Jumat, 17 Juli 2015

Irfan Mulla Shadra, Sintesis Syi’ah dan Sunni




Oleh Komunitas Cahaya

SUMBER al-Hikmah al-Muta’aliyah
Ada berbagai pandangan terhadap pemaknaan hikmah, mulai al-Kindi sampai Ibn Rusd dan konsep puncaknya pada Mulla Shadra. Al-hikmah al-muta'aliyah adalah konsep baru yang ditawarkan Shadra. Kata al-hikmah al-muta'aliyah sebenarnya sudah digunakan oleh kaum sufi dan filosof terdahulu, seperti Ibn Sina dan Nashir al-din al-Thusi.

Meski nama al-hikmah al-muta'aliyah bukan nama baru yang diperkenalkan Shadra, namun konsep dan pemaknaan yang lengkap baru diketemukan dalam tulisan-tulisan Shadra. Sekaligus, murid-murid Shadra memperkenalkannya. Pada filsafat Shadra, tidak hanya ditemukan satu sintesis filsafat dan pemikiran Islam, tapi juga sintesis dari pemikiran terdahulu.

Dalam pendahuluan al-Hikmah al-Muta'aliyah, Shadra membahas secara panjang mengenai definisi hikmah. Menurutnya, hikmah tidak hanya menekankan sikap teoritis melainkan juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian jiwa dari kotoran-kotoran yang bersifat material. Shadra juga menerima definisi hikmah dari Suhrawardi, kemudian memperluasnya. Hikmah mencakup dimensi iluminasi dan penghayatan langsung dari kaum Isyraqi serta kaum sufi. Shadra juga memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang tinggi dan memiliki asal-usul ketuhanan, karena berasal dari Nabi.

Ungkapan al-hikmah al-muta'aliyah terdiri dari dua istilah, yaitu al-hikmah, yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari filsafat, iluminasionisme dan sufisme. Sementara yang kedua, al-muta’aliyah, yang berarti tinggi, agung dan transenden. Dalam konsep al-hikmah al-muta'aliyah, hanya Shadra yang menggunakannya. Sedangkan yang mempopulerkan adalah murid-muridnya, baik secara langsung maupun tidak secara langsung.

Penyebutan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra, kali pertama diperkenalkan oleh Abdul Razaq Lahiji (wafat 1661 M), salah seorang murid dan juga menantu Shadra yang terkenal. Shadra sendiri tidak menyatakan secara eksplisit, bahwa aliran filsafatnya al-hikmah al-muta'aliyah. Penyebutan istilah ini hanya tertulis dalam karya-karyanya: al-Hikmah al-Muta'aliyah maupun al-Syawahid al-Rububiyyah.

Setidaknya bagi Sayyed Hossein Nasr, penggunaan al-hikmah al-muta'aliyah sebagai aliran filsafat Shadra terpengaruh oleh dua hal. Pertama, karena judul buku Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah, menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran dan pandangan dunia yang di dalamnya terdapat doktrin-doktrin metafisika Shadra. Kedua, adanya ajaran oral (lisan dan tuturan) dari Shadra sendiri. Shadra menunjuk al-hikmah al-muta'aliyah tidak hanya menjadi judul bukunya, melainkan ada ajaran moral di dalamnya.

Untuk mengetahui konsep dan pemaknaan Shadra tentang al-hikmah al-muta'aliyah, harus melihat Shadra dalam mendefinisikan hikmah atau falsafah. Menurut Shadra, kedua istilah tersebut adalah identik. Hikmah atau falsafah, dalam perspektif Shadra, berarti al-hikmah al-muta'aliyah itu sendiri.

“Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadaan mereka, yang dibangun berdasar bukti-bukti yang jelas, bukan atas dasar prasangka dan sekedar mengikuti orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa dimengerti, sesuai kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan.”

Melihat definisi di atas, bisa dilihat bahwa bagaiman Shadra mengkombinasikan berbagai pemikiran. Dari yang dikemukakan oleh Ibn Sina maupun yang dikemukakan oleh Suhrawardi. Dari definisi ini, juga kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa hikmah dapat digunakan sebagai sarana untuk menuju Tuhan. Tentunya, tidak hanya hikmah yang dapat menjadi sarana mendekat pada Sang Khalik.

Sebagai sebuah konstruksi, pemikiran al-hikmah al-muta'aliyah tentu saja tidak hanya dihasilkan dari konstruksi pemikiran pribadi Shadra, namun bersumber juga pada karya-karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak dapat disimpulkan bahwa pemikiran Shadra hanya gabungan dari berbagai karya terdahulu.

Filsafat Shadra menjadi bagian dari filsafat perenialais, yang di dalamnya terdapat pengulangan-pengulangan kembali tentang kebenaran yang sama dengan sebelumnya.

Ketika Shadra masih hidup, dia sudah menerima banyak kritikan. Bahkan, pada tahap berikutnya, Shadra dituduh telah mencuri ide-ide orang lain dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, arus masyarakat tidak hanya negatif, banyak juga yang berpandangan bahwa ide Shadra adalah yang paling benar. Kelompok ini juga memandang bahwa ide Shadra inilah yang menjadi puncak dari seluruh pemikiran filsafat Islam. Kelompok ini berasal dari sebagian murid dan pengagumnya.

Terlepas dari perdebatan tersebut, setidaknya ada beberapa sumber al-hikmah al-muta'aliyah muncul dari pemikiran Shadra. Pertama, sumber utama dari munculnya ide al-hikmah al-muta'aliyah adalah tradisi Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an. Tidak diragukan lagi kecakapan Shadra dalam bidang ini. Pengetahuannya terhadap teks kitab suci dan penafsirannya menjadikan Shadra berbeda dengan filosof-filosof muslim sebelumnya. Dalam mengungkapkan makna batin, Shadra lebih mirip dengan tokoh-tokoh tasawuf dibanding dengan para filosof sendiri. Karakteristik pemikiran Shadra sendiri, lebih terlihat penggunaan al-Qur'an sebagai fondasi utamanya.

Pengaruh al-Qur'an terhadap pemikiran Shadra tidak saja terpengaruh terhadap penafsiran-penafsiran formal, tetapi hampir dalam setiap tulisannya. Hampir setiap karya-karyanya selalu diberi penjelasan dengan Al-Qur'an, jadi al-Qur'an tiak hanya digunakan dalam tafsirnya (Tafsir al-Qur'an al-Karim).

Kedua, adalah hadits. Al-hikmah al-muta'aliyah juga menggunakan hadits untuk membangun fondasi strukturnya. Bagi Shadra, hadits juga memiliki tingkatan makna-makna esoterik yang hanya bisa disentuh dengan illuminasi spiritual. Makna inilah yang dicari oleh pencari kebenaran.

Selain kedua sumber tersebut, Shadra sebagai Syi’ah, al-hikmah al-muta'aliyah juga bersumber pada ucapan-ucapan para imam ahlulbait, terutama Imam Ali, yang juga dianggap sebagai teks suci. Salah satu contohnya adalah khutbah Ali tentang keberadaan wujud Tuhan. Imam Ali mengecam bagi yang tidak mengakui keberadaan sifat-sifat Tuhan, dan menegaskan wujud Tuhan secara murni. Bagi Imam Ali, antara wujud dan sifat Tuhan adalah identik. Begitu pula Shadra, ia sering menggunakannya untuk membuktikan keberadaan wujud dan sifat-sifat Tuhan.

ilmu Kalam Syi’ah menjadi corak yang lain dalam pemikiran Shadra, sebuah lingkungan yang mesti mempengaruhi pemikiran. Kalam Syi’ah sendiri banyak yang bersifat filosofis dan mistis. Dengan kata lain, pemecahan segala sesuatu melalui filsafat dan juga berusaha dipadukan dengan sufisme yang berkembang waktu itu. Tentu saja, konstruksi al-hikmah al-muta'aliyah tidak akan pernah lepas dari keberadaan kalam Syi’ah itu sendiri.

Shadra tidak hanya terpengaruh oleh ilmu kalam Syi’ah saja, melainkan Mu’tazilah, Asy’ariyah juga mewarnai pemikirannya. Para pengarang Asy’ariyah klasik, seperti al-Ghazali dan al-Razi memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sistem al-hikmah al-muta'aliyah. Mu’tazilah juga memiliki peran, namun peran Asy’ariyah lebih dominan dibanding dengan Mu’tazilah.

Dalam bidang filsafat sendiri, Shadra sangat paham terhadap tokoh-tokoh Yunani klasik, bahkan tokoh-tokoh pra Sokrates. Adalah hal menarik, bahwa pemikiran pra Socrates, filsafatnya bercirikan isyraqi. Bagi Shadra, tokoh-tokoh Alexandria memiliki tradisi ilmu pengetahuan yang dekat dengan Isyraqi tersebut. Shadra juga banyak menginterpretasikan tokoh-tokoh tersebut secara mendalam.

Namun, pengetahuan Shadra tentang filsafat Islam lebih mendalam. Dalam sejarah aliran peripatetik, Shadra lebih mengenal al-Kindi dibanding dengan yang lain. Akan tetapi, kelihatannya Shadra tidak banyak terpengaruh oleh al-Kindi.

Mengenai Ibn Sina, Shadra paling mendalam pengetahuannya. Ibn Sina bisa dibilang sebagai sumber utama munculnya al-hikmah al-muta'aliyah. Hampir setiap buku Ibn Sina digunakan sebagai rujukan oleh Shadra. Selain Ibn Sina, sumber utama yang lain adalah Suhrawardi dan Ibn ‘Arabi. Suhrawardi digunakan sebagai sumber pengetahuan, tentu saja dalam bidang aliran isyraqi.

Shadra sendiri secara jujur mengakui kepahaman terhadap hikmah tidak lain dari Suhrawardi. Eksposisi metafisik bisa dilihat sebagai versi lain Suhrawardi. Bagi Shadra, kedua tokoh tersebut keberadaannya saling melengkapi. Oleh sebab itu, tidak heran jika Shadra menyebut orang yang mencapai tingkat pengetahuan tinggi sebagai hakim muta’allih.

Al-hikmah al-muta'aliyah juga tidak lepas dari adanya ajaran-ajaran esoteris Islam yang terkandung dalam ajaran tasawuf. Hampir seluruh tulisan Shadra selalu bercorak etika dan operasional. Syair Rumi juga digunakannya sebagai argumen intelektual.

Prinsip Utama al-Hikmah al-Muta’aliyah
Al-hikmah al-muta'aliyah merupakan sintesis Shadra dari iluminasi intelektual (isyraq), penalaran dan pembuktian rasional (‘aql, burhan atau istidlal) serta agama dan wahyu (syar’i). Melalui kombinasi ketiga hal tersebut, tercipta al-hikmah al-muta'aliyah. Terlihat sekali perpaduan antara prinsip-prinsip ‘irfan, filsafat dan agama. Di mana pembuktian-pembuktian rasionalnya selalu dikaitkan dengan al-Qur'an, al-hadits serta ajaran-ajaran para imam ahlulbait yang kemudian dipadukan dengan doktrin ‘irfan.

Shadra sendiri meyakini sepenuhnya bahwa metode yang paling berhasil untuk mencapai pengetahuan yang sejati adalah Kasyf, yang ditopang oleh wahyu dan tidak bertentangan dengan burhan.

Bagi Shadra, hakikat pengetahuan tidak dapat diperoleh secara langsung, kecuali atas perantara Tuhan, dan tidak mungkin terungkap kecuali melalui cahaya kenabian dan kewalian. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan penyucian qalb (hati). Menjauhkan diri dari segala hawa nafsu, mendidik agar tidak terpesona dengan kemewahan dunia materi, serta mengasingkan diri dari keramaian. Selain itu, merenungkan ayat-ayat Tuhan (sunatullah), merenungkan hadits nabi dan mencontoh perilaku orang-orang saleh.

Ketika dia menyadari kelemahan diri dan merasakan bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu apapun, dibangkitkannyalah semangat dan berkobar qalbunya dengan cahaya yang terang. Saat itulah, ketika seseorang dipenuhi sinar (yang merupakan dari Tuhan), di saat itulah terbuka di hadapannya rahasia dari ayat-ayat Tuhan.

Sumber:
Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta'aliyah fi al-Ashfar al-Aqliyah al-Arbaah, (Beirut: Dar el Ihya, 1981).
Nasr Sayyed Hossen Nasr dalam Ahmad NP. (ed.), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996).
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. M. Khozim dan Suhadi, (Yogyakarta: LKiS, 2002).
Issa J. Baullata, Dekonstruksi Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2001), lihat juga Sayyed Hossen Nasr dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Op.Cit., hlm. 143.
Fritjoff Schoun, Filsafat Perenial, (Bandung: Mizan, 1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar