Kamis, 02 April 2015

Husain Pewaris Adam, Sketsa Biografis Ali Syari’ati



Ya, kesadaran, kepekaan, keberanian berpikir, keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu –semua ini adalah sifat-sifat agung manusia yang ditemukannya pada pribadi ‘Ain al-Quzat dan didambakannya sendiri. Dan dengan ketajaman rasanya dia sadar bahwa dia pun akan mengalami nasib seperti ‘Ain al-Quzat, mati dini dalam usia muda. Karena itu, tidak mengherankan, dia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan dan tidak pernah gentar mengemukakan pendapatnya. Tetapi dia tahu, bahwa dalam masyarakat yang terdiri atas golongan tertindas dan terhina, dalam masa kejahilan, di tengah gurun kealpaan atau lebih tepat lagi, dalam masa di mana orang mengambil sikap melupakan dan mengabaikan kebenaran ―kesadaran dan kepekaan tidak lagi identik dengan keberanian berpikir dan kekuatan kalbu. Sebaliknya, mutu intelektualitas telah jadi identik dengan ambisi dan hasrat akan kedudukan. Keadaan ini justru menyebabkan penindasan dan penghinaan terhadap mereka yang sadar.

Dia (Ali Syari’ati), dengan senyum pahit, mengecam para intelektual yang tidak memiliki keberanian, bahkan malah turut serta dalam korupsi; mereka senantiasa menanti bingung di persimpangan jalan dan tidak berani maju menghadapi ujian karena takut gagal.

Baginya, jalan yang telah dipilihnya bukan merupakan “langkah pertama”, melainkan seluruh hidupnya. Sedangkan sikap bimbang ragu adalah sikap penghambaan intelektual, yang secara metaforis kita sebut sebagai “intelektualisme”. Seluruh hidupnya yang singkat tetapi berarti telah digunakannya untuk berjuang secara berani, dan dengan segenap daya dan kemampuan menentang lawan pikiran dan kemanusiaan yang kawakan ini.

Sementara itu, dia melancarkan perlawanan terhadap kebiasaan untuk menganggap sesuatu yang aktual sebagai hal yang normal dan wajar sehingga dirasakan tidak perlu menggantinya dengan yang ideal; terhadap pandangan bahwa hidup manusia adalah sia-sia dan tanpa arti; terhadap kedangkalan dan kesombongan; terhadap candu yang bukan saja telah merasuk sebagian terbesar umat, tetapi bahkan sekelompok pengawal agama tauhid, melenakan mereka dalam keadaan antara tidur dan jaga, dalam lamunan hampa dan telah menyelewengkan mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan yang ditandai oleh jatuh-bangun ―jalan yang menuntut keyakinan serta hati-nurani yang waspada.

Dia melancarkan jihad terus-menerus terhadap kekejian zaman dan masyarakat kita, masyarakat yang telah layu akarnya. Maka untuk menyirami akar yang telah layu itu seruannya harus dikorbankan, termasuk hidup sendiri, dengan cara menjadi syahid!

“Aku tidak bisa tinggal diam dan tidak mengatakan sesuatu. Bila aku diam, rasanya aku bagaikan seorang yang sedang sekarat yang tahu bahwa kedamaian dan keselamatan sedang menantinya, yang telah jemu akan kesukaran hidup, yang tidak dapat berbuat lain terkecuali menanti sepanjang hayat...Tidakkah kau lihat betapa nikmat dan damainya kematian seorang syahid? Bagi mereka yang terbiasa akan rutin harian, kematian merupakan tragedi yang seram, penghentian yang dahsyat dari segalanya: lenyap dalam ketiadaan. Alangkah agungnya mereka yang memperhatikan amar yang menakjubkan ini dan mengamalkannya ― “Matilah sebelum engkau mati” (Kavir, hal. 55).

Setiap orang yang mengenal Dr. Syari’ati tahu benar bahwa mempelajari dan membaca karya serta buah pikirannya bukan saja bermanfaat tetapi juga bahwa cara hidupnya merupakan refleksi pandangan dunianya yang tepat dan mendalam, seberkas sinar yang memancar dari imannya. Berikut ini akan kami kemukakan sekadar garis besar saja, suatu sketsa kehidupan yang sarat dengan amal, kegiatan, keyakinan, cinta serta tanggungjawab ―kehidupan seorang manusia yang sadar dan penuh bakti. Atas penyajian kami yang kurang memadai ini kami mohon maaf kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya.

Sketsa Hidupnya
Sungguh, yang menjadi masalah baginya bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana melangsungkannya dan apa tujuannya. Karena itulah sejak awal dia sudah bergulat untuk memberi bentuk dan arti bagi hidupnya. Selain itu dia pun menyadari benar, betapa berat amanah yang diwarisinya dari leluhurnya. Dia ingin memikul amanah itu sebaik-baiknya sampai ke tempat tujuan, dan sebagaimana tercatat dalam surat terakhirnya, sekejap pun dia tidak pernah menyia-nyiakan atau membiarkan waktunya berlalu tanpa manfaat dan hasil:

“Berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, yang kasih ajaib-Nya menimbulkan malu dan perih dalam hatiku dan hampir membuat batinku guncang meledak, karena kukira aku tidak pantas untuk itu, telah kutempuh jalan itu sehingga aku tidak dapat membiarkan sekejap pun dari hidupku untuk kesenangan pribadi. Kiranya Allah melimpahkan kurnia pertolongan-Nya kepadaku dalam mengatasi kelemahanku, dan adakah nikmat yang lebih besar dari ini, bahwa hidupku yang tadinya tidak akan karuan, ditakdirkan harus begini?” (Dari surat terakhir Syari’ati kepada ayahandanya).

Hidupnya tidak hanya untuk mendukung amanah yang diwarisinya dan leluhurnya, tetapi juga untuk menuntut kebenaran dan keadilan yang sepanjang sejarah di setiap zaman merupakan amanah mereka yang tertindas, terhina dan teraniaya, amanah yang telah dimanifestasikan sepenuhnya oleh Husain, pewaris Adam, beban yang telah dibawa oleh Zainab ke dalam istana Yazid di Damsyik, beban yang semakin hari terasa semakin berat di pundak para pengabdi Allah.
Kesepian, keterasingan, kegagalan, kekecewaan dan penderitaan jelas terlihat di gurun itu berlumur darah; di angkatnya kepalanya di atas gelimang merah syuhada, dan tegak senyap, seorang diri (Husain Pewaris Adam, hal. 16-17).

Dia meyakininya sebagai warisan filsafat dan iman Islam untuk membangun suatu kesinambungan yang terarah dan mengaliri aneka peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi di berbagai waktu dan tempat. Satu sama lain para syuhada itu dihubungkan oleh kesinambungan ini; mereka lahir dan mereka mati akibat suatu sebab logis dan hukum ilmiah; mereka saling meneruskan serta saling mempengaruhi; dan masing-masing menjadi mata rantai dari suatu rangkaian yang merentang sejak awal kemanusiaan, Adam, hingga berakhirnya sistem kontradiksi dan pertarungan di akhir zaman. Kesinambungan yang logis ini, gerakan maju yang pasti ini, dikenal sebagai sejarah.

Tidak pernah sekejap pun dia melupakan amanah sejarah yang berat ini, yang diwarisinya dari leluhurnya dan menyinari seluruh hayatnya. Hidupnya bermula di gurun pasir dan berakhir pada saat dia menemukan ideologi historis dan sosial yang utuh, suatu risalah yang merupakan panduan intelektual bagi angkatan muda, suatu usaha menemukan kembali “jalan tengah” yang didambakan zaman kita. Secara sadar dia melangkah sepanjang garis nasib mereka yang menderita kepedihan zaman, maka bertambahlah seorang lagi bilangan para syuhada dalam sejarah ―Suatu esensi suci pantaslah menerima kurnia Allah; Tidak setiap batu dan bungkal bisa menjadi marjan dan mutiara.

Tidaklah kebetulan, sebagaimana halnya banyak tokoh besar di bidang ilmu dan agama, hidup Syari’ati berakar di pedesaan. Dia benar-benar bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka pada masa mereka, karena mereka telah memilih jalan hidup menyepi di gurun Kavir[2], menghindari hingar-bingar kehidupan kota. Marilah kita ikuti kata-katanya sendiri:

“Lebih kurang delapan puluh lima tahun yang lalu, sebelum bermulanya Revolusi Konstitusional, kakekku belajar ilmu kalam, filsafat dan fiqh pada pamannya dari pihak ibu, Allamah Bahmanabadi, dan dia biasa terlihat dalam perdebatan filsafat dengan Hakim Asrar. Meskipun tinggalnya jauh dan terpencil di desa Bahmanabad dekat Mazinan, dia terkenal di kalangan terpelajar Teheran, Masyhad, Isfahan, Bukhara dan Najaf. Terutama di Teheran dia dianggap sebagai seorang genius, sehingga Nasiruddin Syah lalu mengundangnya ke ibukota. Di sana dia mengajar filsafat di madrasah Sipahsalar. Tetapi rupanya hasratnya untuk menyendiri dan menyepi menggetar kuat dalam kalbunya menariknya pulang kembali ke Bahmanabad. Padahal sebenarnya kedudukannya sudah mantap di ibukota, sehingga kalau mau dia bisa memperoleh jabatan, kekuasaan, menjadi tokoh masyarakat serta menikmati kemasyhuran dan pengaruhnya. Namun secara sadar semua itu ditinggalkannya”.

Banyak yang diperoleh Syari’ati dari leluhurnya; dia belajar filsafat untuk tetap menjadi manusia di tengah-tengah kehidupan yang telah tercemar, di kala terasa sekali betapa sukarnya untuk tetap menjadi manusia, di kala seruan jihad perlu diulang setiap hari, dan di kala jihad tidak mungkin dilancarkan.

“Akhund Hakim ialah kakekku dari pihak ibu. Alangkah mengasyikkan cerita mereka tentangnya kepadaku. Dari cerita-cerita inilah berasal perasaan yang dalam serta tanpa sadar di lubuk jiwaku... Seakan-akan dapat kulihat diriku hidup dalam dirinya limapuluh atau delapanpuluh tahun yang lalu... dan aku berterima kasih kepadanya karena apa adanya dan karena apa yang dilakukannya” (Kavir, hal. 9, dan seterusnya).

Pamannya dari pihak ibu pun merupakan salah seorang murid terkemuka dari ulama termasyhur, Adib Nisyapuri. Tetapi, setelah belajar fiqh, filsafat dan sastra, dia mengikuti jejak leluhurnya, kembali ke Mazinan. Syari’ati mengambil alih seluruh amanah kemanusiaan dan intelektual yang diwariskan leluhurnya. Dia merasa bahwa mereka tetap hidup dalam dirinya dan menerangi jalan yang ditempuhnya. Namun, ayahandanyalah yang sebenarnya menjadi guru ruhaninya yang utama. Maka jadilah sang anak refleksi yang benderang dari esensi ayahandanya.

“Ayahku merombak tradisi dan tidak pulang kembali ke desa setelah menyelesaikan pelajarannya. Dia tinggal di kota dan berjuang gigih mempertahankan dirinya dengan ilmu, cinta-kasih dan jihad di tengah-tengah gelimang noda kehidupan kota...Diriku adalah hasil keputusannya untuk tetap di kota, dan akulah satu-satunya yang mewarisi semua kekayaan yang ditinggalkannya, harta yang berupa kemiskinan... Akulah pendukung amanah kinasihnya yang teramat berat... (Kavir, hal. 19).

Terutama yang menjadi perhatiannya ialah untuk mengembalikan para remaja terpelajar modern kepada Iman dan Islam, menyelamatkan mereka dari materialisme, pemujaan terhadap Barat dan permusuhan rerhadap agama. “Ide yang berkembang dalam beberapa tahun belakangan untuk mempergunakan al-Quran sebagai sarana sentra dalam mengajarkan, mempelajari serta menyiarkan Islam dan Syi’ah, begitupun ide untuk mendirikan suatu sekolah khusus tafsir al-Quran terutama berasal dari dia” (Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 162).

Kami menggarisbawahi pengaruh ayahnya atas diri Syari’ati, karena sebagaimana setiap orang yang mengenal cendekiawan yang berhati mulia ini kiranya bisa menyetujui ini akan membantu kita memahami berbagai dimensi kehidupan Syari’ati. Sekaligus itupun merupakan bukti, bahwa jika seorang genius dan cerdas ditempatkan di bawah asuhan seorang guru yang cakap, bila dia menerima pendidikan dalam kondisi yang memadai, maka dia akan mampu mematahkan batas-batas keawaman, menelanjangi zamannya sendiri. Dia tidak akan sekadar menjadi penerima, melainkan akan tumbuh menjadi sumber yang berwibawa; dia tidak akan pernah bersikap pasif, melainkan akan aktif senantiasa.

Mereka yang mengenal Syari’ati tua dan mengamati aneka dimensi kehidupannya, yaitu dimensi-dimensi kearifan, religius, sosial, politik serta manusiawinya, tahu betul akan pengabdiannya, ketekunannya, daya tahannya, kedalaman pengetahuannya. Mereka pun mengenal tulisan-tulisannya di bidang agama maupun di bidang filsafat, seperti: Khilafah dan Wilayah dalam al-Quran dan Sunnah; Wahyu dan Kenabian; ‘Ali, Saksi Risalah; Janji Agama-Agama; Guna dan Keperluan Agama; Ilmu Ekonomi Islam, dan terutama Tafsir Modern (Tafsir-i Nuvin)-nya.

Akhirnya mereka tahu betul akan keberaniannya menentang semua anasir yang membekukan dan membunuh bakat, yang bahkan terdapat di universitas-universitas serta lingkungan Islam. Mereka menyadari peranannya yang penting dalam mengubah metode pendekatan terhadap masalah-masalah Islam dan dalam memilih metode penelitiannya yang tepat di zaman edan ini. Tidak banyak, dewasa ini, bapak dan anak semacam mereka.

“Ayahku membentuk dimensi-dimensi pertama batinku. Dialah yang mula-mula mengajarku seni berpikir dan seni menjadi manusia. Begitu ibu menyapihku, ayah memberikan kepadaku cita kemerdekaan, mobilitas, kesucian, ketekunan, keikhlasan serta kebebasan batin. Hiduplah yang memperkenalkan aku kepada sahabat-sahabatnya ― ialah buku-bukunya; mereka menjadi sahabat-sahabatku yang tetap dan karib sejak tahun-tahun permulaan sekolahku. Aku tumbuh dan dewasa dalam perpustakannya, yang merupakan keseluruhan hidupnya dan keluarganya. Banyak hal yang sebetulnya baru akan kupelajari kelak bila aku telah dewasa, melalui rangkaian pengalaman yang panjang serta harus kubayar dengan usaha dan perjuangan yang lama, tetapi ayahku telah menurunkannya kepadaku sejak masa kanak-kanak dan remajaku secara mudah dan spontan. Aku dapat mengingat kembali setiap bukunya, bahkan bentuk sampulnya. Teramatlah cintaku akan ruang yang baik dan suci itu; bagiku ia merupakan sari masa lampauku yang manis, indah, tetapi jauh (Ali Syari’ati, Menjawab Beberapa Soal, hal. 89).

Tetapi mereka yang genius dan berbakat selalu mematah batas lingkungan dan menelanjangi zamannya. Seorang genius selalu menganggap kaidah-kaidah yang ada sekadar sebagai titik-tolak untuk lompatan kreatif ke depan. Tidak pernah ia membiarkan diri dikungkung dan dikekang oleh lingkungannya. Syari’ati menyadari benar akan batasan lingkungannya maupun tentang bentuk-bentuk tradisional di sekitarnya. Namun ia tidak akan menyerah. Bahkan ia telah bertekad untuk mengatasi semua itu, mengarahkannya sesuai dengan keyakinannya. Dan ia berhasil. Ia mengajar sambil belajar, dan berkembang secara intelektual dalam berbagai hal sehingga setiap orang tahu bahwa ia telah melangkah melampaui batas lingkungan dan zamannya.

Bakat, lingkungan yang sesuai dan terutama keyakinan akan kebenaran Islam, bergabung dengan keikhlasan pemikiran dan sikap intelektual dan personal, semua itu telah dimanfaatkan Syari’ati sebaik-baiknya demi cita-citanya yang luhur. Berikut adalah catatannya tentang lingkungan dan pendidikannya.

“Alangkah besar berkas yang dikurniakan dalam hidupku. Tidak mungkin aku menilainya. Tidak seorang pun yang seberuntungku dalam hidup ini. Nasib telah mempertemukan aku dengan pribadi, pribadi yang luar-biasa, besar, indah, bersemangat serta kreatif, rasanya mereka berada dalam diriku. Bahkan sekarang pun bisa kuhayati kehadiran mereka di dalam diriku, dan aku hidup melalui mereka dan dalam mereka... (Kavir, hal. 88)[3]

Sebagaimana halnya dengan pribadi-pribadi besar yang pernah menjadi gurunya, maupun orang lain yang telah menggairahkan zikir dan jihad kepadanya, begitu juga berbagai aspek ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan cita-citanya, hidupnya selalu dalam keadaan tafakkur, bergerak dan tanggung-jawab, berjuang demi kesempurnaan dan keabadian. Namun hidupnya tidak pernah merusak hubungannya dengan lingkungannya semula maupun keluarganya dan tidak pernah ia melupakan gurun Kavir. Setiap kali orang menyebut Mazinan memancarkan senyum bahagia pada wajahnya.

Masa kanak-kanak dan remajanya biasa saja, tidak berbeda dengan siswa lainnya. Ia sekolah, turut ujian, setiap tahun naik kelas, mula-mula di sekolah dasar lalu di sekolah lanjutan. Sementara itu ia pun sibuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama. Setamat sekolah lanjutan atas, karena senang akan profesi guru, ia masuk ke sekolah keguruan yang waktu itu merupakan lembaga yang harum dan penting, mempersiapkan mereka, yang karena suatu dan lain hal tidak bisa masuk ke universitas, untuk menjadi guru. Waktu itulah ia memulai kariernya sebagai penulis dengan karya-karyanya antara lain Pendidikan Tengah (Maktab-e Wasita), mengenai filsafat sejarah. Ia pun menyampaikan ceramah-ceramah di hadapan para mahasiswa dan intelektual di Pusat Dakwah Islam di Masyhad.

Yang terutama membentuk dan mempengaruhi jalan pikirannya bukanlah program studinya yang konvensional. Juga bukan pendidikan tingginya di luar negeri. Melainkan kegemarannya untuk belajar dan berpikir, serta kreativitas dan tanggung-jawab yang berasal dari keyakinan Islamnya yang teguh. Begitu pun dari lingkungan pertamanya, yang senantiasa menjadi sumber petunjuk baginya. Pusat Dakwah Islam di Masyhad, yang selama tigapuluh tahun menjadi pusat kegiatan intelektual Muslim di kota itu, banyak berjasa kepadanya. Sebaliknya ia pun berperanan besar dalam kegiatan-kegiatan pusat dakwah itu dengan memberikan ceramah-ceramah, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan memimpin pertemuan-pertemuan.

Sejak dari mula, ia sangat gemar menulis dan memberi ceramah sebagai sarana pengembangan intelektual dan pendalaman iman. Apalagi ia memang memiliki kelancaran lisan dan ketajaman tulisan. Dengan bahasa-bahasa Prancis dan Arabnya, bahkan sejak sebelum ia masuk universitas, ia telah mampu menerjemahkan buku-buku dari bahasa-bahasa itu. Buku terjemahannya tentang Abu Dzarr al-Ghaffari dari bahasa Arab, dan sebuah buku tentang doa dari bahasa Prancis ― keduanya merupakan kenang-kenangan masa pra-universitasnya ― membuktikan keluasan pikiran dan ruang lingkup usahanya di masa itu. Lagi pula, kata pengantarnya yang jelas, lancar pada kedua terjemahan itu, menunjukkan arah dan kejernihan pemikiran ilmiahnya.

Dalam pandangannya, Islam bisa dianggap sebagai aliran tengah di antara berbagai aliran filsafat, sebagai jembatan antara sosialisme dan kapitalisme. Islam mencakup kebaikan dan segi-segi positif aliran-aliran pikiran lain dan sebaliknya menghindarkan segi-segi negatifnya.

Namun, ia sangat menaruh perhatian pada gerakan-gerakan ideologis dan anti imperialis yang ketika itu sedang melanda dunia Islam, dari Afrika Utara hingga Indonesia, serta mengisyaratkan aksi yang Luas menyeluruh. Terjemahannya tentang Abu Dzarr maupun tentang doa yang kecil tetapi bernas itu, keduanya merupakan hasil karya remajanya, telah menariknya kepada sumber-sumber Islam yang murni lagi suci serta merupakan tafsir sosialnya yang pertama tentang kehidupan Rasul maupun tokoh-tokoh Islam lainnya. Jelas sekali pengaruh Rasul serta tokoh-tokoh tersebut atas pribadi Syari’ati.

Pada tahun 1956, Fakultas Sastra didirikan di Masyhad, dan Syari’ati bisa meneruskan studinya sambil bekerja sebagai guru, ia termasuk mahasiswa pertama yang terdaftar di fakultas itu. Di sini benturan-benturan pendapat dengan guru-gurunya semakin mendorongnya untuk lebih memperkembangkan jalan pikiran pilihannya sendiri. Di kelas maupun dalam kuliah yang dihadirinya ia selalu berperan aktif, tidak pernah tinggal pasif sebagaimana kebanyakan mahasiswa. Kesempatannya yang baru ini, untuk belajar, merenung, meneliti dan diskusi, ternyata telah menumbuhkan minatnya dalam sejarah agama, sejarah Islam dan filsafat sejarah. Ia mempertanyakan pelbagai hal, terutama tentang filsafat sejarah Toynbee, yang banyak ditentangnya.

Kebebasan pikir dan keyakinannya terbukti dari tekadnya membela kebenaran dan keadilan serta perhatiannya yang khusus atas peristiwa-peristiwa keagamaan, sosial maupun politik yang menyangkut nasib rakyat. Meskipun di kala itu suasana bisu mencekam di mana-mana[4], namun tanpa gentar ia melibatkan diri dalam pertarungan dan pertentangan sosial, dalam perjuangan antara hak dan batal. Karena pidato-pidato, tulisan-tulisan serta kegiatan-kegiatan perlawanannya, maka pemerintah mengawasinya.

Tidak pernah ia bisa tinggal diam serta menerima keseimbangan negatif yang sudah mapan dalam masyarakat. Secara serentak ia berjuang menghadapi dua front. Ia menentang kelompok tradisionalis ekstrem yang telah membungkus diri mereka sendiri, memisahkan Islam dari masyarakat, mengucilkan diri di sudut-sudut masjid dan madrasah serta melancarkan reaksi negatif terhadap gerakan intelektual dalam masyarakat. Mereka telah menyelubungi cahaya Islam dengan tabir gelap dan berkurung diri di dalamnya. Ia pun menentang kelompok intelektual tanpa akar dan prakarsa yang berlindung di belakang skolastisisme baru. Kedua kelompok itu telah memutuskan hubungan mereka dengan masyarakat dan massa rakyat. Kepala mereka tunduk pada korupsi dan dekadensi zaman modern.

Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar