Kamis, 02 April 2015

Iman dan Ilmu yang Padu, Karya dan Ide Ali Syari’ati




Karya dan Ide Syari’ati

Lebih penting daripada kepribadian maupun aktivitas Syari’ati ialah karya dan ide yang diwariskannya, dalam bentuk rekaman ceramah-ceramah, catatan-catatan kuliah, buku-buku serta berbagai artikel yang telah berkali-kali dicetak ulang atau diperbanyak dalam edisi sepuluh ribuan kopi atau lebih. Karya-karya dan ide-ide itu sangat menarik perhatian angkatan muda dan sangat mendalam pengaruhnya atas mereka, sehingga tidaklah mudah menghapusnya begitu saja dari ingatan atau hati mereka. Semua yang diucapkan dan ditulisnya memancarkan keilmuan, iman serta keyakinannya dan membuktikan kemampuan kreatifnya yang luar biasa.
Ia dan waktu tidak lagi membiarkan mereka yang bersih dan murni tanpa kawan. Ia akan membela mereka dan waktu akan membenarkan mereka. Yang palsu tidak akan dapat mencemarkan yang murni, betapapun banyaknya batu yang mereka lemparkan dan anjing yang mereka lepaskan untuk membinasakan mereka (Kavir, hal. 282).

Sepintas kilas membaca karya-karya Syari’ati yang bermanfaat, dalam dan orisinal itu orang akan mengetahui bahwa ia tidak percaya akan karya yang dangkal. Namun, dengan tulisannya yang berbobot dan gaya ungkapannya yang fasih, ia telah berhasil menghidangkan ide-ide filosofis yang paling dalam maupun pembahasan-pembahasan ilmiah dan sosiologis yang paling rumit. Hanya mereka yang penuh purbasangka saja yang tidak menyetujui pendapat ini. Tetapi, beberapa tulisannya rupanya tetap sukar untuk ditangkap, meskipun ia telah mengunakan perumpamaan, kiasan dan bahasa simbolis. Betapapun makna yang disarikannya ke dalam kata-katanya, selalu saja bimbang mengambang dalam pikiran mereka yang terbiasa berpikir dangkal. Mereka yang berpikir unidimensional memang selalu asal mempertanyakan dan membantah. Berhadapan dengan pemikiran yang cermat dan dinamik selalu saja mereka mengajukan keberatan- keberatan picisan. Mereka adalah orang yang lamban pikiran, cacat perasaan dan merupakan prinsip Qurani: Bantahlah mereka dengan cara sebaik-baiknya (QS. 16: 125).

Meskipun teori-teori Syari’ati berorientasi kepada Islam, namun basis epistemologis, filosofis, historis dan sosiologisnya sangat kuat dan tumbuh dari dialektika pengamalan dan pemikiran terus-menerus.

Boleh dikatakan, dalam pandangan Syari’ati, berpikir benar adalah pengantar kepada pengetahuan yang benar, sedang pengetahuan yang benar menjadi pengantar kepada iman. Bersama-sama ketiganya metupakan alat kelengkapan bagi hati nurani yang sadar dan bagi setiap usaha mencapai kesempurnaan, praktis maupun teoretis. Keyakinan dan iman yang dangkal tanpa kesadaran mudah berubah menjadi fanatisme, takhyul dan akan menghambat jalan pembangunan sosial. Tanpa perubahan ideologis tidak akan mungkin ada perubahan sosial yang berarti. Justru perubahan ideologis dan intelektual yang mendalam demikianlah yang teramat diperlukan waktu ini, dalam dunia modern kita yang serba cepat ini. Perubahan demikian harus memancar dari dalam lubuk hati perseorangan, mendahului bermulanya gerakan umum. Kebekuan dan kekakuan dalam bentuk lembaga-lembaga suci yang tidak efektif harus diubah menjadi aktif dan dan berperan jelas dalam gerak eksistensial masyarakat.

Kita bisa beroleh pengetahuan yang benar tentang Islam melalui filsafat sejarah yang berasas tauhid dan melalui sosiologi syirik yang mengungkapkan kenyataan-kenyataan masyarakat sebagaimana adanya. Analisa historis dan simbolis Syari’ati dalam Husain, Pewaris Adam menjelaskan bahwa Islam bukanlah suatu ideologi manusiawi, sehubungan dengan waktu dan tempat tertentu, melainkan bagaikan sebuah sungai yang mengalir sepanjang sejarah ummat manusia, hulunya jauh di gunung sana dan melewati batuan karang akhirnya bermuara ke laut. Sungai yang tidak pernah berhenti mengalir dan pada waktu, waktu tertentu hadirlah Nabi-Nabi dan para pengikut mereka untuk memperderas kembali daya arusnya. Keseluruhan sejarah merupakan perjuangan antara hak dan batil, pertempuran antara monotheis dan politheis, pertarungan antara yang tertindas dan yang menindas, antara yang dizalimi dan yang menzalimi. Secara simbolis pertentangan dan pertarungan ini digambarkan dalam kisah Qabil dan Habil, ataupun (dalam bentuk yang lebih sederhana) dalam pertarungan antara Nabi Musa melawan Fir’aun, Qarun dan Bal’am, yang mewakili kolompok-kelompok yang serba mewah, yang serba kuasa dan yang penuh tipu muslihat, yang terdapat sepanjang sejarah manusia; ketiga-tiganya tergolong musyrikin.

Kelompok pendeta (mala’) dan kelompok mewah (mutrif) bersama-sama merupakan kelas-kelas yang mengeksploitir. Mereka selalu menentang para Nabi. Sedangkan mereka yang teraniaya, mereka yang tertindas dan mereka yang takwa selalu berpihak pada para-nabi dan para syuhada. Buat para penganutnya, kepercayaan akan tauhid tidak dapat dipisahkan dan tanggungjawab serta komitmen sosial dan historis. Karena itu masyarakat yang percaya akan tauhid harus senantiasa dalam keadaan jihad. Perjuangan abadi ini bermula sejak dini sejarah sosial manusia, sejak masa Adam. Sedangkan para pendukung panji perjuangan menegakkan keadilan ini ialah para Nabi dan para shalihin. Dengan demikian gerakan sosial umat manusia berhubungan erat dan selaras dengan pandangan hidup tauhid.

Setelah Rasulullah Saw maka dalam perjalanan sejarah amanah tauhid diteruskan oleh lembaga Imamah, oleh ‘Ali dan keturunannya (12 Imam ma’shum). Tetapi Syi’ah, yang bermula sebagai protes oleh ‘Ali Husain dan Zainab, belakangan diperalat oleh para pemilik kekayaan dan kekuasaan. Dalam masa Safawi maupun sesudah Safawi peranan Imamah terdesak dan lenyap, akibat oportunisme, kebimbangan dan salah paham. Inilah yang dibahas Syari’ati dalam buku-buku serta catatan-catatan kuliahnya: Husain, Pewaris Adam; ‘Ali: Ajaran Tauhid dan Keadilan; Menanti Agama Protes; Ummat dan Imamah; Syi’ah ‘Alawi dan Syi’ah Safawi; Abu Dzar al-Ghaffari; Salman; Syahid; Pertanggungjawaban Penganut Syi’ah. Karya-karyanya di atas mengumandangkan pembelaan Syari’ati akan kebenaran Islam dan sekaligus menggambarkan jalan pikiran serta kedalaman analisa historis dan religiusnya.

Karya pikir Syari’ati lainnya ialah tentang sosiologi syirik, yang merupakan analisa realistis dan kritis tentang masyarakat dewasa ini. Dalam hubungan ini ia membahas peranan berbagai kelompok dan strata masyarakat, terutama golongan intelektual, tentang aneka ideologi dan aliran pemikiran di dunia dan tentang peran berbagai peradaban serta kebudayaan, yang kesemuanya tidak didasarkan atas tauhid. Menurut pendapatnya, manusia dewasa ini, tanpa tauhid, pada hakikatnya mengalami alienasi, dan bahwa ilmunya, tanpa hati nurani, menjadi semacam neo-skolastisisme, sedangkan mereka yang bersikap sok dan pura-pura menggeser kedudukan intelektual sejati. (Lihat Skolastisisme Baru; Peradaban dan Pembaruan; Manusia yang Mengalami Alienasi; Intelektual dan Tanggung-jawabnya; Eksistensialisme dan Nihilisme, dan lain-lain). Ditinjau dari sudut pandangan sosiologis, boleh dikatakan tidak banyak sarjana Iran yang telah meneliti kenyataan masyarakat Islam dewasa ini dengan kacamata realisme yang mendalam seperti halnya Syari’ati. Yang penting baginya bukanlah konsep-konsep yang abstrak, melainkan realitas yang ada ―nilai-nilai, cara-cara tingkah-laku, serta struktur-struktur ide dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Islam.

Untuk bisa membuat analisa masyarakat secara tepat, menurut Syari’ati, tidaklah cukup bagi para intelektual untuk hanya mengenal aliran-aliran pikiran Eropa di satu pihak, dan realitas sosial masyarakatnya sendiri di pihak lainnya. Keterbatasan pengetahuan demikian bisa menyesatkan dan memerosokkan mereka kepada kesimpulan yang tidak realistis. Kita hanya mungkin membuat analisa tentang realitas yang ada bila kita mempergunakan istilah-istilah, ungkapan-ungkapan serta konsep-konsep yang terdapat dalam filsafat, kebudayaan, agama dan kesusasteraan kita, yang dalam beberapa hal lebih kaya serta lebih tepat daripada analogi-analoginya dalam bahasa-bahasa asing.

Terjemahan dan pengulangan konsep-konsep stereotip sosiologi Barat yang tumbuh dari analisa masyarakat industri Eropa abad kesembilan belas serta masyarakat imperialis agresif pada media awal abad kedua puluh sama-sekali tidak ada gunanya bagi kita, karena konsep-konsep itu berbeda sama sekali dengan kehidupan kita dewasa ini. Kita harus menganalisa nilai-nilai dan hubungan-hubungan tertentu yang hidup dalam masyarakat kita serta cocok dengan sifat kehidupan sosial kita, susunan psikis kita, begitupun realitas yang ada dalam masyarakat dan reaksi psikologis perseorangan terhadapnya. Untuk ini kita harus memilih apa saja yang hidup dalam sejarah masyarakat Islam di Iran dan mengemukakan suatu sistem konsep dan istilah sosiologis yang komprehensif; atas dasar inilah kita buat analisa kita. Dengan demikian, istilah-istilah seperti umat, imamah, ‘adil, syahid, taqwa, taqlid, shabar, ghaib, syafa’at, hijrah, kafir, syirk, tauhid dan semacamnya kiranya jauh lebih tepat daripada istilah-istilah Eropa.

Syari’ati senantiasa berpegang pada realitas dan menghindari pemikiran abstrak. Ia adalah seorang sosiolog yang realistis dan komit. Dengan pandangan serta pemikiran Islamiyahnya yang khas, ia berhasil mempelajari masyarakatnya sendiri, melampaui sosiologi positivis maupun Marxis. Dan dengan menggunakan metoda historis dan religius yang mendalam, ia telah menambahkan dimensi-dimensi baru pada sosiologi Islam.

Ia telah membuat suatu analisa realistis dan kritik sosiologis mengenai dimensi “statis” masyarakat ―susunan tingkah laku, nilai serta kepercayaan berbagai kelompok religius maupun non-religius dewasa ini― begitupun mengenai dimensi “dinamis”-nya, yakni perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan historis yang dihayati oleh umat Islam dan masyarakat Iran dalam berbagai era. Menurutnya, ilmu seperti sosiologi tidak pernah “netral”, dan ia tidak bisa menerima pendapat bahwa seorang sosiolog hanya sekedar mengamati masyarakat. Apalagi sekarang ini umumnya konsep netralitas ilmu telah kehilangan arti, sehingga tugas sekedar observasi dan deskripsi telah berganti dengan komitmen dan partisipasi sosial.

Karena itu tepatlah bila karya-karya seru ide-ide Syari’ati kita pelajari dari sudut pandang sosiologi. Ia telah meletakkan dasar-dasar sosiologis Islam yang benar dan bermulti faset. Dalam hal ini ia pun merupakan pionir. Yang penting bagi kita ialah bahwa ia telah mempelajari sejarah, filsafat sejarah dan semuanya dalam kerangka pandangan hidup tauhid. Dengan demikian tauhid menjadi landasan intelektual ideologis, baik untuk filsafat sejarah, mengenai nasib umat manusia dan masyarakatnya di masa silam, begitupun untuk meramalkan keadaan mereka di masa mendatang.

Dengan demikian, seluruh analisa filosofis historis dan sosiologisnya berkaitan erat dengan kepercayaan tauhid, sebagaimana dijelaskannya sendiri secara gamblang. Tauhid bagaikan turun dari langit ke bumi dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis dan ilmiah, ia masuk kedalam urusan masyarakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial, superstruktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun masyarakat.

Dalam pengertian umum aspek tauhid ini bisa disebut sebagai basis ideologis, sebagai semen perekat intelektual bagi masyarakat yang berorientasi tauhid ―suatu masyarakat yang berdasarkan struktur material dan ekonomis bebas dari kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dan kontradiksi. Jadi, masalah tauhid dan syirik senantiasa berkaitan erat dengan filsafat sosiologi yang universal, dengan struktur etis masyarakat serta sistem-sistem hukum dan konvensionalnya.

Pendekatan baru ini, yang menempatkan ide tauhid dalam kehidupan sosial serta mengaitkan pemahaman tentang masyarakat pada konsep tauhid, mengandalkan suatu kehidupan tanpa kontradiksi dan oposisi. Sosiologi Syari’ati adalah refleksi pandangan hidupnya, suatu pandangan hidup yang membuahkan hasil-hasil praktis dalam masyarakat. Menurutnya, dalam kehidupan masyarakat terdapat pertarungan berketerusan antara tauhid sosial dan syirik sosial, pertarungan yang berlangsung sepanjang sejarah. Berikut adalah uraiannya dalam istilah-istilah yang dinamis:

“Sebagaimana halnya pandangan hidup tauhid menafsirkan eksistensi dalam pengertian kesatuan, demikian pulalah tafsirnya mengenai masyarakat manusia. Sebagaimana halnya dalam alam semesta tauhid menolak adanya kekuatan-kekuatan serbaneka dan saling berkontradiksi, menolak serba berhala, menolak serba daya gaib dan supernatural yang dianggap menentukan nasib manusia serta proses alami. Demikian pulalah tauhid dalam masyarakat manusia menyangkal kehadiran dewa-dewa bumi yang menguasai manusia, merampas kekuasaan mereka serta menetapkan sistem-sistem masyarakat dan hubungan sosial yang kompleks di antara kelas-kelas pokoknya. Tauhid menolak kehadiran syirik dalam kehidupan manusia”.

Yang dinilai oleh Syari’ati bukanlah ke-Islaman-nya sang alim ataupun ke-Islaman si awam, melainkan “ke-Islamannya mereka yang sadar dan ingat”. Andalannya ialah Muslim intelektual dan sadar, bukan sang alim dan bukan pula sang awam. Dalam Islam ada dua hal yang satu-sama lain saling mensyaratkan dan saling menyertai, yaitu membentuk diri sendiri dan mengubah diri sendiri; dalam pengertian inilah kita bisa menangkap makna kalimat bersayap ―yang sangat digemari Syari’ati : “Hidup adalah tidak lain daripada Iman dan Jihad”. Maka jelaslah bahwa karya Syari’ati merupakan buah Iman dan Jihadnya.

Catatan:

Terjemahan lengkap dari Ravisy-i Syinakht-i, terdiri dari dua ceramah, disampaikan di Husaiya-i Irsyad pada Aban 1347/Oktober 1968.

2. Gurun Kavir, gurun pasir luas yang meliputi hampir dua pertiga dataran tinggi Iran (HA).
3. Kavir, hal. 88. Selain ayahnya, Syari’ati juga menyebut orang pertama dan paling berpengaruh atas hidupnya: Louis Massignon (orientalis Prancis), Muhammad ‘Ali Furughi (sarjana dan politikus Iran), Jacques Berque (ahli bahasa Arab dan sosiolog Prancis), dan Gurwitsch (sosiolog Prancis). Tetapi mereka ini adalah guru-gurunya dalam pengertian langsung dan biasa.
4. Maksudnya ialah pada tahun-tahun pertama sesudah penggulingan Musaddiq di bulan Agustus 1953 (HA).

Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem, Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar