangat banyak ketidakpastian, serta ada sejumlah keadaan yang mungkin ditempuh
jagat-raya. Setiap keadaan awal yang berbeda-beda ini pastilah telah berkembang
menjadi sejumlah sejarah yang berbeda-beda untuk jagat-raya. Kebanyakan dari
sejarah tadi, sejarah garis besar mempunyai kemiripan. Masing-masing terkait
dengan sebuah jagat yang seragam dan mulus –dan terus memuai.
Persis
dengan temuannya itulah, Edwin Hubble menyatakan: “Jagat-raya memuai!” Dan kala
itulah Edwin Huble kemudian melakukan perhitungan mundur (yang kemudian
kesimpulannya persis dengan apa yang dikatakan Hawking di kemudian hari itu),
yaitu jika dari hari ke hari benda-benda angkasa semakin menjauh berarti
dahulunya benda-benda angkasa bermula dari sesuatu yang padu (satu) dan
kemudian meledak dengan kecepatan yang luar biasa. Ledakan inilah yang kemudian
kita kenal dengan nama “Big Bang” (Dentuman Akbar). Tentu saja temuan ini
sangat mengejutkan, karena menurut perhitungan yang cermat, para ilmuan umumnya
dan fisikawan khususnya, menyimpulkan bahwa sesuatu yang padu (satu)
itu haruslah bervolume nol –yang artinya jika suatu benda bervolume nol
maka ia berawal dari ketiadaan.
Tapi
Edwin Hubble bukanlah orang pertama yang menemukan hal tersebut, melainkan si
jenius Albert Einstein, di mana melalui perhitungannya yang cermat, Albert
Einstein telah memperhitungkan bahwa ruang angkasa tidak statis –melainkan terus
meluas, di saat para ilmuwan umumnya dan fisikawan khususnya masih berpegang
pada kepercayaan bahwa alam semesta bersifat statis (tidak berawal dan kekal).
Dan pendapat tentang alam semesta yang statis ini dikemukakan oleh para
pendukung evolusionis-materialis (atheis). Singkatnya, Einstein
mematahkan pandangan kaum evolusionis materialis ketika teori dan pendapatnya
dibenarkan oleh eksperimentasi Edwin Hubble.
Namun,
apakah hal itu cukup bagi kemenangan Einstein? Jawabannya tentu saja belum
–sebab jika jagat-raya atau alam semesta bermula dari ledakan, tentu ada
sisa-sisa ledakannya, sebagaimana dinyatakan seorang fisikawan Amerika yang
bernama George Gemof itu? Nah, di tahun 1965, dua orang ilmuwan alias dua
fisikawan, yaitu Arnold Pengias dan Robert Wilson, dalam observasi mereka
menemukan sisa-sisa radiasi yang tersebar di ruang angkasa. Dan berkat penemuan
mereka itu, mereka berdua pun memperoleh anugerah Nobel.
Dan tak
hanya itu saja, karena di tahun 1989, NASA meluncurkan satelit ke luar angkasa
untuk meneliti tentang gejala radiasi alam semesta. Saat itu, melalui
sensor-sensor yang dipasang di satelit yang disebut
sensorkobe, mereka menangkap adanya radiasi sisa-sisa ledakan besar yang
menyebar di
seluruh ruang angkasa. Tak ayal, penemuan hasil observasi langsung ini
menghebohkan dunia dan media masa. Atas temuan ini, Stephen Hawking menyebutnya
sebagai penemuan terbesar dalam bidang astronomi di abad ini, bahkan mungkin
sepanjang masa. Barangkali kita belum lupa dengan apa yang pernah
dikatakan Karl Raimund Popper itu, bahwa salah-satu metode kerja sains adalah
falsifikasi, di mana sebuah teori (atau temuan) akan gugur jika ada teori atau
temuan lainnya yang menggugurkan atau membuktikan kekeliruannya.
Hak cipta © pada Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar