Jumat, 10 Juli 2015

Menjemput Masa Depan


Oleh Armahedi Mahzar (filsuf Indonesia)

Sebuah buku futurologi asli Indonesia  telah terbit. Namanya MENJEMPUT MASA DEPAN dengan subjudul sangat optimistic, FUTURISTIK DAN REKAYASA MASYARAKAT MENUJU ERA GLOBAL. Buku ini diterbitkan oleh PT Remaja Rosdakarya Bandung 1999. Nada optimisme itu tak mengherankan, karena buku ini ditulis oleh seorang futuris muda Indonesia yang cemerlang, Dr.Dimitri Mahayana, yang juga seorang rekayasawan elektro terkemuka di Indonesia yang menangani teknologi-teknologi andalan masa depan di bidang kontrol dan sibernetika  dan sehari-harinya bergulat membina sumberdaya manusia di bidang teknologi ini di Institut Teknologi Bandung.

Optimisme ini tentu saja tak bisa dihindarkan karena tujuan baik suatu teknologi adalah menyejahterakan, memudahkan dan menyamankan manusia, walaupun bisa saja diselewengkan untuk kepentingan-kepentingan destruktif yang negatif. Meskipun teknologi kontrol dan sibernetika itu di negeri asalnya lahir sebagai upaya pengendalian sistem senjata, yang lebih penting adalah bagaimana membuat para perancang, pembuat, pemakai dan pengatur teknologi di masa mendatang berpikir positif  dan optimistik. Dan memang itulah yang dilakukan oleh penulis dalam kumpulan 19 bab pertama pada bagian I, II dan III buku ini dengan baiknya.

Akan tetapi, uraian itu bahkan terasa terlalu baik sehingga seringkali kita tertegun membacanya dan bertanya-bertanya: Apakah penulis adalah agen teknologi dari Barat yang menjajakan
impian di hadapan kita sambil menyembunyikan tali kendali dan kekang yang akan dipasangkan di mulut kita begitu kita terlelap dan terbuai oleh mimpi-mimpi indah masa depan? Apakah penulis membutakan diri terhadap proses globalisasi multidimensional yang datang, menyerbu dan mengepung kita dari segala penjuru untuk merebut benteng terakhir kita yaitu nurani dan keyakinan?

Menemukan Globalisasi Postmodernis
Untunglah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu itu segera terjawab pada bagian IV buku ini yang berjudul SISI-SISI MANUSIAWI yang terdiri dari lima buah tulisan. Dalam tulisan pertama dalam bagian ini kita diingatkan akan kenyataan bahwa kita sebagai manusia dihadapkan dengan era teknetronika (teknologi elektronika) yang menjadikan masyarakat manusia sebagai suatu megamesin (meminjam istilah Lewis Mumford yang dikutip Erich Fromm). Bab ini tidak lagi optimistik, namun bukan pula pesimistik.

Penulis buku ini bukanlah hendak menakut-nakuti, tetapi justru kritis dan mengajukan sejumlah besar pertanyaan problematis yang tak mungkin dijawab oleh satu orang saja dalam waktu singkat, karena memerlukan rangkaian diskusi panjang, renungan mendalam dan tindakan nyata untuk mencegah berbagai dampak negatif teknologi.

Dampak negatif itu misalnya adalah alienasi, anonimasi dan dehumanisasi manusia sebagai individu. sedangkan dampak sosial teknologi yang negatif  adalah fragmentasi,  massifikasi dan totalisasi masyarakat. Dampak-dampak negatif tak langsung itu terjadi oleh karena adanya akselerasi, otomatisasi, otonomisasi, unifikasi, integrasi dan amplifikasi teknologi yang merupakan motor globalisasi sehingga menyulut krisis multidimensional di berbagai negara Asia di penghujung abad ke-20 lalu.

Bagaimanapun, bab ini merupakan sebuah antiklimaks yang mengejutkan setelah pembaca dijejali dengan kemajuan-kemajuan teknologi yang aduhai (bagian I) dan terobosan-terobosan manajemen yang wah (bagian II). Namun di tangan penulis sebagai seorang pakar pikir yang piawai, bab antiklimaks ini diikuti dengan indahnya oleh tiga bab kecil yang meresolusi konflik tematik yang dikembangkan dengan rapi dalam bab sebelumnya.

Nyatanya, ketiga bab pendek berikutnya mengajukan jurus-jurus asing “human touch mengembus feeling touch”, “quantum vision menggenjot quantum leap” dan “Wu-Wei menangkal N-Ach” yang pada akhirnya ditutup dengan jurus pamungkas yang ditunggu-tunggu yaitu “Islam melawan globalisasi.”

Dalam bab terakhir yang cukup panjang ini, penulis menguraikan ciri-ciri paradoksal globalisasi. Di satu pihak globalisasi mendorong munculnya budaya global yang universal, di lain pihak globalisasi memunculkan ethno-nasionalisme, sukuisme dan menekankan pluralitas hidup keberagamaan. Ketegangan antara globalisme dan lokalisme inilah yang menjadi ciri yang nampak pada globalisasi. Ciri lain dari globalisasi kini adalah ketidakseimbangan arus budaya. Globalisasi di masa ini bersifat satu arah dari negara-negara barat yang kapitalistis ke negara-negara non-Barat. Dengan demikian globalisasi di masa kini tak lain dari imperialisme budaya dari Barat.

Mengangkat Wahdah Al-Wujud
Yang menarik pada artikel pamungkas ini ialah kenyataan bahwa penulis memberi resep yang mengejutkan bagi pemikir Islam yang modernis maupun yang tradisionalis, apalagi yang fundamentalis. Soalnya, penulis mengajukan sebuah proposisi yang sangat kontroversial yaitu dengan cara  membangkitkan sebuah konsep yang telah dikubur sedalam-dalamnya oleh para ulama ortodoks di kalangan Sunni yaitu wahdah al-wujud.

Konsep wahdah al-wujud adalah konsep ketunggalan Ada yang telah jauh-jauh ditinggalkan ulama dan cendekiawan muslim karena dianggap zindik oleh para ulama ortodoks tradisionalis, dianggap panteisme musyrik oleh para fundamentalis dan dianggap takhayul mistisisme oleh para modernis.

Sungguh mengherankan bagaimana bisa penulis mengajukan konsep tradisionalis ini sebagai penangkal badai globalisasi posmodernis di era krisis yang anekamatra ini. Jawabannya segera kita dapatkan jika saja kita menuntaskan pembacaan buku ini sampai pada halaman akhir.

Pertama-tama sesuai dengan tradisi Syi’I (Syi’ah), ketika mengangkat lagi konsep lama itu, penulis mengidentikkan wahdah al-wujud dengan tauhid, suatu pernyataan yang pasti akan mendapat protes dari ketiga kubu pemikiran Sunni: fundamentalis, tradisionalis dan modernis.

Akan tetapi, betapapun, jika kita lupakan identifikasi konseptual yang kontroversial itu, maka kita akan mendapatkan bahwa jaringan ulama Haramayn Nusantara sejak abad XVII hingga abad XX  adalah tokoh-tokoh agama yang melakukan harmonisasi syari’at dan tasawuf pada umumnya menganut ajaran wahdah al-wujud.

Namun, menurut penulis, “Doktrin wahdah al-wujud tidak mengambil bentuknya yang rasional dan intelektual dalam wacana spiritual Jawi” (hal 175). Oleh karena itu, untuk membangkitkan wahdah al-wujud ke pentas globalisasi posmodernis ini kita harus mengambil doktrin wahdah al-wujud yang sudah dirasionalkan dan diintelektualkan seperti yang telah dikembangkan oleh Mulla Shadra yaitu “Al-Hikmah al Muta’aliyah yang secara epistemologis didasarkan pada tiga prinsip: intuisi intelektual (dzawq dan isyraq), pembuktian rasional (‘aql dan istidlal) dan syari’at.” (hal. 177-178), 

Penulis menaruh harapan bahwa sintesis Mulla Shadra itu “merupakan sebuah jawaban bagi rekacipta Islam di Indonesia dan Melayu di alaf ketiga” (hal 178). Untuk itu, penulis mengajukan duabelas buah argumen untuk memperkuat pandangannya. (hal  178-190)

Secara ringkas kedua belas argumen itu adalah sebagai berikut: kesatu, Wahdah al-wujud berimplikasi pemaknaan syari’at yang lebih menyatu; kedua, konsep ini berimplikasi pada penerimaan pluralisme (kejamakan cara beragama dan berteologi ); ketiga, dia merupakan titik temu aliran-aliran besar Islam, baik mazhab Sunni-Syi’ah, tasawuf-filsafat sebagai titik konvergen dalam mewujudkan ukhuwah islamiyah; keempat, dia mempunyai kekokohan filosofis yang dapat diuji dalam kancah pemikiran filsafat dunia; kelima, dia menjadi alternatif cara pandang dunia di dalam mana sains dan teknologi mendapat tempatnya yang layak; keenam, dia menegaskan kemayaan segala selain wujud sehingga dapat menahan goncangan postmodernisme; ketujuh dia memberikan kerangka terpadu dalam upaya menjawab persoalan-persoalan teologis dan filosofis yang berkembang dewasa; kedelapan, dia memberikan aksiologi ilmu yang mensejajarkan kebaikan ilmu-ilmu non-keagamaan dan ilmu-ilmu keagamaan; kesembilan, dia memberikan pandangan benar tentang sebab-akibat dalam kaitannya dengan takdir sehingga dapat menghapuskan racun-racun fatalisme, kesepuluh, dia mampu menghadapi “agama para saintis” yaitu evolusionisme melalui teori gradasi wujud.; kesebelas, dia mampu menjawab persoalan relativitas keadilan dan moral; akhirnya kedua belas, dia dapat menjadi titik temu antara Islam tradisionalis dan Islam modernis melalui pemahaman rasional tentang mistis.

Dari keduabelas argumen itu tampak bahwa yang ingin dipecahkan dengan cara membangkitkan konsep wahdah al-wujud dapat dikelompokkan menjadi tiga hal:  pertama adalah kelemahan internal paradigma ilmu Islam (1, 2, 4, 5, 7. 8 dan 11); kedua, keterpecahan pemahaman ummah Islam (argumen 3 dan 9); ketiga, ancaman paham-paham asing di luar Islam (argumen 6 dan 10).

Dari pengelompokan itu nampak bahwa sebagian besar persoalan, kelompok satu dan kelompok dua, telah ada sebelum fenomena globalisasi, tetapi menjadi parah setelahnya. Hanya sedikit yang berkaitan langsung dengan fenomena globalisasi yaitu kelompok persoalan ketiga. Namun jika dapat menyelesaikan persoalan pertama, yaitu kelemahan paradigma ilmu, maka kedua kelompok persoalan lainnya dapat dipecahkan. 

Mencari Paradigma Keilmuan Baru
Pemilihan paham wujudiyah sebagai penangkal globalisasi dan pengokoh ke-Islaman umat merupakan usulan menarik bernuansa postmodernis karena mengambil doktrin tradisional untuk menyelesaikan problematika modern. Akan tetapi menjadikan doktrin wujudiah sebagai satu-satunya kerangka pikir adalah usulan yang bernada modernis yang mencari satu teori besar yang akan memecahkan segalanya.  Tentunya ini akan menghasilkan kontroversi baru yang tak terselesaikan, apalagi jika hanya memilih satu versi doktrin wujudiah yang telah diintelektualkan oleh ulama Syi’ah di Iran.

Upaya yang lebih mungkin dilaksanakan adalah meletakkan doktrin wujudiyah  berpasangan dengan doktrin syuhudiah yang secara historis memang merupakan penyeimbangnya dalam khazanah tasawuf falsafi, lalu meletakkannya dalam konfigurasi pemikiran filsafat Islam yang lebih besar yang meliputi hikmat al-masya’iyah dan hikmat al-isyraqiyah.

Lalu, dari sini kita meletakkannya dalam konstelasi ilmu-ilmu Islam yang lebih besar yaitu ulumul Qur’an-ulumul Hadits-ushuluddin-ushululfiqh-tasawwuf-irfan-hikmat-manthiq lalu mencari paradigma tunggal yang bisa sekaligus melandasi ilmu-ilmu keagamaan Islam tersebut setelah melakukan dekonstruksi rekonstruksi seperlunya.

Diharapkan paradigma tunggal yang ditemukan itu juga dapat menjadi paradigma menyatu bagi ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu kealaman yang ada. Untuk itu kita perlu melakukan dekonstruksi paradigma materialisme mekanistik sains modern dan juga paradigma holisme sibernetik sains postmodern yang sedang tumbuh. Hal ini mutlak diperlukan untuk dapat membangkitkan peradaban Islam dalam era teknetronik (teknologi elektronik) alaf tiga yang baru kita masuki ini.

Semua itu bisa dilakukan melalui multimedia dari yang lisan, cetak hingga yang elektronik, dari yang analog hinga digital di jalan raya informasi bebas hambatan global internet yang sekarang sedang tumbuh dengan cepatnya menjadi suatu pasar raya informasi global. Di internet gagasan-gagasan keagamaan heterodoks Islam menjadi begitu mudah diakses.  Internet juga telah memudahkan kita untuk membuat membentuk komunitas-komunitas virtual yang bisa kita manfaatkan secara efisien dalam dialog besar pembentukan paradigma baru di atas. Semoga Allah meridhai usaha bersama kita ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.

Bandung 17 Mei 2000 (Diskusi Buku IAIN Sunan Gunung Djati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar