Senin, 01 Juni 2015

Tangisan Sukainah dan Tragedi Anak-anak di Karbala




Saat itu Imam Husain (as) berdo’a: “Jika saat ini Engkau tidak menghendaki kami untuk menang, maka berikan kemenangan untuk ummat yang akan datang”

Mungkin ini adalah kesempatan terakhir bagi Imam Husain (as) untuk bisa menatap wajah-wajah putri kecilnya. Ia berkata, ‘Wahai Sukainah, Fathimah, dan Ummu Kulsum terimalah salam perpisahan dari ayah kalian’.

Sukainah pun berkata lirih, ‘Wahai ayah apakah engkau menyerah kepada maut ? Imam Husain (as) menjawab, ‘Wahai cahaya mataku, bagaimana ayah tidak menyerah kepada maut, sementara tidak ada lagi seorangpun penolong dan pembela’. Lantas Sukainah berkata, ‘Wahai ayah, bawalah kembali kami ke kota kakek kami. Imam Husain (as) menjawab, ‘Andaikan seekor burung diletakkan di sana, maka ia akan tertidur’. Sukainah pun mengangis tersedu-sedu lalu menghampiri sang ayah dan memeluknya erat-erat.

Melihat ini para wanita yang berada di kemah tak kuasa menahan tangis. Imam Husain (as) pun berusaha menghentikan tangisan mereka.

Setelah selesai melakukan perpisahan dengan keluarga tercintanya, Imam Husain (as) pun bergerak dengan gagah berani menyambut tantangan musuh, walau di pihaknya tinggal dia sendiri. Dia tidak gentar dan tidak sedikitpun ada rasa takut dalam hatinya.

Ia menyambut kematian bak menyambut sesuatu yang sangat berharga. Syahadah adalah cita-cita tertingginya. Terang saja ia adalah putra Singa Arab, pendekar kaum Quraisy, Imam Ali bin Abi Thalib (as), Sang Haidar, yang dengan sebelah tangan ia angkat pintu Khaibar.

Dengan langkah pasti Imam Husain (as) menuju medan laga. Namun, seketika langkahnya terhenti ketika terdengar suara kecil memanggilnya, ‘Ayah!..Ayah!’

Sukainah keluar dari kemah dan berlari menuju ke arah Imam Husain (as), dan Imam Husain (as) berkata, ‘Ada apa wahai puntriku?’ Sukainah berkata, ‘Wahai ayah, sebelum engkau pergi ada satu permintaan yang ingin aku ajukan kepadamu, apakah engkau mau mengabulkan permintaanku ini?’ Imam Husain (as) berkata, ‘Tentu, wahai putriku, sampaikanlah permintaanmu itu’. ‘Wahai ayah,’ tandas Sukainah dengan nada lirih dan diringi isak tangis, ‘sebelum engkau pergi, maukah engkau mengusap kepalaku?’

Mendengar itu, Imam Husain (as) pun tersentak keheranan dan berkata, ‘Wahai putriku, kenapa engkau meminta ayah melakukan itu, engkau bukanlah anak yatim, aku ayahmu masih ada di sisimu.’

Sukainah yang kala itu dengan tersendat-sendat berkata, ‘Wahai ayah! Memang engkau masih berada di sisiku, akan tetapi aku tahu bahwa sebentar lagi engkau akan pergi untuk selamanya.’

Al-Husain pun tak kuasa menahan tangis dan ia pun memeluk tubuh kurus putrinya. Ia teringat ketika Muslim bin Aqil syahid, ia berkunjung ke keluarga Muslim dan menghampiri putri kecil Muslim serta mengelus kepalanya.

Putri kecil itu berkata, ‘Wahai paman, kenapa engkau mengusap kepalaku, aku ini bukan anak yatim, ayahku masih hidup, ia sedang pergi jauh dan ayah berkata bahwa ia akan kembali secepatnya.’ Dan kini putrinya, Sukainah, memintanya untuk mengusap kepalanya sementara ia masih ada. Seraya ia pun mendendangkan syair.

Ketahuilah! Akan panjang masa setelahku wahai Sukainah
Tangisan darimu ketika kematian menjemputku
Jangan kau bakar hatiku dengan tetesan air matamu
Selama ruh masih berada di jasadku
Maka jika aku terbunuh nanti, engkaulah yang paling layak
Untuk menangisiku wahai sebaik-baiknya wanita!

Sukainah merupakan salah satu putri kecil di antara sekian putra serta putri yang berada di Karbala.

Karbala, tempat berkecamuknya perang, tempat tangan dan kepala terpisah dari badan. Putra-putri kecil itu masih sangat lemah jiwanya untuk bisa menanggung beban perang. Mereka masih sangat kecil untuk menahan beban berat ini. Mereka masih belum kuat menyaksikan tangan dan kepala ayah-ayah mereka terpisah dari badan. Putra-putri kecil itu belum sanggup menyaksikan perlakuan-perlakuan yang tak berprikemanusiaan pasukan Yazid bin Muawwiyah terhadap ayah-ayah mereka.

Akan tetapi semua beban itu mereka alami di Karbala. Mereka menyaksikan tangan dan kepala ayah-ayah mereka terpisah dari badannya. Pasukan Yazid bin Muawwiyah yang tidak berprikemanusiaan itu, bahkan tega menyiksa dan membunuh anak-anak kecil. Anak-anak kecil yang tidak berdosa kecuali hanya karena mereka keluarga suci Nabi saw. Membunuh dan menyiksa anak kecil adalah kejahatan yang peling besar. Tidak ada satu agama, kaum serta madzhab pun yang membolehkan penyiksaan terhadap anak-anak yang tidak berdaya. Ketika anak kecil melakukan kesalahan, ia tidak dihukum melainkan hanya diperingati. Akan tetapi mereka telah membunuh dan menyiksa anak-anak kecil yang tak berdosa dan tak berdaya. Mereka telah melakukan kejahatan yang paling buruk dan telah melakukan dosa yang teramat besar.

Seorang manusia yang membunuh anak kecil yang tak berdaya pada hakekatnya bukanlah manusia. Ia lebih buas dari pada serigala, lebih beracun dari pada ular dan lebih najis dari pada anjing serta babi.

Dalam undang-undang perburuan, tidak diperbolehkan memburu dan membunuh hewan yang masih kecil. Akan tetapi pasukan Yazid bin Muawwiyah telah melanggar aturan-aturan kemanusiaan, mereka mengejar-ngejar, memburu, menyiksa dan mebunuh manusia-manusia yang masih kecil itu. Anak-anak kecil yang lebih suci dari pada cahaya, tangan anak kecil itu belum sanggup membawa senjata, belum bisa menarik anak panah. Akan tetapi mereka tega memotong tangan-tangan mungil itu.

Bocah-bocah Syahid
Abdullah bin Hasan adalah salah satu anak kecil yang berada di Karbala. Ia sudah yatim ketika masih dalam kandungan ibunya, ia dibesarkan oleh pamannya (Al-Husain as) dan sekarang sudah berumur sepuluh tahun. Imam Husain (as) telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, seolah putranya sendiri.

Setelah beberapa saat pamannya pergi ke medan perang, Abdullah mulai gusar. Ia khawatir dengan keadaan sang paman. Ia tidak kuasa menahan kekhawatirannya, ia pun berlari menuju ke arah di mana pamannya tadi pergi.

Ketika sampai di kerumunan pasukan Yazid, langkahnya terhenti, matanya menuju ke arah setumpukan sosok yang dikelilingi pasukan. Ia melangkah pelan menuju ke arahnya, tersentak seketika, tatkala ia melihat bahwa tumpukan itu adalah pamannya, Imam Husain (as), dengan darah di sekujur tubuhnya dan badan yang tercabik-cabik.

Ia pun terjatuh ke tanah, tubuhnya lemas dan tak berdaya tak percaya bahwa tubuh itu adalah tubuh paman yang sangat disayanginya. Abdullah menangis histeris memanggil-manggil pamannya.

Ketika melihat Abdullah, Imam Husain (as) memanggil saudarinya, Zainab, dan menyuruhnya untuk menahan Abdullah agar tidak melanjutkan langkahnya. Zainab berusaha menahan Abdullah, akan tetapi Abdullah berontak dan berteriak, ‘Demi Allah aku tidak akan meninggalkan pamanku sendirian. Iapun berhasil lepas dari pelukan Zainab dan berlari menuju ke tubuh Al Husain (as) dan memeluknya.

Kala itu, salah seorang pasukan Yazid bin Muawwiyah mengayunkan pedang hendak menebas tubuh Al Husain (as), saat itu pula Abdullah berdiri dan berkata, ‘Apakah kamu akan membunuh pamanku?’ Ia jadikan tangan kecilnya sebagai tameng untuk melindungi pamannya dari tebasan pedang.

Tidak disangka, jauh dari naluri kemanusiaan, laki-laki tersebut menebaskan pedangnya dan mengenai tangan mungil itu. Abdullah menjerit kesakitan, tangannya hampir putus dan menggantung ke tanah. Ia menangis dan memanggil-manggil ibunya. Imam Husain (as) dengan sisa tenaganya memeluk tubuh keponakannya dan menengadah ke langit mengadukan perbuatan ummat kakeknya terhadap keluarga sucinya.

Pasukan Yazid bin Muawwiyah menebas kepala Abdullah dan ia pun syahid menjemput ayah tercintanya (Al-Hasan as). Ia berhasil menjalankan sumpahnya terhadap bibinya bahwa ia tidak akan meninggalkan pamannya sendirian.

Selain Abdullah, ada pahlawan kecil lainnya, yaitu Muhammad. Muhammad tiga tahun lebih kecil dari Abdullah, ia adalah cucu dari Aqil. Muhammad tidak ikut berperang, akan tetapi ia salah satu dari para syuhada di Karbala. Ketika Imam Husain (as) telah syahid, pasukan Yazid bin Muawwiyah menyerbu ke kemah yang di dalamnya hanya terdapat para wanita dan anak-anak. Mereka menyerbu kemah untuk menawan para wanita dan merampas apa saja yang mereka bawa. Muhammad, karena ketakutan, keluar dari kemah dan tak tahu harus lari ke mana. Ia pun lepas dari awasan para wanita, semua kalang kabut, berlarian, panic di antara api, asap, dan debu. Tapi sungguh tidak disangka, tidak ada kasih sayang, tidak berprikemanusiaan. Muhammad memegang salah satu tiang kemah, sepuluh penunggang kuda menuju ke arahnya, yang salah satunya adalah Hani Al-Hadhrami. Mereka membelah badan kecil itu menjadi dua.

Bahkan, lebih kecil dari itu pun mereka bunuh. Ali bin Husain (as), bayi yang masih menyusui itu, pun ternyata menjadi sasaran panah pasukan Yazid bin Muawwiyah. Bayi yang tak berdaya, tak mampu membela diri, ia tidak bisa berperang akan tetapi ia berhasil mengurangi satu anak panah musuh. Bayi yang memiliki ibu bernama Rubab dan kakak yang bernama Sukainah. Imam Husain (as) sangat menyayangi keduanya. Di sela-sela perang, Imam Husain (as) menyempatkan diri untuk menengok putranya itu. Ia kembali ke kemah dan meninta Zainab untuk membawakan putranya itu. Al-Husain (as) menggendong sang putra dan menciuminya, namun seketika anak panah melesat dan mengarah ke leher halus bayi itu. Bayi pun mengerang dan darah menyembur dari lehernya.

Saat itulah, Al-Husain (as), Zainab, serta semua yang ada di kemah histeris melihat kejadian itu. Al-Husain (as) mengambil darah itu dan mengarahkannya ke langit seraya berkata, ‘Ya Allah! aku persembahkan darah ini kepada-Mu. Darah ini tidak lebih sedikit dari darah sembelihan hewan. Jika saat ini Engkau tidak menghendaki kami untuk menang, maka berikan kemenangan untuk ummat yang akan datang. Ambillah pembalasan atas darah-darah kami yang di hamburkan oleh kaum yang zhalim.

Wahai yang Maha Pengasih! Satu hal yang membuat musibah ini menjadi mudah bagi kami, yaitu karena Engkau melihat semua ini’. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar