Oleh Sayyid Muhammad Baqir as Shadr (Penerjemah: Muhammad Nur Mufid) dan Disunting Kembali oleh Sulaiman Djaya
Sejak manusia berupaya
menentukan hubungan dan keterkaitannya dengan dunia objektif, permasalahan pembuatan
konsep filosofis umum tentang dunia telah menduduki posisi sentral dalam benak
manusia. Dalam studi ini, kami tidak hendak mencatat sejarah peijalanan
filosofis, keagamaan, dan ilmiahnya. Juga tidak ingin mencatat perkembangannya
yang panjang di sepanjang sejarah. Tujuan kami adalah memaparkan konsep-konsep
pokok dalam lapangan filsafat modern, untuk membatasi diri pada posisi kita
berkenaan dengan konsep-konsep seperti itu, dan menentukan konsep yang
berdasarkan konsep tersebut pandangan umum kita harus dibentuk serta menjadi
dasar prinsip hidup kita. Konsep ini dapat dinisbahkan kepada dua permasalahan:
masalah idealisme dan realisme, dan masalah materialisme dan teologi.
Pada masalah pertama,
diajukan pertanyaan berikut: “Apakah segala yang darinya alam terbentuk adalah
realitas-realitas yang maujud berdiri sendiri yang terlepas dari kesadaran dan
pengetahuan; atau itu hanya bentuk-bentuk pemikiran dan konsepsi kita – dalam
arti bahwa pikiran atau pengetahuan yang merupakan realitas – yang pada analisis
akhirnya segala sesuatu dinisbahkan kepada konsepsi-konsepsi mental?” Kalau
kita menghapus kesadaran atau ke-“aku”-an, maka semua realitas akan hilang.
Inilah dua estimasi persoalan tersebut. Jawabannya, menurut estimasi pertama,
mengikhtisarkan filsafat realisme tentang alam. Sementara jawaban, menurut
estimasi kedua, adalah yang memberikan konsep idealisme tentang alam.
Dalam persoalan kedua
(materialisme dan teologi), diajukan pertanyaan berdasarkan filsafat realisme:
“Kalau kita mempercayai realitas objektif alam, apakah kita berhenti dengan
objektivitas pada batas-batas materi terinderai, yang dengan demikian merupakan
sebab umum bagi semua fenomena eksistensi dan maujud, termasuk fenomena
kesadaran dan pengetahuan; atau kita melangkah melampauinya menuju sebab lebih
lanjut, yaitu sebab abadi dan tak terhingga, sebagai sebab primer bagi apa yang
kita ketahui tentang alam, termasuk alam spiritual dan materialnya sekaligus?”
Dengan begitu, dalam lapangan filsafat, ada dua konsep tentang realisme. Yang pertama menganggap bahwa materi adalah fondasi primer eksistensi; ini adalah konsep realistis-materialistis. Yang kedua melampaui materi menuju sebab yang berada di atas spirit dan alam sekaligus; ini adalah konsep realistis-teologis. Jadi, ada tiga konsep tentang alam: konsep idealisme, konsep realisme-materialisme dan konsep realisme-teologis. Idealisme dapat diungkapkan oleh spiritualisme, karena ia menganggap spirit atau kesadaran sebagai fondasi primer eksistensi.
Dengan begitu, dalam lapangan filsafat, ada dua konsep tentang realisme. Yang pertama menganggap bahwa materi adalah fondasi primer eksistensi; ini adalah konsep realistis-materialistis. Yang kedua melampaui materi menuju sebab yang berada di atas spirit dan alam sekaligus; ini adalah konsep realistis-teologis. Jadi, ada tiga konsep tentang alam: konsep idealisme, konsep realisme-materialisme dan konsep realisme-teologis. Idealisme dapat diungkapkan oleh spiritualisme, karena ia menganggap spirit atau kesadaran sebagai fondasi primer eksistensi.
Koreksi terhadap Beberapa Kesalahan
Berdasarkan hal tersebut
di atas, kami harus mengoreksi sejumlah kesalahan beberapa penulis modern. Pertama, upaya menganggap pertentangan
antara teologi dan materialisme sebagai ungkapan pertentangan antara idealisme
dan realisme. Mereka tidak membedakan antara dua permasalahan yang telah kami
kemukakan tadi. Mereka mengklaim bahwa konsep filsafat tentang alam adalah
salah satu dari konsep ini: konsep idealisme dan konsep materialisme.
Akibatnya, penjelasan tentang alam tidak lebih dari dua sudut pandang. Kalau
Anda menerangkan alam secara konseptual semata-mata, dan percaya bahwa konsepsi
atau ke-“aku”-an adalah sumber primer realitas, maka Anda adalah seorang
idealis. Kalau Anda menolak idealisme dan subjektivisme, dan mempercayai adanya
realitas yang terlepas dari ke-“aku”-an, maka Anda tak punya pilihan lain
kecuali mengambil konsep materialisme tentang alam, dan yakin bahwa materi
adalah prinsip primer, dan bahwa pikiran dan kesadaran hanyalah
refleksi-refleksi tentangnya dan tingkat-tingkat tertentu perkembangannya.
Hal ini, seperti yang telah kita ketahui, sama sekali tidak sesuai dengan fakta. Realisme tidak terbatas pada konsep materialisme. Begitu pula, idealisme atau subjektivisme bukanlah satu-satunya yang menentang konsep materialistis-filosofis. Tetapi ada konsep lain realisme, yaitu realisme teologis yang meyakini realitas eksternal dunia dan alam. Spirit dan materi menurut konsep ini, temisbahkan kepada sebab yang berada di luar dunia dan alam.
Kedua, tuduhan sementara penulis terhadap konsep teologi, yaitu bahwa konsep teologi itu membekukan prinsip-ilmiah dalam dunia alam dan mengeliminasi hukum dan peraturan-peraturan alam yang diungkapkan ilmu pengetahuan dan yang semakin hari semakin bertambah gamblang. Konsep teologi, dalam tuduhan mereka, mengaitkan setiap fenomena dan maujud dengan prinsip teologi.
Dalam filsafat materialisme, tuduhan itu memainkan peranan yang efektif, di mana ide tentang Tuhan menempatkan sebab yang jelas bagi fenomena-fenomena dan peristiwa-peristiwa alam yang dilihat orang, dan berupaya membenarkan adanya fenomena dan peristiwa semacam itu. Dengan demikian, keniscayaan fenomena dan peristiwa semacam itu sepenuhnya tereliminasi jika kita dapat menemukan melalui ilmu pengetahuan dan eksperimen ilmiah sebab-sebab sejati maupun hukum-hukum alam yang mengatur alam, dan yang menurutnya dari situ lahir fenomena dan peristiwa. Peranan buruk yang dimainkan Gereja dalam memerangi kemajuan ilmiah dan menentang penemuan-penemuan ilmiah seperti rahasia-rahasia dan hukum-hukum alam, dalam permulaan Renaisans ilmiah di Eropa, membantu memperkuat tuduhan ini.
Sebenarnya, konsep teologi tentang alam tak berarti tidak membutuhkan sebab-sebab alami atau menolak fakta-fakta ilmiah yang benar. Tetapi ia adalah konsep yang menganggap Tuhan sebagai sebab yang berada di luar alam, dan menaikkan rangkaian mata-rantai agen dan sebab kekuatan di atas alam dan materi. Dengan begitu, pertentangan antara konsep teologi dan setiap kebenaran ilmiah hilang sama sekali. Karena, ia memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada ilmu pengetahuan untuk mengungkapkan rahasia-rahasia dan tatanan alam. Pada saat yang sama, dalam analisis terakhir, ia mempertahankan untuk dirinya sendiri penjelasan teologis yang adalah menempatkan sebab yang lebih tinggi pada prinsip yang lebih tinggi dari alam dan materi. Jadi, permasalahan teologi tidak seperti yang hendak diklaim oleh musuh-musuhnya; yaitu masalah invisible hand (tangan gaib) yang memercikkan air di atmosfir, yang menyembunyikan matahari dari kita, atau yang merintangi antara bulan dan kita sehingga terjadilah hujan, gerhana matahari dan gerhana bulan.
Hal ini, seperti yang telah kita ketahui, sama sekali tidak sesuai dengan fakta. Realisme tidak terbatas pada konsep materialisme. Begitu pula, idealisme atau subjektivisme bukanlah satu-satunya yang menentang konsep materialistis-filosofis. Tetapi ada konsep lain realisme, yaitu realisme teologis yang meyakini realitas eksternal dunia dan alam. Spirit dan materi menurut konsep ini, temisbahkan kepada sebab yang berada di luar dunia dan alam.
Kedua, tuduhan sementara penulis terhadap konsep teologi, yaitu bahwa konsep teologi itu membekukan prinsip-ilmiah dalam dunia alam dan mengeliminasi hukum dan peraturan-peraturan alam yang diungkapkan ilmu pengetahuan dan yang semakin hari semakin bertambah gamblang. Konsep teologi, dalam tuduhan mereka, mengaitkan setiap fenomena dan maujud dengan prinsip teologi.
Dalam filsafat materialisme, tuduhan itu memainkan peranan yang efektif, di mana ide tentang Tuhan menempatkan sebab yang jelas bagi fenomena-fenomena dan peristiwa-peristiwa alam yang dilihat orang, dan berupaya membenarkan adanya fenomena dan peristiwa semacam itu. Dengan demikian, keniscayaan fenomena dan peristiwa semacam itu sepenuhnya tereliminasi jika kita dapat menemukan melalui ilmu pengetahuan dan eksperimen ilmiah sebab-sebab sejati maupun hukum-hukum alam yang mengatur alam, dan yang menurutnya dari situ lahir fenomena dan peristiwa. Peranan buruk yang dimainkan Gereja dalam memerangi kemajuan ilmiah dan menentang penemuan-penemuan ilmiah seperti rahasia-rahasia dan hukum-hukum alam, dalam permulaan Renaisans ilmiah di Eropa, membantu memperkuat tuduhan ini.
Sebenarnya, konsep teologi tentang alam tak berarti tidak membutuhkan sebab-sebab alami atau menolak fakta-fakta ilmiah yang benar. Tetapi ia adalah konsep yang menganggap Tuhan sebagai sebab yang berada di luar alam, dan menaikkan rangkaian mata-rantai agen dan sebab kekuatan di atas alam dan materi. Dengan begitu, pertentangan antara konsep teologi dan setiap kebenaran ilmiah hilang sama sekali. Karena, ia memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada ilmu pengetahuan untuk mengungkapkan rahasia-rahasia dan tatanan alam. Pada saat yang sama, dalam analisis terakhir, ia mempertahankan untuk dirinya sendiri penjelasan teologis yang adalah menempatkan sebab yang lebih tinggi pada prinsip yang lebih tinggi dari alam dan materi. Jadi, permasalahan teologi tidak seperti yang hendak diklaim oleh musuh-musuhnya; yaitu masalah invisible hand (tangan gaib) yang memercikkan air di atmosfir, yang menyembunyikan matahari dari kita, atau yang merintangi antara bulan dan kita sehingga terjadilah hujan, gerhana matahari dan gerhana bulan.
Nah, kalau ilmu
pengetahuan telah menemukan sebab-sebab hujan dan faktor-faktor penguapannya,
serta sebab-sebab gerhana matahari; dan jika kita tahu bahwa jarak
planet-planet samawi tidak sama satu sama lain dari bumi, bahwa bulan lebih
dekat ke mereka daripada ke matahari, bahwa bulan itu berjalan di antara
matahari dan bumi, sehingga menghalangi cahaya matahari dari kita; kalau ilmu
pengetahuan menemukan sebab terjadinya gerhana bulan, yaitu berlalunya bulan
dalam bayang-bayang bumi, bayang-bayang itu memanjang di balik bumi sejauh
kira-kira 900 ribu mil; saya katakan: jika informasi-informasi itu tersedia
bagi manusia, maka kaum materialis akan membayangkan bahwa permasalahan teologi
tak mempunyai lagi subjek, dan tangan gaib, yang menghalangi matahari atau
bulan dari kita, digantikan oleh sebab-sebab alami yang diberikan ilmu
pengetahuan. Ini hanya karena salah paham saja terhadap permasalahan teologi,
dan karena tidak dibedakannya tempat sebab teologis dalam rantai sebab-sebab.
Ketiga, watak spiritual mendominasi idealisme dan juga teologi sedemikian, sehingga spiritualisme dalam konsep teologis mulai tampak memiliki makna yang sama dengan makna konsep idealisme. Ini menyebabkan sejumlah ambiguitas. Sebab, spiritualitas dapat dianggap sebagai atribut kedua konsep tersebut. Namun, kita sama sekali tidak membiarkan pengabaian terhadap perbedaan antara kedua bentuk spiritualisme itu. Tetapi, kita harus mengetahui bahwa yang dimaksud dengan spiritualisme, dalam arti idealistis, adalah alam yang bertentangan dengan alam material terinderai, yaitu alam kesadaran, pengetahuan dan ke-“aku”-an. Jadi, konsep idealistis adalah spiritual, dalam arti bahwa ia menerangkan setiap yang ada dan setiap yang maujud dalam kerangka alam tersebut, dan menisbahkan setiap realitas dan kebenaran kepadanya.
Menurut klaim-klaim
idealisme, alam material temisbahkan kepada alam spiritual. Adapun
spiritualisme, dalam arti teologi, atau dalam doktrin teologi, adalah cara
melihat realitas sebagai suatu keseluruhan, bukan sebagai alam tertentu yang
bertentangan dengan alam material. Karenanya, teologi yang meyakini sebab
supernatural-imaterial juga meyakini hubungan antara segala yang ada dalam alam
umum, baik spiritual maupun material, dan sebab supernatural. Ia percaya bahwa
hubungan ini adalah hubungan yang berdasarkan hubungan ini posisi praktis dan
kemasyarakatan manusia harus ditentukan berkenaan dengan segala sesuatu. Jadi,
spiritualisme dalam arti teologi adalah suatu metode untuk memahami realitas.
Itu iuga berlaku pada alam material maupun alam spiritual dalam arti
idealistis.
Dari uraian di atas, dapatlah. disimpulkan bahwa konsep-konsep filsafat tentang alam ada tiga. Dalam “teori pengetahuan” kita telah mempelajari konsep idealisme, karena ia berhubungan sangat erat dengan teori pengetahuan. Kita juga mengemukakan kesalahan-kesalahannya. Nah, mari kita pelajari dua konsep lainnya: konsep materialisme dan teologi. Dalam konsep materialisme ada dua tendensi: tendensi mekanik atau instrumental, dan tendensi dialektik atau kontradiksi (materialisme dinamika).
Dari uraian di atas, dapatlah. disimpulkan bahwa konsep-konsep filsafat tentang alam ada tiga. Dalam “teori pengetahuan” kita telah mempelajari konsep idealisme, karena ia berhubungan sangat erat dengan teori pengetahuan. Kita juga mengemukakan kesalahan-kesalahannya. Nah, mari kita pelajari dua konsep lainnya: konsep materialisme dan teologi. Dalam konsep materialisme ada dua tendensi: tendensi mekanik atau instrumental, dan tendensi dialektik atau kontradiksi (materialisme dinamika).
Penjelasan atas Sejumlah Hal mengenai Dua Konsep Ini
Sebelum mengemukakan
konsep materialisme dengan dua tendensinya itu, kita harus menjelaskan sejumlah
hal sekitar konsep teologis dan materialistis. Hal itu akan dilakukan dalam
pertanyaan-pertanyaan berikut: “Bagaimanakah ciri pokok yang membedakan
masing-masing dari tendensi-tendensi materialistis (aliran
materialistis-filosofis) dan tendensi teologis (aliran teologi) dari satu sama
lain? Dan perbedaan pokok apakah yang membuat mereka menjadi dua tendensi yang
bertentangan dan dua aliran yang bertentangan?”
Memandang sekilas kedua aliran itu memberi kita jawaban yang jelas atas pertanyaan tadi, yakni bahwa ciri pokok yang membedakan dari aliran materialisme dalam filsafat adalah penafian terhadap apa yang tampak di atas kemampuan ilmu-ilmu eksperimental. Karena itu, dalam lapangan ilmiah – yaitu dalam segi-segi positif ilmu pengetahuan yang dibuktikan eksperimen – tidak ada sesuatu yang teologis dan sesuatu yang material. Seorang filosof, baik ia teolog maupun materialis, mempercayai segi positif ilmu pengetahuan. Dari sudut pandang ilmu pengetahuan, keduanya mempercayai, misalnya, bahwa radium memancarkan daya radiasi sebagai hasil pembagian internal, bahwa air itu terdiri atas oksigen dan hidrogen, dan elemen hidrogen memiliki bobot atomik teringan dari semua elemen. Keduanya sama-sama mempercayai kebenaran-kebenaran positif lainnya yang tampak pada tingkat ilmiah. Jadi, berkenaan dengan posisi ilmiah, tidak ada filosof teologis dan tidak ada filosof materialis. Yang ada adalah dua filsafat tersebut, dan materialisme bertentangan dengan teologi ketika persoalan eksistensi di luar alam (the beyond) diajukan.
Memandang sekilas kedua aliran itu memberi kita jawaban yang jelas atas pertanyaan tadi, yakni bahwa ciri pokok yang membedakan dari aliran materialisme dalam filsafat adalah penafian terhadap apa yang tampak di atas kemampuan ilmu-ilmu eksperimental. Karena itu, dalam lapangan ilmiah – yaitu dalam segi-segi positif ilmu pengetahuan yang dibuktikan eksperimen – tidak ada sesuatu yang teologis dan sesuatu yang material. Seorang filosof, baik ia teolog maupun materialis, mempercayai segi positif ilmu pengetahuan. Dari sudut pandang ilmu pengetahuan, keduanya mempercayai, misalnya, bahwa radium memancarkan daya radiasi sebagai hasil pembagian internal, bahwa air itu terdiri atas oksigen dan hidrogen, dan elemen hidrogen memiliki bobot atomik teringan dari semua elemen. Keduanya sama-sama mempercayai kebenaran-kebenaran positif lainnya yang tampak pada tingkat ilmiah. Jadi, berkenaan dengan posisi ilmiah, tidak ada filosof teologis dan tidak ada filosof materialis. Yang ada adalah dua filsafat tersebut, dan materialisme bertentangan dengan teologi ketika persoalan eksistensi di luar alam (the beyond) diajukan.
Teolog mempercayai adanya
suatu eksistensi yang terlepas dan materi, yakni yang ada di luar lapangan
eksperimen, fenomena dan kekuatannya. Materialis mengingkari hal tersebut dan
membatasi eksistensi pada bidang eksperimental tertentu saja. Ia menganggap
bahwa sebab-sebab alami, yang diungkapkan eksperimen dan dijangkau tangan ilmu
pengetahuan, adalah sebab-sebab primer eksistensi, dan bahwa alam adalah
satu-satunya ekspresi eksistensi ini; sedangkan tendensi teologi menegaskan
bahwa spirit manusia atau ke-“aku”-an adalah subjek imaterial, dan bahwa
pengetahuan dan pikiran adalah fenomena-fenomena yang berdiri sendiri terlepas
dari alam dan materi. Seorang materialis mengingkari semua itu, dengan mengklaim
bahwa, dalam menganalisis tentang tubuh manusia dan mengamati kerja sistem
saraf, ia tak melihat apa pun di luar batas-batas alam dan materi sebagaimana
diklaim oleh seorang teolog.
Selanjutnya, tendensi
teologis mengatakan bahwa perkembangan dan gerak yang diungkapkan ilmu
pengetahuan – baik gerak mekanik yang tunduk kepada sebab material-eksternal
maupun gerak alami yang bukan dilahirkan oleh eksperimen dari sebab-sebab
material tertentu – pada analisis akhirnya dapat dinisbahkan kepada sebab
eksternal di luar pagar alam dan materi. Dalam hal ini, kaum materialis
menentangnya, dengan mengklaim bahwa gerak mekanik dan gerak alami tidak
berhubungan dengan sebab imaterial dan bahwa gerak alami adalah gerak dinamis.
Itu adalah mandiri, karena sebab imaterial yang dipercayai kaum teolog tak
tampak dalam lapangan eksperimen.
Demikianlah, sangat jelas bahwa pertentangan antara teologi dan materialisme bukanlah dalam kebenaran-kebenaran ilmiah. Kaum teolog, seperti kaum materialis, mengakui semua kebenaran ilmiah yang dijelaskan eksperimen-eksperimen yang sahih tentang tubuh manusia, fisiologi organ-organnya, dan perkembangan serta gerak alami. Tetapi teolog menambahkan dan mengakui kebenaran-kebenaran lain. Ia membuktikan adanya segi spiritual-imaterial manusia tidak seperti yang ditunjukkan mereka dalam lapangan eksperimen. Ia juga membuktikan adanya sebab tak terinderai, primer dan imaterial bagi gerak dinamis dan alami. Karena kita sudah mengetahui bahwa dalam lapangan ilmiah tidak ada yang teologis dan materialistis, tahulah kita bahwa struktur filosofis materialisme – karena itu merupakan aliran yang bertentangan dengan aliran teologis – hanyalah didasarkan pada penafian terhadap realitas-realitas abstrak dan pengingkaran terhadap wujud di luar batas-batas alam dan materi, bukan berdasarkan realitas-realitas ilmiah positif.
Pertanyaan kedua: “Apabila kompatibilitas (hal dapat dirujukkan) antara teologi dan materialisme adalah kompatibilitas penetapan dan penafian, maka aliran mana di antara keduanya itu yang bertanggung jawab untuk membuktikan posisi afirmatif atau penafiannya sendiri?” Sebagian kaum materialis mencoba menghindari tanggung-jawab pembuktian itu, dan menganggap kaum teolog bertanggung-jawab untuk membuktikan klaimnya, karena kaum teolog memiliki posisi afirmatif, yakni yang mengklaim eksistensi (di luar alam). Itulah sebabnya mereka harus membenarkan sikap mereka itu dan membuktikan adanya apa yang mereka klaim.
Demikianlah, sangat jelas bahwa pertentangan antara teologi dan materialisme bukanlah dalam kebenaran-kebenaran ilmiah. Kaum teolog, seperti kaum materialis, mengakui semua kebenaran ilmiah yang dijelaskan eksperimen-eksperimen yang sahih tentang tubuh manusia, fisiologi organ-organnya, dan perkembangan serta gerak alami. Tetapi teolog menambahkan dan mengakui kebenaran-kebenaran lain. Ia membuktikan adanya segi spiritual-imaterial manusia tidak seperti yang ditunjukkan mereka dalam lapangan eksperimen. Ia juga membuktikan adanya sebab tak terinderai, primer dan imaterial bagi gerak dinamis dan alami. Karena kita sudah mengetahui bahwa dalam lapangan ilmiah tidak ada yang teologis dan materialistis, tahulah kita bahwa struktur filosofis materialisme – karena itu merupakan aliran yang bertentangan dengan aliran teologis – hanyalah didasarkan pada penafian terhadap realitas-realitas abstrak dan pengingkaran terhadap wujud di luar batas-batas alam dan materi, bukan berdasarkan realitas-realitas ilmiah positif.
Pertanyaan kedua: “Apabila kompatibilitas (hal dapat dirujukkan) antara teologi dan materialisme adalah kompatibilitas penetapan dan penafian, maka aliran mana di antara keduanya itu yang bertanggung jawab untuk membuktikan posisi afirmatif atau penafiannya sendiri?” Sebagian kaum materialis mencoba menghindari tanggung-jawab pembuktian itu, dan menganggap kaum teolog bertanggung-jawab untuk membuktikan klaimnya, karena kaum teolog memiliki posisi afirmatif, yakni yang mengklaim eksistensi (di luar alam). Itulah sebabnya mereka harus membenarkan sikap mereka itu dan membuktikan adanya apa yang mereka klaim.
Tetapi, sebenarnya, keduanya harus mengajukan dalil dan alasan bagi tendensinya sendiri. Tadi, kaum teolog harus membuktikan afirmasinya. Demikian pula kaum materialis bertanggung-jawab membuktikan penafiannya, sebab mereka tak menjadikan proposisi metafisika sebagai subjek keraguan. Tapi mereka malah menafikannya tanpa batasan. Dan penafian mutlak, seperti afirmasi mutlak, sama-sama membutuhkan dalil. Ketika kaum materialis mengklaim bahwa sebab imaterial tak ada, mereka menyiratkan dalam klaim itu bahwa mereka mengetahui seluruh eksistensi dan tidak mendapatkan di dalamnya tempat bagi sebab imaterial. Karena itu mereka harus mengajukan dalil untuk mendukung pengetahuan umum tersebut, dan justifikasi bagi penafian mutlak tersebut.
Di sini kita pertanyakan lagi: “Bagaimana watak dalil yang boleh diajukan kaum teolog atau materialis dalam konteks tersebut?” Kita jawab bahwa dalil bagi penetapan dan penolakan haruslah akal, bukan pengalaman inderawi langsung – berbeda dengan pandangan materialis yang biasanya menganggap pengalaman inderawi sebagai bukti bagi idenya sendiri. Materialisme mengklaim bahwa ide teologis atau proposisi-proposisi metafisis secara umum tidak mungkin ditetapkan dengan pengalaman inderawi, dan bahwa pengalaman inderawi menolak klaim-klaim tersebut, karena ia menganalisis manusia dan alam dan menunjukkan tidak adanya sesuatu yang imaterial pada manusia dan alam. Apabila yang diklaim materialisme itu benar – yakni bahwa pengalaman inderawi dan kebenaran ilmiah bukanlah dalil bagi tendensi teologis – maka hal itu tidak dapat menjadi dalil bagi penafian mutlak yang menentukan tendensi materialistis. Kita telah tahu bahwa berbagai kebenaran ilmiah bukanlah ajang perdebatan antara teologi dan materialisme. Perdebatan itu tentang penafsiran filosofis terhadap kebenaran-kebenaran itu: adanya sebab yang lebih tinggi di luar batas-batas pengalaman inderawi.
Adalah jelas bahwa
pengalaman inderawi tidak mungkin dianggap sebagai bukti bagi penafian terhadap
suatu kebenaran di luar batas-batasnya sendiri. Jika seorang ilmuwan alam dalam
penelitiannya di laboratorium tidak menemukan sebab imaterial, tidak berarti
ini adalah bukti tidak adanya sebab imaterial itu pada alam empirikal. Adapun
penafian terhadap adanya sebab seperti itu di alam yang berada di atas
pengalaman inderawi, tidaklah mungkin disimpulkan dari pengalaman inderawi itu
sendiri.
Dengan keterangan tersebut, kita tegaskan dua hal: Pertama, materialisme membutuhkan pembuktian segi negatif (negasi) yang membedakannya dari teologi, sebagaimana metafisika membutuhkan pembuktian kepositivan dan penetapannya. Kedua, materialisme, seperti juga teologi, adalah tendensi filosofis. Tidak ada materialisme ilmiah atau eksperimental. Karena, seperti telah kita ketahui, ilmu tidak menetapkan ide materialisme tentang alam agar ia menjadi materialisme ilmiah.
Dengan keterangan tersebut, kita tegaskan dua hal: Pertama, materialisme membutuhkan pembuktian segi negatif (negasi) yang membedakannya dari teologi, sebagaimana metafisika membutuhkan pembuktian kepositivan dan penetapannya. Kedua, materialisme, seperti juga teologi, adalah tendensi filosofis. Tidak ada materialisme ilmiah atau eksperimental. Karena, seperti telah kita ketahui, ilmu tidak menetapkan ide materialisme tentang alam agar ia menjadi materialisme ilmiah.
Bahkan setiap kebenaran dan rahasia di dalam alam yang diungkapkan ilmu memberikan ruang bagi pengasumsian tentang sebab yang berada di atas materi. Jadi, eksperimen ilmiah tidak mungkin menunjukkan, misalnya, bahwa materi bukanlah ciptaan sebab imaterial, atau menunjukkan bahwa bentuk-bentuk gerak dan macam-macam perkembangan yang ditemukan ilmu di berbagai segi alam terjadi dengan sendirinya dan tak dihasilkan oleh sebab di atas batas-batas eksperimen. Demikianlah pula dengan setiap fakta ilmiah. Jadi, dalil yang mendukung materialisme tidak mungkin didasarkan pada kebenaran-kebenaran ilmiah atau pengalaman-pengalaman inderawi langsung. Tetapi, ia diformulasikan dalam suatu penafsiran filosofis terhadap kebenaran-kebenaran dan pengalaman-pengalaman itu, persis seperti dalil yang mendukung teologi.
Mari kita ambil perkembangan sebagai contoh. Ilmu membuktikan adanya perkembangan alam dalam sejumlah lapangan. Adalah mungkin untuk membuat dua penafsiran filosofis terhadap jenis perkembangan ini. Pertama, ia muncul dari jantung sesuatu dan produk pertentangan yang diasumsikan di antara kontradiksi-kontradiksi di dalam sesuatu itu. Inilah- penafsiran materialisme dialektik. Kedua, ia adalah produk dari sebab imaterial yang lebih tinggi. Karena itu, alam yang progresif itu tidak mengandung kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya. Tetapi, ia mengandung kemungkinan berkembang. Sebab imaterial itulah yang memberi kemungkinan ini wujud aktual. Inilah penafsiran filsafat teologi. Kita lihat dengan jelas bahwa ide ilmiah hanyalah (pernyataan tentang) adanya perkembangan alami. Adapun kedua ide tentang gerak itu adalah dua ide filosofis. Tak mungkin meyakini kebenaran salah satunya dan menyalahkan yang lain dengan pengalaman inderawi langsung.
Pertanyaan ketiga: “Kalau eksperimen ilmiah sendiri tidak cukup untuk membuktikan ide teologis dan materialistis, apakah pikiran manusia dapat mencari dalil untuk kedua ide itu, karena keduanya sama-sama berada di luar alam eksperimen, atau terpaksa menyerah kepada skeptisisme untuk membekukan permasalahan teologis dan materialistis, dan untuk membatasi diri pada lapangan ilmu yang subur?” Jawabnya adalah bahwa kemampuan pikiran manusia cukup (dapat) mempelajari permasalahan tersebut, dan cukup (dapat) memulainya dari eksperimen itu sendiri, bukan dengan menganggap eksperimen sebagai dalil langsung bagi ide yang kita buat tentang alam, namun sebagai titik tolak awal. Jadi, ide filosofis yang sahih tentang alam – yaitu ide teologis – akan dibuat melalui informasi rasional mandiri berdasarkan penafsiran tentang eksperimen dan fenomena-fenomena eksperimental.
Pembaca tentu ingat pengkajian kami dalam pembahasan pertama tentang teori pengetahuan doktrin rasional, dan bagaimana kami menjelaskan adanya pengetahuan-pengetahuan rasional yang berdiri sendiri sedemikian sehingga menunjukkan bahwa penambahan pengetahuan rasional pada pengalaman inderawi adalah sesuatu yang niscaya tidak hanya dalam persoalan filsafat kita saja, tetapi juga dalam segala persoalan ilmiah. Tidak ada teori ilmiah yang bertumpu pada dasar empirikal semata. Tetapi, ia berdasarkan pengalaman inderawi dan berdasarkan pengetahuan rasional yang berdiri sendiri. Jadi, persoalan filosofis kita yang membahas alam supernatural tidak berbeda dengan setiap persoalan ilmiah yang membahas salah satu hukum-hukum alam, atau rahasia alam. Jadi, dalam semua hal tersebut, pengalaman inderawi adalah titik tolak. Meskipun begitu, pengalaman inderawi membutuhkan penjelasan rasional untuk menyimpulkan kebenaran filosofis atau ilmiah darinya.
Dari hal-hal di atas, kita tarik kesimpulan berikut: Pertama, dari segi negatif, yaitu dalam menolak hal-hal di luar lapangan empirik, aliran materialisme berbeda dengan aliran teologi. Kedua, materialisme bertanggung-jawab untuk membuktikan penafiannya, sebagaimana teologi harus membuktikan penetapannya. Ketiga, pengalaman inderawi tidak mungkin dapat dianggap sebagai dalil bagi penafian. Karena, tiadanya sebab lebih tinggi di dalam alam empirik tidak membuktikan tentang tidak adanya sebab tersebut dalam alam yang lebih tinggi yang tak tersentuh pengalaman inderawi langsung. Keempat, metode yang diambil aliran teologi untuk membuktikan ide teologinya adalah metode yang kita gunakan untuk membuktikan secara ilmiah semua kebenaran dan hukum ilmiah.
Tendensi Dialektik Ide Materialistik
Kami mengatakan bahwa
materialisme mempunyai dua tendensi: tendensi mekanik dan tendensi dialektik.
Secara sepintas, dalam “Teori Pengetahuan”, ketika kami membahas dan meneliti
idealisme fisikal yang ditegakkan di alas puing-puing materialisme mekanik,
kami telah mengemukakan tendensi yang pertama itu. Tendensi kedua materialisme,
yang menafsirkan alam secara materialistis menurut hukum dialektik, adalah
tendensi yang diambil oleh aliran Marxis. Dengan tendensi ini, aliran ini
lantas membuat ide materialistisnya tentang alam. Berkata Stalin:[135]
“Materialisme Marxis
berangkat dari prinsip bahwa alam secara alami adalah material, bahwa
peristiwa-peristiwa alam adalah berbagai fenomena materi yang bergerak, bahwa
saling hubungan antara peristiwa-peristiwa dan saling adaptasinya
peristiwa-peristiwa ini satu terhadap yang lainnya, menurut metode dialektika,
adalah hukum-hukum yang pasti bagi perkembangan materi yang bergerak, dan
akhirnya bahwa alam berkembang sesuai dengan hukum gerak materi dan tidak
membutuhkan akal universal apa pun.” [136]
Ide materislistis menganggap materi atau eksistensi sebagai titik sentral dalam filsafat Marxis, karena hal ini menentukan pandangan Marxis tentang kehidupan, dan membangun baginya pemahaman tertentu tentang realitas dan nilainya. Tanpa hal ini, tidak akan mungkin mendirikan dasar-dasar yang sepenuhnya material bagi masyarakat dan kehidupan. Ia menerakan pada doktrin Marxis suatu progresi tertentu pikiran dan menghendakinya untuk mendirikan berbagai segi filosofisnya demi kepentingan hal ini.
Ide materislistis menganggap materi atau eksistensi sebagai titik sentral dalam filsafat Marxis, karena hal ini menentukan pandangan Marxis tentang kehidupan, dan membangun baginya pemahaman tertentu tentang realitas dan nilainya. Tanpa hal ini, tidak akan mungkin mendirikan dasar-dasar yang sepenuhnya material bagi masyarakat dan kehidupan. Ia menerakan pada doktrin Marxis suatu progresi tertentu pikiran dan menghendakinya untuk mendirikan berbagai segi filosofisnya demi kepentingan hal ini.
Agar Marxisme memiliki hak
untuk menetapkan titik sentral untuk sekali ini saja, ia memilih hal ini
sebagai satu keyakinan, seperti telah kita ketahui dalam “Teori Pengetahuan”.
Dan ia menyatakan bahwa pada manusia ada kapasitas-kapasitas kognitif yang
membuat manusia dapat berbicara dengan yakin tentang filsafat kehidupan
tertentu dan dapat menguraikan rahasia-rahasia terdalam eksistensi dan alam. Ia
menolak doktrin skeptisisme mutlak dan bahkan subjektivisme yang beku. Dengan
melakukan itu, ia berusaha memberikan sifat pasti kepada poros utama tersebut –
yakni ide materialistis. Setelah itu, ia mengemukakan kriteria umum pengetahuan
dan kebenaran pengalaman inderawi. Ia menggangap pengetahuan rasional niscaya
sebagai mustahil dan menolak logika rasional yang terlepas dari pengalaman
inderawi. Semua itu untuk mencegah terhapusnya kemungkinan titik sentral
tersebut dan terbatasinya kapasitas manusia oleh logika rasional, terutama
dalam lapangan empirik. Pada tahap ini, Marxisme menghadapi problem baru, yaitu
apabila kriteria ideasional manusia adalah indera dan pengalaman inderawi, maka
informasi yang didapat melalui indera dan pengalaman inderawi tentu benar
selamanya dan mesti dianggap sebagai kriteria primer untuk menimbang ide dan
pengetahuan. Apakah hasil-hasil empirik ilmiah juga benar? Apakah teori-teori
yang berdasarkan pengalaman inderawi dijamin benar selamanya?
Demikianlah, Marxisme berada di antara dua bahaya: kalau ia mengakui bahwa informasi yang berdasarkan pengalaman inderawi tak bebas dari kesalahan, maka gugurlah pengalaman inderawi sebagai kriteria primer kebenaran dan pengetahuan; kalau klaim-klaim Marxis bahwa teori yang diambil dari pengalaman inderawi dan aplikasi adalah tidak salah dan tidak ambiguitas, maka mereka berbenturan dengan realitas yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun, yaitu bahwa banyak teori ilmiah atau banyak hukum yang dapat dicapai manusia melalui studi terhadap fenomena-fenomena terinderai temyata salah dan tidak sesuai dengan realitas.
Demikianlah, Marxisme berada di antara dua bahaya: kalau ia mengakui bahwa informasi yang berdasarkan pengalaman inderawi tak bebas dari kesalahan, maka gugurlah pengalaman inderawi sebagai kriteria primer kebenaran dan pengetahuan; kalau klaim-klaim Marxis bahwa teori yang diambil dari pengalaman inderawi dan aplikasi adalah tidak salah dan tidak ambiguitas, maka mereka berbenturan dengan realitas yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun, yaitu bahwa banyak teori ilmiah atau banyak hukum yang dapat dicapai manusia melalui studi terhadap fenomena-fenomena terinderai temyata salah dan tidak sesuai dengan realitas.
Dengan demikian, gugurlah
mereka dari singgasana ilmiah yang telah didudukinya selama beratus-ratus
tahun. Apabila ide-ide ilmiah atau empirik harus salah, dan (jika) logika
rasional gugur, bagaimana filsafat kepastian dapat dinyatakan, atau dapat
didirikan suatu aliran yang ide-idenya diwarnai kepastian. Marxisme terus saja
membuat pengalaman inderawi sebagai kriteria tertinggi. Ia melepaskan diri dari
kesulitan ini dengan membuat hukum gerak dan perkembangan ilmu dan ide-ide
dikarenakan (ia menganggap) pikiran sebagai bagian dari alam. Karena ini,
pikiran merealisasikan hukum-hukum alam secara penuh. Maka ia berkembang dan
tumbuh sebagaimana dilakukan alam. Perkembangan ilmiah tidak berarti gugurnya
ide ilmiah yang disebutkan sebelumnya. Ia hanya mengungkapkan gerak integral
kebenaran dan pengetahuan. Jadi, kebenaran dan pengetahuan adalah kebenaran dan
pengetahuan, hanya saja mereka tumbuh, bergerak dan menaik secara terus
menerus.
Demikianlah, semua proposisi dan kebenaran yang sudah jelas itu ditiadakan. Karena, setiap pikiran berjalan di sepanjang jalan perkembangan dan perubahan. Karena itu, di dalam alam pikiran, tidak pernah ada sama sekali kebenaran yang pasti, dan juga proposisi-proposisi yang sudah jelas yang kita ketahui sekarang tak dapat diyakini, seperti pengetahuan kita tentang hal berikut ini: “Keseluruhan lebih besar daripada bagian”, dan “2 + 2 = 4”. Pengetahuan ini mendapatkan bentuk lain dalam gerak perkembangannya – sehingga kita tahu kebenaran pada hal itu dalam cara lain.
Karena gerak yang dibuat Marxisme sebagai hukum pikiran dalam secara umum itu tidak muncul selain dari suatu kekuatan atau suatu sebab, dan (karena) menurut Marxisme, tidak ada realitas di dunia ini selain materi, ia menyatakan bahwa gerak adalah hasil kontradiksi-kontradiksi kandungan internal materi, dan bahwa kontradiksi-kontradiksi tersebut bergulat satu sama lain, sehingga menyebabkan materi dan perkembangannya. Karena itu, Marxisme menolak prinsip non-kontradiksi, dan mengambil dialektika sebagai metode untuk memahami alam, dan menempatkan ide materialistisnya dalam kerangka metode itu.
Demikianlah, menjadi jelas bahwa segala segi filosofis materialisme dialektik berhubungan dengan titik sentral – yaitu dengan ide materialisme – dan dibentuk untuk menegakkan dan mempertahankan titik tersebut. Dengan menggugurkan proposisi-proposisi yang sudah jelas itu dan membuatnya ajang perubahan, atau mempercayai kontradiksi dan menganggapnya sebagai hukum alam umum dan juga mencapai kesimpulan-kesimpulan aneh serupa lain yang diambil Marxisme, hanyalah suatu progres pasti dari keberangkatan yang bermula dari ide materialistis Marxis, dan pembenaran terhadap keberangkatan ini dalam lapangan filsafat.
Demikianlah, semua proposisi dan kebenaran yang sudah jelas itu ditiadakan. Karena, setiap pikiran berjalan di sepanjang jalan perkembangan dan perubahan. Karena itu, di dalam alam pikiran, tidak pernah ada sama sekali kebenaran yang pasti, dan juga proposisi-proposisi yang sudah jelas yang kita ketahui sekarang tak dapat diyakini, seperti pengetahuan kita tentang hal berikut ini: “Keseluruhan lebih besar daripada bagian”, dan “2 + 2 = 4”. Pengetahuan ini mendapatkan bentuk lain dalam gerak perkembangannya – sehingga kita tahu kebenaran pada hal itu dalam cara lain.
Karena gerak yang dibuat Marxisme sebagai hukum pikiran dalam secara umum itu tidak muncul selain dari suatu kekuatan atau suatu sebab, dan (karena) menurut Marxisme, tidak ada realitas di dunia ini selain materi, ia menyatakan bahwa gerak adalah hasil kontradiksi-kontradiksi kandungan internal materi, dan bahwa kontradiksi-kontradiksi tersebut bergulat satu sama lain, sehingga menyebabkan materi dan perkembangannya. Karena itu, Marxisme menolak prinsip non-kontradiksi, dan mengambil dialektika sebagai metode untuk memahami alam, dan menempatkan ide materialistisnya dalam kerangka metode itu.
Demikianlah, menjadi jelas bahwa segala segi filosofis materialisme dialektik berhubungan dengan titik sentral – yaitu dengan ide materialisme – dan dibentuk untuk menegakkan dan mempertahankan titik tersebut. Dengan menggugurkan proposisi-proposisi yang sudah jelas itu dan membuatnya ajang perubahan, atau mempercayai kontradiksi dan menganggapnya sebagai hukum alam umum dan juga mencapai kesimpulan-kesimpulan aneh serupa lain yang diambil Marxisme, hanyalah suatu progres pasti dari keberangkatan yang bermula dari ide materialistis Marxis, dan pembenaran terhadap keberangkatan ini dalam lapangan filsafat.
Catatan:
135. Joseph Stalin
(1879-1953) adalah teorerisi Marxis, ahli politik dan pemimpin militer. Lahir
di Georgia, Soviet, dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya sebagai
seorang tukang sepatu. Pada usia sembilan belas tahun, Stalin bergabung dengan
gerakan revolusioner bawah tanah. Pada 1917, dia menjadi editor-in-chief harian
Pravda, dan pada 1922, dia diangkat sebagai Sekum Partai Komunis, dan pengganti
Lenin. Pada 1942, dia menjadi commander-in-chief dan memimpin perang melawan
Jerman pada 1943.
136. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 17.
136. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h. 17.
Sumber: Sayyid Muhammad
Baqir as Shadr,
FALSAFATUNA
|
Penerjemah : M. Nur Mufid bin Ali
|
Penerbit : Mizan
|
Tahun Penerbitan : Jumada Al-Awwal
1415/Oktober 1994
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar