Jumat, 13 Maret 2015

Bertrand Russell Versus Murtadha Muthahhari –Bagian Ketiga


Sebagai seorang intelektual dan filsuf yang mendaku diri agnostik, sejumlah pandangan dan pernyataan Russell memang sama dengan pandangan dan khazanah kaum materialis, yang persis di sini dan dalam hal inilah, Muthahhari menyindir Russell, sementara beberapa komentator tulisan-tulisan Russell menilai klaim agnostisisme Russell mirip dengan pengakuan ateisme yang tidak eksplisit, untuk tidak menyebutnya sebagai pendakuan atau klaim yang malu-malu.

Pandangannya yang berciri materialis contohnya adalah pernyataan Russell yang berbunyi: “Sesungguhnya manusia itu lahir oleh berbagai faktor yang tidak direncanakan sebelumnya, dan tidak pula mempunyai tujuan tertentu. Prinsip manusia adalah pertumbuhan dan perkembangan, termasuk emosinya seperti cita-cita, rasa takut, cinta dan keyakinan, itu semua hanyalah gejala-gejala interaksi biologis dari berbagai partikel”.

Pandangan Russell tersebut digaungkan kembali oleh Richard Dawkins, sang biologist mutakhir yang kerap dijuluki sebagai juru-bicara kaum ateis militan saat ini. Russell sendiri memang mangaku sebagai pembaca The Origin of Species-nya Charles Darwin, dan menaruh hormat pada tulisan-tulisan Darwin: “Di rumah, saya diajarkan dasar-dasar Unitarianisme…..dalam sebagian besar masalah yang dibicarakan suasananya liberal……Darwinisme diajarkan sebagai materi khusus,” demikian tulisnya dalam otobiografinya yang berkisah tentang keluarganya yang Kristen puritan, sementara Russell sendiri, sebagaimana yang ia nyatakan, cenderung menjadi seorang yang berpikir bebas.

Bagi kita saat ini, contoh pandangan materialis Russell tersebut, kembali mendapatkan suaranya dalam pandangan dan tulisan-tulisan Richard Dawkins. Kita tahu, misalnya, Richard Dawkins pun tak jarang melakukan reduksi dan generalisasi. Dawkins misalnya menyatakan bahwa  teori evolusi mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Salah-satu buku Richard Dawkins yang populer, dan yang dijadikan sebagai media mempublikasi pandangan evolusionis materialisnya adalah The Selfish Gene yang kira-kira semacam pemaparan argumentasi tentang sifat selfish (mementingkan diri sendiri) yang merupakan kodrat gen yang natural alias alami.

Buku Dawkins tersebut, tak diragukan lagi, merupakan Darwinisme mutakhir jaman kita saat ini. Dalam buku tersebut, contohnya, Dawkins menyatakan bahwa prilaku mementingkan diri sendiri (selfish) dan prilaku baik (altruism) memiliki akar dalam biologi, lebih tepatnya dalam gen. Sifat-sifat tersebut, demikian menurut Dawkins, akan sangat mempengaruhi relasi (hubungan) antar makhluk hidup dan selanjutnya tentu saja berpengaruh dalam skala kehidupan sosial yang lebih luas, semisal dalam ekonomi dan politik. Contoh dari sifat mementingkan diri sendiri antara lain prilaku menolak membagi sumber-daya yang berharga seperti makanan, daerah atau pasangan, yang mencapai titik ekstrim pada kanibalisme atau mengorbankan orang lain untuk kepentingan sendiri. Sedangkan sifat altruisme, misalnya, tampak pada lebah yang mengorbankan nyawanya demi membela sarangnya, karena sesudah menyengat musuh, lebah akan mati.

Masih menurut Dawkins, adanya sifat-sifat di atas dapat diterangkan dengan hukum dasar yang disebut “gene selfishness”, atau sifat mementingkan diri sendiri gen. Sifat mementingkan diri sendiri timbul karena evolusi bekerja melalui seleksi alam. Hal ini berarti hanya yang paling fit yang akan dapat bertahan hidup. Namun apa yang menjadi dasar seleksi? Untuk menjelaskan hal ini sang penulis buku tersebut (Richard Dawkins) mengajak kembali ke asal mula terciptanya kehidupan di bumi. Bumi memiliki bahan mentah kimia yang melimpah, antara lain air, karbondioksida, metana, amonia, dan energi, namun melalui seleksi alam akhirnya tercipta sejumlah molekul yang lebih kompleks dan lebih stabil dibandingkan lainnya, dalam bentuk sup yang berisi asam amino, yaitu blok pembangun protein.

Dan sekarang kita kembali kepada pandangan dan pernyataan Russell yang berciri materialis, seperti yang telah disebutkan, di mana dalam menanggapi pandangan Russell tersebut, Muthahhari menyindirnya sembari membandingkan pandangan tersebut dengan tulisan dan pandangan Albert Eisntein. Muthahhari menulis:

“Dengan ucapannya (tersebut), Russell mengingkari wujudnya kekuatan intelegensi yang mengatur alam semesta dengan bijaksana, meskipun kadang-kadang dia juga mensifati dirinya sebagai termasuk golongan yang ragu-ragu (skeptis) dan agnostik. Pada sisi lain kita melihat Einstein –ilmuwan jenius abad 20- mengatakan pendapat yang menentang opini Russell dengan menyatakan, ‘Anda tidak akan menemukan di antara pikiran-pikiran para ilmuwan tanpa perasaan keberagamaan….Rasa keberagamaan itulah yang menuai keta’juban terhadap harmoninya hukum semesta, yang melahirkan superioritas intelektual atas rasa keberagamaan tersebut, dan tanpanya seluruh sistematika berpikir dan bertindak manusia akan menjadi sia-sia. Perasaan ini adalah penuntun yang mendasar bagi kehidupannya (kehidupan ilmuwan). Selanjutnya akan membebaskannya dari belenggu hawa nafsu egonya. Suatu hal yang niscaya bahwa perasaan keberagamaan itu erat kaitannya dengan mereka yang memiliki kegeniusan beragama pada setiap tingkat usia’. Bisakah kita berkata bahwa Russell lebih familiar dengan konsep sains modern sementara Einstein tidak?”

Dapat dikatakan, sejumlah pandangan dan tulisan Russell yang mengkritik agama, segaris dengan tulisan-tulisan dan pandangan-pandangan kaum materialis-ateis modern, meskipun Russell jarang menggunakan kepercayaan ateistik-nya sendiri untuk mengkritik agama, dan lebih sering melakukannya atas nama sains dan filsafat. Walau pun kerap-kali terdengar dan terasa, memang, bahwa beberapa tulisan dan pandangannya yang mengkritik agama bercitarasa ateistik dan materialistik. Barangkali hal itu karena sebuah resiko ketika ia berusaha mengupayakan suatu pandangan tentang agama yang sejalan dengan akal dan sains.

Meskipun demikian, kita harus berhati-hati untuk tidak menyamakan Russell dengan kaum ateis-materialis saat ini. Sebab bagaimana pun, sebagai seorang filsuf dan ahli polemis, Bertrand Russell acapkali lebih mampu bersikap rendah-hati, tidak memabi-buta, dan di atas segalanya, kita akan menjumpai bahwa dalam beberapa hal, pandangan Russell, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bersifat mendua dan fluktuatif sejauh menyangkut agama. Ia bahkan mengaku, sebagai sebuah seruan moral, masih memegang beberapa perintah Injil, seperti: “Janganlah engkau mengikuti orang-orang dalam bertindak jahat”, yang seperti didakunya, adalah motto pribadinya dalam kiprah sosial-politiknya.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar