Senin, 18 Mei 2015

Imam Musa al Kazhim as, Abu Hanifah, dan Imam Ja’far as Shadiq as




Suatu hari, kala Imam Ketujuh kita, Imam Musa al-Kazim (yang kala itu masih berusia 5 tahun), salah seorang murid ayahnya yang bernama Abu Hanifah datang berkunjung untuk bertanya beberapa masalah kepada ayah Imam Musa al-Kazim as. Imam Keenam kita, ayah Imam Musa al-Kazim, Imam Ja’far as-Sadiq as sedang sibuk bersama dengan tamunya yang lain dan Abu Hanifah menunggu untuk beberapa waktu.

Lalu, ia melihat Imam Musa al-Kazim as sedang bermain dengan seekor binatang. Ia berkata kepada binatang tersebut, “Bersujudlah kepada Allah yang telah menciptakanmu.” Abu Hanifah bertanya-tanya apakah si bocah belia ini akan menjadi Imam selanjutnya.

Ia memutuskan untuk bertanya kepada Imam Musa al-Kazim as beberapa pertanyaan. Abu Hanifah berkata kepada Imam belia, “Bolehkah aku ajukan sebuah pertanyaan kepadamu?” Lalu Imam Musa al-Kazim as berdiri dan dengan mantap berkata kepada Abu Hanifah, silahkan ajukan pertanyaan apa pun yang engkau sukai?”

Kemudian Abu Hanifah mengajukan sebuah pertanyaan yang telah membuat Abu Hanifah merasa kebingungan. Ia bertanya, “Apakah seluruh perbuatan manusia terlaksana dari kebebasannya atau berada dalam kendali Tuhan dan membuatnya melakukan hal itu (terpaksa)?

Imam Musa al-Kazim menjawab bahwa ada tiga kemungkinan di balik pertanyaan Abu Hanifah itu: [1] Allah Swt memaksanya untuk melakukan sebuah perbuatan. [2] Antara Allah Swt dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan itu. [3] Manusia melakukannya sendiri, dalam rangkuman kebebasannya. Imam Musa al-Kazim as menjelaskan:

Apabila kemungkinan atau anggapan pertama benar maka manusia tidak seyogyanya diadili pada Hari Hisab dan dikirim ke surga atau neraka, lantaran ia tidak pantas mendapatkan hal itu. Manusia tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Anggapan ini tidaklah demikian adanya. Apabila kemungkinan dan anggapan kedua benar bahwa antara Allah Swt dan manusia keduanya harus diadili pada Hari Hisab. Anggapan ini juga tentu saja tidak masuk akal.

Kemudian, tersisa kemungkinan dan anggapan yang ketiga dan menjadi anggapan satu-satunya yang tersisa. Anggapan yang benar adalah anggapan yang ketiga, lantaran manusia telah diberikan kebebasan setelah menerima bimbingan dan tuntunan tentang apa yang baik dan apa yang buruk.

Abu Hanifah berujar bahwa alangkah luar biasanya rumah tangga seperti ini. Bahkan bocah kecil sekalipun dapat menjawab dan memberikan kepuasan atas kumpulan beberapa pertanyaan! Ia berkata bahwa tidak perlu lagi ia bersua dengan Imam Keenam, Imam Ja’far Sadiq as, dan ia kembali ke rumahnya setelah mendapatkan jawaban dari Imam Musa Kazhim as.

Imam Ja’far as Shadiq as dan Abu Hanifah

Aku meminta izin untuk bertemu dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq, ”demikian Abu Hanifah memulai kisahnya, “tetapi ia tidak memperkenankanku. Kebetulan datanglah rombongan orang Kufah meminta izin, dan aku pun masuk bersama mereka.

Setelah aku berada di sisinya, aku berkata, ‘Wahai putra Rasulallah, alangkah baiknya jika engkau menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah SAW. Aku lihat di sana lebih dari sepuluh ribu orang mengecam sahabat.’

‘Mereka tidak menerima laranganku,’ jawab Imam Ja’far. ’Siapa yang berani menolak engkau, padahal engkau adalah putra Rasulallah?’ tanya Abu Hanifah.

’Engkau orang pertama yang tidak menerima perintahku. Engkau masuk tanpa seizinku. Duduk tanpa perintahku. Berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Telah sampai padaku bahwa engkau menggunakan qiyas.’ ’Benar,’ jawab Abu Hanifah.’ Celaka engkau, hai Nu’man! Yang pertama melakukan qiyas adalah iblis, ketika Allah menyuruhnya sujud kepada Adam. Lalu ia menolak dan berkata, ’Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia dari tanah.’

Hai Nu’man, mana yang lebih besar (dosanya): membunuh atau berzina?’ ’Membunuh,’ jawab Abu Hanifah. ‘Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang untuk zina. Engkau gunakan qiyas di situ?’‘Tidak,’ jawab Abu Hanifah.

’Mana yang lebih besar (najisnya): kencing atau air mani?’ ’Kencing,’ jawab Abu Hanifah. ‘Tetapi mengapa Allah memerintahkan wudhu untuk kencing, tetapi untuk mani diharuskan mandi. Engkau juga gunakan qiyas di situ? ‘Tidak,’ jawab Abu Hanifah.

’Mana yang lebih besar: shalat atau shaum?’, tanya Imam Ja’far. ’Shalat’, jawab Abu Hanifah. ’Tetapi mengapa wanita haid harus meng-qadha shaum-nya, tetapi tidak harus meng-qadha shalatnya. Engkau juga menggunakan qiyas di situ?’ ’Tidak,’ jawab Imam Ja’far.

’Mana yang lebih lemah: wanita atau pria?’ tanya Imam Ja’far. ’Wanita’, jawab Abu Hanifah. ’Mengapa Allah berikan warisan dua bagian bagi pria dan satu bagian bagi wanita. Apakah engkau juga gunakan qiyas di situ?’ ’Tidak’, jawab Abu Hanifah. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar