Betapapun
banyaknya yang berpandangan bahwa Perang Salib adalah ekspedisi militer yang
dilakukan atas nama iman Kristiani, pada dasarnya motif dan upaya untuk
mendapatkan keuntungan materilah yang menjadi tujuan sesungguhnya. Dalam hal
ini, Perang Salib bisa dibilang sebuah aliansi-invasi, sebagaimana keberingasan
kelompok ISIS dan sekutu mereka saat ini yang dihasut dengan isu ‘Pendirian
Khilafah’ oleh Amerika, NATO dkk itu –sama-sama membajak agama demi agressi dan
invasi dalam rangka penguasaan material dan kepentingan ekonomi politik.
Sejarah,
memang, entah kita suka tidak suka, acapkali terulang dalam ‘hukum sirkular’
yang kembali pada pola yang sama.
Kala
itu Eropa dilanda kemiskinan dan kesengsaraan yang berat, dan persis pada saat
itulah kemakmuran dan kekayaan bangsa Timur, terutama bangsa Muslim di Timur
Tengah, menarik perhatian bangsa Eropa yang tengah dilanda ‘kebangkrutan’ itu.
Singkat
kata, meski menggunakan wajah agama (menggunakan klaim-klaim keagamaan), dan
dihiasi dengan simbol-simbol Kristiani, gagasan Perang Salib sebenarnya lahir
dari hasrat akan keuntungan duniawi, motif material, sebagaimana Amerika, NATO
dan sekutu mereka seperti Rezim Saudi Arabia, Qatar dan Turki melakukannya di
Irak, Suriah dan di tempat-tempat lainnya di dunia saat ini –dengan menggunakan
ISIS, Al-Qaeda, Front Al-Nusra dan yang sejenisnya itu.
Sebagaimana
kita tahu, pengagas Perang Salib adalah Paus Urban II (atas desakan Ordo Templar).
Saat itu, tepatnya pada tahun 1095, ia menyelenggarakan Konsili Clermont, di
mana doktrin Kristen sebelumnya yang cinta damai ditinggalkan. Perang suci
diserukan, dengan tujuan (yang sebenarnya isu politis) untuk merebut ‘tanah
suci’ (yang sebenarnya dalam rangka mengeruk bahan material dan kekayaan) dari
tangan bangsa Muslim.
Sebagai
tindak lanjut dari pertemuan konsili, dibentuklah pasukan Pejuang Salib yang
amat besar, terdiri dari para tentara, dan puluhan ribu rakyat biasa.
Para
ahli sejarah percaya bahwa upaya Urban II didorong oleh keinginannya untuk
merintangi pencalonan seorang pesaingnya dalam kepausan. Sedangkan di balik
sambutan penuh semangat dari para raja, pangeran, dan bangsawan Eropa atas
seruan Paus, tujuan mereka pada dasarnya bersifat keduniawian.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Donald Queller dari Universitas Illinois, “Ksatria-ksatria
Prancis menginginkan lebih banyak tanah. Pedagang-pedagang Italia berharap
untuk mengembangkan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Timur Tengah”.
Motif
untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan di kalangan para bangsawan, politisi,
korporat, para pedagang, dan pemegang institusi politik dan keagamaan di Eropa,
itulah yang mendorong digelarnya invasi dan agressi yang membajak agama, yang
kita kenal sebagai Perang Salib itu
Dalam
Perang Salib itu, sejumlah besar orang miskin bergabung dengan ekspedisi
sekedar untuk melarikan diri dari kerasnya kehidupan sehari-hari mereka di
negara-negara mereka masing-masing di Eropa. Sepanjang jalan, massa yang
‘serakah’ ini membantai banyak orang Muslim, dan bahkan Yahudi, dengan harapan
untuk menemukan emas dan permata. Para prajurit Perang Salib bahkan membelah
perut korban-korban mereka untuk menemukan emas dan batu-batu berharga yang
mungkin telah mereka telan sebelum mati.
Begitu
besarnya keserakahan para Prajurit Perang Salib akan harta, sehingga tanpa
sesal mereka merampok kota Kristen Ortodoks (Kekaisaran Bizantium)
Konstantinopel (Istanbul) pada Perang Salib IV, dan melucuti daun-daun emas
dari lukisan-lukisan dinding Kristiani Ortodoks di Hagia Sophia (Aya Sofia yang
kini telah menjadi mesjid itu).
Setelah
perjalanan yang panjang dan sulit, serta begitu banyak perampasan dan
pembantaian orang-orang Muslim, gerombolan campur aduk yang disebut Prajurit
Perang Salib ini mencapai Yerusalem di tahun 1099. Ketika akhirnya kota itu
jatuh, setelah pengepungan selama hampir lima minggu, para prajurit Perang
Salib pun masuk.
Mereka
melakukan kebuasan hingga tingkatan yang jarang disaksikan dunia. Semua orang
Muslim dan Yahudi di kota itu mati di ujung pedang.
Dalam
narasi salah seorang ahli sejarah diceritakan, “Mereka membunuh semua orang
Sarasen dan Turki yang mereka temukan…baik lelaki maupun wanita.” Salah
seorang Pejuang Salib, Raymond of Aguiles, menyombongkan kekejaman ini:
“Tampaklah
pemandangan yang menakjubkan. Sebagian orang-orang kami (dan ini lebih murah
hati) memenggal kepala-kepala musuh; yang lainnya memanah mereka, sehingga
berjatuhan dari menara-menara, yang lain lagi menyiksa lebih lama dengan
melemparkan mereka ke dalam api. Gundukan kepala, tangan, dan kaki tampak di
jalan-jalan kota. Orang harus mencari jalan di antara mayat-mayat manusia dan
kuda. Tetapi ini belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang terjadi di Kuil
Sulaiman, tempat kebaktian keagamaan biasanya dinyanyikan…di dalam Kuil dan
serambi Sulaiman, orang-orang berkuda berkubang darah hingga ke lutut dan tali
kekang mereka.”
Selama
dua hari, pasukan para prajurit Perang Salib membunuh sekitar 40.000 muslim
dengan cara yang sangat keji dan barbar. Para prajurit Perang Salib kemudian
menjadikan Yerusalem sebagai ibukota mereka, dan membangun Kerajaan Latin yang
membentang dari perbatasan Palestina hingga ke Antioch (Antakia) di Suriah.
Selanjutnya,
para prajurit Perang Salib mulai berupaya untuk memperjuangkan posisinya di
Timur Tengah. Untuk mempertahankan apa yang telah mereka bangun, mereka perlu
mengorganisirnya. Untuk itu mereka membentuk ordo-ordo militer, dalam bentuk
yang belum pernah ada sebelumnya. Anggota ordo-ordo ini datang dari Eropa ke
Palestina, dan tinggal di semacam biara, di mana mereka menerima latihan
militer untuk memerangi orang Muslim. Secara khusus, salah satu dari ordo-ordo
ini berbeda dengan yang lainnya. Ordo itu mengalami transformasi yang akan
memengaruhi jalannya sejarah. Namanya adalah ‘Ordo Templar’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar