Kamis, 02 April 2015

Cara Memahami Islam (Ceramah Pertama)


Oleh Dr. Ali Syari’ati (Filsuf dan Sosiolog)

Sebelum mulai membicarakan topik di atas, ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan sebagai pengantar atau catatan. Mungkin tidak langsung berhubungan dengan pokok pembicaraan kita, namun saya anggap penting sekali menyinggungnya di sini karena kaitannya yang erat dengan permasalahan fundamental dan vital. Dalam tahun-tahun belakangan ini, kebanyakan intelektual kita berpendapat bahwa kita tidak perlu lagi berbicara, dan bahwa percuma saja kita membicarakan penderitaan kita. Sampai sekarang, selalu saja kita berbicara dan membicarakan penderitaan kita tanpa berbuat atau bertindak. Karena itu kita harus berhenti berbicara, dan setiap orang harus mulai bertindak memperbaiki keluarga dan negerinya.

Menurut hemat saya pendapat itu keliru. Karena sebenarnya sampai sekarang ini kita belum pernah berbicara, belum pernah kita membicarakan penderitaan kita, belum pernah kita menganalisa penderitaan kita secara seksama dan ilmiah. Apa yang telah kita kerjakan hanya mengeluh, dan keluh kesah jelas tidak ada gunanya. Selama ini kita belum pernah sama sekali membicarakan permasalahan psikologis kita. Memang adakalanya kita merasa seolah-olah telah mendiagnosa serba penyakit kita sehingga rasanya sekarang kita harus mulai dengan usaha penyembuhannya. Tetapi, sayang sekali, sebenarnya kita belum pernah membuat diagnosa atas penyakit kita.

Mereka yang telah turun ke lapangan dan karena itu telah mengalami serba kesukaan, hambatan dan kegagalan dalam usahanya, tahu dan merasakan betul bahwa selama ini sebenarnya kita terlalu sedikit membicarakan penderitaan-penderitaan kita, dan bahwa kita belum cukup sadar akan penderitaan kita, kerusakan kita, penyelewengan kita! Selama ini bukan saja kita kurang membicarakan pandangan kepercayaan keagamaan dan ideologis kita. Kita bahkan sama sekali belum pernah membicarakannya.

Bagaimana mungkin kita lalu berkata bahwa kita telah membuat diagnosa penyakit kita dan telah cukup banyak membahasnya, dan bahwa sekarang sudah tiba waktunya untuk bertindak? Masyarakat kita adalah masyarakat religius; dasar kerja kita haruslah religius; namun masih juga kita belum paham apa sebenarnya agama kita.

Profesi saya adalah seorang guru, dan ketika mahasiswa-mahasiswa saya menanyakan buku-buku mengenai masalah tertentu, saya tidak dapat menjawab mereka. Karena tidak ada buku-buku mengenai masalah-masalah itu dalam bahasa Persia. Ini sungguh sangat memalukan. Bangsa kita selalu bangga karena sudah berabad-abad kita menjadi penganut (pengikut) Ja’far dan ‘Ali. Sejak abad pertama Islam, ketika Persia menggabung dalam dunia Islam dan melepaskan agama nenek-moyangnya demi Islam, Persia telah menjadi penganut (pengikut) ‘Ali, baik secara resmi sebagaimana halnya sekarang ini, ataupun dalam kenyataan praktis, sesuai dengan rasa dan keyakinan kita. Tetapi hari ini, bila seorang mahasiswa bertanya kepada saya tentang ‘Ali, atau tentang para pengikut pertama ‘Ali yang telah meletakkan dasar-dasar sejarah Syi’ah sejak abad pertama Islam demi kesetiaan mereka kepada ‘Ali, maka saya tidak bisa memberikan jawaban kepadanya. Yang saya ketahui mengenai tokoh-tokoh itu hanyalah nama mereka.

Bagi suatu bangsa yang agamanya ialah agama ‘Ali, sungguhlah sangat memalukan, bahwa tidak ada satu buku pun, yang pantas, yang pernah kita tulis tentang ‘Ali serta para sahabatnya. Sungguh sangat memalukan bahwa sesudah empat belas abad, barulah kita mengetahui ‘Ali dari seorang Kristen, George Jordac, dan bahwa Abu Dzar harus diperkenalkan kepada kita oleh Jaudat as Sahhar, seorang saudara kita dari golongan Sunni.

Salman al Farisi ialah seorang Persia pertama yang memeluk Islam; dia adalah sumber kebanggaan ras Aria dan semua orang Iran. Dia adalah seorang besar dan seorang genius yang mengikuti Rasul sejak permulaan risalah beliau, lalu menjadi seorang yang sangat dekat dengan beliau hingga bahkan dianggap sebagai anggota keluarga beliau. Satu-satunya buku mengenai orang ini ―yang ditinjau dari segi nasional, ilmiah, keagamaan maupun Syi’ah adalah merupakan sumber kebanggaan Iran― ditulis oleh seorang Prancis,[5] sedang yang dalam bahasa Persia, meski hanya sekedar empat halaman, ternyata tidak ada.

Saya tidak tahu bagaimana kita sampai bisa mengatakan bahwa tahap analisa dan diskusi sudah berakhir, dan bahwa sekarang kita harus mulai bergerak! Bukan maksud saya untuk mengatakan, bahwa sekarang ini bukan waktunya untuk bertindak dan bekerja, sebab berbicara dan bertindak, menganalisa dan mengamalkan harus selalu erat bergandengan. Inilah praktik Rasul. Beliau tidak pernah memisahkan kehidupan menjadi dua bagian-bagian pertama khusus untuk berbicara dan bagian kedua khusus untuk bertindak. Maka sungguh naif mereka yang menyatakan, bahwa “kita telah cukup banyak berbicara dan bahwa sekarang adalah waktunya untuk bertindak”. Yang kita lakukan selama ini hanya mengeluh dan meratap, dan saya sependapat kalau kita harus berhenti meratapi nasib. Sebagai gantinya kita harus membahas penderitaan kita, demi kesadaran kita akan penderitaan itu, tetapi juga secara “ilmiah”. Ajaran yang kita yakini haruslah menjadi landasan kerja, kegiatan dan pemikiran kita. Kita harus tahu siapa ‘Ali, dan kita pun harus mengenal Abu Dzar, Salman maupun para penerus Rasul dan ‘Ali.

Sayang sekali, tidak ada buku dalam bahasa Persia, yang cukup pantas untuk dibaca mengenai tokoh-tokoh suci ini yang dari sudut pandangan manusiawi, terlepas dari pandangan religius, memang patut dihargai. Keenam buku yang beredar baru-baru ini tentang ini kesemuanya adalah terjemahan; kita sendiri belum pernah menulis.

Di negara ini orang yang paham al-Quran disebut fadhil (yang utama), bukan alim. Seorang alim dianggap lebih tinggi derajatnya daripada seorang fadhil yang banyak tahu dan ahli tentang al-Quran, ajaran Islam, sirah (riwayat hidup) Rasul serta para Sahabat beliau. Seorang fadhil menafsirkan dan menerangkan al-Quran. Namun ia tergolong ulama Islam kelas dua! Andaikata penggolongan demikian bisa dibenarkan, maka bahkan Rasul, ‘Ali dan Abu Dzarr harus dianggap sebagai fadhil, bukan alim.

Karena itulah saya yakin bahwa tugas kita terbesar dan terpenting dewasa ini ialah berbicara ―berbicara yang benar, membicarakan penderitaan kita, tetapi sekaligus juga secara tepat dan ilmiah, serta menganalisa apa yang kita alami. Karena mereka yang telah mencoba berbuat di negeri kita ini, maupun di bagian-bagian dunia Islam lain, dengan harapan untuk mencapai sesuatu, ternyata kurang atau bahkan sama-sekali tidak berhasil. Sebabnya ialah bahwa ketika mereka turun ke lapangan, mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Sudah barang tentu, jika kita tidak tahu apa yang kita kehendaki, maka kita pun tidak tahu apa yang akan kita lakukan.

Maka tugas pertama kita ialah memahami agama serta aliran pemikiran kita. Ya, berabad-abad setelah kita secara historis menganut agama besar ini, sayang sekali, kita masih harus memulai usaha memahami agama kita.

Sebagaimana saya sampaikan pada pertemuan yang lalu, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara ialah dengan mengenal Allah, dan membandingkanNya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya ialah dengan mempelajari kitab kita, al-Quran, dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, ialah dengan mempelajari kepribadian Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkan mereka dengan tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.

Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual ia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Ia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya, ia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidang masing-masing. Karena Islam mempunyai berbagai dimensi dari aspek maka setiap orang bisa menemukan sudut pandang yang paling tepat sesuai dengan bidangnya.

Karena bidang studi dan penelitian saya ialah sosiologi agama, maka saya telah mencoba menyusun semacam sosiologi agama berdasarkan Islam dengan menggunakan terminologi yang berasal dari al-Quran dan kepustakaan Islam. Selama usaha serta penelitian itu sadarlah saya bahwa banyak topik yang selama ini belum pernah kita perhatikan sama-sekali sehingga bahkan kita tidak mengira ada topik demikian.

Dalam studi saya tentang Islam dan al-Quran antara lain saya menemukan bahwa dalam sunnah (kebiasaan dan metode kerja) Rasul ternyata terkandung teori-teori sejarah dan sosiologi khusus. Ini berbeda dengan kalau kita mengambil al-Quran, beberapa ayat al- Quran, filsafat dan metode tertentu yang dipergunakan Rasul, ataupun sistem kehidupan politik, sosial, psikologis dan etis Rasul, lalu menganalisanya dengan kacamata ilmu sekarang. Ilmu fisika, misalnya, bisa membantu kita untuk memahami ayat-ayat kauniyyah dalam al-Quran. Demikian pula sosiologi dapat memperjelas pemahaman kita mengenai ayat,ayat al-Quran yang historis dan sosiologis. Tetapi bukan itu yang saya maksudkan. Saya menemukan dalam al-Quran serangkaian konsep serta tema baru mengenai sejarah, sosiologi dan humaniora. Al-Quran sendiri, atau Islam sendiri, adalah sumber serba ide. Suatu teori dan kerangka sosiologi serta sejarah yang filosofis terbuka terbentang di hadapan saya. Dan ketika kemudian saya cek dengan sejarah dan sosiologi, ternyata semuanya benar.

Dengan bantuan al-Quran saya temukan beberapa konsep yang termasuk dalam ilmu-ilmu manusiawi, tetapi belum pernah dibahas oleh ilmu-ilmu ini. Di antaranya ialah konsep hijrah. Dalam buku Muhammad, Nabi Penutup, diterbitkan oleh Husainiyah-i Irsyad, saya hanya membicarakan dimensi historis konsep itu, yakni perpindahan rakyat dari satu tempat ke tempat lain. Dari nada pembahasan al-Quran mengenai hijrah dan muhajirin, begitupun dari kehidupan Rasul serta dari konsep hijrah yang berlangsung pada awal sejarah Islam, saya berkesimpulan, terlepas dari pendapat kaum muslimin umumnya, bahwa hijrah bukanlah sekadar suatu peristiwa sejarah.

Biasanya kaum muslimin berpendapat, bahwa hijrah ialah perpindahan sejumlah sahabat dari Makkah ke Abissinia maupun ke Madinah atas perintah Rasul. Mereka mengiranya sama saja dengan perpindahan sekelompok masyarakat primitif atau berperadaban rendah dari suatu tempat ke tempat lain, sebagai faktor geografis dan politis. Sedangkan hijrah yang pernah dihayati Umat Islam menurut mereka hanyalah yang dilakukan kaum muslimin dan Rasul di masa awal sejarah Islam tersebut. Tetapi dari nada pembahasan tentang al-Quran tentang hijrah, saya menangkap bahwa konsep itu mengandung suatu prinsip filsafat dan sosial yang mendalam. Lalu, kembali kepada sejarah, saya kira hijrah adalah suatu prinsip yang sangat luhur dan merupakan konsep yang sama sekali baru, jadi bukan hanya sekedar suatu peristiwa sejarah yang sederhana. Bahkan para filosof sejarah belum memberi perhatian sewajarnya atas masalah hijrah ini, walaupun selama ini hijrah merupakan faktor utama kebangkitan peradaban sepanjang zaman.

Dalam sejarah kita mengenal dua puluh tujuh peradaban. Semuanya, tanpa kecuali lahir dari peristiwa hijrah. Sebaliknya, tidak pernah dicatat dalam sejarah ada suatu suku primitif yang berkembang menjadi masyarakat yang beradab dan berbudaya tanpa terlebih dahulu harus meninggalkan tanah asalnya dan berhijrah. Konsep ini, yang sangat relevan dengan ilmu sejarah dan sosiologi, saya simpulkan dari studi saya tentang Islam dan dari nada al-Quran membahas dan memerintahkan hijrah yang terus-menerus dan umum.

Semua peradaban di dunia ini ―dari yang terbaru, ialah peradaban Amerika, hingga yang paling tua sepanjang pengetahuan kita, yakni peradaban Sumeria― ternyata tumbuh dari hijrah. Suatu masyarakat primitif akan tetap primitif selama mereka tidak mau meninggalkan negerinya sendiri. Mereka baru akan mencapai peradaban setelah melakukan hijrah dan menetap di suatu negeri baru. Jadi semua peradaban adalah hasil dari hijrah masyarakat-masyarakat primitif. Demikianlah, saya menemukan berbagai konsep Islam dan al-Quran, sebanding dengan kadar pengetahuan saya tentang keduanya, telah menolong saya untuk memahami masalah-masalah sejarah, secara lebih segar dan lebih tepat. Sadarlah saya, bahwa dengan mempergunakan istilah-istilah khas dari al-Quran kita bisa menemukan berbagai konsep mengenai ilmu yang paling modern, yaitu humaniora.

Sekarang, mengenai sosiologi Islam, saya hendak membahas dilema terbesar sosiologi maupun sejarah: apakah sebenarnya yang merupakan faktor dasar dalam perubahan dan perkembangan masyarakat. Faktor dasar apakah yang menyebabkan suatu masyarakat tiba-tiba berubah dan berkembang, atau tiba-tiba rusak dan merosot? Faktor yang kadangkala menyebabkan suatu masyarakat berhasil melakukan suatu lompatan positif ke depan; yang, secara total mengubah watak-nya, semangatnya, tujuannya dan bentuknya, dalam kurun waktu satu atau dua abad, yang mengubah sama sekali pola hubungan perseorangan dan sosialnya?

Selama berabad-abad orang telah berusaha terus-menerus mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, terutama sejak 110 tahun terakhir. Semua aliran sosiologi dan sejarah yang beraneka ragam telah sama mencurahkan perhatian mencari jawabannya. Selalu saja pertanyaannya ialah: apakah yang merupakan motor sejarah, yang merupakan faktor dasar dalam perkembangan dan perubahan masyarakat manusia? Berbagai aliran sosiologi berbeda pendapat mengenai ini; masing-masing menumpukan perhatiannya pada suatu faktor tertentu. Ada beberapa aliran yang sama sekali tidak percaya akan sejarah yang menurut mereka tidak lebih dari koleksi kisah kuno yang tidak berharga. Mereka juga menolak pendapat bahwa sosiologi harus memiliki hukum-hukum, prinsip-prinsip atau kriteria yang pasti.

Timbullah semacam anarkisme ilmiah, yang bersikap pesimistis terhadap filsafat sosiologi serta humaniora, dan berpendapat bahwa yang menjadi faktor dasar tersebut adalah serba kebetulan. Semua perubahan, kemajuan, kemerosotan dan revolusi yang dialami sesuatu bangsa adalah akibat dari kebetulan. Umpamanya, tiba-tiba Arab menyerang Persia; kebetulan Persia kalah dan orang-orang Persia lalu masuk Islam. Kebetulan Jengis Khan menyerang Persia; kebetulan ketika itu pemerintahan Persia sedang dalam keadaan lemah, sehingga Persia kalah. Masuklah orang-orang Mongol ke Persia. Akibatnya kebudayaan serta cara hidup Mongol bercampuraduk dengan cara hidup Persia Islam, dan terjadilah perubahan. Demikian pula, perang-perang Dunia Pertama dan Kedua pecah karena kebetulan; mungkin saja itu tidak sampai terjadi. Ringkasnya, aliran ini menganggap setiap hal sebagai akibat kebetulan belaka.

Kelompok lainnya ialah golongan materialis dan mereka yang menganut paham determinisme sejarah. Menurut mereka, sejarah dan masyarakat, sejak awal mulanya sampai sekarang, adalah bagaikan sebatang rotan, tidak mempunyai kemauan sendiri. Asalnya ialah sebutir benih, lalu bertunas, muncul pada permukaan tanah, berakar, beranting, bercabang dan berdaun, tumbuh menjadi sebatang pohon besar, berubah, layu di musim dingin, mekar kembali di musim semi, mencapai puncak pertumbuhannya dan akhirnya ambruk. Kelompok ini percaya bahwa terdapat faktor-faktor serta hukum-hukum yang menentukan kehidupan masyarakat manusia sepanjang sejarah. Faktor-faktor dan hukum-hukum itu mempunyai peranan yang sama seperti lainnya hukum-hukum mengenai alam semesta. Manusia perseorangan tidak dapat mempengaruhi masyarakatnya. Karena masyarakat adalah gejala alam yang berkembang sesuai dengan faktor-faktor dan hukum-hukum alam. Kelompok ketiga terdiri atas mereka yang memuja para pahlawan serta orang-orang besar. Termasuk golongan ini ialah para penganut Fasisme dan Nazi, ilmuwan seperti Carlyle[6] yang pernah menulis biografi Rasul Kita. Begitu pula Emerson[7] dan lain sebagainya. Menurut kelompok ini hukum hanyalah alat mereka yang berkuasa, karena itu tidak ada pengaruhnya terhadap masyarakat. Orang awam, apalagi dari kalangan rendah, tidak pernah turut serta dalam perubahan masyarakat; mereka pun merupakan alat belaka bagi orang-orang lain. Satu-satunya faktor fundamental untuk mengubah atau memajukan masyarakat, ataupun yang mengakibatkan kemerosotannya, hanyalah pribadi besar.

Kata Emerson: Sebutkan kepadaku nama sepuluh orang besar, maka akan kuceritakan kepadamu seluruh sejarah umat manusia, tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Ceritakan kepadaku tentang Nabi Islam, maka akan kusampaikan kepadamu seluruh sejarah Islam. Ceritakan kepadaku tentang Napoleon, akan kuterangkan kepadamu seluruh sejarah Eropa. Menurut pandangan kelompok ini, nasib masyarakat dan umat manusia tergenggam dalam tangan orang-orang besar, yang bertindak sebagai pemimpin masyarakat. Karena itu kebahagiaan maupun kebinasaan suatu masyarakat tidaklah bergantung pada massa rakyatnya, bukanlah akibat hukum lingkungan dan masyarakat yang dinasti, bukan pula akibat kebetulan. Semuanya semata-mata bergantung pada orang-orang besarnya, yang sesekali muncul dalam masyarakat untuk merubah nasib masyarakat mereka dan adakalanya bahkan nasib umat manusia.

Dalam biografinya tentang Muhammad Saw, Carlyle menulis sebagai berikut: “Ketika Nabi Islam itu pertama-tama menyampaikan risalahnya kepada kaum-kerabatnya, maka semuanya menolaknya. Kecuali ‘Ali, waktu itu masih berusia sepuluh tahun, yang bangkit memenuhi dakwah Nabi dan berikrar setia kepadanya.” Seterusnya Carlyle menyimpulkan: “Tangan yang kecil itu bergabung dengan tangan yang besar, dan mengubah jalan sejarah.”

Ada pula pendapat bahwa rakyat, ialah masyarakat umumnya, mempunyai peranan dalam menentukan nasib mereka. Namun tidak ada sesuatu ajaran, bahkan juga tidak dalam paham demokrasi dalam bentuknya yang kuno ataupun yang modern, yang menegaskan bahwa massa rakyat merupakan faktor fundamental dalam perkembangan dan perubahan sosial. Menurut berbagai ajaran demokrasi, bentuk pemerintahan terbaik ialah di mana rakyat turut berpartisipasi di dalamnya. Tetapi sejak zaman demokrasi Athena hingga dewasa ini, tidak satupun dari ajaran ini yang menegaskan bahwa massa rakyat menjadi faktor penentu dalam perubahan dan perkembangan sosial. Bahkan para sosiolog yang paling demokratis pun, meskipun mengakui bahwa bentuk pemerintahan serta organisasi administratif dan sosial terbaik ialah di mana rakyat turut berpartisipasi dengan memberikan suara dan memilih pemerintahan mereka, ternyata tidak menganggap rakyat sebagai faktor dasar perubahan dan perkembangan sosial. Malah sebaliknya, yang mereka andalkan sebagai faktor penentu ialah determinisme, pemimpin-pemimpin besar, golongan elite, peristiwa kebetulan atau kehendak Tuhan.

Para pemuja orang besar dapat dibagi atas dua golongan. Golongan yang pertama berpendapat bahwa yang mengubah masyarakat manusia ialah tokoh-tokoh besar seperti Budha, Musa atau Yesus. Golongan ini adalah pemuja pahlawan murni. Sedangkan menurut golongan lainnya, yang mula-mula muncul ialah seorang pemimpin, lalu diikuti sekelompok elite, yang merupakan para genius terkemuka dalam masyarakatnya. Terbentuklah suatu tim. Tim inilah yang memimpin masyarakat menurut jalan dan kepada tujuan yang mereka pilih. Golongan ini mungkin tepat disebut pemuja elite.

Dalam Islam dan al-Quran tidak ditemukan satupun dari teori-teori di atas. Dalam pandangan Islam, Rasul merupakan pribadi terbesar; dan jika Islam mengandalkan peranan Rasul sebagai faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial, berarti Islam mengakui pula semua nabi, khususnya Nabi Muhammad, sebagai faktor fundamental. Namun, ternyata tidak demikian. Tugas dan karakteristik Rasul jelas sekali tertera dalam al-Quran, ialah menyampaikan risalah. Beliau bertanggung jawab untuk menyampaikan risalah; beliau adalah seorang yang memperingatkan dan yang menyampaikan berita gembira. Dan ketika Rasul bersedih hati karena umat tidak menyambut risalah beliau sehingga beliau tidak berhasil memimpin mereka sebagaimana yang diharapkan beliau, maka berkali-kali Allah menyatakan kepada beliau bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah, memperingatkan manusia dan membawa kabar gembira, menunjukkan jalan bagi mereka; sama-sekali beliau tidak bertanggung-jawab atas keruntuhan ataupun kejayaan mereka, karena yang bertanggung jawab adalah rakyat sendiri.

Menurut al-Quran, Rasul bukanlah penyebab aktif perubahan dan perkembangan fundamental dalam sejarah manusia. Tetapi beliau dilukiskan sebagai pembawa risalah yang bertugas menunjukkan ajaran dan jalan kebenaran kepada manusia. Dengan berbuat demikian sempurnalah tugas beliau, dan terserah kepada manusia apakah akan memilih kebenaran atau mengingkarinya, apakah akan menerima petunjuk atau memilih kesesatan. Islam tidak mengenal kebetulan, karena semua berada di tangan Allah. Islam menolak adanya sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tanpa sebab atau tujuan, baik dalam alam ataupun dalam masyarakat manusia. Bila dalam al-Quran diceritakan tentang tokoh-tokoh besar, selain para Nabi, maka seringkali itu dihubungkan dengan kutukan atau cercaan atas mereka. Kalaupun mereka disebut karena ketakwaan dan kesalehan mereka, namun al-Quran tidak pernah menganggap mereka sebagai faktor efektif dalam masyarakat mereka.

Maka kesimpulan yang dapat ditarik dari ajaran al-Quran ialah, bahwa menurut Islam faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial bukanlah pribadi-pribadi sang pemimpin, bukan pula kebetulan, ataupun hukum-hukum yang berlaku umum dan abadi. Pada umumnya, setiap ajaran, setiap agama, setiap Nabi, dialamatkan kepada mereka yang sekaligus juga merupakan faktor perubahan sosial yang fundamental dan efektif di dalam ajaran itu. Demikianlah al-Quran dialamatkan kepada an-nâs, yakni rakyat. Rasul diutus kepada an-nâs, beliau berbicara kepada an-nâs; an-nâs-lah yang bertanggung-jawab atas perbuatan mereka sendiri; an-nâs-lah yang menjadi faktor dasar kemerosotan, ringkasnya an-nâs-lah yang memikul seluruh tanggungjawab terhadap masyarakat dan sejarah.

Kata an-nâs ini penting sekali. Ada beberapa persamaan dan sinonimnya. Tetapi satu-satunya yang mirip dengan kata itu, baik secara struktural maupun fonetik, ialah kata “massa”. Dalam sosiologi, massa terdiri atas segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang terdapat dalam kalangan mereka. Karena itu “massa” berarti rakyat sendiri, tanpa menunjuk kepada kelas atau bentuk sosial tertentu.

Pengertian an-nâs tepat sama dengan itu, ialah massa rakyat, tanpa arti tambahan apa-apa. Al-Quran juga menyebut manusia dengan kata-kata insân dan basyar, tetapi kedua kata itu masing-masing menunjuk kepada nilai-nilai etis dan hewani yang terkandung dalam diri manusia.  Dari sini dapat kita tarik kesimpulan berikut. Islam adalah ajaran sosial pertama yang mengandalkan massa sebagai faktor dasar yang sadar ―yang menentukan sejarah dan masyarakat bukan mereka yang terpilih sebagaimana pendapat Nietzsche, bukan para aristokrat dan ningrat sebagaimana yang dikemukakan Plato, bukan tokoh-tokoh besarnya Carlyle dan Emerson, bukan mereka yang berdarah murni yang digambarkan oleh Alexis Carrel, bukan pula para pendeta atau intelektual, melainkan massa.

Keluhuran ajaran Islam ini akan benar-benar kita sadari bila kita membandingkannya dengan ajaran-ajaran lain. Kepada siapakah ajaran-ajaran lain itu dialamatkan? Di antaranya ada yang dialamatkan kepada kelas terpelajar dan intelektual; yang lain dialamatkan kepada suatu kelompok pilihan tertentu dalam masyarakat. Ada yang dialamat-kan kepada suatu ras unggul, ada yang dialamatkan kepada manusia-manusia super, ada yang memusatkan perhatiannya pada suatu kelas tertentu dalam masyarakat, seperti kelas proletar atau kelas borjuis.

Hak-hak istimewa dan penghormatan khusus sebagaimana yang dikemukakan oleh ajaran-ajaran di atas tidak terdapat dalam Islam. Satu-satunya faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial ialah rakyat, lepas dari bentuk rasial, hak istimewa kelas, atau karakteristik tertentu. Kita pun dapat menyimpulkan dari al-Quran. Al-Quran dialamatkan kepada rakyat dan rakyatlah yang menjadi poros serta faktor fundamental dalam perkembangan dan perubahan sosial. Merekalah yang bertanggungjawab di hadapan Allah. Tetapi bersamaan dengan itu pribadi-pribadi besar, kebetulan dan tradisi juga bisa mempengaruhi nasib masyarakat. Jadi, menurut Islam, ada empat faktor fundamental perkembangan dan perubahan sosial: pribadi besar, tradisi, kebetulan dan an-nâs, “rakyat”.

Tradisi, sepanjang ajaran Islam dan al-Quran, mengandung makna bahwa setiap masyarakat memiliki suatu basis tetap, atau dengan kata-kata al-Quran, setiap masyarakat mempunyai jalan serta watak tertentu. Dalam semua masyarakat terkandung hukum-hukum yang pasti dan abadi. Masyarakat adalah bagaikan makhluk hidup; maka seperti halnya semua organisasi ia mempunyai hukum-hukum yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan tetap. Maka dipandang dari segi tertentu, semua perkembangan dan perubahan dalam masyarakat terjadi di atas dasar tradisi serta hukum pasti yang merupakan fondasi kehidupan sosial.

Karena itulah Islam tampak dekat dengan teori determinisme sejarah dan masyarakat; tetapi dengan pemahaman yang lebih luas dan dengan modifikasi terhadap hukum determinisme itu. Menurut Islam, di samping masyarakat manusia (an-nâs) yang bertanggung jawab atas nasibnya, maka masyarakat pun terdiri atas para perseorangan yang bertanggungjawab atas keadaan masing-masing. Ayat-ayat al-Quran, “Untuk mereka apa yang mereka usahakan, dan untuk kalian apa yang kalian perbuat” (QS. 2: 134), dan “Sungguh Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri” (QS. 13: 11), jelas mengandung makna pertanggungjawaban sosial. Sebaliknya, ayat “Setiap orang bertanggungjawab atas usahanya” (QS. 74: 38), menjelaskan tanggung-jawab perseorangan. Karena itu baik masyarakat maupun perseorangan sama-sama harus mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan mereka di hadapan al-Khaliq, dan masing-masing membangun nasibnya dengan tangannya sendiri.

Dalam sosiologi, kedua prinsip ini tampaknya saling-bertentangan. Di satu pihak tanggung-jawab dan kebebasan manusia untuk mengubah dan memperkembangkan masyarakatnya; sedang di pihak lain, adanya hukum ilmiah yang pasti lagi menentukan, yang bebas dari campur-tangan manusia dan merupakan basis tetap untuk perubahan masyarakat. Tetapi al-Quran menempatkan kedua kutub ini, yakni adanya hukum yang menentukan, pasti serta tetap dalam masyarakat, berhadapan dengan tanggungjawab manusia secara kolektif maupun perseorangan untuk perubahan dan perkembangan sosialnya sedemikian rupa sehingga keduanya tidak lagi saling bertentangan, malahan bahkan saling melengkapi.

Begitu pulalah halnya dengan alam. Seorang insinyur pertanian bertanggung-jawab atas pertumbuhan pepohonan dan tanaman di suatu kebun. Ia bertanggung-jawab bahwa kebun itu akan menghasilkan buah-buahan terbaik, ia bertanggung jawab memangkas dan mengairinya. Tetapi sementara itu, ada hukum-hukum tertentu yang berlaku dalam dunia botani, dan berdasarkan hukum-hukum yang menentukan serta pasti ini terjadilah perubahan dan perkembangan pada tetanaman dan pepohonan itu.

Maka sesuai dengan tingkat pengetahuan dan informasinya, manusia dapat memanfaatkan hukum yang inheren dalam tanaman itu, hukum yang pada dirinya sendiri tidak pernah berubah. Seorang insinyur pertanian tidak akan pernah dapat menetapkan hukum botani yang baik, ataupun menghapus yang sudah ada. Hukum-hukum itu, yang terkandung dalam alam menuntut perhatian sang insiyur. Meskipun ia tidak berarti mampu mengubahnya, namun dengan intervensi ilmiahnya ia bisa melakukan manipulasi terhadap praktik-praktik serta hukum botani yang tetap itu, sehingga ia beroleh manfaat dari hukum yang tidak dapat diubahnya itu. Atas dasar bentuknya yang baru, yang sepenuhnya berada dalam ruang lingkup hukum yang ada, maka buah yang tadinya bermutu rendah atau sedang saja oleh para insinyur dapat ditingkatkan menjadi lebih bernilai.

Tanggung-jawab manusia dalam masyarakat persis seperti itu. Masyarakat, bagaikan kebun, memiliki norma dan pola yang ditetapkan Allah. Atas dasar itulah berlangsung perkembangan dan evolusi masyarakat. Bersamaan dengan itu manusia memikul tanggung-jawab. Ia tidak dapat mengelakkan pertanggung-jawabannya dengan menganut fatalisme Khayyami atau determinisme sejarah. Ia harus bertanggung-jawab atas nasib masyarakatnya. Al-Quran menyatakan, bahwa terdapat hukum yang pasti yang mendasari masyarakat, namun al-Quran pun tidak menyangkal tanggung-jawab manusia. Menurut ajaran al-Quran, manusia bertanggung-jawab untuk mengetahui secara tepat norma-norma masyarakat dan memperbaikinya demi kemajuan masyarakatnya. Bagaimanakah caranya? Ialah dengan pengetahuannya sendiri.

Kenapa seorang insinyur pertanian lebih bertanggungjawab untuk memelihara dan meningkatkan hasil sebidang kebun, dibandingkan dengan orang-orang lain? Karena ia lebih mengetahui norma-norma kebun itu. Sebagai akibatnya, ia lebih bebas mengubah keadaan pepohonan dan tanaman di dalamnya. Begitu pula, semakin luas pengetahuan seseorang tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,semakin besar pula tanggung-jawabnya untuk mengubah serta mengembangkan masyarakat, dan semakin besar pulalah kebebasannya untuk berbuat itu. Islam, sebagai suatu ajaran sosiologi ilmiah, mengajukan bahwa perubahan dan perkembangan sosial tidak dapat didasarkan atas kebetulan. Karena masyarakat merupakan suatu organisme hidup, memiliki norma-norma yang tetap dan dapat dibuktikan secara ilmiah.

Selanjutnya, manusia memiliki kemerdekaan dan kehendak bebas, sehingga sekali ia mengetahui norma-norma masyarakat, maka ia bisa melakukan intervensi dalam operasi norma-norma itu, dan dengan memanipulasinya ia bisa merencanakan dan meletakkan dasar untuk masa depan yang lebih baik bagi perseorangan maupun masyarakat. Demikianlah di satu pihak terdapat pertanggungjawaban manusia, sedang di pihak lain ialah kepercayaan bahwa masyarakat, sebagaimana suatu organisme hidup, didasarkan atas hukum tetap yang bisa dibuktikan secara ilmiah.

Dari sudut pandang sosiologi, kiranya ini bisa turut menjelaskan maksud suatu ungkapan terkenal, “Bukan determinisme dan bukan kehendak bebas mutlak, melainkan tengah-tengahnya”.[8] Maka di satu pihak terdapat manusia, ekivalen dari kehendak ― sedang di pihak lain ialah masyarakat, ekivalen dari norma. Norma (sunnah), dalam istilah al-Quran, ialah sesuatu yang tidak berubah. Manusia berhadapan dengan yang bertanggung-jawab langsung demi kehidupan perseorangan maupun masyarakatnya. Kombinasi keduanya ialah “posisi tengah”. Manusia bebas berbuat dan bertindak. Tetapi untuk dapat merealisasikan kebebasannya ia harus memperhatikan hukum-hukum alam yang ada.

Pribadi besar, menurut ajaran Islam, tidak dengan sendirinya menjadi faktor kreatif. Bahkan para nabi bukan merupakan orang-orang yang menciptakan norma-norma baru dalam masyarakat. Dari sudut pandangan sosiologi, kelebihan para nabi dibandingkan dengan guru-guru serta tokoh-tokoh pembaruan biasa lainnya terlepas dari derajat kenabian sendiri ialah bahwa mereka memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang norma-norma ilahi yang terdapat dalam alam dan dunia. Itulah sebabnya mereka lebih mampu mempergunakan kebebasannya sebagai manusia untuk bergerak maju mencapai cita-citanya dalam masyarakat. Sejarah telah membuktikan sepenuhnya kebenaran bahwa para nabi selalu lebih berhasil daripada tokoh-tokoh pembaruan yang bukan nabi.

Tokoh-tokoh pembaruan adakalanya berhasil mengemukakan tesa-tesa dari prinsip-prinsip yang indah dalam tulisan-tulisan mereka, namun mereka tidak pernah mampu mengubah masyarakat atau menciptakan suatu peradaban. Sebaliknya para nabi telah berhasil membangun masyarakat, peradaban dan sejarah baru. Bukan karena mereka telah menyusun norma baru yang bertentangan dengan kehendak Ilahi ― sebagaimana mungkin dinyatakan oleh para penganut fasis serta pemuja pahlawan ― tetapi karena dengan daya kenabian dan bakat istimewa, mereka telah menemukan norma-norma Ilahi dalam masyarakat maupun alam. Dengan menyelaraskan kehendak mereka dengan norma-norma ini, mereka berhasil melaksanakan tugas dan mencapai tujuan mereka. “(Hukum) Kebetulan” dalam artian filosofis, juga tidak terdapat dalam ajaran Islam. Karena intervensi Allah senantiasa berlangsung dalam setiap hal. Lagi pula, karena tidak mengandung sebab yang logis atau tujuan akhir, maka tidak mungkin ada kebetulan dalam masyarakat, alam ataupun kehidupan.

Namun, dalam pengertian khusus, dalam nasib manusia terdapat suatu bentuk kebetulan tertentu. Misalnya Jengis Khan muncul di Mongolia, memegang tampuk kekuasaan sesuai dengan norma-norma sosial, dan berhasil menghimpun kekuatan yang besar. Tetapi kekalahan Persia di tangan Jengis Khan adalah suatu kebetulan, itu mungkin saja tidak sampai terjadi. Kebetulan-kebetulan semacam ini bisa sangat mempengaruhi nasib masyarakat-masyarakat tertentu. Ringkasnya, ada empat faktor yang mempengaruhi nasib masyarakat: pribadi besar, kebetulan, norma dan rakyat (an-nâs). Di antaranya dua yang terpenting ialah an-nâs dan norma, karena an-nâs merupakan kehendak massa rakyat, sedangkan norma adalah hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat dan dapat dibuktikan secara ilmiah.

Dalam ajaran Islam, pribadi-pribadi besar ialah mereka yang memahami norma-norma Ilahi, yang telah menemukan norma-norma ini dari Kitab Suci (khususnya Kitab Suci Islam, sumber hikmah dan hidayah), dan mempergunakan Kitab itu sebagai kunci keberhasilan mereka. Pengaruh umum keempat faktor ini dalam suatu masyarakat tertentu secara proporsional bergantung pada keadaan masyarakat tersebut. Dalam masyarakat di mana an-nâs, massa rakyat, telah mencapai kemajuan serta taraf pendidikan dan kebudayaan yang tinggi, peranan orang-orang besar menjadi berkurang. Tetapi dalam masyarakat yang belum sampai pada taraf peradaban demikian, misalnya pada suatu kabilah yang masih terbelakang, peranan seorang tokoh atau pemimpin mungkin sangat besar. Pada setiap masyarakat, sesuai dengan kemajuan atau keterbelakangan, salah satu dari keempat faktor tersebut akan lebih terpengaruh daripada ketiga lainnya.

Dalam ajaran Islam, pribadi Rasul mempunyai peranan dasar dan konstruktif dalam membawa perubahan, perkembangan dan kemajuan, dalam membangun peradaban yang akan datang serta dalam mengubah jalan sejarah. Sebabnya ialah karena beliau tampil di suatu lokasi khusus, semenanjung Arabia, yang dari sudut pandangan peradaban keadaannya sama dengan letak geografisnya. Jazirah itu dikitari ketiga sisinya oleh lautan, tetapi ia senantiasa haus dan gersang. Ia bertetangga dengan peradaban-peradaban besar dalam sejarah: di utara, peradaban Yunani dan Bizantium; di Timur, peradaban Persia; di tenggara, peradaban India; di barat-laut, peradaban Iram-Ibrani. Ia pun bertetangga dengan agama-agama Musa, ‘Isa dan Zarathustra, maupun dengan keseluruhan peradaban Aria dan Semit. Pada waktu tampilnya Rasul Islam, semua peradaban yang ada mengumpul sekeliling jazirah Arabia. Namun karena lokasi geografisnya yang khusus maka sebagaimana halnya mega yang menguap dari lautan sekelilingnya tidak sampai menurunkan hujan atas negeri itu, begitu pula peradaban-peradaban sekitarnya tidak sampai membekas di jazirah itu. Dalam keadaan demikianlah hadir Rasul Islam. Sehingga pribadinya, menurut kacamata sosiolog, bangkit menjadi faktor terbesar dalam perubahan serta perkembangan masyarakat dan sejarah. Demikian pula halnya, seorang sejarawan yang mempelajari kejadian besar di jazirah Arabia pada abad ketujuh (Miladia) itu akan melihat bahwa peristiwa itu telah menyerap semua yang berada sekelilingnya dan telah meletakkan dasar bagi suatu peradaban besar dan masyarakat baru yang luhur. Bila sang sejarawan lalu mempelajari keadaan jazirah itu dan mengetahui betapa kosongnya budaya dan peradabannya, dengan taraf hidup rakyatnya yang sangat rendah, maka hidup akan sangat cenderung mengaitkan tanda-tanda perubahan dan perkembangan ini, revolusi yang paling mendasar dan paling besar dalam sejarah ini, kepada pribadi Muhammad bin ‘Abdullah. Demikianlah pribadi Rasul mendapat status khusus dan sungguh istimewa.

Pada umumnya ada lima faktor yang membangun pribadi seseorang. Pertama, ibunya yang memberikan kepadanya struktur dan dan dimensi ruhaniahnya. Kata orang-orang Jesuit, “Serahkanlah anakmu kepadaku hingga hidup berumur tujuh tahun, maka ke mana pun hidup pergi akan tetap menjadi seorang Jesuit hinggga akhir hayatnya”. Penuh kasih dan lembut sambil membelai dan menyusuinva sang ibu memelihara ruhani serta menanamkan pendidikan awal pada anaknya. Faktor kedua yang membentuk kepribadian seseorang ialah ayahnya, yang sesudah sang ibu memberikan dimensi lain pada si ruhani anak. Faktor ketiga yang membentuk dimensi seseorang yang lebih lahiriah ialah sekolahnya. Faktor keempat ialah masyarakat dan lingkungan. Semakin kuat lingkungannya maka semakin besarlah pengaruh edukatifnya atas seseorang. Seseorang yang hidup di desa, misalnya akan menerima pengaruh formatif yang lebih sedikit dari lingkungannya ketimbang orang yang hidup di kota besar. Faktor edukatif kelima yang membentuk kepribadian ialah kebudayaan umum masyarakat ataupun kebudayaan umum dunia secara keseluruhan.

Jadi ada lima dimensi yang secara bersama menjadi acuan kepribadian seseorang. Ke dalam acuan itulah ruhani seseorang dituangkan dan dari acuan itu pula ia menerima bentuknya. Pendidikan terdiri atas bentuk khusus yang secara sengaja diberikan kepada ruhani manusia demi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebab jika orang dibiarkan berbuat semaunya, maka pertumbuhannya tidak akan sesuai dengan tujuan-tujuan kehidupan sosial. Karena itulah kita mempersiapkan acuan-acuan tertentu untuk manusia. Dalam acuan itulah mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan keinginan kita dan tuntutan zaman.

Tetapi dalam kehidupan Rasul Islam, yang kepribadian beliau harus dianggap sebagai faktor terbesar dalam perubahan sejarah, ternyata tidak satu pun dari faktor-faktor tersebut yang telah mempengaruhi ruhani beliau. Sebaliknya, Allah sengaja menghendaki bahwa ruhani beliau bebas dari acuan atau bentuk, agar ruhani beliau tidak sampai tersentuh oleh bentuk buatan ataupun yang ditanamkan menurut selera zaman dan lingkungan. Sebab pribadi besar itu justru hadir untuk menghancurkan segala acuan. Andaikata beliau sempat tumbuh dalam salah satu acuan demikian, tentulah beliau tidak akan pernah berhasil melaksanakan tugas beliau. Mungkin, misalnya, beliau menjadi seorang dokter besar, tetapi hanya menurut model Yunani; mungkin beliau menjadi seorang filosof besar, tetapi hanya menurut model Persia; mungkin beliau menjadi seorang matematikus atau penyair besar, tetapi hanya model yang diperkenankan zaman. Bagaimanapun juga beliau diutus untuk tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan yang kosong dari kebudayaan dan peradaban agar terhindar dari sentuhan pengaruh kelima faktor tersebut di atas.

Itulah sebabnya Rasul dilahirkan dalam keadaan yatim. Meskipun mempunyai ibu, namun beliau terpelihara dari segala bentuk dan acuan. Sejak awal kanak-kanaknya beliau telah dihijrahkan ke gurun pasir, padahal ibunda beliau masih hidup. Menjadi kebiasaan orang Arab ketika itu untuk mengirimkan bayi mereka ke desa-desa di gurun pasir, sampai mereka berumur dua tahun, sehingga masa kanak-kanak mereka lewatkan di gurun. Sesudah itu barulah mereka kembali ke kota untuk diasuh dan dibesarkan oleh ibu mereka sendiri. Bertentangan dengan kebiasaan ini, Muhammad Rasulullah begitu pulang ke Makkah kembali lagi ke gurun, dan tinggal di sana hingga beliau berusia lima tahun. Ibunda beliau wafat tidak lama kemudian. Langkah-langkah Ilahi yang penuh hikmah dan gaib telah memelihara, dari pengaruh semua bentuk dan acuan, seorang anak yang telah ditakdirkan untuk menghancurkan semua acuan yang ada ―acuan-acuan Yunani, Timur, Barat, Yahudi, Nasrani, Zarathustra― dan untuk membentuk suatu acuan baru. Kemudian kembali tangan Allah dan nasib mengarahkannya dari kota ke gurun, dengan dalih meniadi gembala, agar lingkungan kota jangan sampai mengesankan bentuk kodian pada jiwa yang harus berkembang bebas. Lagi pula, agar supaya jangan sampai ada pengaruh masyarakat dan zaman atas Rasul, maka beliau telah dilahirkan dalam suatu masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan umum. Tambahan lagi, beliau adalah buta-huruf ―tidak bisa membaca dan menulis― agar acuan sekolah pun tidak sampai membekas pada beliau.

Jelaslah bahwa keistimewaan serta kelebihan terbesar seorang yang harus melaksanakan tugas semacam itu adalah justru bahwa ia dibebaskan dari segala macam bentuk dan acuan yang telah diterima zamannya, yang membentuk manusia menurut suatu stereotip. Karena orang yang ditakdirkan untuk membinasakan segala berhala, menutup semua akademi dan menggantikannya dengan masjid, orang yang ditakdirkan untuk menghancurkan semua bentuk dan acuan rasial, nasional maupun regional, sekali-kali tidak boleh sampai menerima pengaruh sesuatu bentuk demikian.

Mula-mula ayahanda beliau diambil agar dimensi-dimensi sang ayah jangan sampai membekas pada jiwa Rasul. Lalu ibunda beliau dijauhkan daripada beliau agar supaya kelembutan kasih mesra keibuannya jangan sampai meninabobokkan jiwa yang harus tegas dan perkasa. Tambahan pula, beliau dilahirkan di suatu jazirah gersang, jauh dari kebudayaan universal, agar supaya jiwa beliau jangan sampai tersentuh pengaruh edukatif sesuatu kebudayaan, peradaban atau agama. Karena jiwa yang ditakdirkan untuk memikul dan melaksanakan tugas luar biasa tidak bisa dibentuk menurut bentuk biasa. Apa yang tampak sebagai kekurangan ini justru sebenarnya merupakan keuntungan dan keistimewaan untuk hidup yang diberi amanah dengan peranan terbesar dalam peristiwa sejarah, terbesar.

Sumber: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda, Muharram 1422/April 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar