Semasa hidup Imam keempat,
Imam Ali bin Husain atau Imam Ali Zainal Abidin, lembaran sejarah Islam penuh
dengan peristiwa kelam, kelabu dan noda moral kemanusiaan. Pasca tragedi
karbala yang menyayat, memalukan sekaligus memilukan itu, dunia Islam dikuasai
dan diperintah oleh Yazid bin Muawiyah selama lebih tiga tahun. Setelah Yazid,
tampuk kekuasaan juga jatuh ke tangan orang-orang zalim dan tak kalah kejinya
dengan Yazid, yaitu Marwan, seluruh keluarga Rasulullah SAW dan Imam Ali Zainal
Abidin menyaksikan peristiwa tragis dan memilukan ini berlangsung.
Imam Ali Zainal Abidin
adalah satu-satunya pemuda Ahlulbait yang selamat dari tragedi Karbala. Tatkala
tragedi Karbala terjadi, Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit keras. Waktu itu
usia beliau baru dua puluh tahun. Sakit keras Imam Ali Zainal Abidin telah
menyelamatkan beliau dari pembunuhan di padang Karbala oleh musuh-musuh laknat.
Dari Imam Ali bin Husain atau Imam Ali Zainal Abidin garis keturunan Rasulullah
SAW berlanjut.
Ahmad bin Hanbal berkata,
“Penyebab sakitnya Ali bin Husain adalah karena pada suatu hari, beliau
mengenakan sebuah baju besi. Tapi baju besi itu ternyata terlalu besar untuk
ukuran beliau. Maka beliau pun membengkelinya sendiri untuk menyesuaikannya dengan
ukuran tubuh beliau.”
Imam Ali Zainal Abidin
adalah pemuda pemilik kesabaran dan ketabahan tiada tara. Di Karbala, Imam Ali
Zainal Abidin menderita rasa haus selama tiga hari. Selain itu, beliau juga
harus menanggung derita akibat sakit yang dialami beliau. Suhu tubuhya panas
yang menyebabkannya lemah tak berdaya. Beban yang beliau tanggung teramat
berat. Beliau harus menyaksikan pembantaian yang mengerikan atas ayah beliau,
adik-adik, sanak saudara dan sahabat-sahabat beliau.
Beliau menyaksikan pula tepat
di hadapan beliau, perkemahan beliau diporak-porandakan dan dibakar tanpa sisa.
Andaikan orang lain yang mengalaminya, satu saja dari rangkaian musibah tragedi
mengerikan ini pasti sudah luluh-lantak hati dan jiwanya. Tapi beliau adalah
Imam Ali Zainal Abidin bin Husain –segala tragedi dan petaka yang dialami
beliau tak mampu menggoyahkan dan menghancurkan keimanan beliau. Beliaulah Imam
yang penuh kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi tragedi paling mengerikan
sepanjang sejarah umat manusia, sejarah Islam khususnya.
Hanya keteguhan, tekad
bulat, kesabaran dan ketabahan Imam Ali Zainal Abidin yang membuat beliau mampu
bertahan dan menanggung beban derita dengan kehendak Allah SWT. Bayangkan,
ketabahan dan kesabarannya ketika Imam Ali Zainal Abidin digiring bersama
anak-anak dan wanita-wanita keluarga dan keturunan Rasulullah SAW sebagai
tawanan perang. Saat itu, sepanjang jalan dari Karbala hingga Syiria, bersama
kaum wanita dan anak-anak Rasulullah SAW, beliau digiring berjalan kaki laksana
kawanan domba.
Sepanjang jalan itu pula
Ahlulbait Nabi Muhammad dipaksa menonton kepala-kepala syuhada di ujung tombak.
Rombongan Ahlulbait itu memasuki singgasana Ubaidillah bin Ziyad, setelah
sebelumnya kepala-kepala para syuhada Karbala diarak secara berurutan bersama
mereka. Tawanan yang diarak itu terbelenggu rantai tangan kakinya.
Ubaidillah bin Ziyad
terheran-heran menyaksikan putra Rasulullah SAW ada yang selamat. Tanpa
menunggu jawaban dari yang lainnya, Ubaidillah bin Ziyad bertanya, “Siapa kau?”
Imam Ali Zainal Abidin
menjawab, “Aku adalah Ali bin Husain.”
Ubaidillah bin Ziyad
bertanya lagi, “Bukankah Allah telah membunuh Ali bin Husain?”
Imam Ali Zainal Abidin
menjawab, “Yang mereka bunuh adalah adikku. Dia juga bernama Ali.”
Ubaidillah bin Ziyad
bersikeras, berusaha memanfaatkan kebodohan ummat yang menyaksikan keluarga
suci yang diyatimkan itu, dia berkata, “Tidak. Bukankah Allah yang
membunuhnya.”
Imam Ali menyadari bahwa
Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah yang tak tahu malu itu mencoba untuk
mengelabui ummat bahwa kemenangan yang telah dicapainya adalah kehendak Allah.
Imam Ali Zainal Abidin menyebutkan sebuah ayat Al Quran,
“Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya”. Kemudian beliau berseru menjelaskan, “Hai lelaki yang
tak pernah mengerti Al Quran! Allah mematikan seseorang ketika tiba saat
kematiannya!”
“Beraninya Anda mengajarku
dengan jawaban seperti itu!” Bentak Ubaidillah bin Ziyad. “Rasakan akibatnya.
Kalimat itu akan menjadi kalimat yang terakhir terujur olehmu. Seret dan
penggal dia!” Tambah Ubaidillah sambil berkacak pinggang.
Serta merta Zainab, bibi
Imam Ali Zainal Abidin, memeluk beliau dan bersuara lantang, “Hai Ibnu Ziyad!
Belum puaskah engkau mengalirkan darah kami! Demi Tuhan, aku tidak akan
melepaskannya. Jika engkau hendak membunuhnya, maka bunuh aku bersamanya!”
Ubaidilah bin Ziyad
melirik Zainab sejenak. Kemudian matanya yang liar melotot persis di muka Imam
Ali Zainal Abidin dan berkata, “Persaudaraan luar biasa! Rupanya dia
menginginkan untuk membunuh mereka secara bersama. Baiklah, tanpa harus kubunuh
bukankah lelaki ini akan mati segera.”
Atas perintah Ubaidillah
bin Ziyad, Imam Ali Zainal Abidin dan putri-putri Rasulullah SAW diarak dari
Kufah menuju Syiria. Rantai-rantai yang membelenggu bergemerincing menumbuk
kaki-kaki yang berjalan lunglai itu. Sungguh laknat orang-orang yang
memperlakukan pusaka Rasulullah SAW dengan cara biadab!
Perjalanan menuju Syiria
penuh dengan cobaan dan penderitaan. Orang yang berhati paling keras sekali pun
pasti menangis mendengar putra-putri Rasulullah SAW diarak sebagai tawanan. Apa
dosa mereka? Bukankah putra-putra Rasulullah SAW adalah manusia suci dan
putri-putri beliau adalah pembela agama Rasulullah SAW? Semoga Allah melaknat
orang-orang yang menganiaya mereka !
Perjalanan menuju Syiria
sangat panjang dan melelahkan. Para penjaga tawanan yang keji dan laknat itu
mengarak putra-putri Rasulullah SAW tanpa belas kasih dari Irak ke Syiria.
Putra-putri Rasulullah SAW itu harus melewati kota demi kota, mulai Kufah,
Dondril, Asqalan, Nasibeen, Haman, Hamas, Aleppo hingga Damaskus. Mereka
dipaksa berjalan kaki selama dua puluh dua hari.
Setibanya di Damaskus,
mereka memasuki singgasana Yazid bin Muawiyah La’natullah. Jika manusia biasa
berjalan kaki dari Irak ke Syiria, pasti dia sudah binasa. Allah melimpahkan
rahmat dan kasih-Nya kepada keluarga Rasulullah SAW sehingga mereka mampu
bertahan dan selamat.
Kala itu, jalan-jalan
Damaskus semarak berhiaskan atribut-atribut pesta. Seolah pertanyaan besar
sedang berlangsung. Tatkala rombongan putra-putri Rasulullah SAW melintasi
lorong-lorong Damaskus, khalayak ramai yang tidak tahu apa-apa menari-nari dan
bersorak-sorai menyambut datangnya tawanan yang mereka anggap para pembangkang.
Mereka bertepuk tangan dan mengolok-olok keluarga suci itu. Mereka pun melempari
kepala-kepala para syuhada yang diarak di ujung-ujung tombak sebagai tanda
kemenangan Yazid. Kala itu, penduduk Syiria menganggap kematian para syuhada
keluarga Rasulullah SAW dan tawanan yang diarak adalah kemenangan yang layak
untuk dirayakan.
Selama diarak sebagai
tawanan, Imam Ali Zainal Abidin tetap berusaha meredakan duka hati kaum wanita
dan anak-anak yang terkoyak tragedi Karbala. Imam Ali Zainal Abidin menghibur
mereka sehingga kesabaran dan tawakkal menaungi keluarga Nabi Muhammad SAW. Tiada
yang dapat menandingi kesabaran dan ketabahan hati keluarga Rasulullah SAW kala
itu dan seterusnya.
Debu-debu sahara, sebutir
demi sebutir menyumbat setiap pori mereka dan menghinggapi rambut mereka. Wajah
bocah-bocah itu kusam. Tubuh mereka lemah. Beginilah cara para biadab itu
membalas budi kepada Muhammad SAW.
Di singgasana ilegalnya,
Yazid duduk dengan pongah. Para bangsawan dan kaum elit kerajaan mengenakan
busana kebesaran duduk di hadapan Yazid. Di ruang itulah keluarga Rasulullah
SAW yang digembelkan hendak dipermalukan. Duka dan derita tak kunjung usai
menghinggapi mereka, seolah mereka menjadi manusia paling hina, seolah menjadi
keluarga Rasulullah SAW adalah aib. Betapa kemanusiaan sudah tidak berarti
apa-apa kala itu. Tiada sesal apalagi merasa berdosa memperlakukan keluarga
Nabi Muhammad yang suci dengan biadab.
Di hadapan para pembesar
kerajaan, mata Yazid menyisir satu persatu wajah-wajah kusam berdebu itu.
Setelah bersendawa panjang, penjahat cucu Abu Sufyan itu bertanya, “Siapa
namamu?“
“Ali bin Husain” jawab
putra Rasul dengan memandang tajam mata penjahat yang sedang duduk di
singgasananya itu.
Yazid mengangguk-angguk
sambil mengelus jenggot. “Hmm! Husain memberi nama Ali kepada semua anaknya,”
celotehnya.
Imam Ali Zainal Abidin
memotong celotehan sang pemabuk di hadapannya itu, “Ya, karena ayahku sangat
menghormati ayah beliau yang mulia, karenanya beliau menamakan semua putra
beliau “Ali”
“Bersyukurlah kepada Allah
bahwa ayahmu telah terbunuh,”seloroh Yazid sambil meringis bengis.
“Laknat Allah atas orang
yang membunuh ayahku,” sergah Imam Ali Zainal Abidin.
Yazid sekonyong-konyong
berdiri sambil menjulurkan telunjuknya, “Hai anak muda! Ayahmu berhasrat
mendapatkan kerajaan, tapi Allah tak mengizinkannya. Maka mereka pun terbantai
“
Imam Ali Zainal Abidin
menyergahnya, “Kenabian dan kepemimpinan selalu menjadi milik keluarga kami.
Tapi kamu merampasnya.”
Ayahmu tak menghendaki aku
untuk menjadi penguasa umat Islam. Dia tidak menganggapku layak memegang
jabatan kepemimpinan. Karena itulah, dia menentangku. Karena Allah melihat
semua ini, Dia menjadi marah kepadanya,” Yazid berusaha membela diri.
“Tuhan Yang Maha Pengasih
berfirman dalam kitab-Nya,
Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) kepada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (al-Hadid ayat 22).
Hai Yazid! Aku tak
bersedih atas apa yang telah Allah ambil dariku. Aku bersyukur kepada-Nya atas
segala anugerah yang Dia limpahkan kepadaku,”jawab Imam Ali Zainal Abidin
dengan lantang.
Mendengar kata-kata hikmah
Imam Ali Zainal Abidin, Yazid marah bukan kepalang. Yazid lantas memerintahkan
agar Imam Ali Zainal Abidin dihukum mati.
Imam Ali Berkata, “Hai Yazid!
Jangan mengancamku dnegan kematian! Jika kau membunuhku, siapa yang akan
membawa putri-putri Rasulullah SAW kembali ke kota mereka! Selain aku, mereka
tak lagi memiliki lelaki yang muhrim. Hai Yazid! Andaikan saat ini Rasulullah
datang kemari dan melihat kami ditawan dengan menunggang unta tanpa pelana,
pembelaan apakah yang akan kauberikan?”
Mendengar penuturan Imam
Ali Zainal Abidin dan melihat tubuh beliau yang kurus dan lemah, semua pembesar
kerajaan yang ada diruangan itu menangis, seketika itu Yazid menyadari bahwa
perasaan para pembesar kerajaan telah berubah dan menaruh simpati kepada Imam
Ali Zainal Abidin, dengan terpaksa, Yazid melepaskan rantai yang membelenggu
Imam Ali Zainal Abidin.
Bantahan Imam Ali Zainal
Abidin telah membongkar kebohongan Yazid. Rencana Yazid untuk mempermalukan
Ahlulbait di hadapan pembesar dan khalayak kerajaan gagal. Kini dia harus
berhati-hati menghadapi para tawanan Karbala. Yazid tak punya alasan untuk
menyiksa dan mempermalukan mereka setelah tragedi Karbala. Dengan terpaksa
akhirnya Yazid mengizinkan Imam Ali Zainal Abidin naik ke mimbar dan
menyampaikan khotbah shalat Jum’at.
Imam Ali Zainal Abidin pun
naik ke mimbar khotbah, beliau berkhotbah tentang kebijaksanaan perbuatan ayah
beliau, Imam Husain. Dijelaskannya bahwa karena kebijaksanaan itulah syariat
Islam dapat tetap ditegakkan. Beliau juga menceritakan tentang tragedi Karbala
yang memilukan dan mencabik-cabik nurani kemanusiaan. Tragedi itu ditimpakan
kepada keluarga Rasulullah SAW.
Khotbah Imam Ali Zainal
Abidin menyentuh perasaan masyarakat Syiria. Emosi mereka terbakar
mendengarnya. Timbul niat mereka untuk membela Imam Ali Zainal Abidin.
Menyaksikan reaksi
masyarakat Syiria, Yazid merasa ketakutan. Dia khawatir huru-hara dan
pergolakan massal terjadi di Damaskus. Karenanya, Yazid saat itu juga
memerintahkan agar para tawanan Karbala dibebaskan dan segera dipulangkan ke
Madinah.
Berita ini pun segera
tersiar ke Madinah. Ketika mendengar bahwa Imam Ali Zainal Abidin dan rombongan
beliau hampir sampai di kota Madinah, masyarakat Madinah berhamburan keluar
rumah. Pria, wanita, anak-anak, kawan maupun lawan, semuanya bergegas menuju
perbatasan kota Madinah demi menyambut Imam Ali Zainal Abidin.
Ketika Imam Ali Zainal
Abidin dan rombongan keluarga Rasulullah Muhammad SAW tiba, para pemuda Madinah
serta merta mengerumuni beliau yang kini menjadi satu-satunya putra Imam Husain
yang masih hidup. Setelah hiruk pikuk khalayak Madinah yang mengelilingi beliau
mereda, Imam Ali Zainal Abidin memberi isyarat agar semua diam supaya semua
dapat mendengarkan orasi beliau. Lalu beliau berorasi –dan berikut penggalan
khutbah beliau:
Hai umat! Allah yang
Mahakuasa telah menguji kami dengan cobaan dan serangan bertubi-tubi dari
musuh-musuh biadab. Syukur kepada Allah sehingga kami berhasil melewati ujian
tersebut. Hai masyarakat Madinah! Abu Abdillah al-Husain telah syahid. Kaum
wanita, istri-istri dan putri-putri Husain harus menanggung beban derita
sebagai tawanan perang yang dibelenggu dengan tali. Kepala para syuhada kami ditancapkan
di ujung-ujung tombak dan kami digiring dan diarak dari kota ke kota hingga
berbagai belahan negeri. Hai umat! Kami dipaksa meninggalkan kota kami, dan
kami diarak dari kota ke kota, melewati setiap pemukiman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar