Sebagai seorang
intelektual dan filsuf yang mendaku diri agnostik, sejumlah pandangan dan
pernyataan Russell memang sama dengan pandangan dan khazanah kaum materialis,
yang persis di sini dan dalam hal inilah, Muthahhari menyindir Russell,
sementara beberapa komentator tulisan-tulisan Russell menilai klaim agnostisisme
Russell mirip dengan pengakuan ateisme yang tidak eksplisit, untuk tidak
menyebutnya sebagai pendakuan atau klaim yang malu-malu.
Pandangannya yang berciri
materialis contohnya adalah pernyataan Russell yang berbunyi: “Sesungguhnya
manusia itu lahir oleh berbagai faktor yang tidak direncanakan sebelumnya, dan
tidak pula mempunyai tujuan tertentu. Prinsip manusia adalah pertumbuhan dan
perkembangan, termasuk emosinya seperti cita-cita, rasa takut, cinta dan
keyakinan, itu semua hanyalah gejala-gejala interaksi biologis dari berbagai
partikel”.
Pandangan Russell tersebut
digaungkan kembali oleh Richard Dawkins, sang biologist mutakhir yang kerap
dijuluki sebagai juru-bicara kaum ateis militan saat ini. Russell sendiri
memang mangaku sebagai pembaca The Origin of Species-nya Charles Darwin, dan
menaruh hormat pada tulisan-tulisan Darwin: “Di rumah, saya diajarkan
dasar-dasar Unitarianisme…..dalam sebagian besar masalah yang dibicarakan
suasananya liberal……Darwinisme diajarkan sebagai materi khusus,” demikian
tulisnya dalam otobiografinya yang berkisah tentang keluarganya yang Kristen
puritan, sementara Russell sendiri, sebagaimana yang ia nyatakan, cenderung
menjadi seorang yang berpikir bebas.
Bagi kita saat ini, contoh
pandangan materialis Russell tersebut, kembali mendapatkan suaranya dalam
pandangan dan tulisan-tulisan Richard Dawkins. Kita tahu, misalnya, Richard
Dawkins pun tak jarang melakukan reduksi dan generalisasi. Dawkins misalnya
menyatakan bahwa teori
evolusi mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Salah-satu buku Richard
Dawkins yang populer, dan yang dijadikan sebagai media mempublikasi pandangan
evolusionis materialisnya adalah The Selfish Gene yang kira-kira semacam
pemaparan argumentasi tentang sifat selfish (mementingkan diri sendiri) yang
merupakan kodrat gen yang natural alias alami.
Buku Dawkins tersebut, tak
diragukan lagi, merupakan Darwinisme mutakhir jaman kita saat ini. Dalam buku
tersebut, contohnya, Dawkins menyatakan bahwa prilaku mementingkan diri sendiri (selfish)
dan prilaku baik (altruism) memiliki akar dalam biologi, lebih tepatnya dalam
gen. Sifat-sifat tersebut, demikian menurut Dawkins, akan sangat mempengaruhi
relasi (hubungan) antar makhluk hidup dan selanjutnya tentu saja berpengaruh
dalam skala kehidupan sosial yang lebih luas, semisal dalam ekonomi dan politik.
Contoh dari sifat mementingkan diri sendiri antara lain prilaku menolak membagi
sumber-daya yang berharga seperti makanan, daerah atau pasangan, yang mencapai
titik ekstrim pada kanibalisme atau mengorbankan orang lain untuk kepentingan
sendiri. Sedangkan sifat altruisme, misalnya, tampak pada lebah yang
mengorbankan nyawanya demi membela sarangnya, karena sesudah menyengat musuh,
lebah akan mati.
Masih
menurut Dawkins, adanya
sifat-sifat di atas dapat diterangkan dengan hukum dasar yang disebut “gene
selfishness”, atau sifat mementingkan diri sendiri gen. Sifat mementingkan diri
sendiri timbul karena evolusi bekerja melalui seleksi alam. Hal ini berarti
hanya yang paling fit yang akan dapat bertahan hidup. Namun apa yang menjadi
dasar seleksi? Untuk menjelaskan hal ini sang penulis buku tersebut (Richard Dawkins) mengajak kembali ke asal mula
terciptanya kehidupan di bumi. Bumi memiliki bahan mentah kimia yang melimpah,
antara lain air, karbondioksida, metana, amonia, dan energi, namun melalui
seleksi alam akhirnya tercipta sejumlah molekul yang lebih kompleks dan lebih
stabil dibandingkan lainnya, dalam bentuk sup yang berisi asam amino, yaitu
blok pembangun protein.
Dan
sekarang kita kembali kepada pandangan dan pernyataan Russell yang berciri
materialis, seperti yang telah disebutkan, di mana dalam menanggapi pandangan
Russell tersebut, Muthahhari menyindirnya sembari membandingkan pandangan
tersebut dengan tulisan dan pandangan Albert Eisntein. Muthahhari menulis:
“Dengan
ucapannya (tersebut), Russell mengingkari wujudnya kekuatan intelegensi yang
mengatur alam semesta dengan bijaksana, meskipun kadang-kadang dia juga
mensifati dirinya sebagai termasuk golongan yang ragu-ragu (skeptis) dan agnostik.
Pada sisi lain kita melihat Einstein –ilmuwan jenius abad 20- mengatakan
pendapat yang menentang opini Russell dengan menyatakan, ‘Anda tidak akan
menemukan di antara pikiran-pikiran para ilmuwan tanpa perasaan keberagamaan….Rasa
keberagamaan itulah yang menuai keta’juban terhadap harmoninya hukum semesta,
yang melahirkan superioritas intelektual atas rasa keberagamaan tersebut, dan
tanpanya seluruh sistematika berpikir dan bertindak manusia akan menjadi
sia-sia. Perasaan ini adalah penuntun yang mendasar bagi kehidupannya
(kehidupan ilmuwan). Selanjutnya akan membebaskannya dari belenggu hawa nafsu
egonya. Suatu hal yang niscaya bahwa perasaan keberagamaan itu erat kaitannya
dengan mereka yang memiliki kegeniusan beragama pada setiap tingkat usia’. Bisakah
kita berkata bahwa Russell lebih familiar dengan konsep sains modern sementara
Einstein tidak?”
Dapat
dikatakan, sejumlah pandangan dan tulisan Russell yang mengkritik agama, segaris
dengan tulisan-tulisan dan pandangan-pandangan kaum materialis-ateis modern,
meskipun Russell jarang menggunakan kepercayaan ateistik-nya sendiri untuk
mengkritik agama, dan lebih sering melakukannya atas nama sains dan filsafat. Walau
pun kerap-kali terdengar dan terasa, memang, bahwa beberapa tulisan dan
pandangannya yang mengkritik agama bercitarasa ateistik dan materialistik. Barangkali
hal itu karena sebuah resiko ketika ia berusaha mengupayakan suatu pandangan
tentang agama yang sejalan dengan akal dan sains.
Meskipun
demikian, kita harus berhati-hati untuk tidak menyamakan Russell dengan kaum
ateis-materialis saat ini. Sebab bagaimana pun, sebagai seorang filsuf
dan ahli polemis, Bertrand Russell acapkali lebih mampu bersikap rendah-hati, tidak memabi-buta,
dan di atas segalanya, kita akan menjumpai bahwa dalam beberapa hal, pandangan
Russell, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bersifat mendua dan
fluktuatif sejauh menyangkut agama. Ia bahkan mengaku, sebagai sebuah seruan
moral, masih memegang beberapa perintah Injil, seperti: “Janganlah engkau
mengikuti orang-orang dalam bertindak jahat”, yang seperti didakunya, adalah
motto pribadinya dalam kiprah sosial-politiknya.
Hak
cipta © pada Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar