Rabu, 20 Mei 2015

Siswi Karina di Negeri Para Peri (Bagian Kesepuluh)




Hak cipta ©Sulaiman Djaya

Jauh sebelum ditemukan bangsa Amarik, negeri Telaga Kahana adalah negeri yang tak mengenal rasa cemas dan tak mengenal rasa khawatir akan datangnya ancaman yang mengusik hidup mereka sehari-hari.

Dapat dikatakan, dan ini mendekati kebenaran meski tak akurat, kerakusan dan keserakahan yang datang dari luar negeri mereka-lah yang telah membuat para penduduk negeri Telaga Kahana mengenal perang dan senjata. Dan pada batas-batas tertentu, mengenal kemarahan dan kebencian dalam hati dan jiwa mereka yang sebelumnya bersih dan murni bagai salju yang turun dari langit jernih negeri mereka. Juga rasa dendam yang sebelumnya tidak mereka kenal dan tak mereka rasakan.

Hal itu tak lain karena perang-lah yang telah memperkenalkan kepada mereka sekian pembunuhan dan kejahatan oleh manusia dengan teramat jelas di depan mata mereka.

Sebelum mengenal perang, para penduduk negeri itu hanya mengenal kematian sebagai sejumlah peristiwa kodrati yang alamiah, yaitu ketika mereka yang dijemput maut menjelma sebentuk asap sebelum kemudian menghilang ke udara. Akan tetapi, setelah mengenal perang dan pembunuhan, mereka yang mati tak lagi menjelma sebentuk asap dan menghilang ke keheningan dan kesejukan udara di negeri mereka yang menakjubkan itu.

Begitulah, sejumlah keajaiban yang sebelumnya ada dan terjadi pada mereka pun menghilang setelah mereka mengenal perang dan kejahatan. Singkatnya, setelah mereka mengenal senjata dan kebrutalan serta kebuasaan dan kerakusan.

Konon, berdasarkan sejumlah dongeng dan hikayat yang dipercaya para penduduk negeri itu, nenek moyang negeri Telaga Kahana berasal dari Negeri Sunda yang legendaris dan masyhur ke seantero jagat dunia, yang juga dipercaya sebagai asal muasal para penduduk atau Bangsa Farsa alias orang-orang Farsana.

Namun, benar atau tidaknya sejumlah dongeng dan hikayat tersebut, pada kenyataannya para penduduk Negeri Telaga Kahana berwujud seperti para peri dan sekaligus seperti manusia. Sedangkan orang-orang Farsana adalah orang-orang atau manusia-manusia yang mempercayai bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan yang Esa, yang di masa lalu mereka menyebutnya dengan nama Ahuramazda yang Maha Agung.

Hal itu tentu saja berbeda dengan para penduduk negeri Telaga Kahana yang menyebut Tuhan mereka dengan nama Sang Hyang, nama yang mereka warisi dari leluhur mereka di Negeri Sunda yang masyhur.

Sebagai penduduk negeri Telaga Kahana, Zipora adalah keturunan Pangeran Ramada (yang merupakan pemimpin kaumnya) dan Putri Artamis yang legendaris, sebelum akhirnya Pangeran Ramada menjelma sebentuk asap dan menghilang ke udara, yang disusul kemudian oleh kematian Putri Artamis karena dilanda kesedihan dan kesepian setelah ditinggalkan suaminya itu.

Setelah kematian Pangeran Ramada dan Putri Artamis itulah, para penduduk negeri Telaga Kahana mempercayakan tampuk kepemimpinan negeri mereka kepada suami Zipora, sebelum akhirnya juga gugur dalam perang pertama mereka dalam rangka mempertahakan diri dari serangan pasukan dan para prajurit Amarik yang brutal dan tak mengenal belas-kasihan.

Demikianlah, selanjutnya, kepemimpinan itu dipercayakan kepada Zipora sendiri sebagai yang paling berhak sebagai keturunan langsung Pangeran Ramada dan Putri Artamis yang jelita, karena mereka ragu menyerahkan kepemimpinan tersebut kepada anak laki-laki Zipora, Ilias, yang kala itu masih kanak-kanak.

Barangkali mereka tak ingin membebankan kepemimpinan tersebut kepada bocah tulus yang harus terlebih dahulu matang dan berkembang sebagai lelaki, yang kala itu masih sebagai penggembala binatang-binatang ternak mirip domba, tapi yang ukurannya hanya sebesar kelinci ketika dewasa. (Bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar