Oleh
Armahedi Mahzar (filsuf Indonesia)
Sebuah buku futurologi
asli Indonesia telah terbit. Namanya MENJEMPUT
MASA DEPAN dengan subjudul sangat optimistic, FUTURISTIK DAN REKAYASA
MASYARAKAT MENUJU ERA GLOBAL. Buku ini diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya
Bandung 1999. Nada optimisme itu tak mengherankan, karena buku ini ditulis oleh
seorang futuris muda Indonesia yang cemerlang, Dr.Dimitri Mahayana, yang juga
seorang rekayasawan elektro terkemuka di Indonesia yang menangani
teknologi-teknologi andalan masa depan di bidang kontrol dan sibernetika dan sehari-harinya bergulat membina
sumberdaya manusia di bidang teknologi ini di Institut Teknologi Bandung.
Optimisme ini tentu saja
tak bisa dihindarkan karena tujuan baik suatu teknologi adalah menyejahterakan,
memudahkan dan menyamankan manusia, walaupun bisa saja diselewengkan untuk
kepentingan-kepentingan destruktif yang negatif. Meskipun teknologi kontrol dan
sibernetika itu di negeri asalnya lahir sebagai upaya pengendalian sistem
senjata, yang lebih penting adalah bagaimana membuat para perancang, pembuat,
pemakai dan pengatur teknologi di masa mendatang berpikir positif dan optimistik. Dan memang itulah yang
dilakukan oleh penulis dalam kumpulan 19 bab pertama pada bagian I, II dan III
buku ini dengan baiknya.
Akan tetapi, uraian itu bahkan
terasa terlalu baik sehingga seringkali kita tertegun membacanya dan
bertanya-bertanya: Apakah penulis adalah agen teknologi dari Barat yang
menjajakan
impian di hadapan kita
sambil menyembunyikan tali kendali dan kekang yang akan dipasangkan di mulut
kita begitu kita terlelap dan terbuai oleh mimpi-mimpi indah masa depan? Apakah
penulis membutakan diri terhadap proses globalisasi multidimensional yang
datang, menyerbu dan mengepung kita dari segala penjuru untuk merebut benteng
terakhir kita yaitu nurani dan keyakinan?
Menemukan Globalisasi Postmodernis
Untunglah
pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu itu segera terjawab pada bagian IV buku
ini yang berjudul SISI-SISI MANUSIAWI yang terdiri dari lima buah tulisan.
Dalam tulisan pertama dalam bagian ini kita diingatkan akan kenyataan bahwa
kita sebagai manusia dihadapkan dengan era teknetronika (teknologi elektronika)
yang menjadikan masyarakat manusia sebagai suatu megamesin (meminjam istilah
Lewis Mumford yang dikutip Erich Fromm). Bab ini tidak lagi optimistik, namun
bukan pula pesimistik.
Penulis buku ini bukanlah
hendak menakut-nakuti, tetapi justru kritis dan mengajukan sejumlah besar
pertanyaan problematis yang tak mungkin dijawab oleh satu orang saja dalam
waktu singkat, karena memerlukan rangkaian diskusi panjang, renungan mendalam
dan tindakan nyata untuk mencegah berbagai dampak negatif teknologi.
Dampak negatif itu
misalnya adalah alienasi, anonimasi dan dehumanisasi manusia sebagai individu.
sedangkan dampak sosial teknologi yang negatif
adalah fragmentasi, massifikasi
dan totalisasi masyarakat. Dampak-dampak negatif tak langsung itu terjadi oleh
karena adanya akselerasi, otomatisasi, otonomisasi, unifikasi, integrasi dan
amplifikasi teknologi yang merupakan motor globalisasi sehingga menyulut krisis
multidimensional di berbagai negara Asia di penghujung abad ke-20 lalu.
Bagaimanapun, bab ini
merupakan sebuah antiklimaks yang mengejutkan setelah pembaca dijejali dengan
kemajuan-kemajuan teknologi yang aduhai (bagian I) dan terobosan-terobosan
manajemen yang wah (bagian II). Namun di tangan penulis sebagai seorang pakar
pikir yang piawai, bab antiklimaks ini diikuti dengan indahnya oleh tiga bab
kecil yang meresolusi konflik tematik yang dikembangkan dengan rapi dalam bab
sebelumnya.
Nyatanya, ketiga bab
pendek berikutnya mengajukan jurus-jurus asing “human touch mengembus feeling
touch”, “quantum vision menggenjot quantum leap” dan “Wu-Wei
menangkal N-Ach” yang pada akhirnya ditutup dengan jurus pamungkas
yang ditunggu-tunggu yaitu “Islam melawan globalisasi.”
Dalam bab terakhir yang
cukup panjang ini, penulis menguraikan ciri-ciri paradoksal globalisasi. Di
satu pihak globalisasi mendorong munculnya budaya global yang universal, di
lain pihak globalisasi memunculkan ethno-nasionalisme, sukuisme dan menekankan
pluralitas hidup keberagamaan. Ketegangan antara globalisme dan lokalisme
inilah yang menjadi ciri yang nampak pada globalisasi. Ciri lain dari
globalisasi kini adalah ketidakseimbangan arus budaya. Globalisasi di masa ini bersifat
satu arah dari negara-negara barat yang kapitalistis ke negara-negara non-Barat.
Dengan demikian globalisasi di masa kini tak lain dari imperialisme budaya dari
Barat.
Mengangkat Wahdah Al-Wujud
Yang menarik pada artikel
pamungkas ini ialah kenyataan bahwa penulis memberi resep yang mengejutkan bagi
pemikir Islam yang modernis maupun yang tradisionalis, apalagi yang
fundamentalis. Soalnya, penulis mengajukan sebuah proposisi yang sangat
kontroversial yaitu dengan cara membangkitkan
sebuah konsep yang telah dikubur sedalam-dalamnya oleh para ulama ortodoks di
kalangan Sunni yaitu wahdah al-wujud.
Konsep wahdah al-wujud
adalah konsep ketunggalan Ada yang telah jauh-jauh ditinggalkan ulama dan
cendekiawan muslim karena dianggap zindik oleh para ulama ortodoks tradisionalis,
dianggap panteisme musyrik oleh para fundamentalis dan dianggap takhayul
mistisisme oleh para modernis.
Sungguh mengherankan
bagaimana bisa penulis mengajukan konsep tradisionalis ini sebagai penangkal
badai globalisasi posmodernis di era krisis yang anekamatra ini. Jawabannya
segera kita dapatkan jika saja kita menuntaskan pembacaan buku ini sampai pada
halaman akhir.
Pertama-tama sesuai dengan
tradisi Syi’I (Syi’ah), ketika mengangkat lagi konsep lama itu, penulis
mengidentikkan wahdah al-wujud dengan tauhid, suatu pernyataan yang
pasti akan mendapat protes dari ketiga kubu pemikiran Sunni: fundamentalis,
tradisionalis dan modernis.
Akan tetapi, betapapun,
jika kita lupakan identifikasi konseptual yang kontroversial itu, maka kita
akan mendapatkan bahwa jaringan ulama Haramayn Nusantara sejak abad XVII hingga
abad XX adalah tokoh-tokoh agama yang
melakukan harmonisasi syari’at dan tasawuf pada umumnya menganut ajaran wahdah
al-wujud.
Namun, menurut penulis,
“Doktrin wahdah al-wujud tidak mengambil bentuknya yang rasional dan
intelektual dalam wacana spiritual Jawi” (hal 175). Oleh karena itu, untuk
membangkitkan wahdah al-wujud ke pentas globalisasi posmodernis ini kita
harus mengambil doktrin wahdah al-wujud yang sudah dirasionalkan dan diintelektualkan
seperti yang telah dikembangkan oleh Mulla Shadra yaitu “Al-Hikmah al
Muta’aliyah yang secara epistemologis didasarkan pada tiga prinsip: intuisi
intelektual (dzawq dan isyraq), pembuktian rasional (‘aql
dan istidlal) dan syari’at.” (hal. 177-178),
Penulis menaruh harapan
bahwa sintesis Mulla Shadra itu “merupakan sebuah jawaban bagi rekacipta Islam
di Indonesia dan Melayu di alaf ketiga” (hal 178). Untuk itu, penulis
mengajukan duabelas buah argumen untuk memperkuat pandangannya. (hal 178-190)
Secara ringkas kedua belas
argumen itu adalah sebagai berikut: kesatu, Wahdah al-wujud
berimplikasi pemaknaan syari’at yang lebih menyatu; kedua, konsep ini
berimplikasi pada penerimaan pluralisme (kejamakan cara beragama dan berteologi
); ketiga,
dia merupakan titik temu aliran-aliran besar Islam, baik mazhab Sunni-Syi’ah,
tasawuf-filsafat sebagai titik konvergen dalam mewujudkan ukhuwah islamiyah; keempat,
dia mempunyai kekokohan filosofis yang dapat diuji dalam kancah
pemikiran filsafat dunia; kelima, dia menjadi
alternatif cara pandang dunia di dalam mana sains dan teknologi mendapat
tempatnya yang layak; keenam, dia menegaskan
kemayaan segala selain wujud sehingga dapat menahan goncangan postmodernisme; ketujuh
dia memberikan kerangka terpadu dalam upaya menjawab persoalan-persoalan
teologis dan filosofis yang berkembang dewasa; kedelapan, dia
memberikan aksiologi ilmu yang mensejajarkan kebaikan ilmu-ilmu non-keagamaan
dan ilmu-ilmu keagamaan; kesembilan, dia memberikan pandangan
benar tentang sebab-akibat dalam kaitannya dengan takdir sehingga dapat
menghapuskan racun-racun fatalisme, kesepuluh, dia mampu
menghadapi “agama para saintis” yaitu evolusionisme melalui teori gradasi
wujud.; kesebelas, dia mampu menjawab persoalan relativitas
keadilan dan moral; akhirnya kedua belas, dia dapat
menjadi titik temu antara Islam tradisionalis dan Islam modernis melalui
pemahaman rasional tentang mistis.
Dari keduabelas argumen
itu tampak bahwa yang ingin dipecahkan dengan cara membangkitkan konsep wahdah
al-wujud dapat dikelompokkan menjadi tiga hal:
pertama adalah kelemahan
internal paradigma ilmu Islam (1, 2, 4, 5, 7. 8 dan 11); kedua, keterpecahan pemahaman ummah Islam (argumen 3 dan 9); ketiga, ancaman paham-paham asing di
luar Islam (argumen 6 dan 10).
Dari pengelompokan itu
nampak bahwa sebagian besar persoalan, kelompok satu dan kelompok dua, telah
ada sebelum fenomena globalisasi, tetapi menjadi parah setelahnya. Hanya
sedikit yang berkaitan langsung dengan fenomena globalisasi yaitu kelompok
persoalan ketiga. Namun jika dapat menyelesaikan persoalan pertama, yaitu
kelemahan paradigma ilmu, maka kedua kelompok persoalan lainnya dapat
dipecahkan.
Mencari Paradigma Keilmuan
Baru
Pemilihan paham wujudiyah
sebagai penangkal globalisasi dan pengokoh ke-Islaman umat merupakan usulan
menarik bernuansa postmodernis karena mengambil doktrin tradisional untuk
menyelesaikan problematika modern. Akan tetapi menjadikan doktrin wujudiah
sebagai satu-satunya kerangka pikir adalah usulan yang bernada modernis yang
mencari satu teori besar yang akan memecahkan segalanya. Tentunya ini akan menghasilkan kontroversi
baru yang tak terselesaikan, apalagi jika hanya memilih satu versi doktrin
wujudiah yang telah diintelektualkan oleh ulama Syi’ah di Iran.
Upaya yang lebih mungkin
dilaksanakan adalah meletakkan doktrin wujudiyah berpasangan dengan doktrin syuhudiah
yang secara historis memang merupakan penyeimbangnya dalam khazanah tasawuf
falsafi, lalu meletakkannya dalam konfigurasi pemikiran filsafat Islam yang
lebih besar yang meliputi hikmat al-masya’iyah dan hikmat
al-isyraqiyah.
Lalu, dari sini kita
meletakkannya dalam konstelasi ilmu-ilmu Islam yang lebih besar yaitu ulumul
Qur’an-ulumul Hadits-ushuluddin-ushululfiqh-tasawwuf-irfan-hikmat-manthiq lalu
mencari paradigma tunggal yang bisa sekaligus melandasi ilmu-ilmu keagamaan
Islam tersebut setelah melakukan dekonstruksi rekonstruksi seperlunya.
Diharapkan paradigma
tunggal yang ditemukan itu juga dapat menjadi paradigma menyatu bagi ilmu-ilmu
kemanusiaan dan ilmu-ilmu kealaman yang ada. Untuk itu kita perlu melakukan
dekonstruksi paradigma materialisme mekanistik sains modern dan juga paradigma holisme
sibernetik sains postmodern yang sedang tumbuh. Hal ini mutlak diperlukan untuk
dapat membangkitkan peradaban Islam dalam era teknetronik (teknologi
elektronik) alaf tiga yang baru kita masuki ini.
Semua itu bisa dilakukan
melalui multimedia dari yang lisan, cetak hingga yang elektronik, dari yang
analog hinga digital di jalan raya informasi bebas hambatan global internet
yang sekarang sedang tumbuh dengan cepatnya menjadi suatu pasar raya informasi
global. Di internet gagasan-gagasan keagamaan heterodoks Islam menjadi begitu
mudah diakses. Internet juga telah
memudahkan kita untuk membuat membentuk komunitas-komunitas virtual yang bisa
kita manfaatkan secara efisien dalam dialog besar pembentukan paradigma baru di
atas. Semoga Allah meridhai usaha bersama kita ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.
Bandung 17 Mei 2000 (Diskusi Buku IAIN Sunan Gunung Djati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar