Senin, 13 Juli 2015

Dua Negara, 1001 Cerita



Oleh Anton Muhajir (Jurnalis lepas. Tinggal di pinggiran Denpasar Utara)

Meskipun judul bukunya berembel-embel catatan perjalanan jurnalistik, buku ini lebih tepat disebut kajian tentang Damascus dan Baghdad. Sebab penulisnya tidak hanya menyusun berdasarkan reportase di lapangan tapi lebih banyak menggunakan bahan-bahan tertulis alias riset. Penggunaan data skunder lebih banyak, dibandingkan observasi atau wawancara dengan sumber-sumber di lapangan, misanya.

Maka, embel-embel sebagai catatan perjalanan jurnalistik dalam buku ini terkesan dipaksakan. Sebab, buku ini lebih dari itu. Sebagaimana disinggung dalam pengantarnya, buku ini memang tidak hanya sebuah laporan jurnalistik tetapi pemahaman mengenai sejarah sebuah negara, kota, dan juga suku-suku bangsa yang ada di dunia.

Penggunaan kota Damascus dan Baghdad sebagai bahan tulisan pun lebih tepat sebagai tempat pergi dan kembali. Dari dua kota itu, pembaca tidak hanya diajak jalan-jalan keliling kota tapi juga mengembara ke berbagai negara. Lihatlah misalnya setelah enam paragraf di bab pertama. Ketika kita baru tiba di Bandar Udara Internasional Damascus, Suriah, tiba-tiba kita langsung diajak melanglang buana ke Moskwa, Rusia. Penggambaran ini dilakukan untuk membandingkan larangan membawa uang keluar dari Suriah lebih dari 5000 pound Suriah dengan pengenaan pajak bagi mereka yang membawa 500 dollar AS keluar dari Rusia pada 1993 (hal. 2).

Setelah kembali ke Damascus dan menyusuri jalan menuju hotel, lagi-lagi pembaca harus terbang jauh hingga Italia gara-gara pohon Zaitun. Dalam perjalanan kereta api antara Roma ke Brindisi, barisan pohon zaitun berjejer seperti tentara. Pohon yang di Italia dikenal sebagai trilogi tanaman kawasan Mediterania itu ternyata ditemukan pertama kali di Suriah.

Nama Suriah, yang artinya kurang lebih kota yang dikelilingi dinding pertahanan, pertama kali digunakan oleh Strabo, ahli sejarah Yunani. Negeri yang bernama Republik Arab Suriah atau Al-Jamhouriya al Arabia as-Souriya itu luasnya 185.100 kilometer dengan 17 juta jiwa penduduk hingga tahun 2002 lalu. Negara ini mengalami sepuluh kali kudeta militer sebelum kemudian dipimpin Hafez al-Assad sejak 14 Maret 1970.

Profil orang inilah yang kemudian dibahas tuntas di bab ketiga. Namun sebelum mengenal pemimpin berjuluk Singa Padang Gurun ini, terlebih dahulu kita mengenal Damascus sebagai ibukota Suriah. Ada bukti kuat bahwa kota yang diperkirakan sudah ada sejak 8000 Sebelum Masehi ini pernah jadi pusat peradaban dunia.

Bab dua tak semata bercerita tentang Damascus. Pembaca juga diajak menjelajah (lagi-lagi) ke Rusia untuk kemudian ke Filipina (meski hanya satu paragraf), Jerusalem, Mosul, Tikrit, Kirkuk, dan Dataran Tinggi Golan. Perjalanan ke beberapa kota dan negara itu membuat pembaca mengetahui tentang bagaimana minyak telah menjadi rebutan banyak negara termasuk Inggris, Turki, Amerika Serikat, hingga Suku Kurdi.

Toh, bab ini masih sempat mengajak kita untuk menikmati rileksnya sebuah perjalanan untuk menghilangkan ketegangan cerita rebutan minyak, tanah, dan kekuasaan. Di halaman 59, kita bisa bisa melepas lelah dengan minum teh khas Suriah sambil menikmati nikmatnya Nargile, rokok khas Suriah, dengan aneka rasa seperti rasa apel, rasa buah berry, maupun buah persik. Cara merokoknya pun khas dengan menggunaka semacam pipa air setinggi sekitar setengah meter. Untuk bisa mengisap asapnya, perokok harus menyedotnya dalam-dalam. Biasanya di satu pipa akan dinikmati ramai-ramai.

Barangkali setelah merokok itu kita akan lebih rileks berkenalan dengan Hafez al-Assad, Presiden Suriah yang berkuasa melalui kudeta tak berdarah Gerakan Koreksionis. Semasa memimpin, lulusan Akademi Militer Angkatan Udara Aleppo ini memainkan peranan penting di kawasan Arab. Misalnya dengan menyerang Israel pada 6 Oktober 1973, menentang perjanjian damai Camp David antara Israel dan Mesir pada 17 September 1978, mengirim tentara ke Arab Saudi untuk melawan Irak pada 1991, serta melawan pendudukan Israel di Irak. Karena sikapnya itu Hafez al-Assad dianggap sebagai musuh oleh Amerika. Namun bagi orang Arab Hafez al-Assad adalah orang yang visioner, radikal, sekaligus nasionalis Arab yang kukuh.

Sayangnya, penyusun buku ini tidak mengajak kita untuk mengenal bagaimana rakyat Suriah masih mengenang Hafez al-Assad setelah meninggal pada 10 Juni 2000. Tulisan tentang presiden seumur hidup dan dicintai rakyatnya ini akan lebih menarik kalau berisi bagaimana makamnya dibangun, bagaimana kelahiran atau kematiannya diperingati rakyatnya, atau adakah monumen atau sesuatu benda mati untuk mengenang pemimpin besar tersebut. Hal-hal tersebut yang tidak ada di bagian ini.

Kekuasaan Hafez al-Assad diteruskan anak keduanya Bashar al-Assad, yang sebelumnya adalah dokter mata di St Mary’s Hospital, London yang bisa bahasa Inggris serta Perancis. Latar belakang pendidikannya di Eropa membuat presiden berumur 41 tahun tersebut membuka keran informasi di negaranya. Bashar al-Assad memperbolehkan rakyatnya menggunakan internet, sesuatu yang haram pada masa ayahnya. Kebijakannya inilah yang membuat Bashar al-Assad ibarat Mustafa Kemal Attaturk, pendiri Republik Turki.

Cerita tentang Suriah, Damascus, Hafez al-Assad, dan Bashar al-Assad berganti cerita tentang Baghdad di bab selanjutnya. Dalam bab berjudul Dari Damascus ke Baghdad itu kita diajak terbang menuju Baghdad, ibukota Irak. Toh, penulis masih sempat-sempatnya mengajak pembaca ke Argentina dan Chile ketika melihat pemandangan padang pasir cokelat di bawah sana. Lompatan ruang ini juga terjadi ketika pembaca tiba-tiba diajak kembali ke Vietnam, tetangga Indonesia untuk mengenal bagaimana kondisi Irak pasca perang April 2003 lalu.

Kehancuran Irak pasca perang April lalu itu juga tergambarkan ketika pembaca diajak berkeliling ke bekas kerajaan Babilonia. Kerajaan ini terkenal dengan Code of Hammurabi sebuah kumpulan hukum dan dekrit yang amat berniali bagi manusia. Pada masa kerajaan ini pula manusia mengenal ukuran waktu bernama hari, jam, dan seterusnya tersebut. Ketika melihat Taman Gantung Babilonia kita juga diajak berkunjung ke Taj Mahal di India dan Candi Pramabanan di Yogyakarta. Persamaan ketiga tempat ini adalah dibangun untuk menunjukkan rasa cinta laki-laki kepada perempuan.

Bab 7 dan Bab 8 buku ini menceritakan tentang perjalanan karier Saddam Husein sebelum berakhir setelah digempur pasukan Sekutu Maret-April tahun lalu dan bagaimana kelakuan dua anak Saddam Husein yaitu Uday dan Qusay. Kalau disebut sebagai laporan perjalanan jurnalistik, maka dua bab terakhir inilah yang paling jauh dari kriteria. Sebab, hampir seluruhnya berasal dari riset pustaka, kliping, maupun internet. Maka, cerita itu tidak jauh berbeda dengan berita-berita yang pernah kita baca sebelumnya. Pada bab terakhir, seperti lainnya, juga masih diisi perjalanan antara ke tempat lain, kali ini suasana perang dunia II antara Jepang dan Amerika Serikat.

Perjalanan-perjalanan antara tersebut nyaris berada di seluruh bab. Inilah kekuatan buku ini karena meskipun dari judulnya seolah-olah hanya menceritakan dua negara, nyatanya menceritakan berbagai tempat dan peristiwa melewati ruang dan waktu. Maka kalau Anda tertarik dengan berita-berita internasional serta laporan perjalanan, siapa pun Anda, buku ini layak jadi bahan bacaan.

Identitas Buku
Judul                : Dari Damascus ke Baghdad: Catatan Perjalanan Jurnalistik
Penulis             : Trias Kuncahyono
Penerbit          : Penerbit Buku Kompas, Februari 2004
Halaman         : xviii + 266 halaman 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar