Sabtu, 28 Februari 2015

Tangan Wujud Intelek





Banten Raya, 2 Februari 2015

“Karena di dalam sentuhan terdapat cinta kasih dan akal abadi” (Helen Keller).

Bagian tubuh kita yang paling banyak bekerja adalah tangan. Tangan juga yang paling sering mewakili emosi, gerak, dan ekspressi kita dalam hidup sehari-hari. Kita mengacungkan tangan ke arah orang lain ketika kita marah, menantang, dan mengancam. Tangan pula yang membanting, memukul, atau bahkan menikam. Kita berdoa dan mengusap airmata kita dengan tangan, hingga bisa dikatakan tangan adalah bagian tubuh kita yang paling akrab dengan kebajikan dan kejahatan. Sebab tangan-lah yang memukul sekaligus menjabat mesra. Tangan pula yang telah menghasilkan ribuan puisi indah, patung-patung atau lukisan-lukisan monumental yang dikagumi dan dikenang banyak orang, sejumlah kerajinan dan produk ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang mendatangkan banyak manfaat bagi hidup kita. Hal ini dicontohkan dengan baik dalam pengakuan Helen Keller:  

“Tangan bagiku sama artinya dengan pendengaran dan penglihatan bagimu. Secara umum dapat dikatakan kita menempuh jalan yang sama, membaca buku yang sama, berbicara menggunakan bahasa yang sama. Tetapi yang aku dan kau alami sangatlah berbeda. Segala gerakku berporos pada tanganku. Tanganlah yang menjadi pengikatku pada dunia pria dan perempuan. Tanganku adalah alat peraba yang bersamanya aku menjangkau segalanya, melenting dari keterasingan dan kegelapan malam yang kekal”.

Namun dengan tulisan ini saya tak hendak mengetengahkan tangan sebagai cermin intelegensia sebagaimana yang diulas oleh Martin Heidegger. Melainkan tangan yang diintimi oleh Helen Keller dalam hidupnya sebagai perempuan tunanetra dan tunarungu, di mana karena cacat yang dideritanya sejak usia 19 bulan itu membuat tangannya menjadi organ tubuh sekaligus indera untuk meraba, menerka, merasa, membaca, dan mengenali dunia yang bagi orang normal fungsi itu milik mata dan telinga dalam artian yang umum dipahami. 

Pertama-tama marilah kita pahami afirmasi makna material dan spiritual tangan tersebut dalam kata, bahasa, dan istilah seperti yang dituturkan Helen Keller dalam otobiografinya yang berjudul The World I Live In itu. Sebuah otobiografi unik di mana penulisnya mengutarakan dan menceritakan apa yang telah dilakukan tangannya sebagai perempuan tunanetra dan tunarungu. Dalam catatan-catatan otobiografisnya itu Helen Keller dengan terang-terangan mengatakan bahwa ia melihat dan mendengar dengan tangannya. Tentu saja kata melihat dan mendengar yang dikatakannya itu bukan dalam artian verbal. Kata mendengar dan melihat yang dimaksudkannya adalah pengintiman dan pengenalan dunia luar secara lain. 

Kata “hand” (tangan) dipahami oleh kita sebagai “the organ of apprehension” (organ untuk menangkap dan memahami). Dan yang ditangkap dan dipahami tangan mencakup dunia fisik, spiritual, dan intelektual. Demikian papar Helen Keller dalam catatan-catatan otobiografisnya itu. Seperti ketika tangan kita meraba bunga teratai basah kita akan mendapatkan pengalaman yang berbeda ketika tangan kita menyentuh bunga teratai yang kering dan layu. Atau ketika tangan kita sanggup membedakan kerasnya kayu dengan kerasnya batu saat menyentuh dan mengetuknya. Seperti itu pula Helen Keller mengenali benda-benda, sesama manusia, dan tentu saja dunia yang melingkupi hidup dan membangun pengalamannya sebagai perempuan tunanetra dan tunarungu, yang dalam banyak hal justru lebih mampu membuatnya lebih akrab dan intim dengan apa saja yang disentuh oleh tangannya. 

Hampir di sebagian besar isi otobiografinya yang berjudul The World I Live In itu, Helen Keller menceritakan kehidupan sehari-harinya dan mengenali dunia pengalamannya dengan “merasa” dan “menyentuh” menggunakan tangannya. Tangannya Helen Keller adalah tangan yang telah menggantikan fungsi mata dan fungsi telinga yang dimiliki orang kebanyakan yang normal. Tetapi dengan itulah imajinasi Helen Keller malah jadi berkembang mengembarai dunia-dunia yang diterka dan diangankannya melalui tangan dan pikiran. Meski pada awalnya, seperti yang diakuinya, kebutaan dan ketuliannya membuatnya seakan-akan terjebak dalam dunia mimpi abadi yang gelap dan sunyi-sepi. Berkat dorongan dan motivasi gurunya, Anne Sullivan, akhirnya ia mampu berjuang untuk melawan dan mengatasi kekurangannya itu menjelma harapan.

Lahir di kawasan pedesaan Tuscumbia, Alabama, sudah barang tentu Helen Keller akan meminta menjalani kehidupan sehari-hari sebagai orang yang normal jika saja ia boleh memilih dan mengajukan opsi kepada Tuhan. Dunia gelap tanpa suara yang menghampiri dan datang di saat ia berusia 19 bulan itu tokh akhirnya ia terima sebagai sebuah kekuatan dan kebetulan yang berada di luar kekuasaannya sebagai manusia. Justru dengan kebutaan dan ketuliannya itu pula indra penciuman dan tangannya jadi lebih kuat dan lebih peka ketika mengenali dunia dan benda-benda yang ingin diketahui dan diakrabinya dengan jalan meraba dan mencium benda-benda, aroma, suhu udara, atau mengenali orang-orang dengan membedakan bau keringat mereka. 

Membaca catatan-catatan otobiografi Helen Keller tersebut, kita semakin menerima pemahaman bahwa jiwa dan badan memang entitas yang amat karib dan intim, bukan entitas yang saling meniadakan sebagaimana wawasan dan paradigma Platonisme dan Cartesianisme itu. Sebelum dunia bathin dan dunia pikirannya Helen Keller mengembarai dunia malam imajinasi dan harapan yang gelap itu, tangannyalah yang terlebih dahulu meraba, menyentuh, dan merasakan benda-benda yang ingin diketahui dan dikenalinya. Barulah kemudian ia mengembangkan impressi dan sensasi yang didapatkannya ia sulap menjadi sekian gagasan yang menjelma sejumlah karya tulisan. Dalam kegelapan malam yang kekal itu pula dunia dan gagasan keimanan Helen Keller terasa lebih lembut, peka, dan indah. Hingga menghasilkan gema dan nada-nada yang terdengar amat feminim bagi kita tanpa mesti mengumbar keluhan dan ratapan yang berlebihan. 

Membaca catatan-catatan otobiografi Helen Keller yang berjudul The World I Live In itu, secara pribadi saya mendapatkan pemahaman dan penegasan tentang badan yang sejajar dengan jiwa. Sebuah pemahaman yang bertentangan dengan pemahaman dan wawasan Platonisme dan Cartesianisme yang merendahkan badan sebagai The Second Entity atawa entitas kedua atau entitas tambahan semata. Di sini, seorang pemikir besar yang saya kira memiliki pandangan dan wawasan positif tentang badan adalah Thomas Aquinas, teolog dan filsuf dari abad pertengahan itu, yang dalam beberapa hal menolak gagasan dan wawasan filsafat Plato dan lebih menerima pandangan dan wawasan filsafatnya Aristoteles. 

Sebuah sentuhan tangan yang lembut dan penuh cinta seorang kekasih, demikian tulis Helen Keller, jauh lebih berkesan dan terasa ketimbang kata-kata yang diucapkannya. Sentuhan lembut tangan sang kekasih itu akan meresap bersama aliran darah di tubuh kita yang memang menginginkan sentuhan sesama tangan dan badan. Dan seperti kita tahu, tangannya seorang seniman dan penulis adalah tangan yang bekerja sekaligus berpikir secara bersamaan. Seperti ketika seorang penyair menyusun rima dan suara sajak, seperti ketika seorang komposer menggubah dan menyusun nada-nada, seperti ketika seorang novelis menulis prosanya, seperti ketika seorang pemahat mengukir patung dan kerajinan, seperti ketika seorang pelukis membuat sketsa dan merangkai warna, dan lain sebagainya. 

Pikiran dan intelegensia tangan malah seringkali lebih sigap dan tangkas, seperti ketika kita menangkis saat dipukul, seperti ketika menangkap dan meraih tangan dan tubuh orang yang kita sayangi saat terjatuh. Tangan memanglah organ tubuh kita yang paling unik anugerah Tuhan, anugerah yang dalam hidup Helen Keller demikian intim dan akrab. 

Sulaiman Djaya 


Kritik Kecil Atas Sains Kaum Atheis





Radar Banten, 17 Februari 2015

Sekedar kritik kecil untuk Richard Dawkins dan kaum evolusionis-materialis atheis

Mereka yang meremehkan dan menghina Tuhan, hanya akan tahu akibatnya setelah mereka mati. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkata, “An-Naasu niyaamun, faidza maatuu intabahuu” (Manusia itu tidur –dan ketika mati barulah terbangun (sadar)”. 

Mungkin pernah terpikir oleh Anda bahwa setelah Anda mati (entah kapan itu karena kita semua tak pernah tahu waktu kematian kita sendiri) akan dihidupkan lagi sebagaimana lazimnya orang-orang theis mempercayainya –juga para ilmuwan atau fisikawan yang lazim dikenal sebagai Mazhab Kreasionis? Atau barangkali pernah terpikir oleh Anda bahwa ketika mati, Anda akan hancur dan menjadi tiada begitu saja dan tak mempercayai keabadiaan (kebangkitan) setelah kematian sebagaimana yang didengungkan sejumlah ilmuwan (sejumlah oknum ahli fisika dan ahli biologi) yang disebut kaum Evolusionis-Materialis Atheis?

Pertanyaan itu dimiliki bersama oleh para filsuf, para ilmuwan, para teolog, sejumlah penyair, dan tentu saja orang-orang biasa seperti kita. Dan pandangan itu terkait juga dengan pandangan, spekulasi, usaha untuk mengetahui apakah penciptaan dan keberadaan kita sendiri dan jagat-raya (alam semesta), di mana salah-satu planet di jagat raya itu adalah tempat kita tinggal dan hidup –adalah kebetulan semata atau karena memiliki tujuan atas dasar penciptaan?

Sejumlah fisikawan (yang umumnya para fisikawan theis dan religius semisal Isaac Newton, Max Planck, Albert Einstein, dan lain-lain) mempercayai keberadaan kita dan alam semesta (jagat-raya) karena diciptakan dan ada satu “wujud” yang maha yang menciptakan dan yang mengaturnya. Pandangan inilah yang lazim dikenal sebagai pandangan kreasionis, meski ada ragam perspektif dalam mazhab kreasionis sendiri, terlebih dengan mereka yang lazim dikenal sebagai kaum kreasionisme baru.

Sementara sejumlah ilmuwan lain berpandangan bahwa keberadaan kita dan jagat-raya (alam semesta) hanyalah kebetulan semata dan berlanjut dengan proses evolusi yang lambat yang memakan waktu bermilyar-milyar tahun. Pandangan inilah yang lazim kita kenal sebagai pandangan Kaum Evolusionis-Materialis Atheis (semisal sejumlah oknum kosmolog, ahli fisika, dan ahli biologi) jaman ini.

Tentu saja Anda bebas memilih dua kutub pandangan yang saling bertolak-belakang tersebut. Jika, misalnya, Anda memilih dan merasa pas dengan pandangan evolusionis-materialias atheis, maka itu artinya Anda tak mempercayai hidup setelah mati (kebangkitan) –there is no life after death, begitu kira-kira.

Namun sebaliknya, jika Anda meyakini bahwa kehidupan ini merupakan jembatan penyebrangan semata (sebagaimana saya sebagai muslim meyakininya) ke kehidupan yang lebih kekal, maka pastilah kebajikan-kebajikan yang kita lakukan selagi hidup yang menjadi “tiket”-nya dan tak melakukan kejahatan atau ketak-bajikan dengan mengatasnamakan agama kita –karena itu sama artinya dengan mendustai iman dan agama kita sendiri.

Muhammad Rasulullah bersabda, “Berbuat kebajikan adalah tanda (mahkota) orang-orang beriman, dan bukan orang beriman yang tidak berbuat kebajikan”, demikian sebuah hadits yang saya terjemahkan secara bebas dari redaksi bahasa Arab berdasarkan riwayat yang dicatat oleh Muslim.

Kemampuan dan kapasitas untuk memilih itu sendiri sudah ada dalam diri kita –yaitu pada hati dan akal kita, di mana sumbu dan sumber intelegensi kita adalah hati, sebagaimana do’a nabi Musa alayhis-salam ketika hendak bernegosiasi dengan bangsa Mesir demi membebaskan rakyatnya (bangsanya) sendiri. “Rabbi israh lii shadri” (Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku), di mana kata “shadrun” merupakan kosakata rangkuman dari hati dan wadah hati itu sendiri –ia mencakup hati itu sendiri sekaligus dada tempat hati itu berada, yang dengannya akal (otak) kita hanya media (instrument) dari intelegensia hati tersebut.

Dan sebagaimana kita tahu bersama, intelegensi dan akalnya (otak kita) itu pula yang “membedakan” manusia dari binatang-binatang lainnya, yang membuat manusia unggul, yang contohnya ditunjukkan dengan kemampuan berbahasa (bukan sekedar berbicara atau berkomunikasi antar sesama semata). Dan itulah fakultas yang dimilikinya untuk berpikir, mengambil i’tibar, dan melakukan pilihan. Muhammad Rasulullah bersabda, “Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan”.

Sebab berkat kemampuan dan kapasitas berbahasa inilah manusia sanggup mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan, di saat para binatang tidak dapat melakukannya (di mana para binatang hanya sekedar mengandalkan insting mereka). Kapasitas dan berkah berbahasa inilah yang mementahkan reduksionisme kaum evolusionisme-materialis atheis, di mana mereka juga seakan-akan mengabaikan bahwa ratusan ribu tahun silam manusia juga telah sanggup membangun peradaban-peradaban dan mahakarya-mahakarya, sebagaimana dikemukakan para arkeolog, sejarawan, dan yang sejenisnya.

“Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum ketahui dengan pasti” (al Qur’an surah Yunus: 39). “Mereka hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka” (al Qur’an surah an Najm: 23).

Sebagaimana kita tahu, sains sekalipun tak pernah imun (kebal dan bebas) dari waham, dari praduga atau pengira-pengiraan semata –dan sejarah sains telah membuktikannya sendiri. Teori Ruang-Waktunya Isaac Newton, contohnya, dibuktikan keliru oleh Teori Ruang-Waktunya Albert Einstein. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkata, “Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya”.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, waham bisa hinggap pada siapa saja –pada orang-orang biasa atau pada para ilmuwan. Barangkali, pandangan-pandangan Richard Dawkins bagi kita kaum theis, bila kita menggunakan kerangka kaum evolusionis-materialis atheis sendiri, adalah sebuah kebetulan agar hidup tetap memiliki lelucon, yang dalam konteks ini adalah lelucon yang “ilmiah”.

Namun, haruslah diakui di sisi lain bagi kita kaum theis, umur kita sendiri terlalu singkat untuk mempercayai lelucon spekulatif kaum evolusionis-materialis atheis –bahkan kita tak pernah tahu kapan kita akan mati. Muhammad Rasulullah mengingatkan kita, “Faktsiruu dzikro haadimil laddzah, wahuwal maut” (Perbanyaklah mengingat sang pemutus kenikmatan –yaitu kematian!).

Sulaiman Djaya 


Rabu, 25 Februari 2015

Siswi Karina di Negeri Para Peri –Bagian Ketiga




Dalam malamku betapa singkat,
angin segera akan bertemu dengan dedaunan.
Malamku betapa singkat, betapa sarat kepedihan.
Wahai! Kau dengarkah bisikan bayang-bayang?
di sana di tengah malam sesuatu terjadi
bulan cemas dan merah
dan bergayut pada langit-langit ini
yang mungkin runtuh sewaktu-waktu.
Mendung, seakan sekerumun perempuan berkabung
menunggu kelahiran hujan
sedetik, lalu hening bergenting.

Di balik jendela ini malam gemetar
dan bumi berhenti. Di balik jendela ini,
seorang asing tengah cemas akan kau dan aku.
Engkau di kehijauan dekapkan tanganmu,
kenangan membara itu ke tanganku yang mencinta
Angin akan membawa kita, angin akan membawa kita. 

(Forough Farrokhzad, Penyair Perempuan Iran)


Mereka pun berjalan menuju susunan alias barisan rumah-rumah (yang seperti mengambang di atas telaga ajaib tersebut) melalui jembatan yang tersusun dari batu-batu yang entah karena apa, juga mengambang dan tidak tenggelam. Semula Siswi Karina mengira rumah-rumah itu tampak begitu dekat, namun ternyata cukup jauh juga.

Tahu bahwa Siswi Karina ingin segera sampai di rumah-rumah itu, tanpa disadarinya Misyaila menyentuhkan tongkat ajaibnya ke salah satu kaki Siswi Karina, dan tiba-tiba Siswi Karina pun sudah ada di depan salah-satu rumah, tentu saja berbarengan dengan Misyaila sendiri, yang menggunakan salah-satu rahasia ilmu Tuhan yang ia dapatkan dari salah seorang Rasul.

“Shalom ‘Eleykum” ujar Misyaila sembari mengetuk pelan pintu salah satu rumah tersebut. Tak berapa lama, muncul seorang perempuan yang tingginya hanya separuh tinggi Siswi Karina. Ia adalah Zipora, yang sekaligus kepala rumah tangga yang menggantikan posisi dan tugas suaminya yang gugur dalam perang melawan para penyusup yang bekerja untuk kekuatan buruk (jahat).

Ia telah mengenal Misyaila, namun belum mengenal Siswi Karina, dan karena itu ia memperkenalkan dirinya sembari agak membungkuk, dan segera dibalas oleh Sisiwi Karina dengan memperkenalkan diri pula.

Di rumah itu, tentu saja, Zipora tidak sendiri: ia ditemani satu anak lelakinya (si sulung) yang bernama Ilias dan dua putrinya yang masing-masing bernama Hagar dan Sophia.

“Bolehkah kami menginap semalam saja, Zipora,” ujar Misyaila, dan Zipora mengangguk tanda mengiyakan permintaan Misyaila. Ia menyeru nama Sophia agar menyiapkan hidangan untuk Siswi Karina dan Misyaila, serta untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya, sementara ia sendiri mempersilahkan kedua tamunya tersebut untuk segera masuk.

Kini mereka bersama-sama sudah duduk di lantai rumah tersebut, yang seperti terbuat dari susunan batu Kristal, di mana rumah itu sendiri meski dari luar tampak mungil, ternyata begitu luas saat di dalam, yang lagi-lagi membuat Siswi Karina takjub.

Menu makan malam yang disediakan Sophia untuk mereka adalah sebuah buah yang bernama Buah Barakat yang berwarna merah menyala, tapi bentuk seperti mentimun, namun lebih panjang dari mentimun normal, yang oleh Sophia telah dipotong-potong dan ditempatkan ke masing-masing bejana berwarna hijau.

Semula Siswi Karina ragu apakah dengan hanya memakan dua potong Buah Barakat tersebut rasa laparnya akan hilang dan tenaganya akan pulih. Dan lagi-lagi, ia kembali heran ketika merasakan nikmatnya buah tersebut, namun pada saat bersamaan ia pun merasa terpuaskan dengan hanya memakan dua potong saja. Ia belum pernah merasakan kenikmatan buah tersebut selama hidupnya.

Buah itu memiliki rasa yang mirip anggur, tapi ia lebih nikmat dari anggur. Memiliki kelenjar cair yang seperti jeruk, tapi rasa asam dan manisnya jauh melebihi rasa jeruk. Sungguh Kuasa Tuhan yang Agung yang takkan pernah terpikirkan oleh akal manusia yang acapkali arogan dan merasa diri mereka sanggup memahami misteri, padahal hanya menduga-duga. Dan mereka tak perlu minum setelah memakan Buah Barakat tersebut –karena buah tersebut menghilangkan lapar sekaligus haus.

Sementara itu, Misyaila sendiri sudah sering singgah ke rumah Zipora, yang salah-satu alasannya adalah karena ingin mengetahui keadaan anak-anak Zipora secara berkala. Barangkali ia memang memiliki misi dan rahasia khusus kenapa ia begitu perhatian kepada anak-anak Zipora, semenjak ayah mereka, yaitu Iliyyun, gugur ketika memimpin pertempuran melawan para penyusup yang dikendalikan kekuatan buruk (atau perintah jahat) dari sebuah dunia yang untuk sementara belum diketahui Misyaila.

Usai makan bersama, dan kemudian diteruskan dengan perbincangan yang tidak terlalu lama itu, Siswi Karina dan Misyaila pun beristirahat di satu kamar dengan dua alat tidur yang telah disediakan Zipora untuk masing-masing mereka. Esok mereka akan menuju sebuah tempat yang sudah tentu tidak diketahui oleh Siswi Karina dan hanya diketahui oleh Misyaila.

Sebuah tempat yang teramat sangat purba, yang dikenal oleh para penduduk Telaga Kahana itu bernama Jaham, sebuah tempat yang untuk sementara dicurigai oleh Misyaila sebagai asal pasukan penyusup yang dikendalikan kekuatan buruk (kendali jahat) yang telah menewaskan suami Zipora dan sejumlah penduduk lainnya beberapa tahun silam.

Hak cipta © pada Sulaiman Djaya 



Selasa, 24 Februari 2015

Siswi Karina di Negeri Para Peri –Bagian Kedua





Kau tak akan pernah mencapai gunung perak itu
yang tampak, seperti kumpulan awan sukacita,

dalam cahaya malam

Kau tidak akan pernah melintasi danau penuh garam
yang terus tersenyum kepadamu
dalam kabut pagi.

Setiap langkah di jalan ini akan membawamu semakin jauh
dari rumah, dari bunga-bunga, dari musim semi.
terkadang bayangan awan akan meneduhi jalanmu

terkadang kau mendapati dirimu
beristirah di puing-puing
yang ditinggalkan kafilah.

(Jalaluddin Rumi



Kereta kuda itu melaju begitu cepat –hampir mendekati kecepatan cahaya, dan tak meninggalkan debu di belakangnya. Di dalam kereta kuda itu Siswi Karina masih terus bertanya-tanya di dalam hatinya seputar kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan yang ia alami sebelumnya itu. Perahu mungil dan empat peri yang menghilang tiba-tiba begitu saja, dan juga hal-hal lainnya.

Ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada pemilik kereta itu, “Siapakah engkau sebenarnya?” “Aku Misyaila” jawab si empunya kereta ajaib tersebut. Mendengar nama itu, Siswi Karina teringat nama pelukis dan seniman yang karya lukisannya pernah ia lihat di tempat ia bekerja, Michelangelo, yang jika diterjemahkan, nama itu artinya adalah malaikat Mikhail.

Sembari berbincang itu, tanpa terasa mereka pun telah sampai di sebuah telaga yang di atasnya berdiri dengan rapihnya barisan rumah-rumah indah yang belum pernah ia lihat.

Saat itu Siswi Karina pun mendengar sayup-sayup suara musik, yang ia berusaha menduga dari mana musik tersebut. Ia seakan mendengar petikan-petikan suara harpa, alunan biola, dan komposisi cello, meski menurutnya itu semua hanya mirip saja.

Tempat di mana kini ia berada itu memang lebih mirip sebuah lukisan naturalis –sebuah telaga raksasa dengan rumah-rumah ajaib di atasnya. Lembah-lembah, savanna-savana, dan bukit-bukit yang dipenuhi tumbuhan dan binatang-binatang yang juga belum pernah ia lihat.

Ada unggas-unggas berwarna hijau. Ada kambing-kambing yang memiliki sepasang tanduk hijau dan memiliki sepasang sayap di punggung mereka. Ada capung-capung yang ukuran tubuhnya sama dengan burung-burung dan memiliki sepasang sayap berwarna merah terang. Semua itu membuat Siswi Karina takjub.

Siswi Karina pun melihat Unicorn berwajah lelaki tampan, yang tersenyum ke arahnya saat ia memandang Unicorn tersebut. Unicorn itu memiliki sepasang sayap berwarna hijau di punggugnnya –sepasang sayap yang menakjubkan.

Karena masih didera keheranan sekaligus kekaguman, Siswi Karina pun berusaha memuaskan sepasang matanya untuk melihat dan mengetahui segala yang ada di sekitaran telaga raksasa itu. Bagaimana ternyata rumah-rumah yang seakan mengambang di telaga itu dihuni oleh manusia-manusia yang lebih kecil dari ukuran tubuh dirinya, namun memiliki wajah-wajah yang cantik, menawan, dan tampan.

“Semua ini sudah ada sebelum engkau ada”, ujar si pemilik kereta kuda super cepat itu kepada Siswi Karina, yang seakan mengingatkan dirinya bahwa dirinya memiliki seorang sahabat dan tidak sendirian. 

Hak cipta (c) pada Sulaiman Djaya