“Matahari saat itu
bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari bersembunyi di
balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat pandangannya ke arah langit.
Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian
ia mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah
sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal.
Burung ababil, burung yang banyak.”
Ketika cahaya tauhid padam
di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di sana
tidak tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang
masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak
dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran
langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika
malam mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai
bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti
kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan
salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan keberkahan. Para malaikat
pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai bentuk pujian dan permintaan
ampunan, sedangkan orang-orang mukmin bersalawat kepadanya sebagai bentuk
penghormatan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS
al-Azhab: 56).
Sebelumnya Allah SWT
mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun
Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau saw
datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk
seluruh zaman. Allah SWT berfirman, “Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai
rahmat bagi alam semesta.”
Hakikat dakwah para nabi
sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi
yang terakhir adalah Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul
Muthalib, anak seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak
Nabi Adam as. Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat
Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah
Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa
matahari telah terbit, lalu ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di
pertengahan malam, keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang.
Ia menuju pintu kemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan
dunia tampak di selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan
tidur. Belum lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia
kembali bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jelas kali ini,
Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang
sangat penting, “Galilah zamzam!” Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya:
“Apakah itu zamzam?” Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu mengatakan bahwa
ia diperintahkan untuk menggali zamzam. Belum lama Abdul Muthalib melihat
sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat tidurnya dan
hatinya berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu
kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba
pikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam
adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam
tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban
dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di
sekitar Ka’bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu sendiri,
bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh orang-orang yang
berhaji.
Abdul Muthalib duduk di
tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia memikirkan bintang-bintang
sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang
memancar darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana
juga ada cerita yang mengatakan bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan
perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas
gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan
kepada mereka bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia
menunjukkan ke tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam
mimpinya. Orang-orang Quraisy menolaknya. Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan
oleh Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang
biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama
Ashaf dan Nallah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan
kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul
Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak
memiliki anak-anak yang dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan
keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan
negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan
fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang
sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia
berdiri di hadapan Ka’bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata:
“Jika aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa,
sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku
akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka’bah sebagai bentuk
korban.”
Pintu langit pun terbuka
untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun, istrinya melahirkan anaknya
yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang
kesembilan, sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian
berlalulah zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya
menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha
melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia
bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk
pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya,
lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak
itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada di sekitarnya berusaha
memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah
disembelih.
Abdullah saat itu terkenal
sebagai seseorang yang bersih di kawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati
masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia
tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah
terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan
ruhaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di
tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata,
“Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih, dan
menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan menemukan
seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami menyembelihnya,
pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya kepada dukun.”
Abdul Muthalib tampak
tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang
telah ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun
berkata: “Berapakah taruhan yang kalian miliki?” Mereka menjawab: “Sepuluh ekor
unta.” Dukun itu berkata: “Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali
undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka
tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut,
demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah.”
Kemudian dilakukanlah
undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun
mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor
unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun
menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus
ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat
demikian gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka
karena melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus
ekor unta di sisi Ka’bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu
tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang
buas.
Abdul Muthalib sangat
gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk
menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar
dengannya pada suatu hari dari Ka’bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang
untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan
Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling
dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api di
gunung-gunung Mekkah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat
diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah.
Lalu disembelihlah hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang
fakir bahkan binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal
bersama istrinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar
bahwa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan
melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu
adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah
Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada
Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan
rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan
terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi paman-pamannya
dari kabilah Bani Najar di Madinah, dan di sana ia meletakkan jasadnya di muka
bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul
Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Kabar
kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati orang-orang yang
mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke istrinya. Aminah tampak menangis
tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan
tidak mengetahui jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta
jika kemudian Dia menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian,
bergeraklah di rahimnya janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai
mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah menangis dua kali, pertama ia menangis
untuk dirinya sendiri dan kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati
ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya
bahwa janin yang dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat
ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus
menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta orang-orang yang
sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada
manusia. Ia akan menjadi rahmat yang dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan
mengetahui makna rahmat kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan.
Inilah anak kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan
berlalulah hari demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah
pun telah mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang
turnbuh bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya hari
demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika
ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya,
sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan
merpati yang berkeliling di seputar Ka’bah, dan seandainya kesedihannya yang
selalu mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia darinya dengan
kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan,
kemudian semakin dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh
mendekati Mekkah.
Abrahah adalah seorang
penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa
Persia diusir. Di Yaman ia membangun suatu gereja yang menunjukkan bangunan
yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya dengan niat agar orang-orang Arab
berpaling dari Baitul Haram di Mekkah. Ia melihat betapa orang-orang Yaman
tertarik dengan rumah tersebut. Dan ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya
memiliki daya tarik seperti itu dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab,
maka ia berkeinginan kuat untuk menghancurkan Ka’bah, sehingga orang-orang
tidak menuju ke Ka’bah lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia
menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian
pasukan itu menuju Ka’bah.
Pasukan Abrahah terdiri
dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk menghancurkan Ka’bah.
Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab
pun mendengar rencana tersebut. Memang orang-orang Arab saat itu terkenal
sebagai penyembah berhala, meskipun demikian mereka sangat memberikan
penghargaan dan penghormatan terhadap Ka’bah, karena mereka meyakini bahwa
mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka’bah.
Perjalanan pasukan
tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman yang
bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab untuk
memerangi Abrahah, sehingga ada beberapa orang yang mengikutinya. Abrahah
berhadapan dengan tentara tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu dapat dengan
mudah dipatahkan oleh pasukan kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah
dan menjadi tawanan Abrahah. Pasukan Abrahah tersebut juga sempat ditentang
oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahah pun dapat mengalahkan mereka
dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahah
melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan
mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya
‘rumah’ yang ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi berada di Mekkah.
Hal itu mereka sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala
mereka, di mana mereka membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha
kemudian mereka mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahah letak
Ka’bah. Ketika Abrahah berada di antara Taif dan Mekkah, ia mengutus seorang
pemimpin pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia merampas
banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara yang
dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat itu
Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka, serta
pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahah
di Mekah telah menimbulkan gejolak pada kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy
bergerak, begitu juga kaum Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka
tidak memiliki kemampuan untuk melawan Abrahah, sehingga mereka membiarkannya,
lalu tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat
yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu,
Abrahah menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka, namun ia
datang hanya untuk menghancurkan Ka’bah. Jika mereka tidak menentangnya, maka
darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia
menceritakan tentang keinginan Abrahah. Abdul Muthalib berkata: “Kami tidak
ingin memeranginya karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka’bah adalah rumah
Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia
mencegahnya, maka itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia
membiarkannya, maka demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk
mempertahankannya.” Kemudian utusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib menuju
Abrahah.
Abdul Muthalib adalah
seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia memiliki kewibawaan dan
kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahah melihatnya, Abrahah menampakkan
penghormatan kepadanya. Abrahah memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia
tidak suka bahwa ia duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahah turun
dari kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib
di sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: “Katakan padanya apa
kebutuhannya?” Abdul Muthalib berkata: “Kebutuhanku adalah agar Abrahah
mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku” Ketika Abdul Muthalib
mengatakan demikian, wajah Abrahah berubah, lalu ia berkata kepada penerjemahnya:
“Katakan padanya sungguh aku merasa kagum ketika melihatnya, kemudian aku
merasakan kehati-hatian saat berbicara dengannya, apakah engkau berbicara
denganku tentang dua ratus ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau
membiarkan rumah yang merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku
datang untuk menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali” Abdul
Muthalib menjawab: “Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah
Tuhan yang melindunginya.” Abrahah berkata: “Dia tidak akan mampu melindunginya
dariku.” Abdul Muthalib menjawab: “Lihat saja nanti!”
Selesailah dialog antara
Abdul Muthalib dan Abrahah. Abrahah pun mengembalikan unta yang telah
dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan
apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekkah dan
berlindung di balik gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekkah dikosongkan oleh
pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah
kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan
memegangi pintu Ka’bah dan berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang
Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para
malaikat memerintahkan gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah
itu pun tetap di tempatnya dan menaati perintah para malaikat, kemudian
gajah-gajah itu menerima pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap
berdiam di tempatnya, gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi
lagi-lagi gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah
pun. Abrahah bertanya: “Mengapa pasukan tidak bergerak?” Kemudian dikatakan
kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat
cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi
dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar
dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari bersembunyi di balik
segerombolan burung. Abrahah mengangkat pandangannya ke arah langit. Mula-mula
ia membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia
mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah
sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal.
Burung Ababil, burung yang banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar