Karya dan Ide Syari’ati
Lebih penting daripada
kepribadian maupun aktivitas Syari’ati ialah karya dan ide yang diwariskannya,
dalam bentuk rekaman ceramah-ceramah, catatan-catatan kuliah, buku-buku serta
berbagai artikel yang telah berkali-kali dicetak ulang atau diperbanyak dalam
edisi sepuluh ribuan kopi atau lebih. Karya-karya dan ide-ide itu sangat
menarik perhatian angkatan muda dan sangat mendalam pengaruhnya atas mereka,
sehingga tidaklah mudah menghapusnya begitu saja dari ingatan atau hati mereka.
Semua yang diucapkan dan ditulisnya memancarkan keilmuan, iman serta
keyakinannya dan membuktikan kemampuan kreatifnya yang luar biasa.
Ia dan waktu tidak lagi membiarkan mereka yang bersih dan murni tanpa kawan. Ia akan membela mereka dan waktu akan membenarkan mereka. Yang palsu tidak akan dapat mencemarkan yang murni, betapapun banyaknya batu yang mereka lemparkan dan anjing yang mereka lepaskan untuk membinasakan mereka (Kavir, hal. 282).
Ia dan waktu tidak lagi membiarkan mereka yang bersih dan murni tanpa kawan. Ia akan membela mereka dan waktu akan membenarkan mereka. Yang palsu tidak akan dapat mencemarkan yang murni, betapapun banyaknya batu yang mereka lemparkan dan anjing yang mereka lepaskan untuk membinasakan mereka (Kavir, hal. 282).
Sepintas kilas membaca
karya-karya Syari’ati yang bermanfaat, dalam dan orisinal itu orang akan
mengetahui bahwa ia tidak percaya akan karya yang dangkal. Namun, dengan
tulisannya yang berbobot dan gaya ungkapannya yang fasih, ia telah berhasil
menghidangkan ide-ide filosofis yang paling dalam maupun pembahasan-pembahasan
ilmiah dan sosiologis yang paling rumit. Hanya mereka yang penuh purbasangka
saja yang tidak menyetujui pendapat ini. Tetapi, beberapa tulisannya rupanya
tetap sukar untuk ditangkap, meskipun ia telah mengunakan perumpamaan, kiasan
dan bahasa simbolis. Betapapun makna yang disarikannya ke dalam kata-katanya,
selalu saja bimbang mengambang dalam pikiran mereka yang terbiasa berpikir
dangkal. Mereka yang berpikir unidimensional memang selalu asal mempertanyakan
dan membantah. Berhadapan dengan pemikiran yang cermat dan dinamik selalu saja
mereka mengajukan keberatan- keberatan picisan. Mereka adalah orang yang lamban
pikiran, cacat perasaan dan merupakan prinsip Qurani: Bantahlah mereka dengan
cara sebaik-baiknya (QS. 16: 125).
Meskipun teori-teori
Syari’ati berorientasi kepada Islam, namun basis epistemologis, filosofis,
historis dan sosiologisnya sangat kuat dan tumbuh dari dialektika pengamalan
dan pemikiran terus-menerus.
Boleh dikatakan, dalam
pandangan Syari’ati, berpikir benar adalah pengantar kepada pengetahuan yang
benar, sedang pengetahuan yang benar menjadi pengantar kepada iman.
Bersama-sama ketiganya metupakan alat kelengkapan bagi hati nurani yang sadar
dan bagi setiap usaha mencapai kesempurnaan, praktis maupun teoretis. Keyakinan dan iman yang dangkal tanpa
kesadaran mudah berubah menjadi fanatisme, takhyul dan akan menghambat jalan
pembangunan sosial. Tanpa perubahan ideologis tidak akan mungkin ada
perubahan sosial yang berarti. Justru perubahan ideologis dan intelektual yang
mendalam demikianlah yang teramat diperlukan waktu ini, dalam dunia modern kita
yang serba cepat ini. Perubahan demikian harus memancar dari dalam lubuk hati
perseorangan, mendahului bermulanya gerakan umum. Kebekuan dan kekakuan dalam
bentuk lembaga-lembaga suci yang tidak efektif harus diubah menjadi aktif dan
dan berperan jelas dalam gerak eksistensial masyarakat.
Kita bisa beroleh
pengetahuan yang benar tentang Islam melalui filsafat sejarah yang berasas
tauhid dan melalui sosiologi syirik yang mengungkapkan kenyataan-kenyataan
masyarakat sebagaimana adanya. Analisa historis dan simbolis Syari’ati dalam
Husain, Pewaris Adam menjelaskan bahwa Islam
bukanlah suatu ideologi manusiawi, sehubungan dengan waktu dan tempat tertentu,
melainkan bagaikan sebuah sungai yang mengalir sepanjang sejarah ummat manusia,
hulunya jauh di gunung sana dan melewati batuan karang akhirnya bermuara ke
laut. Sungai yang tidak pernah berhenti mengalir dan pada waktu, waktu tertentu
hadirlah Nabi-Nabi dan para pengikut mereka untuk memperderas kembali daya
arusnya. Keseluruhan sejarah merupakan perjuangan antara hak dan batil,
pertempuran antara monotheis dan politheis, pertarungan antara yang tertindas
dan yang menindas, antara yang dizalimi dan yang menzalimi. Secara simbolis
pertentangan dan pertarungan ini digambarkan dalam kisah Qabil dan Habil,
ataupun (dalam bentuk yang lebih sederhana) dalam pertarungan antara Nabi Musa
melawan Fir’aun, Qarun dan Bal’am, yang mewakili kolompok-kelompok yang serba
mewah, yang serba kuasa dan yang penuh tipu muslihat, yang terdapat sepanjang
sejarah manusia; ketiga-tiganya tergolong musyrikin.
Kelompok pendeta (mala’)
dan kelompok mewah (mutrif) bersama-sama merupakan kelas-kelas yang
mengeksploitir. Mereka selalu menentang para Nabi. Sedangkan mereka yang
teraniaya, mereka yang tertindas dan mereka yang takwa selalu berpihak pada
para-nabi dan para syuhada. Buat para penganutnya, kepercayaan akan tauhid
tidak dapat dipisahkan dan tanggungjawab serta komitmen sosial dan historis.
Karena itu masyarakat yang percaya akan tauhid harus senantiasa dalam keadaan
jihad. Perjuangan abadi ini bermula sejak dini sejarah sosial manusia, sejak
masa Adam. Sedangkan para pendukung panji perjuangan menegakkan keadilan ini
ialah para Nabi dan para shalihin. Dengan demikian gerakan sosial umat manusia
berhubungan erat dan selaras dengan pandangan hidup tauhid.
Setelah Rasulullah Saw
maka dalam perjalanan sejarah amanah tauhid diteruskan oleh lembaga Imamah,
oleh ‘Ali dan keturunannya (12 Imam ma’shum). Tetapi Syi’ah, yang bermula sebagai
protes oleh ‘Ali Husain dan Zainab, belakangan diperalat oleh para pemilik
kekayaan dan kekuasaan. Dalam masa Safawi maupun sesudah Safawi peranan Imamah
terdesak dan lenyap, akibat oportunisme, kebimbangan dan salah paham. Inilah
yang dibahas Syari’ati dalam buku-buku serta catatan-catatan kuliahnya: Husain,
Pewaris Adam; ‘Ali: Ajaran Tauhid dan Keadilan; Menanti Agama Protes; Ummat dan
Imamah; Syi’ah ‘Alawi dan Syi’ah Safawi; Abu Dzar al-Ghaffari; Salman; Syahid;
Pertanggungjawaban Penganut Syi’ah. Karya-karyanya di atas mengumandangkan
pembelaan Syari’ati akan kebenaran Islam dan sekaligus menggambarkan jalan
pikiran serta kedalaman analisa historis dan religiusnya.
Karya pikir Syari’ati
lainnya ialah tentang sosiologi syirik, yang merupakan analisa realistis dan
kritis tentang masyarakat dewasa ini. Dalam hubungan ini ia membahas peranan
berbagai kelompok dan strata masyarakat, terutama golongan intelektual, tentang
aneka ideologi dan aliran pemikiran di dunia dan tentang peran berbagai
peradaban serta kebudayaan, yang kesemuanya tidak didasarkan atas tauhid.
Menurut pendapatnya, manusia dewasa ini, tanpa tauhid, pada hakikatnya
mengalami alienasi, dan bahwa ilmunya, tanpa hati nurani, menjadi semacam
neo-skolastisisme, sedangkan mereka yang bersikap sok dan pura-pura menggeser kedudukan
intelektual sejati. (Lihat Skolastisisme Baru; Peradaban dan Pembaruan; Manusia
yang Mengalami Alienasi; Intelektual dan Tanggung-jawabnya; Eksistensialisme
dan Nihilisme, dan lain-lain). Ditinjau dari sudut pandangan sosiologis, boleh
dikatakan tidak banyak sarjana Iran yang telah meneliti kenyataan masyarakat
Islam dewasa ini dengan kacamata realisme yang mendalam seperti halnya
Syari’ati. Yang penting baginya bukanlah konsep-konsep yang abstrak, melainkan
realitas yang ada ―nilai-nilai, cara-cara tingkah-laku, serta struktur-struktur
ide dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Islam.
Untuk bisa membuat analisa
masyarakat secara tepat, menurut Syari’ati, tidaklah cukup bagi para
intelektual untuk hanya mengenal aliran-aliran pikiran Eropa di satu pihak, dan
realitas sosial masyarakatnya sendiri di pihak lainnya. Keterbatasan
pengetahuan demikian bisa menyesatkan dan memerosokkan mereka kepada kesimpulan
yang tidak realistis. Kita hanya mungkin membuat analisa tentang realitas yang
ada bila kita mempergunakan istilah-istilah, ungkapan-ungkapan serta
konsep-konsep yang terdapat dalam filsafat, kebudayaan, agama dan kesusasteraan
kita, yang dalam beberapa hal lebih kaya serta lebih tepat daripada analogi-analoginya
dalam bahasa-bahasa asing.
Terjemahan dan pengulangan
konsep-konsep stereotip sosiologi Barat yang tumbuh dari analisa masyarakat
industri Eropa abad kesembilan belas serta masyarakat imperialis agresif pada
media awal abad kedua puluh sama-sekali tidak ada gunanya bagi kita, karena
konsep-konsep itu berbeda sama sekali dengan kehidupan kita dewasa ini. Kita
harus menganalisa nilai-nilai dan hubungan-hubungan tertentu yang hidup dalam
masyarakat kita serta cocok dengan sifat kehidupan sosial kita, susunan psikis
kita, begitupun realitas yang ada dalam masyarakat dan reaksi psikologis
perseorangan terhadapnya. Untuk ini kita harus memilih apa saja yang hidup
dalam sejarah masyarakat Islam di Iran dan mengemukakan suatu sistem konsep dan
istilah sosiologis yang komprehensif; atas dasar inilah kita buat analisa kita.
Dengan demikian, istilah-istilah seperti umat, imamah, ‘adil, syahid, taqwa,
taqlid, shabar, ghaib, syafa’at, hijrah, kafir, syirk, tauhid dan semacamnya
kiranya jauh lebih tepat daripada istilah-istilah Eropa.
Syari’ati senantiasa
berpegang pada realitas dan menghindari pemikiran abstrak. Ia adalah seorang
sosiolog yang realistis dan komit. Dengan pandangan serta pemikiran
Islamiyahnya yang khas, ia berhasil mempelajari masyarakatnya sendiri,
melampaui sosiologi positivis maupun Marxis. Dan dengan menggunakan metoda
historis dan religius yang mendalam, ia telah menambahkan dimensi-dimensi baru
pada sosiologi Islam.
Ia telah membuat suatu
analisa realistis dan kritik sosiologis mengenai dimensi “statis” masyarakat ―susunan
tingkah laku, nilai serta kepercayaan berbagai kelompok religius maupun
non-religius dewasa ini― begitupun mengenai dimensi “dinamis”-nya, yakni
perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan historis yang dihayati oleh
umat Islam dan masyarakat Iran dalam berbagai era. Menurutnya, ilmu seperti
sosiologi tidak pernah “netral”, dan ia tidak bisa menerima pendapat bahwa
seorang sosiolog hanya sekedar mengamati masyarakat. Apalagi sekarang ini
umumnya konsep netralitas ilmu telah kehilangan arti, sehingga tugas sekedar
observasi dan deskripsi telah berganti dengan komitmen dan partisipasi sosial.
Karena itu tepatlah bila
karya-karya seru ide-ide Syari’ati kita pelajari dari sudut pandang sosiologi. Ia
telah meletakkan dasar-dasar sosiologis Islam yang benar dan bermulti faset.
Dalam hal ini ia pun merupakan pionir. Yang penting bagi kita ialah bahwa ia
telah mempelajari sejarah, filsafat sejarah dan semuanya dalam kerangka
pandangan hidup tauhid. Dengan demikian tauhid menjadi landasan intelektual
ideologis, baik untuk filsafat sejarah, mengenai nasib umat manusia dan
masyarakatnya di masa silam, begitupun untuk meramalkan keadaan mereka di masa
mendatang.
Dengan demikian, seluruh analisa filosofis historis dan sosiologisnya berkaitan erat dengan kepercayaan tauhid, sebagaimana dijelaskannya sendiri secara gamblang. Tauhid bagaikan turun dari langit ke bumi dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis dan ilmiah, ia masuk kedalam urusan masyarakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial, superstruktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun masyarakat.
Dalam pengertian umum aspek tauhid ini bisa disebut sebagai basis ideologis, sebagai semen perekat intelektual bagi masyarakat yang berorientasi tauhid ―suatu masyarakat yang berdasarkan struktur material dan ekonomis bebas dari kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dan kontradiksi. Jadi, masalah tauhid dan syirik senantiasa berkaitan erat dengan filsafat sosiologi yang universal, dengan struktur etis masyarakat serta sistem-sistem hukum dan konvensionalnya.
Pendekatan baru ini, yang
menempatkan ide tauhid dalam kehidupan sosial serta mengaitkan pemahaman
tentang masyarakat pada konsep tauhid, mengandalkan suatu kehidupan tanpa
kontradiksi dan oposisi. Sosiologi Syari’ati adalah refleksi pandangan
hidupnya, suatu pandangan hidup yang membuahkan hasil-hasil praktis dalam
masyarakat. Menurutnya, dalam kehidupan masyarakat terdapat pertarungan
berketerusan antara tauhid sosial dan syirik sosial, pertarungan yang
berlangsung sepanjang sejarah. Berikut adalah uraiannya dalam istilah-istilah
yang dinamis:
“Sebagaimana halnya
pandangan hidup tauhid menafsirkan eksistensi dalam pengertian kesatuan,
demikian pulalah tafsirnya mengenai masyarakat manusia. Sebagaimana halnya
dalam alam semesta tauhid menolak adanya kekuatan-kekuatan serbaneka dan saling
berkontradiksi, menolak serba berhala, menolak serba daya gaib dan supernatural
yang dianggap menentukan nasib manusia serta proses alami. Demikian pulalah
tauhid dalam masyarakat manusia menyangkal kehadiran dewa-dewa bumi yang
menguasai manusia, merampas kekuasaan mereka serta menetapkan sistem-sistem
masyarakat dan hubungan sosial yang kompleks di antara kelas-kelas pokoknya.
Tauhid menolak kehadiran syirik dalam kehidupan manusia”.
Yang dinilai oleh
Syari’ati bukanlah ke-Islaman-nya sang alim ataupun ke-Islaman si awam,
melainkan “ke-Islamannya mereka yang sadar dan ingat”. Andalannya ialah Muslim
intelektual dan sadar, bukan sang alim dan bukan pula sang awam. Dalam Islam
ada dua hal yang satu-sama lain saling mensyaratkan dan saling menyertai, yaitu
membentuk diri sendiri dan mengubah diri sendiri; dalam pengertian inilah kita
bisa menangkap makna kalimat bersayap ―yang sangat digemari Syari’ati : “Hidup adalah tidak lain daripada Iman dan
Jihad”. Maka jelaslah bahwa karya Syari’ati merupakan buah Iman dan
Jihadnya.
Catatan:
Terjemahan
lengkap dari Ravisy-i Syinakht-i, terdiri dari dua ceramah, disampaikan di
Husaiya-i Irsyad pada Aban 1347/Oktober 1968.
2. Gurun Kavir, gurun
pasir luas yang meliputi hampir dua pertiga dataran tinggi Iran (HA).
3. Kavir, hal. 88. Selain ayahnya, Syari’ati juga menyebut orang pertama dan paling berpengaruh atas hidupnya: Louis Massignon (orientalis Prancis), Muhammad ‘Ali Furughi (sarjana dan politikus Iran), Jacques Berque (ahli bahasa Arab dan sosiolog Prancis), dan Gurwitsch (sosiolog Prancis). Tetapi mereka ini adalah guru-gurunya dalam pengertian langsung dan biasa.
4. Maksudnya ialah pada tahun-tahun pertama sesudah penggulingan Musaddiq di bulan Agustus 1953 (HA).
3. Kavir, hal. 88. Selain ayahnya, Syari’ati juga menyebut orang pertama dan paling berpengaruh atas hidupnya: Louis Massignon (orientalis Prancis), Muhammad ‘Ali Furughi (sarjana dan politikus Iran), Jacques Berque (ahli bahasa Arab dan sosiolog Prancis), dan Gurwitsch (sosiolog Prancis). Tetapi mereka ini adalah guru-gurunya dalam pengertian langsung dan biasa.
4. Maksudnya ialah pada tahun-tahun pertama sesudah penggulingan Musaddiq di bulan Agustus 1953 (HA).
Sumber Bahasa Indonesia: Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas (Sebuah
Kajian Sosiologi Islam), Penerjemah Saifullah Mahyudin dan Husen Hashem,
Penerbit Al-Huda Muharram 1422/April 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar