Radar Banten, 24 September 2014
Dalam visi pemikiran
keagamaan dan filsafat Muthahhari, sejarah dan “kesadaran sejarah” –selain
untuk mengetahui “masa depan”, juga bertujuan untuk membangun idealisme sejati dan
memantapkan visi suatu bangsa dan masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini,
sejarah tak ubahnya cermin dan “kompas” yang jadi bahan berkaca dan petunjuk
untuk menemukan jatidiri sebuah bangsa atau masyarakat. Sementara itu, posisi
penting Muthahhari itu sendiri dapat kita telusuri lewat riwayat hidupnya yang
mendedikasikan diri untuk mengaktualkan Islam dan pemikiran. Ia adalah seorang
ulama-filsuf yang produktif menulis –selain mengajar dan berceramah, yang juga
dikenal sebagai pemikir dan filsuf yang acapkali dibandingkan sekaligus
dikontraskan dengan pemikir dan penulis yang semasa dengannya, yaitu Ali
Syari’ati. Tentu saja, dengan kekhasan gaya dan keunikan pemikiran dan tulisan
mereka masing-masing. Hamid Algar, misalnya, ketika mencoba membandingkan antara
keduanya menyatakan: “Muthahhari berakar dalam pada pengetahuan tradisional dan
terpikat oleh para eksponennya. Pengenalan Syari’ati terhadap warisan
pengetahuan Islam adalah kurang mendalam dan kurang takzim. Pemikiran
Muthahhari adalah satu dan konsisten, sementara Syari’ati merupakan proses
eksplorasi dan revisi tiada henti” (Lihat Murtadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan,
IIMaN Jakarta 2002).
Meski dikenal sebagai
seorang ulama dan fakih yang mumpuni, Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari juga
tekun membaca literatur-literatur Barat –yang bahkan acapkali berhasil
membuktikan kekeliruan-kekeliruan epistemologis filsafat dan pemikiran Barat,
terutama marxisme dan materialisme. Karenanya tak heran bila ia juga dikenal
sebagai “ulama yang filsuf” atau juga sebaliknya, “filsuf yang ulama”. Minatnya
kepada filsafat materialisme, khususnya Marxisme itu, sebagai contohnya,
sebagaimana didakunya dengan jujur dan terus-terang, terjadi tak lama setelah
ia mempelajari secara resmi ilmu-ilmu rasional atau literatur-literatur
filsafat dan pemikiran. Dalam pengakuannya, ia mulai menggeluti filsafat Barat
pada sekitar tahun 1946, dimulai dengan mempelajari terjemahan-terjemahan
literatur-literatur Marxisme ke dalam bahasa Persia –yang diterbitkan oleh
partai Tudeh (sebuah wadah dan organisasi Marxis besar di Iran, yang saat itu
merupakan suatu kekuatan penting di arena politik sekaligus intelektual marxis
di Iran dan Irak). Bersamaan dengan itu, tentu saja, ia juga membaca
tulisan-tulisan Taqi Arani –sang teoritisi utama partai Tudeh.
Kajian Sejarah dan
Kemajuan Ummat
Yang unik dan khas pada
diri seorang Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari ini adalah ketika
ketekunannya membaca literatur-literatur Barat tersebut tak membuatnya hanya
menjadi seorang epigon atau pen-taklid buta yang memamah mentah-mentah apa yang
dibacanya tanpa kritisisme. Acapkali ia berhasil menunjukkan bahwa khazanah
Islam justru lebih unggul dan otentik dibanding khazanah-khazanah sekuler Barat
–yang seringkali malah malahirkan dehumanisasi (kemerosotan humanisme atau
degradasi spirit dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri) dalam bentuknya yang
lain (Lihat Murtadha Muthahhari, Kritik Islam Terhadap Materialisme, Al-Huda,
Jakarta 2001). Kadangkala ia malah menemukan sumber-sumber pengetahuan dan epistemologi
yang baru –justru ketika mengkaji lebih dalam doktrin, nilai, dan khazanah
Islam yang ia geluti. Selain minatnya pada disiplin-disiplin yang telah
disebutkan itu –seperti kepada Marxisme sebagai khazanah ekonomi-politik,
Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari juga memiliki minat dan konsen yang kuat
dan konsisten terhadap sejarah dan kajian sejarah, yang dalam hal ini ia antara
lain mengkritik pandangan dan epistemologi sejarah ala Marxisme, yang
menurutnya pandangan Marxisme atas sejarah terjebak pada materialisme yang
menafikan peran non-material, semisal bagaimana bahwa acapkali perjuangan ummat
manusia atau suatu bangsa dan masyarakat lebih sering karena tekad dan kehendak
yang kuat untuk terbebas dari kekuatan eksternal yang menafikan kebebasan
“ruhaniah” mereka. Jadi tidak semata-mata karena motif determinan ekonomistik
sebagaimana di-dalilkan oleh Marxisme.
Dalam beberapa tulisannya,
Syahid Muthahhari mengimplisitkan bahwa kesadaran atas sejarah itu –terutama
kesadaran sejarah ke masa depan, akan menjadikan ummat manusia berjuang untuk
meraih kebaikan bersama dan kemajuan. Mirip dengan fungsi harapan dan
messianisme yang membuat manusia bertahan, sekaligus berjuang untuk meraih
kebajikan dan cita-cita yang mereka inginkan. Dalam hal ini –berdasarkan
kajiannya dari al Qur’an, ada dua eksistensi manusia menurut Murtadha
Muthahhari, yaitu sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Di sini,
menurutnya, tindakan manusia sebagai individu memiliki dua dimensi, yaitu sebab
aktif, dan sebab material. Sedangkan tindakan manusia sebagai anggota
masyarakat memiliki tiga dimensi, yaitu sebab aktif (pelaku), sebab ideal
(tujuan), dan sebab material (tindakannya). Namun menurutnya meski ada dua
eksistensi dan tindakan, al Qur’an tidak memisahkan secara objektif antara
tindakan pribadi manusia secara individual dengan tindakan manusia sebagai
aktivitas masyarakat.
Dalam benak Syahid
Ayatullah Murtadha Muthahhari, sejarah yang ia maksud lebih sering bermakna
“mencipta sejarah”, wabilkihusus “merencanakan masa depan” ke arah kondisi di
mana sebuah bangsa, masyarakat, atau ummat sanggup menuju ke arah yang lebih
baik. Bolehlah di sini kita menduga bahwa ia terinspirasi oleh ayat al Qur’an
yang bunyi terjemahannya adalah, “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum
sampai kaum itu yang mau merubah nasib mereka sendiri”. Demikianlah menurutnya
–sebagaimana tercermin dalam dimensi ikhtiar manusiawi yang dinyatakan ayat al
Qur’an itu, makin tinggi dan luhur suatu cita-cita sebuah bangsa atau
masyarakat, maka makin layak dan luas-lah tujuan-tujuannya. Cita-cita yang
besar dari suatu masyarakat adalah titik tolak dari pembentukan batin dan
mental masyarakat atau bangsa itu sendiri. Dan tentu saja, yang juga perlu
dipahami dengan cermat, cita-cita utama masyarakat atau bangsa sangat
bergantung pada konsepsi dan pemahamannya tentang kehidupan dan dunia. Tepat di
sinilah, Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari meyakini benar perlunya mengenal
masa depan sebagai tujuan sebuah masyarakat atau suatu bangsa.
Peran Vital Kesadaran
Masa Depan
Teranglah bagi kita,
sejarah atau tepatnya kesadaran sejarah dan masa depan menurut Syahid Ayatullah
Murtadha Muthahhari –atau dalam pandangan dan keyakinan epistemologisnya,
merupakan faktor utama yang akan berperan untuk membuka jalan bagi masa depan
suatu bangsa atau pun masyarakat. Jika manusia, bangsa, alias masyarakat tidak
mengenali masa depan dan tidak mempunyai rencana tentangnya, serta tidak
memberikan perhatian pada tanggung jawabnya untuk membuat “sejarah” (baca: masa
depannya sendiri), maka manusia, masyarakat, atau bangsa tersebut memang berhak
dan pantas mendapat celaan dari generasi mendatang, atau dari bangsa dan
masyarakat lainnya. Tak ragu lagi –dalam bayangan, konsepsi, dan imajinasi
filosofis dan politis Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, “sejarah dibuat
alias diciptakan oleh manusia dan bukannya manusia dibuat atau diciptakan oleh
sejarah”. Bila demikian, jika sebuah bangsa atau masyarakat tidak memiliki
rencana tentang masa depan, maka tidak seorang pun dapat menjanjikan bahwa
bangsa atau masyarakat tersebut akan mencapai tujuan dan cita-citanya.
Hanya saja, yang perlu
ditekankan, sekali lagi, selain tujuan dari “kesadaran sejarah” adalah untuk
mengetahui “masa depan” tersebut, juga bertujuan untuk membangun idealisme
sejati dan memantapkan visi suatu bangsa dan masyarakat itu sendiri. Di sini,
menurut Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari, idealisme sejati itu akan mampu
membuat perubahan pada proses perjalanan sejarah karena kemampuannya memberikan
kekuatan pada subjek sejarah, yang tak lain sebuah bangsa atau masyarakat itu
sendiri. Dan juga perlu diingat oleh kita, semangat yang dimaksud tersebut
bukan semata berupa kekuatan fisik, melainkan berupa “spirit” yang bergejolak
dalam jiwa sebuah bangsa atau masyarakat yang tak lain dan tak bukan sebagai
penyebab penggerak (active cause) untuk menghasilkan langkah-langkah konkrit
dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sebuah masyarakat atau sebuah
bangsa.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar