Oleh Dr. Ali Syari’ati (Filsuf dan Sosiolog)
Sebelum mulai
membicarakan topik di atas, ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan sebagai
pengantar atau catatan. Mungkin tidak langsung berhubungan dengan pokok
pembicaraan kita, namun saya anggap penting sekali menyinggungnya di sini
karena kaitannya yang erat dengan permasalahan fundamental dan vital. Dalam
tahun-tahun belakangan ini, kebanyakan intelektual kita berpendapat bahwa kita
tidak perlu lagi berbicara, dan bahwa percuma saja kita membicarakan
penderitaan kita. Sampai sekarang, selalu saja kita berbicara dan membicarakan
penderitaan kita tanpa berbuat atau bertindak. Karena itu kita harus berhenti
berbicara, dan setiap orang harus mulai bertindak memperbaiki keluarga dan
negerinya.
Menurut hemat saya
pendapat itu keliru. Karena sebenarnya sampai sekarang ini kita belum pernah
berbicara, belum pernah kita membicarakan penderitaan kita, belum pernah kita
menganalisa penderitaan kita secara seksama dan ilmiah. Apa yang telah kita
kerjakan hanya mengeluh, dan keluh kesah jelas tidak ada gunanya. Selama ini
kita belum pernah sama sekali membicarakan permasalahan psikologis kita. Memang
adakalanya kita merasa seolah-olah telah mendiagnosa serba penyakit kita
sehingga rasanya sekarang kita harus mulai dengan usaha penyembuhannya. Tetapi,
sayang sekali, sebenarnya kita belum pernah membuat diagnosa atas penyakit
kita.
Mereka yang telah
turun ke lapangan dan karena itu telah mengalami serba kesukaan, hambatan dan
kegagalan dalam usahanya, tahu dan merasakan betul bahwa selama ini sebenarnya
kita terlalu sedikit membicarakan penderitaan-penderitaan kita, dan bahwa kita
belum cukup sadar akan penderitaan kita, kerusakan kita, penyelewengan kita!
Selama ini bukan saja kita kurang membicarakan pandangan kepercayaan keagamaan
dan ideologis kita. Kita bahkan sama sekali belum pernah membicarakannya.
Bagaimana mungkin
kita lalu berkata bahwa kita telah membuat diagnosa penyakit kita dan telah
cukup banyak membahasnya, dan bahwa sekarang sudah tiba waktunya untuk
bertindak? Masyarakat kita adalah masyarakat religius; dasar kerja kita
haruslah religius; namun masih juga kita belum paham apa sebenarnya agama kita.
Profesi saya adalah
seorang guru, dan ketika mahasiswa-mahasiswa saya menanyakan buku-buku mengenai
masalah tertentu, saya tidak dapat menjawab mereka. Karena tidak ada buku-buku
mengenai masalah-masalah itu dalam bahasa Persia. Ini sungguh sangat memalukan.
Bangsa kita selalu bangga karena sudah berabad-abad kita menjadi penganut
(pengikut) Ja’far dan ‘Ali. Sejak abad pertama Islam, ketika Persia menggabung
dalam dunia Islam dan melepaskan agama nenek-moyangnya demi Islam, Persia telah
menjadi penganut (pengikut) ‘Ali, baik secara resmi sebagaimana halnya sekarang
ini, ataupun dalam kenyataan praktis, sesuai dengan rasa dan keyakinan kita.
Tetapi hari ini, bila seorang mahasiswa bertanya kepada saya tentang ‘Ali, atau
tentang para pengikut pertama ‘Ali yang telah meletakkan dasar-dasar sejarah
Syi’ah sejak abad pertama Islam demi kesetiaan mereka kepada ‘Ali, maka saya
tidak bisa memberikan jawaban kepadanya. Yang saya ketahui mengenai tokoh-tokoh
itu hanyalah nama mereka.
Bagi suatu bangsa
yang agamanya ialah agama ‘Ali, sungguhlah sangat memalukan, bahwa tidak ada
satu buku pun, yang pantas, yang pernah kita tulis tentang ‘Ali serta para
sahabatnya. Sungguh sangat memalukan bahwa sesudah empat belas abad, barulah
kita mengetahui ‘Ali dari seorang Kristen, George Jordac, dan bahwa Abu Dzar
harus diperkenalkan kepada kita oleh Jaudat as Sahhar, seorang saudara kita
dari golongan Sunni.
Salman al Farisi
ialah seorang Persia pertama yang memeluk Islam; dia adalah sumber kebanggaan
ras Aria dan semua orang Iran. Dia adalah seorang besar dan seorang genius yang
mengikuti Rasul sejak permulaan risalah beliau, lalu menjadi seorang yang
sangat dekat dengan beliau hingga bahkan dianggap sebagai anggota keluarga
beliau. Satu-satunya buku mengenai orang ini ―yang ditinjau dari segi nasional,
ilmiah, keagamaan maupun Syi’ah adalah merupakan sumber kebanggaan Iran―
ditulis oleh seorang Prancis,[5] sedang yang dalam bahasa Persia,
meski hanya sekedar empat halaman, ternyata tidak ada.
Saya tidak tahu
bagaimana kita sampai bisa mengatakan bahwa tahap analisa dan diskusi sudah
berakhir, dan bahwa sekarang kita harus mulai bergerak! Bukan maksud saya untuk
mengatakan, bahwa sekarang ini bukan waktunya untuk bertindak dan bekerja,
sebab berbicara dan bertindak, menganalisa dan mengamalkan harus selalu erat
bergandengan. Inilah praktik Rasul. Beliau tidak pernah memisahkan kehidupan
menjadi dua bagian-bagian pertama khusus untuk berbicara dan bagian kedua
khusus untuk bertindak. Maka sungguh naif mereka yang menyatakan, bahwa “kita
telah cukup banyak berbicara dan bahwa sekarang adalah waktunya untuk
bertindak”. Yang kita lakukan selama ini hanya mengeluh dan meratap, dan saya
sependapat kalau kita harus berhenti meratapi nasib. Sebagai gantinya kita
harus membahas penderitaan kita, demi kesadaran kita akan penderitaan itu,
tetapi juga secara “ilmiah”. Ajaran yang kita yakini haruslah menjadi landasan
kerja, kegiatan dan pemikiran kita. Kita harus tahu siapa ‘Ali, dan kita pun
harus mengenal Abu Dzar, Salman maupun para penerus Rasul dan ‘Ali.
Sayang sekali, tidak
ada buku dalam bahasa Persia, yang cukup pantas untuk dibaca mengenai
tokoh-tokoh suci ini yang dari sudut pandangan manusiawi, terlepas dari
pandangan religius, memang patut dihargai. Keenam buku yang beredar baru-baru
ini tentang ini kesemuanya adalah terjemahan; kita sendiri belum pernah
menulis.
Di negara ini orang
yang paham al-Quran disebut fadhil (yang utama), bukan alim. Seorang alim
dianggap lebih tinggi derajatnya daripada seorang fadhil yang banyak tahu dan
ahli tentang al-Quran, ajaran Islam, sirah (riwayat hidup) Rasul serta para
Sahabat beliau. Seorang fadhil menafsirkan dan menerangkan al-Quran. Namun ia
tergolong ulama Islam kelas dua! Andaikata penggolongan demikian bisa
dibenarkan, maka bahkan Rasul, ‘Ali dan Abu Dzarr harus dianggap sebagai
fadhil, bukan alim.
Karena itulah saya
yakin bahwa tugas kita terbesar dan terpenting dewasa ini ialah berbicara ―berbicara
yang benar, membicarakan penderitaan kita, tetapi sekaligus juga secara tepat
dan ilmiah, serta menganalisa apa yang kita alami. Karena mereka yang telah
mencoba berbuat di negeri kita ini, maupun di bagian-bagian dunia Islam lain,
dengan harapan untuk mencapai sesuatu, ternyata kurang atau bahkan sama-sekali
tidak berhasil. Sebabnya ialah bahwa ketika mereka turun ke lapangan, mereka
tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Sudah barang tentu, jika kita tidak tahu
apa yang kita kehendaki, maka kita pun tidak tahu apa yang akan kita lakukan.
Maka tugas pertama
kita ialah memahami agama serta aliran pemikiran kita. Ya, berabad-abad setelah
kita secara historis menganut agama besar ini, sayang sekali, kita masih harus
memulai usaha memahami agama kita.
Sebagaimana saya
sampaikan pada pertemuan yang lalu, ada berbagai cara memahami Islam. Salah
satu cara ialah dengan mengenal Allah, dan membandingkanNya dengan sesembahan
agama-agama lain. Cara lainnya ialah dengan mempelajari kitab kita, al-Quran,
dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan
sebagai samawi) lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, ialah dengan mempelajari
kepribadian Rasul Islam dan membandingkan beliau dengan tokoh-tokoh besar
pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya ada satu cara lagi, ialah
dengan mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkan mereka dengan
tokoh-tokoh utama agama maupun aliran-aliran pemikiran lain.
Tugas intelektual
hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang
membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa
sebagai intelektual ia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih
baik. Ia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang
studinya, ia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam
dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidang masing-masing. Karena
Islam mempunyai berbagai dimensi dari aspek maka setiap orang bisa menemukan
sudut pandang yang paling tepat sesuai dengan bidangnya.
Karena bidang studi
dan penelitian saya ialah sosiologi agama, maka saya telah mencoba menyusun
semacam sosiologi agama berdasarkan Islam dengan menggunakan terminologi yang
berasal dari al-Quran dan kepustakaan Islam. Selama usaha serta penelitian itu
sadarlah saya bahwa banyak topik yang selama ini belum pernah kita perhatikan
sama-sekali sehingga bahkan kita tidak mengira ada topik demikian.
Dalam studi saya
tentang Islam dan al-Quran antara lain saya menemukan bahwa dalam sunnah
(kebiasaan dan metode kerja) Rasul ternyata terkandung teori-teori sejarah dan
sosiologi khusus. Ini berbeda dengan kalau kita mengambil al-Quran, beberapa ayat
al- Quran, filsafat dan metode tertentu yang dipergunakan Rasul, ataupun sistem
kehidupan politik, sosial, psikologis dan etis Rasul, lalu menganalisanya
dengan kacamata ilmu sekarang. Ilmu fisika, misalnya, bisa membantu kita untuk
memahami ayat-ayat kauniyyah dalam al-Quran. Demikian pula sosiologi dapat
memperjelas pemahaman kita mengenai ayat,ayat al-Quran yang historis dan
sosiologis. Tetapi bukan itu yang saya maksudkan. Saya menemukan dalam al-Quran
serangkaian konsep serta tema baru mengenai sejarah, sosiologi dan humaniora.
Al-Quran sendiri, atau Islam sendiri, adalah sumber serba ide. Suatu teori dan
kerangka sosiologi serta sejarah yang filosofis terbuka terbentang di hadapan
saya. Dan ketika kemudian saya cek dengan sejarah dan sosiologi, ternyata
semuanya benar.
Dengan bantuan
al-Quran saya temukan beberapa konsep yang termasuk dalam ilmu-ilmu manusiawi,
tetapi belum pernah dibahas oleh ilmu-ilmu ini. Di antaranya ialah konsep
hijrah. Dalam buku Muhammad, Nabi Penutup, diterbitkan oleh Husainiyah-i
Irsyad, saya hanya membicarakan dimensi historis konsep itu, yakni perpindahan
rakyat dari satu tempat ke tempat lain. Dari nada pembahasan al-Quran mengenai
hijrah dan muhajirin, begitupun dari kehidupan Rasul serta dari konsep hijrah
yang berlangsung pada awal sejarah Islam, saya berkesimpulan, terlepas dari
pendapat kaum muslimin umumnya, bahwa hijrah bukanlah sekadar suatu peristiwa
sejarah.
Biasanya kaum muslimin berpendapat, bahwa hijrah ialah perpindahan sejumlah sahabat dari Makkah ke Abissinia maupun ke Madinah atas perintah Rasul. Mereka mengiranya sama saja dengan perpindahan sekelompok masyarakat primitif atau berperadaban rendah dari suatu tempat ke tempat lain, sebagai faktor geografis dan politis. Sedangkan hijrah yang pernah dihayati Umat Islam menurut mereka hanyalah yang dilakukan kaum muslimin dan Rasul di masa awal sejarah Islam tersebut. Tetapi dari nada pembahasan tentang al-Quran tentang hijrah, saya menangkap bahwa konsep itu mengandung suatu prinsip filsafat dan sosial yang mendalam. Lalu, kembali kepada sejarah, saya kira hijrah adalah suatu prinsip yang sangat luhur dan merupakan konsep yang sama sekali baru, jadi bukan hanya sekedar suatu peristiwa sejarah yang sederhana. Bahkan para filosof sejarah belum memberi perhatian sewajarnya atas masalah hijrah ini, walaupun selama ini hijrah merupakan faktor utama kebangkitan peradaban sepanjang zaman.
Biasanya kaum muslimin berpendapat, bahwa hijrah ialah perpindahan sejumlah sahabat dari Makkah ke Abissinia maupun ke Madinah atas perintah Rasul. Mereka mengiranya sama saja dengan perpindahan sekelompok masyarakat primitif atau berperadaban rendah dari suatu tempat ke tempat lain, sebagai faktor geografis dan politis. Sedangkan hijrah yang pernah dihayati Umat Islam menurut mereka hanyalah yang dilakukan kaum muslimin dan Rasul di masa awal sejarah Islam tersebut. Tetapi dari nada pembahasan tentang al-Quran tentang hijrah, saya menangkap bahwa konsep itu mengandung suatu prinsip filsafat dan sosial yang mendalam. Lalu, kembali kepada sejarah, saya kira hijrah adalah suatu prinsip yang sangat luhur dan merupakan konsep yang sama sekali baru, jadi bukan hanya sekedar suatu peristiwa sejarah yang sederhana. Bahkan para filosof sejarah belum memberi perhatian sewajarnya atas masalah hijrah ini, walaupun selama ini hijrah merupakan faktor utama kebangkitan peradaban sepanjang zaman.
Dalam sejarah kita
mengenal dua puluh tujuh peradaban. Semuanya, tanpa kecuali lahir dari
peristiwa hijrah. Sebaliknya, tidak pernah dicatat dalam sejarah ada suatu suku
primitif yang berkembang menjadi masyarakat yang beradab dan berbudaya tanpa
terlebih dahulu harus meninggalkan tanah asalnya dan berhijrah. Konsep ini,
yang sangat relevan dengan ilmu sejarah dan sosiologi, saya simpulkan dari
studi saya tentang Islam dan dari nada al-Quran membahas dan memerintahkan
hijrah yang terus-menerus dan umum.
Semua peradaban di
dunia ini ―dari yang terbaru, ialah peradaban Amerika, hingga yang paling tua
sepanjang pengetahuan kita, yakni peradaban Sumeria― ternyata tumbuh dari
hijrah. Suatu masyarakat primitif akan tetap primitif selama mereka tidak mau
meninggalkan negerinya sendiri. Mereka baru akan mencapai peradaban setelah
melakukan hijrah dan menetap di suatu negeri baru. Jadi semua peradaban adalah
hasil dari hijrah masyarakat-masyarakat primitif. Demikianlah, saya menemukan
berbagai konsep Islam dan al-Quran, sebanding dengan kadar pengetahuan saya
tentang keduanya, telah menolong saya untuk memahami masalah-masalah sejarah,
secara lebih segar dan lebih tepat. Sadarlah saya, bahwa dengan mempergunakan
istilah-istilah khas dari al-Quran kita bisa menemukan berbagai konsep mengenai
ilmu yang paling modern, yaitu humaniora.
Sekarang, mengenai
sosiologi Islam, saya hendak membahas dilema terbesar sosiologi maupun sejarah:
apakah sebenarnya yang merupakan faktor dasar dalam perubahan dan perkembangan
masyarakat. Faktor dasar apakah yang menyebabkan suatu masyarakat tiba-tiba
berubah dan berkembang, atau tiba-tiba rusak dan merosot? Faktor yang
kadangkala menyebabkan suatu masyarakat berhasil melakukan suatu lompatan
positif ke depan; yang, secara total mengubah watak-nya, semangatnya, tujuannya
dan bentuknya, dalam kurun waktu satu atau dua abad, yang mengubah sama sekali
pola hubungan perseorangan dan sosialnya?
Selama berabad-abad
orang telah berusaha terus-menerus mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini,
terutama sejak 110 tahun terakhir. Semua aliran sosiologi dan sejarah yang
beraneka ragam telah sama mencurahkan perhatian mencari jawabannya. Selalu saja
pertanyaannya ialah: apakah yang merupakan motor sejarah, yang merupakan faktor
dasar dalam perkembangan dan perubahan masyarakat manusia? Berbagai aliran
sosiologi berbeda pendapat mengenai ini; masing-masing menumpukan perhatiannya
pada suatu faktor tertentu. Ada beberapa aliran yang sama sekali tidak percaya
akan sejarah yang menurut mereka tidak lebih dari koleksi kisah kuno yang tidak
berharga. Mereka juga menolak pendapat bahwa sosiologi harus memiliki
hukum-hukum, prinsip-prinsip atau kriteria yang pasti.
Timbullah semacam
anarkisme ilmiah, yang bersikap pesimistis terhadap filsafat sosiologi serta
humaniora, dan berpendapat bahwa yang menjadi faktor dasar tersebut adalah
serba kebetulan. Semua perubahan, kemajuan, kemerosotan dan revolusi yang
dialami sesuatu bangsa adalah akibat dari kebetulan. Umpamanya, tiba-tiba Arab
menyerang Persia; kebetulan Persia kalah dan orang-orang Persia lalu masuk
Islam. Kebetulan Jengis Khan menyerang Persia; kebetulan ketika itu pemerintahan
Persia sedang dalam keadaan lemah, sehingga Persia kalah. Masuklah orang-orang
Mongol ke Persia. Akibatnya kebudayaan serta cara hidup Mongol bercampuraduk
dengan cara hidup Persia Islam, dan terjadilah perubahan. Demikian pula,
perang-perang Dunia Pertama dan Kedua pecah karena kebetulan; mungkin saja itu
tidak sampai terjadi. Ringkasnya, aliran ini menganggap setiap hal sebagai
akibat kebetulan belaka.
Kelompok lainnya
ialah golongan materialis dan mereka yang menganut paham determinisme sejarah.
Menurut mereka, sejarah dan masyarakat, sejak awal mulanya sampai sekarang,
adalah bagaikan sebatang rotan, tidak mempunyai kemauan sendiri. Asalnya ialah
sebutir benih, lalu bertunas, muncul pada permukaan tanah, berakar, beranting,
bercabang dan berdaun, tumbuh menjadi sebatang pohon besar, berubah, layu di
musim dingin, mekar kembali di musim semi, mencapai puncak pertumbuhannya dan
akhirnya ambruk. Kelompok ini percaya bahwa terdapat faktor-faktor serta
hukum-hukum yang menentukan kehidupan masyarakat manusia sepanjang sejarah.
Faktor-faktor dan hukum-hukum itu mempunyai peranan yang sama seperti lainnya
hukum-hukum mengenai alam semesta. Manusia perseorangan tidak dapat
mempengaruhi masyarakatnya. Karena masyarakat adalah gejala alam yang berkembang
sesuai dengan faktor-faktor dan hukum-hukum alam. Kelompok ketiga terdiri atas
mereka yang memuja para pahlawan serta orang-orang besar. Termasuk golongan ini
ialah para penganut Fasisme dan Nazi, ilmuwan seperti Carlyle[6]
yang pernah menulis biografi Rasul Kita. Begitu pula Emerson[7] dan
lain sebagainya. Menurut kelompok ini hukum hanyalah alat mereka yang berkuasa,
karena itu tidak ada pengaruhnya terhadap masyarakat. Orang awam, apalagi dari
kalangan rendah, tidak pernah turut serta dalam perubahan masyarakat; mereka
pun merupakan alat belaka bagi orang-orang lain. Satu-satunya faktor
fundamental untuk mengubah atau memajukan masyarakat, ataupun yang
mengakibatkan kemerosotannya, hanyalah pribadi besar.
Kata Emerson:
Sebutkan kepadaku nama sepuluh orang besar, maka akan kuceritakan kepadamu
seluruh sejarah umat manusia, tanpa terlebih dahulu mempelajarinya. Ceritakan
kepadaku tentang Nabi Islam, maka akan kusampaikan kepadamu seluruh sejarah
Islam. Ceritakan kepadaku tentang Napoleon, akan kuterangkan kepadamu seluruh
sejarah Eropa. Menurut pandangan kelompok ini, nasib masyarakat dan umat
manusia tergenggam dalam tangan orang-orang besar, yang bertindak sebagai
pemimpin masyarakat. Karena itu kebahagiaan maupun kebinasaan suatu masyarakat
tidaklah bergantung pada massa rakyatnya, bukanlah akibat hukum lingkungan dan
masyarakat yang dinasti, bukan pula akibat kebetulan. Semuanya semata-mata
bergantung pada orang-orang besarnya, yang sesekali muncul dalam masyarakat
untuk merubah nasib masyarakat mereka dan adakalanya bahkan nasib umat manusia.
Dalam biografinya
tentang Muhammad Saw, Carlyle menulis sebagai berikut: “Ketika Nabi Islam itu pertama-tama menyampaikan risalahnya kepada
kaum-kerabatnya, maka semuanya menolaknya. Kecuali ‘Ali, waktu itu masih
berusia sepuluh tahun, yang bangkit memenuhi dakwah Nabi dan berikrar setia
kepadanya.” Seterusnya Carlyle menyimpulkan: “Tangan yang kecil itu bergabung dengan tangan yang besar, dan mengubah
jalan sejarah.”
Ada pula pendapat
bahwa rakyat, ialah masyarakat umumnya, mempunyai peranan dalam menentukan
nasib mereka. Namun tidak ada sesuatu ajaran, bahkan juga tidak dalam paham
demokrasi dalam bentuknya yang kuno ataupun yang modern, yang menegaskan bahwa
massa rakyat merupakan faktor fundamental dalam perkembangan dan perubahan
sosial. Menurut berbagai ajaran demokrasi, bentuk pemerintahan terbaik ialah di
mana rakyat turut berpartisipasi di dalamnya. Tetapi sejak zaman demokrasi
Athena hingga dewasa ini, tidak satupun dari ajaran ini yang menegaskan bahwa
massa rakyat menjadi faktor penentu dalam perubahan dan perkembangan sosial.
Bahkan para sosiolog yang paling demokratis pun, meskipun mengakui bahwa bentuk
pemerintahan serta organisasi administratif dan sosial terbaik ialah di mana
rakyat turut berpartisipasi dengan memberikan suara dan memilih pemerintahan mereka,
ternyata tidak menganggap rakyat sebagai faktor dasar perubahan dan
perkembangan sosial. Malah sebaliknya, yang mereka andalkan sebagai faktor
penentu ialah determinisme, pemimpin-pemimpin besar, golongan elite, peristiwa
kebetulan atau kehendak Tuhan.
Para pemuja orang
besar dapat dibagi atas dua golongan. Golongan yang pertama berpendapat bahwa
yang mengubah masyarakat manusia ialah tokoh-tokoh besar seperti Budha, Musa
atau Yesus. Golongan ini adalah pemuja pahlawan murni. Sedangkan menurut
golongan lainnya, yang mula-mula muncul ialah seorang pemimpin, lalu diikuti
sekelompok elite, yang merupakan para genius terkemuka dalam masyarakatnya.
Terbentuklah suatu tim. Tim inilah yang memimpin masyarakat menurut jalan dan
kepada tujuan yang mereka pilih. Golongan ini mungkin tepat disebut pemuja
elite.
Dalam Islam dan
al-Quran tidak ditemukan satupun dari teori-teori di atas. Dalam pandangan
Islam, Rasul merupakan pribadi terbesar; dan jika Islam mengandalkan peranan
Rasul sebagai faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial,
berarti Islam mengakui pula semua nabi, khususnya Nabi Muhammad, sebagai faktor
fundamental. Namun, ternyata tidak demikian. Tugas dan karakteristik Rasul jelas
sekali tertera dalam al-Quran, ialah menyampaikan risalah. Beliau bertanggung
jawab untuk menyampaikan risalah; beliau adalah seorang yang memperingatkan dan
yang menyampaikan berita gembira. Dan ketika Rasul bersedih hati karena umat
tidak menyambut risalah beliau sehingga beliau tidak berhasil memimpin mereka
sebagaimana yang diharapkan beliau, maka berkali-kali Allah menyatakan kepada
beliau bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah, memperingatkan manusia
dan membawa kabar gembira, menunjukkan jalan bagi mereka; sama-sekali beliau
tidak bertanggung-jawab atas keruntuhan ataupun kejayaan mereka, karena yang
bertanggung jawab adalah rakyat sendiri.
Menurut al-Quran,
Rasul bukanlah penyebab aktif perubahan dan perkembangan fundamental dalam sejarah
manusia. Tetapi beliau dilukiskan sebagai pembawa risalah yang bertugas
menunjukkan ajaran dan jalan kebenaran kepada manusia. Dengan berbuat demikian
sempurnalah tugas beliau, dan terserah kepada manusia apakah akan memilih
kebenaran atau mengingkarinya, apakah akan menerima petunjuk atau memilih
kesesatan. Islam tidak mengenal kebetulan, karena semua berada di tangan Allah.
Islam menolak adanya sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tanpa sebab atau
tujuan, baik dalam alam ataupun dalam masyarakat manusia. Bila dalam al-Quran
diceritakan tentang tokoh-tokoh besar, selain para Nabi, maka seringkali itu
dihubungkan dengan kutukan atau cercaan atas mereka. Kalaupun mereka disebut
karena ketakwaan dan kesalehan mereka, namun al-Quran tidak pernah menganggap
mereka sebagai faktor efektif dalam masyarakat mereka.
Maka kesimpulan yang
dapat ditarik dari ajaran al-Quran ialah, bahwa menurut Islam faktor
fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial bukanlah pribadi-pribadi
sang pemimpin, bukan pula kebetulan, ataupun hukum-hukum yang berlaku umum dan
abadi. Pada umumnya, setiap ajaran, setiap agama, setiap Nabi, dialamatkan
kepada mereka yang sekaligus juga merupakan faktor perubahan sosial yang
fundamental dan efektif di dalam ajaran itu. Demikianlah al-Quran dialamatkan
kepada an-nâs, yakni rakyat. Rasul diutus kepada an-nâs, beliau berbicara
kepada an-nâs; an-nâs-lah yang bertanggung-jawab atas perbuatan mereka sendiri;
an-nâs-lah yang menjadi faktor dasar kemerosotan, ringkasnya an-nâs-lah yang
memikul seluruh tanggungjawab terhadap masyarakat dan sejarah.
Kata an-nâs ini
penting sekali. Ada beberapa persamaan dan sinonimnya. Tetapi satu-satunya yang
mirip dengan kata itu, baik secara struktural maupun fonetik, ialah kata
“massa”. Dalam sosiologi, massa terdiri atas segenap rakyat yang merupakan
kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang terdapat dalam
kalangan mereka. Karena itu “massa” berarti rakyat sendiri, tanpa menunjuk
kepada kelas atau bentuk sosial tertentu.
Pengertian an-nâs
tepat sama dengan itu, ialah massa rakyat, tanpa arti tambahan apa-apa.
Al-Quran juga menyebut manusia dengan kata-kata insân dan basyar, tetapi kedua
kata itu masing-masing menunjuk kepada nilai-nilai etis dan hewani yang
terkandung dalam diri manusia. Dari sini
dapat kita tarik kesimpulan berikut. Islam
adalah ajaran sosial pertama yang mengandalkan massa sebagai faktor dasar yang
sadar ―yang menentukan sejarah dan masyarakat bukan mereka yang terpilih
sebagaimana pendapat Nietzsche, bukan para aristokrat dan ningrat sebagaimana
yang dikemukakan Plato, bukan tokoh-tokoh besarnya Carlyle dan Emerson, bukan
mereka yang berdarah murni yang digambarkan oleh Alexis Carrel, bukan pula para
pendeta atau intelektual, melainkan massa.
Keluhuran ajaran
Islam ini akan benar-benar kita sadari bila kita membandingkannya dengan
ajaran-ajaran lain. Kepada siapakah ajaran-ajaran lain itu dialamatkan? Di
antaranya ada yang dialamatkan kepada kelas terpelajar dan intelektual; yang
lain dialamatkan kepada suatu kelompok pilihan tertentu dalam masyarakat. Ada
yang dialamat-kan kepada suatu ras unggul, ada yang dialamatkan kepada manusia-manusia
super, ada yang memusatkan perhatiannya pada suatu kelas tertentu dalam
masyarakat, seperti kelas proletar atau kelas borjuis.
Hak-hak istimewa dan
penghormatan khusus sebagaimana yang dikemukakan oleh ajaran-ajaran di atas
tidak terdapat dalam Islam. Satu-satunya faktor fundamental dalam perubahan dan
perkembangan sosial ialah rakyat, lepas dari bentuk rasial, hak istimewa kelas,
atau karakteristik tertentu. Kita pun dapat menyimpulkan dari al-Quran.
Al-Quran dialamatkan kepada rakyat dan rakyatlah yang menjadi poros serta
faktor fundamental dalam perkembangan dan perubahan sosial. Merekalah yang
bertanggungjawab di hadapan Allah. Tetapi bersamaan dengan itu pribadi-pribadi
besar, kebetulan dan tradisi juga bisa mempengaruhi nasib masyarakat. Jadi, menurut Islam, ada empat faktor fundamental
perkembangan dan perubahan sosial: pribadi besar, tradisi, kebetulan dan an-nâs,
“rakyat”.
Tradisi, sepanjang
ajaran Islam dan al-Quran, mengandung makna bahwa setiap masyarakat memiliki
suatu basis tetap, atau dengan kata-kata al-Quran, setiap masyarakat mempunyai
jalan serta watak tertentu. Dalam semua masyarakat terkandung hukum-hukum yang
pasti dan abadi. Masyarakat adalah bagaikan makhluk hidup; maka seperti halnya
semua organisasi ia mempunyai hukum-hukum yang dapat dibuktikan secara ilmiah
dan tetap. Maka dipandang dari segi tertentu, semua perkembangan dan perubahan
dalam masyarakat terjadi di atas dasar tradisi serta hukum pasti yang merupakan
fondasi kehidupan sosial.
Karena itulah Islam
tampak dekat dengan teori determinisme sejarah dan masyarakat; tetapi dengan
pemahaman yang lebih luas dan dengan modifikasi terhadap hukum determinisme
itu. Menurut Islam, di samping masyarakat manusia (an-nâs) yang bertanggung
jawab atas nasibnya, maka masyarakat pun terdiri atas para perseorangan yang
bertanggungjawab atas keadaan masing-masing. Ayat-ayat al-Quran, “Untuk mereka
apa yang mereka usahakan, dan untuk kalian apa yang kalian perbuat” (QS. 2:
134), dan “Sungguh Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum hingga mereka
mengubah keadaan mereka sendiri” (QS. 13: 11), jelas mengandung makna
pertanggungjawaban sosial. Sebaliknya, ayat “Setiap orang bertanggungjawab atas
usahanya” (QS. 74: 38), menjelaskan tanggung-jawab perseorangan. Karena itu
baik masyarakat maupun perseorangan sama-sama harus mempertanggung-jawabkan
perbuatan-perbuatan mereka di hadapan al-Khaliq, dan masing-masing membangun
nasibnya dengan tangannya sendiri.
Dalam sosiologi,
kedua prinsip ini tampaknya saling-bertentangan. Di satu pihak tanggung-jawab
dan kebebasan manusia untuk mengubah dan memperkembangkan masyarakatnya; sedang
di pihak lain, adanya hukum ilmiah yang pasti lagi menentukan, yang bebas dari
campur-tangan manusia dan merupakan basis tetap untuk perubahan masyarakat.
Tetapi al-Quran menempatkan kedua kutub ini, yakni adanya hukum yang
menentukan, pasti serta tetap dalam masyarakat, berhadapan dengan tanggungjawab
manusia secara kolektif maupun perseorangan untuk perubahan dan perkembangan
sosialnya sedemikian rupa sehingga keduanya tidak lagi saling bertentangan, malahan
bahkan saling melengkapi.
Begitu pulalah halnya
dengan alam. Seorang insinyur pertanian bertanggung-jawab atas pertumbuhan
pepohonan dan tanaman di suatu kebun. Ia bertanggung-jawab bahwa kebun itu akan
menghasilkan buah-buahan terbaik, ia bertanggung jawab memangkas dan
mengairinya. Tetapi sementara itu, ada hukum-hukum tertentu yang berlaku dalam
dunia botani, dan berdasarkan hukum-hukum yang menentukan serta pasti ini
terjadilah perubahan dan perkembangan pada tetanaman dan pepohonan itu.
Maka sesuai dengan
tingkat pengetahuan dan informasinya, manusia dapat memanfaatkan hukum yang
inheren dalam tanaman itu, hukum yang pada dirinya sendiri tidak pernah
berubah. Seorang insinyur pertanian tidak akan pernah dapat menetapkan hukum
botani yang baik, ataupun menghapus yang sudah ada. Hukum-hukum itu, yang
terkandung dalam alam menuntut perhatian sang insiyur. Meskipun ia tidak
berarti mampu mengubahnya, namun dengan intervensi ilmiahnya ia bisa melakukan
manipulasi terhadap praktik-praktik serta hukum botani yang tetap itu, sehingga
ia beroleh manfaat dari hukum yang tidak dapat diubahnya itu. Atas dasar
bentuknya yang baru, yang sepenuhnya berada dalam ruang lingkup hukum yang ada,
maka buah yang tadinya bermutu rendah atau sedang saja oleh para insinyur dapat
ditingkatkan menjadi lebih bernilai.
Tanggung-jawab
manusia dalam masyarakat persis seperti itu. Masyarakat, bagaikan kebun,
memiliki norma dan pola yang ditetapkan Allah. Atas dasar itulah berlangsung
perkembangan dan evolusi masyarakat. Bersamaan dengan itu manusia memikul
tanggung-jawab. Ia tidak dapat mengelakkan pertanggung-jawabannya dengan
menganut fatalisme Khayyami atau determinisme sejarah. Ia harus bertanggung-jawab
atas nasib masyarakatnya. Al-Quran menyatakan, bahwa terdapat hukum yang pasti
yang mendasari masyarakat, namun al-Quran pun tidak menyangkal tanggung-jawab
manusia. Menurut ajaran al-Quran, manusia bertanggung-jawab untuk mengetahui
secara tepat norma-norma masyarakat dan memperbaikinya demi kemajuan
masyarakatnya. Bagaimanakah caranya? Ialah dengan pengetahuannya sendiri.
Kenapa seorang
insinyur pertanian lebih bertanggungjawab untuk memelihara dan meningkatkan
hasil sebidang kebun, dibandingkan dengan orang-orang lain? Karena ia lebih
mengetahui norma-norma kebun itu. Sebagai akibatnya, ia lebih bebas mengubah
keadaan pepohonan dan tanaman di dalamnya. Begitu pula, semakin luas
pengetahuan seseorang tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,semakin
besar pula tanggung-jawabnya untuk mengubah serta mengembangkan masyarakat, dan
semakin besar pulalah kebebasannya untuk berbuat itu. Islam, sebagai suatu
ajaran sosiologi ilmiah, mengajukan bahwa perubahan dan perkembangan sosial
tidak dapat didasarkan atas kebetulan. Karena masyarakat merupakan suatu
organisme hidup, memiliki norma-norma yang tetap dan dapat dibuktikan secara
ilmiah.
Selanjutnya, manusia
memiliki kemerdekaan dan kehendak bebas, sehingga sekali ia mengetahui norma-norma
masyarakat, maka ia bisa melakukan intervensi dalam operasi norma-norma itu,
dan dengan memanipulasinya ia bisa merencanakan dan meletakkan dasar untuk masa
depan yang lebih baik bagi perseorangan maupun masyarakat. Demikianlah di satu
pihak terdapat pertanggungjawaban manusia, sedang di pihak lain ialah
kepercayaan bahwa masyarakat, sebagaimana suatu organisme hidup, didasarkan
atas hukum tetap yang bisa dibuktikan secara ilmiah.
Dari sudut pandang
sosiologi, kiranya ini bisa turut menjelaskan maksud suatu ungkapan terkenal, “Bukan determinisme dan bukan kehendak bebas
mutlak, melainkan tengah-tengahnya”.[8] Maka di satu pihak
terdapat manusia, ekivalen dari kehendak ― sedang di pihak lain ialah
masyarakat, ekivalen dari norma. Norma (sunnah), dalam istilah al-Quran, ialah
sesuatu yang tidak berubah. Manusia berhadapan dengan yang bertanggung-jawab
langsung demi kehidupan perseorangan maupun masyarakatnya. Kombinasi keduanya
ialah “posisi tengah”. Manusia bebas berbuat dan bertindak. Tetapi untuk dapat
merealisasikan kebebasannya ia harus memperhatikan hukum-hukum alam yang ada.
Pribadi besar,
menurut ajaran Islam, tidak dengan sendirinya menjadi faktor kreatif. Bahkan para
nabi bukan merupakan orang-orang yang menciptakan norma-norma baru dalam
masyarakat. Dari sudut pandangan sosiologi, kelebihan para nabi dibandingkan
dengan guru-guru serta tokoh-tokoh pembaruan biasa lainnya terlepas dari
derajat kenabian sendiri ialah bahwa mereka memiliki pengetahuan yang lebih
baik tentang norma-norma ilahi yang terdapat dalam alam dan dunia. Itulah
sebabnya mereka lebih mampu mempergunakan kebebasannya sebagai manusia untuk
bergerak maju mencapai cita-citanya dalam masyarakat. Sejarah telah membuktikan
sepenuhnya kebenaran bahwa para nabi selalu lebih berhasil daripada tokoh-tokoh
pembaruan yang bukan nabi.
Tokoh-tokoh pembaruan
adakalanya berhasil mengemukakan tesa-tesa dari prinsip-prinsip yang indah
dalam tulisan-tulisan mereka, namun mereka tidak pernah mampu mengubah
masyarakat atau menciptakan suatu peradaban. Sebaliknya para nabi telah
berhasil membangun masyarakat, peradaban dan sejarah baru. Bukan karena mereka
telah menyusun norma baru yang bertentangan dengan kehendak Ilahi ― sebagaimana
mungkin dinyatakan oleh para penganut fasis serta pemuja pahlawan ― tetapi
karena dengan daya kenabian dan bakat istimewa, mereka telah menemukan
norma-norma Ilahi dalam masyarakat maupun alam. Dengan menyelaraskan kehendak
mereka dengan norma-norma ini, mereka berhasil melaksanakan tugas dan mencapai
tujuan mereka. “(Hukum) Kebetulan” dalam artian filosofis, juga tidak terdapat
dalam ajaran Islam. Karena intervensi Allah senantiasa berlangsung dalam setiap
hal. Lagi pula, karena tidak mengandung sebab yang logis atau tujuan akhir,
maka tidak mungkin ada kebetulan dalam masyarakat, alam ataupun kehidupan.
Namun, dalam
pengertian khusus, dalam nasib manusia terdapat suatu bentuk kebetulan
tertentu. Misalnya Jengis Khan muncul di Mongolia, memegang tampuk kekuasaan
sesuai dengan norma-norma sosial, dan berhasil menghimpun kekuatan yang besar.
Tetapi kekalahan Persia di tangan Jengis Khan adalah suatu kebetulan, itu
mungkin saja tidak sampai terjadi. Kebetulan-kebetulan semacam ini bisa sangat
mempengaruhi nasib masyarakat-masyarakat tertentu. Ringkasnya, ada empat faktor yang mempengaruhi nasib
masyarakat: pribadi besar, kebetulan, norma dan rakyat (an-nâs). Di
antaranya dua yang terpenting ialah an-nâs dan norma, karena an-nâs merupakan
kehendak massa rakyat, sedangkan norma adalah hukum-hukum yang hidup dalam
masyarakat dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
Dalam ajaran Islam,
pribadi-pribadi besar ialah mereka yang memahami norma-norma Ilahi, yang telah
menemukan norma-norma ini dari Kitab Suci (khususnya Kitab Suci Islam, sumber
hikmah dan hidayah), dan mempergunakan Kitab itu sebagai kunci keberhasilan
mereka. Pengaruh umum keempat faktor ini dalam suatu masyarakat tertentu secara
proporsional bergantung pada keadaan masyarakat tersebut. Dalam masyarakat di
mana an-nâs, massa rakyat, telah mencapai kemajuan serta taraf pendidikan dan
kebudayaan yang tinggi, peranan orang-orang besar menjadi berkurang. Tetapi
dalam masyarakat yang belum sampai pada taraf peradaban demikian, misalnya pada
suatu kabilah yang masih terbelakang, peranan seorang tokoh atau pemimpin
mungkin sangat besar. Pada setiap masyarakat, sesuai dengan kemajuan atau
keterbelakangan, salah satu dari keempat faktor tersebut akan lebih terpengaruh
daripada ketiga lainnya.
Dalam ajaran Islam,
pribadi Rasul mempunyai peranan dasar dan konstruktif dalam membawa perubahan,
perkembangan dan kemajuan, dalam membangun peradaban yang akan datang serta
dalam mengubah jalan sejarah. Sebabnya ialah karena beliau tampil di suatu
lokasi khusus, semenanjung Arabia, yang dari sudut pandangan peradaban
keadaannya sama dengan letak geografisnya. Jazirah itu dikitari ketiga sisinya
oleh lautan, tetapi ia senantiasa haus dan gersang. Ia bertetangga dengan
peradaban-peradaban besar dalam sejarah: di utara, peradaban Yunani dan
Bizantium; di Timur, peradaban Persia; di tenggara, peradaban India; di
barat-laut, peradaban Iram-Ibrani. Ia pun bertetangga dengan agama-agama Musa,
‘Isa dan Zarathustra, maupun dengan keseluruhan peradaban Aria dan Semit. Pada
waktu tampilnya Rasul Islam, semua peradaban yang ada mengumpul sekeliling
jazirah Arabia. Namun karena lokasi geografisnya yang khusus maka sebagaimana
halnya mega yang menguap dari lautan sekelilingnya tidak sampai menurunkan
hujan atas negeri itu, begitu pula peradaban-peradaban sekitarnya tidak sampai
membekas di jazirah itu. Dalam keadaan demikianlah hadir Rasul Islam. Sehingga
pribadinya, menurut kacamata sosiolog, bangkit menjadi faktor terbesar dalam
perubahan serta perkembangan masyarakat dan sejarah. Demikian pula halnya,
seorang sejarawan yang mempelajari kejadian besar di jazirah Arabia pada abad
ketujuh (Miladia) itu akan melihat bahwa peristiwa itu telah menyerap semua
yang berada sekelilingnya dan telah meletakkan dasar bagi suatu peradaban besar
dan masyarakat baru yang luhur. Bila sang sejarawan lalu mempelajari keadaan
jazirah itu dan mengetahui betapa kosongnya budaya dan peradabannya, dengan taraf
hidup rakyatnya yang sangat rendah, maka hidup akan sangat cenderung mengaitkan
tanda-tanda perubahan dan perkembangan ini, revolusi yang paling mendasar dan
paling besar dalam sejarah ini, kepada pribadi Muhammad bin ‘Abdullah.
Demikianlah pribadi Rasul mendapat status khusus dan sungguh istimewa.
Pada umumnya ada lima
faktor yang membangun pribadi seseorang. Pertama,
ibunya yang memberikan kepadanya struktur dan dan dimensi ruhaniahnya. Kata
orang-orang Jesuit, “Serahkanlah anakmu kepadaku hingga hidup berumur tujuh
tahun, maka ke mana pun hidup pergi akan tetap menjadi seorang Jesuit hinggga
akhir hayatnya”. Penuh kasih dan lembut sambil membelai dan menyusuinva sang
ibu memelihara ruhani serta menanamkan pendidikan awal pada anaknya. Faktor kedua
yang membentuk kepribadian seseorang ialah ayahnya, yang sesudah sang ibu
memberikan dimensi lain pada si ruhani anak. Faktor ketiga yang membentuk
dimensi seseorang yang lebih lahiriah ialah sekolahnya. Faktor keempat
ialah masyarakat dan lingkungan. Semakin kuat lingkungannya maka semakin
besarlah pengaruh edukatifnya atas seseorang. Seseorang yang hidup di desa,
misalnya akan menerima pengaruh formatif yang lebih sedikit dari lingkungannya
ketimbang orang yang hidup di kota besar. Faktor edukatif kelima yang membentuk
kepribadian ialah kebudayaan umum masyarakat ataupun kebudayaan umum dunia
secara keseluruhan.
Jadi ada lima dimensi
yang secara bersama menjadi acuan kepribadian seseorang. Ke dalam acuan itulah
ruhani seseorang dituangkan dan dari acuan itu pula ia menerima bentuknya.
Pendidikan terdiri atas bentuk khusus yang secara sengaja diberikan kepada
ruhani manusia demi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebab jika orang
dibiarkan berbuat semaunya, maka pertumbuhannya tidak akan sesuai dengan
tujuan-tujuan kehidupan sosial. Karena itulah kita mempersiapkan acuan-acuan
tertentu untuk manusia. Dalam acuan itulah mereka tumbuh dan berkembang sesuai
dengan keinginan kita dan tuntutan zaman.
Tetapi dalam
kehidupan Rasul Islam, yang kepribadian beliau harus dianggap sebagai faktor
terbesar dalam perubahan sejarah, ternyata tidak satu pun dari faktor-faktor
tersebut yang telah mempengaruhi ruhani beliau. Sebaliknya, Allah sengaja
menghendaki bahwa ruhani beliau bebas dari acuan atau bentuk, agar ruhani
beliau tidak sampai tersentuh oleh bentuk buatan ataupun yang ditanamkan
menurut selera zaman dan lingkungan. Sebab pribadi besar itu justru hadir untuk
menghancurkan segala acuan. Andaikata beliau sempat tumbuh dalam salah satu
acuan demikian, tentulah beliau tidak akan pernah berhasil melaksanakan tugas
beliau. Mungkin, misalnya, beliau menjadi seorang dokter besar, tetapi hanya
menurut model Yunani; mungkin beliau menjadi seorang filosof besar, tetapi
hanya menurut model Persia; mungkin beliau menjadi seorang matematikus atau
penyair besar, tetapi hanya model yang diperkenankan zaman. Bagaimanapun juga
beliau diutus untuk tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan yang kosong
dari kebudayaan dan peradaban agar terhindar dari sentuhan pengaruh kelima
faktor tersebut di atas.
Itulah sebabnya Rasul
dilahirkan dalam keadaan yatim. Meskipun mempunyai ibu, namun beliau
terpelihara dari segala bentuk dan acuan. Sejak awal kanak-kanaknya beliau
telah dihijrahkan ke gurun pasir, padahal ibunda beliau masih hidup. Menjadi
kebiasaan orang Arab ketika itu untuk mengirimkan bayi mereka ke desa-desa di
gurun pasir, sampai mereka berumur dua tahun, sehingga masa kanak-kanak mereka
lewatkan di gurun. Sesudah itu barulah mereka kembali ke kota untuk diasuh dan dibesarkan
oleh ibu mereka sendiri. Bertentangan dengan kebiasaan ini, Muhammad Rasulullah
begitu pulang ke Makkah kembali lagi ke gurun, dan tinggal di sana hingga
beliau berusia lima tahun. Ibunda beliau wafat tidak lama kemudian.
Langkah-langkah Ilahi yang penuh hikmah dan gaib telah memelihara, dari
pengaruh semua bentuk dan acuan, seorang anak yang telah ditakdirkan untuk
menghancurkan semua acuan yang ada ―acuan-acuan Yunani, Timur, Barat, Yahudi,
Nasrani, Zarathustra― dan untuk membentuk suatu acuan baru. Kemudian kembali
tangan Allah dan nasib mengarahkannya dari kota ke gurun, dengan dalih meniadi
gembala, agar lingkungan kota jangan sampai mengesankan bentuk kodian pada jiwa
yang harus berkembang bebas. Lagi pula, agar supaya jangan sampai ada pengaruh
masyarakat dan zaman atas Rasul, maka beliau telah dilahirkan dalam suatu
masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan umum. Tambahan lagi, beliau adalah
buta-huruf ―tidak bisa membaca dan menulis― agar acuan sekolah pun tidak sampai
membekas pada beliau.
Jelaslah bahwa
keistimewaan serta kelebihan terbesar seorang yang harus melaksanakan tugas
semacam itu adalah justru bahwa ia dibebaskan dari segala macam bentuk dan
acuan yang telah diterima zamannya, yang membentuk manusia menurut suatu
stereotip. Karena orang yang ditakdirkan untuk membinasakan segala berhala,
menutup semua akademi dan menggantikannya dengan masjid, orang yang ditakdirkan
untuk menghancurkan semua bentuk dan acuan rasial, nasional maupun regional,
sekali-kali tidak boleh sampai menerima pengaruh sesuatu bentuk demikian.
Mula-mula ayahanda
beliau diambil agar dimensi-dimensi sang ayah jangan sampai membekas pada jiwa
Rasul. Lalu ibunda beliau dijauhkan daripada beliau agar supaya kelembutan
kasih mesra keibuannya jangan sampai meninabobokkan jiwa yang harus tegas dan
perkasa. Tambahan pula, beliau dilahirkan di suatu jazirah gersang, jauh dari
kebudayaan universal, agar supaya jiwa beliau jangan sampai tersentuh pengaruh
edukatif sesuatu kebudayaan, peradaban atau agama. Karena jiwa yang ditakdirkan
untuk memikul dan melaksanakan tugas luar biasa tidak bisa dibentuk menurut
bentuk biasa. Apa yang tampak sebagai kekurangan ini justru sebenarnya
merupakan keuntungan dan keistimewaan untuk hidup yang diberi amanah dengan
peranan terbesar dalam peristiwa sejarah, terbesar.
Sumber: Ali
Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah
Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda, Muharram 1422/April
2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar