Suatu hari, kala Imam
Ketujuh kita, Imam Musa al-Kazim (yang kala itu masih berusia 5 tahun), salah
seorang murid ayahnya yang bernama Abu Hanifah datang berkunjung untuk bertanya
beberapa masalah kepada ayah Imam Musa al-Kazim as. Imam Keenam kita, ayah Imam
Musa al-Kazim, Imam Ja’far as-Sadiq as sedang sibuk bersama dengan tamunya yang
lain dan Abu Hanifah menunggu untuk beberapa waktu.
Lalu, ia melihat Imam Musa
al-Kazim as sedang bermain dengan seekor binatang. Ia berkata kepada binatang tersebut,
“Bersujudlah kepada Allah yang telah menciptakanmu.” Abu Hanifah bertanya-tanya
apakah si bocah belia ini akan menjadi Imam selanjutnya.
Ia memutuskan untuk
bertanya kepada Imam Musa al-Kazim as beberapa pertanyaan. Abu Hanifah berkata
kepada Imam belia, “Bolehkah aku ajukan sebuah pertanyaan kepadamu?” Lalu Imam
Musa al-Kazim as berdiri dan dengan mantap berkata kepada Abu Hanifah, silahkan
ajukan pertanyaan apa pun yang engkau sukai?”
Kemudian Abu Hanifah
mengajukan sebuah pertanyaan yang telah membuat Abu Hanifah merasa kebingungan.
Ia bertanya, “Apakah seluruh perbuatan manusia terlaksana dari kebebasannya
atau berada dalam kendali Tuhan dan membuatnya melakukan hal itu (terpaksa)?
Imam Musa al-Kazim
menjawab bahwa ada tiga kemungkinan di balik pertanyaan Abu Hanifah itu: [1] Allah Swt memaksanya untuk
melakukan sebuah perbuatan. [2]
Antara Allah Swt dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan itu. [3] Manusia melakukannya sendiri, dalam
rangkuman kebebasannya. Imam Musa al-Kazim as menjelaskan:
Apabila kemungkinan atau
anggapan pertama benar maka manusia tidak seyogyanya diadili pada Hari Hisab
dan dikirim ke surga atau neraka, lantaran ia tidak pantas mendapatkan hal itu.
Manusia tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Anggapan ini
tidaklah demikian adanya. Apabila kemungkinan dan anggapan kedua benar bahwa
antara Allah Swt dan manusia keduanya harus diadili pada Hari Hisab. Anggapan
ini juga tentu saja tidak masuk akal.
Kemudian, tersisa
kemungkinan dan anggapan yang ketiga dan menjadi anggapan satu-satunya yang
tersisa. Anggapan yang benar adalah anggapan yang ketiga, lantaran manusia
telah diberikan kebebasan setelah menerima bimbingan dan tuntunan tentang apa
yang baik dan apa yang buruk.
Abu Hanifah berujar bahwa
alangkah luar biasanya rumah tangga seperti ini. Bahkan bocah kecil sekalipun
dapat menjawab dan memberikan kepuasan atas kumpulan beberapa pertanyaan! Ia
berkata bahwa tidak perlu lagi ia bersua dengan Imam Keenam, Imam Ja’far Sadiq
as, dan ia kembali ke rumahnya setelah mendapatkan jawaban dari Imam Musa Kazhim
as.
Imam Ja’far as Shadiq as dan Abu Hanifah
Aku meminta izin untuk
bertemu dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq, ”demikian Abu Hanifah memulai kisahnya,
“tetapi ia tidak memperkenankanku. Kebetulan datanglah rombongan orang Kufah
meminta izin, dan aku pun masuk bersama mereka.
Setelah aku berada di
sisinya, aku berkata, ‘Wahai putra Rasulallah, alangkah baiknya jika engkau menyuruh
orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah SAW.
Aku lihat di sana lebih dari sepuluh ribu orang mengecam sahabat.’
‘Mereka tidak menerima
laranganku,’ jawab Imam Ja’far. ’Siapa yang berani menolak engkau, padahal
engkau adalah putra Rasulallah?’ tanya Abu Hanifah.
’Engkau orang pertama yang
tidak menerima perintahku. Engkau masuk tanpa seizinku. Duduk tanpa perintahku.
Berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Telah sampai padaku bahwa engkau menggunakan
qiyas.’ ’Benar,’ jawab Abu Hanifah.’ Celaka engkau, hai Nu’man! Yang pertama
melakukan qiyas adalah iblis, ketika Allah menyuruhnya sujud kepada Adam. Lalu
ia menolak dan berkata, ’Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia
dari tanah.’
Hai Nu’man, mana yang
lebih besar (dosanya): membunuh atau berzina?’ ’Membunuh,’ jawab Abu Hanifah.
‘Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang untuk
zina. Engkau gunakan qiyas di situ?’‘Tidak,’ jawab Abu Hanifah.
’Mana yang lebih besar
(najisnya): kencing atau air mani?’ ’Kencing,’ jawab Abu Hanifah. ‘Tetapi
mengapa Allah memerintahkan wudhu untuk kencing, tetapi untuk mani diharuskan
mandi. Engkau juga gunakan qiyas di situ? ‘Tidak,’ jawab Abu Hanifah.
’Mana yang lebih besar:
shalat atau shaum?’, tanya Imam Ja’far. ’Shalat’, jawab Abu Hanifah. ’Tetapi
mengapa wanita haid harus meng-qadha shaum-nya, tetapi tidak harus meng-qadha
shalatnya. Engkau juga menggunakan qiyas di situ?’ ’Tidak,’ jawab Imam Ja’far.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar