Hak cipta ©Sulaiman Djaya
Jauh sebelum ditemukan
bangsa Amarik, negeri Telaga Kahana adalah negeri yang tak mengenal rasa cemas
dan tak mengenal rasa khawatir akan datangnya ancaman yang mengusik hidup
mereka sehari-hari.
Dapat dikatakan, dan ini
mendekati kebenaran meski tak akurat, kerakusan dan keserakahan yang datang dari
luar negeri mereka-lah yang telah membuat para penduduk negeri Telaga Kahana
mengenal perang dan senjata. Dan pada batas-batas tertentu, mengenal kemarahan
dan kebencian dalam hati dan jiwa mereka yang sebelumnya bersih dan murni bagai
salju yang turun dari langit jernih negeri mereka. Juga rasa dendam yang
sebelumnya tidak mereka kenal dan tak mereka rasakan.
Hal itu tak lain karena
perang-lah yang telah memperkenalkan kepada mereka sekian pembunuhan dan kejahatan
oleh manusia dengan teramat jelas di depan mata mereka.
Sebelum mengenal perang,
para penduduk negeri itu hanya mengenal kematian sebagai sejumlah peristiwa
kodrati yang alamiah, yaitu ketika mereka yang dijemput maut menjelma sebentuk
asap sebelum kemudian menghilang ke udara. Akan tetapi, setelah mengenal perang
dan pembunuhan, mereka yang mati tak lagi menjelma sebentuk asap dan menghilang
ke keheningan dan kesejukan udara di negeri mereka yang menakjubkan itu.
Begitulah, sejumlah
keajaiban yang sebelumnya ada dan terjadi pada mereka pun menghilang setelah
mereka mengenal perang dan kejahatan. Singkatnya, setelah mereka mengenal
senjata dan kebrutalan serta kebuasaan dan kerakusan.
Konon, berdasarkan
sejumlah dongeng dan hikayat yang dipercaya para penduduk negeri itu, nenek
moyang negeri Telaga Kahana berasal dari Negeri Sunda yang legendaris dan
masyhur ke seantero jagat dunia, yang juga dipercaya sebagai asal muasal para
penduduk atau Bangsa Farsa alias orang-orang Farsana.
Namun, benar atau tidaknya
sejumlah dongeng dan hikayat tersebut, pada kenyataannya para penduduk Negeri
Telaga Kahana berwujud seperti para peri dan sekaligus seperti manusia. Sedangkan
orang-orang Farsana adalah orang-orang atau manusia-manusia yang mempercayai
bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan yang Esa, yang di masa lalu mereka
menyebutnya dengan nama Ahuramazda yang Maha Agung.
Hal itu tentu saja berbeda
dengan para penduduk negeri Telaga Kahana yang menyebut Tuhan mereka dengan
nama Sang Hyang, nama yang mereka warisi dari leluhur mereka di Negeri Sunda
yang masyhur.
Sebagai penduduk negeri
Telaga Kahana, Zipora adalah keturunan Pangeran Ramada (yang merupakan pemimpin
kaumnya) dan Putri Artamis yang legendaris, sebelum akhirnya Pangeran Ramada
menjelma sebentuk asap dan menghilang ke udara, yang disusul kemudian oleh
kematian Putri Artamis karena dilanda kesedihan dan kesepian setelah
ditinggalkan suaminya itu.
Setelah kematian Pangeran
Ramada dan Putri Artamis itulah, para penduduk negeri Telaga Kahana
mempercayakan tampuk kepemimpinan negeri mereka kepada suami Zipora, sebelum
akhirnya juga gugur dalam perang pertama mereka dalam rangka mempertahakan diri
dari serangan pasukan dan para prajurit Amarik yang brutal dan tak mengenal
belas-kasihan.
Demikianlah, selanjutnya,
kepemimpinan itu dipercayakan kepada Zipora sendiri sebagai yang paling berhak
sebagai keturunan langsung Pangeran Ramada dan Putri Artamis yang jelita,
karena mereka ragu menyerahkan kepemimpinan tersebut kepada anak laki-laki
Zipora, Ilias, yang kala itu masih kanak-kanak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar