Rabu, 21 September 2016

POTRET PENYAIR oleh Sulaiman Djaya (2006)



Di waktu-waktu malam, di waktu-waktu ia mengembarakan pikiran, khayalan, dan angan-angan kesepiannya sembari duduk menghadap meja tempatnya merenung dan menulis itu, ia biasanya akan mencurahkan kegelisahan-kegelisahan, rasa bosan, dan kegundahan yang merundung hatinya di lembar-lembar catatan harian kesayangan miliknya, mungkin sebagai topeng dan selubung untuk menutupi kesepiannya.

Atau mungkin hanya sekedar mencurahkan agar tidak menjadi beban hati dan pikirannya yang acapkali terdesak rasa asing tanpa ia tahu apa sebab sesungguhnya.

Sementara itu, di waktu-waktu pagi dan sore hari, ia berusaha menyibukkan diri dengan menanam dan menyirami tanaman yang telah ia tanam. Kesibukan tambahan itu ia lakukan dan ia pilih sebagai penghiburan diri, mungkin juga untuk mengalihkan kesepian dan kebosanannya agar ia tidak terlampau menyibukkan diri dengan membaca buku-buku miliknya, merenung, atau pun menulis.

Seringkali juga terpikir di saat-saat ia membaca, merenung, dan menulis itu, bahwa mungkin saja orang-orang yang selama ini tidak membaca buku-buku filsafat dan kesusasteraan lebih merasakan kebahagiaan dalam hidup mereka, yah orang-orang bersahaja seperti para petani yang sesekali ia perhatikan secara seksama yang menurutnya lebih terlihat tulus ketika mereka bekerja di sawah-sawah dan di ladang-ladang.

Mereka bekerja dari pagi hingga menjelang siang, dari sore hari hingga di ujung senja. Ia selalu memandangi mereka bekerja di waktu-waktu jedanya ketika ia sedang menulis atau membaca di gubuk yang memang tak jauh dari hamparan sawah-sawah itu. Sebagian adalah ibu-ibu dan beberapa di antara mereka adalah perempuan-perempuan yang masih terhitung muda.

Yah mereka, para petani itu, tentu saja tidak pernah menyibukkan dirinya dengan persoalan-persoalan epistemologis dan pertanyaan-pertanyaan axiomatik seperti halnya seorang pemikir atau pun penulis seperti dirinya. Jikalau pun mereka berpikir, tentu sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan wajib keseharian mereka untuk menghidupi diri dan keluarganya, dan itu memang sama terhormatnya dengan para sarjana dan penulis yang mencari nafkah dan gengsi sosial dari pengetahuan dan keterampilan mereka.

Sebenarnya, saat itu, ia tengah dirundung dan digundahkan sejumlah pertanyaan, yang barangkali muncul dari kegelisahan dan kebosanannya. Pertanyaan-pertanyaannya itu, bagaimana pun, muncul silih berganti dalam benaknya ketika ia meragukan apa yang ia lakukan selama ini dengan menulis dan membaca. Kebuntuan yang tiba-tiba segera mengingatkannya pada Tukang Batu-nya Rabindranath Tagore:

“Kau kira aku anak kecil, Ibu, tapi kau keliru, sebab aku adalah Noto, tukang batu, dan aku berusia tiga puluh tahun.

Tiap pagi kunaiki kereta dan pergi ke kota dan kususun batu demi batu dengan semen dan kapur dan kugambar dinding layaknya gambar menangkapku.

Kau kira aku bermain rumah-rumahan dengan kerikil dan batu-batu, tetapi kukatakan padamu aku membangun rumah sungguh-sungguh.

Ini bukanlah rumah-rumah kecil sebab kudirikan tiga tingkat dan tiang-tiang yang kuat.

Tetapi bila kau tanyakan padaku kenapa aku berhenti di sana dan kenapa aku tak meneruskan membangun tingkat demi tingkat hingga atapnya mencapai bintang-bintang, kuyakin aku tak dapat mengatakannya padamu dan kuherani diriku sendiri kenapa aku berhenti di mana saja pada segala.

Kunaiki perancah saatku suka dan ini adalah kegembiraan yang lebih besar ketimbang sekedar bermain-main. Kudengar pekerja-pekerja lelaki dan perempuan bernyanyi-nyanyi dalam bekerja dan meratakan atap, gerobak-gerobak berderak-derak sepanjang jalan-jalan, dan musik jalan dari pedagang-pedagang dan para penjual barang logam dan buah-buahan; pada petang hari bocah-bocah lari pulang dari sekolah dan gagak-gagak terbang berkoak-koak ke sarang mereka.

Kau tahu, Ibu, aku tinggal di dusun kecil di tepi telaga.

Tetapi bila kau tanyakan padaku mengapa kutinggal dalam sebuah gubuk beratap jerami meski kubisa mendirikan rumah-rumah besar dari batu dan mengapa rumahku tidak akan yang terbesar dari semuanya, kuyakin aku tiada dapat mengatakan padamu.”

Apa yang ditulisnya dalam buku catatan harian kesayangannya itu barangkali tak lebih ikhtiar penghiburan dirinya sendiri di sela-sela waktu menulis dan membaca, di mana ia dapat menemukan kenyamanan dalam kesendiriannya di waktu malam, pagi, dan sore hari.

Ia akan menuliskan apa saja yang ingin dituliskannya di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayangannya itu kapan pun ia ingin menuliskannya.

Dengan menulis di lembar-lembar bergaris horisontal buku catatan harian kesayangannya itu, ia pun menemukan kebebasan yang paling menyenangkannya. Kadang-kadang ia menuliskannya sembari mendengarkan musik-musik klasik dan jazz, dan kadang-kadang dalam keadaan senyap di antara suara kersik daun dan desiran angin yang samar-samar pada waktu tengah malam hingga subuh menjelang.


Ilustrasi: Lukisan karya Mikki Senkarik.