Oleh Ahmad Fadhil, M. Hum (Pengjar Filsafat Islam di IAIN SMH Banten). Sumber: Radar
Banten, 11 April 2007.
Dalam situasi yang
sangat bersahaja, seorang Ayatullah datang ke IAIN Banten (Senin 12 Maret
2007). Pengantarnya hanya tiga orang, mobilnya model lama, tanpa pengawal,
tanpa keriuhan. Padahal, dalam kapasitasnya sebagai orang yang berada di ring
satu pemerintahan Iran, pantas jika dia datang dengan mobil merk terbaru dan
dikawal bak pejabat negara.
Agenda Prof. Dr.
Mehdi Hadavi, nama dan gelar sang Ayatullah, adalah berceramah dalam Studium General
Fak. Ushuluddin dan Dakwah. Apakah dia hendak menyebarkan akidah Syiah? Tidak.
Dalam hampir satu jam ceramahnya dia mengupas bahwa Islam jauh sekali dari
Fideisme yang berslogan, “Imani dulu, baru mengerti.” Slogan Islam adalah,
“Mengerti dulu, baru imani.” Islam menyeru penganutnya untuk mendasari iman
dengan pengetahuan, sehingga semakin dalam ilmu seorang muslim, semakin dalam
imannya. Adanya orang yang berilmu namun tidak beriman tidak menggoyahkan
prinsip bahwa seseorang tidak mungkin beriman tanpa berilmu. Inilah resolusi
pertama.
Selanjutnya Hadavi
menekankan krusialnya peran ulama sebagai suar di masyarakat. Mereka adalah
rujukan bagi lapisan mayoritas umat Islam yang tidak sempat memperdalam agama,
karena alami bila tidak semua orang menjadi ulama. Mereka harus berperan
sebagai poros perkembangan dengan cara tidak hanya menjalankan tugas pengajaran
sebagai wacana, tetapi bekerja sekuat tenaga di masyarakat, sehingga ilmu dan
iman masyarakat tetap terjaga, dan masyarakat pun tetap berdaya dan berjaya.
Ini resolusi kedua.
Resolusi ketiga
adalah himbauan untuk memperkaya wawasan, memperkuat kemampuan berbahasa dengan
memberi penekanan khusus kepada bahasa Arab sebagai bahasa utama Islam, dan
selalu menjawab setiap masalah dengan selalu mempelajari ilmu-ilmu kontemporer
dan menjadikan ulama Islam terdahulu sebagai rujukan. Ayatullah berumur 45
tahun ini sudah mengimplementasi himbauan tersebut. Dia lulusan terbaik dalam
mata pelajaran Matematika dan Fisika ketika lulus SMU, melanjutkan studi S1
dalam bidang Teknik Elektro, lalu memulai studi di Hauzah Ilmiyah di kota Qom
hingga menjadi rujukan dalam baik dalam ilmu-ilmu tradisional seperti fiqih dan
ushulnya, tafsir, ulumul hadits, logika, filsafat, maupun ilmu-ilmu modern
seperti filsafat ilmu, filsafat seni, dan ilmu ekonomi.
Teladan yang utama
tentu saja Nabi Muhammad. Sebagai manifestasi utuh dari al-Quran, atau al-Quran
berjalan, beliau menghasilkan generasi ilmuwan yang mampu menelurkan pelbagai
cabang ilmu secara langsung dari al-Quran, seperti ilmu fiqih, teologi, dan
bahasa. Generasi itu tidak sekadar tidak takut mempelajari ilmu dari mana pun
sumbernya, tapi juga menyadari pentingnya mempelajari “ilmu-ilmu lain,” yaitu
yang tidak ditarik langsung dari al-Quran, seperti pelbagai cabang ilmu alam
dan ilmu sosial yang kita kenal sekarang.
Ceramah yang menarik,
tapi yang lebih menarik cara datangnya sang penceramah itu. “Ayatullah ini koq
sederhana banget ya. Kalo saya jadi guru besar, kayaknya susah seperti dia.”
Saya jadi teringat pada rektor perguruan tinggi ternama yang gelisah karena
setiap bulan harus melayat ke rumah guru besar yang meninggal dunia. Dia
katakan, banyak guru besar mati muda karena tidak berpola hidup sehat. Tuntutan
sosial dan ekonomi bagi para guru besar bertambah, sementara pendapatan mereka
tidak bertambah, sehingga sang guru besar sibuk ngojek mengajar ke sana-sini
dan ngamen seminar ke mana-mini. “Masa guru besar naik angkot? Ngontrak?”
Seolah ketinggian gelar akademik tidak sah jika tidak dibungkus oleh kemewahan
duniawi.
Apakah kita dapat
menyalahkan kaum intelektual yang ngoyo seperti itu seperti diungkap seorang
failasuf, “Sungguh menyedihkan orang yang menghabiskan berpuluh-puluh tahun
untuk mengumpulkan emas bagi jiwanya, merasa galau dan gelisah karena tidak
sempat mengumpulkan emas bagi tubuhnya?”
Sekarang bukan masanya untuk menyalahkan. Motif mereka ngojek dan ngamen belum
tentu untuk mengejar setoran. Selain itu, profesor wa akhawatuha bukan Tuhan,
bukan malaikat, bukan Iblis yang tidak makan. Saat mereka balik ke umat pun
mereka tahu bahwa umat sulit tertarik pada upaya perbaikan dari doktor yang
miskin dan tidak terpandang, dan tidak jarang lebih terpesona pada intelektual
gadungan atau “ilmuwan gagal” asalkan kaya dan terhormat!
Menjadi cendikiawan
yang secara sadar memilih perikehidupan yang bersahaja lebih sulit daripada
menggenggam bara. Menjadi “ilmuwan gagal,” yaitu menjadi seorang terpelajar
yang mengarahkan sebelah mata kepada kesejatian ilmu dan mengarahkan mata
lainnya untuk mencari kemilau batu-batu mulia, tidak dapat dielakkan. Alhasil,
runtuhnya kejayaan ilmu dan iman kita akan terus berlanjut. Inilah kondisi yang
harus diubah. Dan, demi perubahan ini, yang pertama harus berubah adalah kaum
cendikiawan itu sendiri.
Dari fragmen singkat
datangnya sang Ayatullah, saya teringat pada ungkapan-ungkapan yang
mengindikasikan bahwa mayoritas cendikiawan Islam hidup bersahaja dan sedikit
sekali yang kaya. Asy-Syafi’i mengatakan, “Orang yang menuntut ilmu dengan
kerendahan diri, kesempitan hidup, dan pengabdian kepada para ulama, akan lebih
berhasil. Aku terbiasa dengan kemiskinan, sehingga aku merasa nyaman
dengannya.” Malik mengatakan, “Seseorang takkan meraih ilmu sampai ia menderita
karena kemiskinan, namun tetap mengutamakan ilmu daripada yang lain.” Abu
Hanifah menganjurkan untuk memutuskan ikatan duniawi dan mengambil sedikit saja
yang tidak dapat dihindari. Ahmad mengatakan, “Sabar dalam menuntut ilmu adalah
martabat yang hanya dapat diraih orang-orang besar. Miskin lebih mulia daripada
kaya. Sabar dalam kemiskinan itu sangat pahit, sehingga tidak cemas oleh
kemiskinan lebih mulia daripada bersyukur oleh kekayaan. Aku takkan berpaling
dari keutamaan miskin kepada apa pun.”
Sungguh tiada
larangan bagi guru besar untuk kaya, naik sedan termewah, tinggal di rumah
paling megah, seperti halnya tiada larangan sama sekali bagi pejabat untuk
menjadi orang yang pertama lapar saat rakyat menderita dan terakhir kenyang
saat rakyat sejahtera. Tapi sejarah membuktikan bahwa yang paling abadi namanya
adalah cendikiawan yang memilih hidup bersahaja, dan yang paling cemar namanya
adalah pejabat yang memikirkan perut sendiri.
Dalam terang ungkapan
itulah saya teringat pada motto hidup seorang guru “beser” (dosen yang sering
ke kamar kecil), yang dia tulis di ruang tamu rumahnya dan diejawantahkan dalam
hidupnya seperti pada judul tulisan ini. Artinya, kalau tidak salah,
“Kesederhanaan adalah perlambang kesejatian.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar