Meskipun judul bukunya
berembel-embel catatan perjalanan jurnalistik, buku ini lebih tepat disebut
kajian tentang Damascus dan Baghdad. Sebab penulisnya tidak hanya menyusun
berdasarkan reportase di lapangan tapi lebih banyak menggunakan bahan-bahan
tertulis alias riset. Penggunaan data skunder lebih banyak, dibandingkan
observasi atau wawancara dengan sumber-sumber di lapangan, misanya.
Maka, embel-embel sebagai
catatan perjalanan jurnalistik dalam buku ini terkesan dipaksakan. Sebab, buku
ini lebih dari itu. Sebagaimana disinggung dalam pengantarnya, buku ini memang
tidak hanya sebuah laporan jurnalistik tetapi pemahaman mengenai sejarah sebuah
negara, kota, dan juga suku-suku bangsa yang ada di dunia.
Penggunaan kota Damascus
dan Baghdad sebagai bahan tulisan pun lebih tepat sebagai tempat pergi dan
kembali. Dari dua kota itu, pembaca tidak hanya diajak jalan-jalan keliling
kota tapi juga mengembara ke berbagai negara. Lihatlah misalnya setelah enam
paragraf di bab pertama. Ketika kita baru tiba di Bandar Udara Internasional
Damascus, Suriah, tiba-tiba kita langsung diajak melanglang buana ke Moskwa,
Rusia. Penggambaran ini dilakukan untuk membandingkan larangan membawa uang
keluar dari Suriah lebih dari 5000 pound Suriah dengan pengenaan pajak bagi
mereka yang membawa 500 dollar AS keluar dari Rusia pada 1993 (hal. 2).
Setelah kembali ke
Damascus dan menyusuri jalan menuju hotel, lagi-lagi pembaca harus terbang jauh
hingga Italia gara-gara pohon Zaitun. Dalam perjalanan kereta api antara Roma
ke Brindisi, barisan pohon zaitun berjejer seperti tentara. Pohon yang di
Italia dikenal sebagai trilogi tanaman kawasan Mediterania itu ternyata ditemukan
pertama kali di Suriah.
Nama Suriah, yang artinya
kurang lebih kota yang dikelilingi dinding pertahanan, pertama kali digunakan
oleh Strabo, ahli sejarah Yunani. Negeri yang bernama Republik Arab Suriah atau
Al-Jamhouriya al Arabia as-Souriya itu luasnya 185.100 kilometer dengan 17 juta
jiwa penduduk hingga tahun 2002 lalu. Negara ini mengalami sepuluh kali kudeta
militer sebelum kemudian dipimpin Hafez al-Assad sejak 14 Maret 1970.
Profil orang inilah yang
kemudian dibahas tuntas di bab ketiga. Namun sebelum mengenal pemimpin berjuluk
Singa Padang Gurun ini, terlebih dahulu kita mengenal Damascus sebagai ibukota
Suriah. Ada bukti kuat bahwa kota yang diperkirakan sudah ada sejak 8000 Sebelum
Masehi ini pernah jadi pusat peradaban dunia.
Bab dua tak semata bercerita
tentang Damascus. Pembaca juga diajak menjelajah (lagi-lagi) ke Rusia untuk
kemudian ke Filipina (meski hanya satu paragraf), Jerusalem, Mosul, Tikrit,
Kirkuk, dan Dataran Tinggi Golan. Perjalanan ke beberapa kota dan negara itu
membuat pembaca mengetahui tentang bagaimana minyak telah menjadi rebutan
banyak negara termasuk Inggris, Turki, Amerika Serikat, hingga Suku Kurdi.
Toh, bab ini masih sempat
mengajak kita untuk menikmati rileksnya sebuah perjalanan untuk menghilangkan
ketegangan cerita rebutan minyak, tanah, dan kekuasaan. Di halaman 59, kita
bisa bisa melepas lelah dengan minum teh khas Suriah sambil menikmati nikmatnya
Nargile, rokok khas Suriah, dengan aneka rasa seperti rasa apel, rasa buah
berry, maupun buah persik. Cara merokoknya pun khas dengan menggunaka semacam
pipa air setinggi sekitar setengah meter. Untuk bisa mengisap asapnya, perokok
harus menyedotnya dalam-dalam. Biasanya di satu pipa akan dinikmati
ramai-ramai.
Barangkali setelah merokok
itu kita akan lebih rileks berkenalan dengan Hafez al-Assad, Presiden Suriah
yang berkuasa melalui kudeta tak berdarah Gerakan Koreksionis. Semasa memimpin,
lulusan Akademi Militer Angkatan Udara Aleppo ini memainkan peranan penting di
kawasan Arab. Misalnya dengan menyerang Israel pada 6 Oktober 1973,
menentang perjanjian damai Camp David antara Israel dan Mesir pada 17 September
1978, mengirim tentara ke Arab Saudi untuk melawan Irak pada 1991, serta
melawan pendudukan Israel di Irak. Karena sikapnya itu Hafez al-Assad dianggap
sebagai musuh oleh Amerika. Namun bagi orang Arab Hafez al-Assad adalah orang
yang visioner, radikal, sekaligus nasionalis Arab yang kukuh.
Sayangnya, penyusun buku
ini tidak mengajak kita untuk mengenal bagaimana rakyat Suriah masih mengenang
Hafez al-Assad setelah meninggal pada 10 Juni 2000. Tulisan tentang presiden
seumur hidup dan dicintai rakyatnya ini akan lebih menarik kalau berisi
bagaimana makamnya dibangun, bagaimana kelahiran atau kematiannya diperingati
rakyatnya, atau adakah monumen atau sesuatu benda mati untuk mengenang pemimpin
besar tersebut. Hal-hal tersebut yang tidak ada di bagian ini.
Kekuasaan Hafez al-Assad
diteruskan anak keduanya Bashar al-Assad, yang sebelumnya adalah dokter mata di
St Mary’s Hospital, London yang bisa bahasa Inggris serta Perancis. Latar
belakang pendidikannya di Eropa membuat presiden berumur 41 tahun tersebut
membuka keran informasi di negaranya. Bashar al-Assad memperbolehkan rakyatnya
menggunakan internet, sesuatu yang haram pada masa ayahnya. Kebijakannya inilah
yang membuat Bashar al-Assad ibarat Mustafa Kemal Attaturk, pendiri Republik
Turki.
Cerita tentang Suriah,
Damascus, Hafez al-Assad, dan Bashar al-Assad berganti cerita tentang Baghdad
di bab selanjutnya. Dalam bab berjudul Dari Damascus ke Baghdad
itu kita diajak terbang menuju Baghdad, ibukota Irak. Toh, penulis masih
sempat-sempatnya mengajak pembaca ke Argentina dan Chile ketika melihat
pemandangan padang pasir cokelat di bawah sana. Lompatan ruang ini juga terjadi
ketika pembaca tiba-tiba diajak kembali ke Vietnam, tetangga Indonesia untuk
mengenal bagaimana kondisi Irak pasca perang April 2003 lalu.
Kehancuran Irak pasca
perang April lalu itu juga tergambarkan ketika pembaca diajak berkeliling ke
bekas kerajaan Babilonia. Kerajaan ini terkenal dengan Code of Hammurabi sebuah
kumpulan hukum dan dekrit yang amat berniali bagi manusia. Pada masa kerajaan
ini pula manusia mengenal ukuran waktu bernama hari, jam, dan seterusnya
tersebut. Ketika melihat Taman Gantung Babilonia kita juga diajak berkunjung ke
Taj Mahal di India dan Candi Pramabanan di Yogyakarta. Persamaan ketiga tempat
ini adalah dibangun untuk menunjukkan rasa cinta laki-laki kepada perempuan.
Bab 7 dan Bab 8 buku ini
menceritakan tentang perjalanan karier Saddam Husein sebelum berakhir setelah
digempur pasukan Sekutu Maret-April tahun lalu dan bagaimana kelakuan dua anak
Saddam Husein yaitu Uday dan Qusay. Kalau disebut sebagai laporan perjalanan
jurnalistik, maka dua bab terakhir inilah yang paling jauh dari kriteria.
Sebab, hampir seluruhnya berasal dari riset pustaka, kliping, maupun internet.
Maka, cerita itu tidak jauh berbeda dengan berita-berita yang pernah kita baca
sebelumnya. Pada bab terakhir, seperti lainnya, juga masih diisi perjalanan
antara ke tempat lain, kali ini suasana perang dunia II antara Jepang dan
Amerika Serikat.
Perjalanan-perjalanan
antara tersebut nyaris berada di seluruh bab. Inilah kekuatan buku ini karena
meskipun dari judulnya seolah-olah hanya menceritakan dua negara, nyatanya
menceritakan berbagai tempat dan peristiwa melewati ruang dan waktu. Maka kalau
Anda tertarik dengan berita-berita internasional serta laporan perjalanan,
siapa pun Anda, buku ini layak jadi bahan bacaan.
Identitas Buku
Judul : Dari Damascus ke Baghdad:
Catatan Perjalanan Jurnalistik
Penulis : Trias Kuncahyono
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Februari 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar