Minggu, 22 Februari 2015

Falsafatuna Bab 9: Pengetahuan



Oleh Sayyid Muhammad Baqir as Shadr (Penerjemah: Muhammad Nur Mufid)

Persoalan filsafat yang paling besar tentang pengetahuan adalah menempatkan pengetahuan dalam bentuk filosofis yang mengungkapkan realitas dan esensinya, dan yang menjelaskan apakah itu adalah fenomena material yang ada di dalam materi ketika materi mencapai tahapan tertentu dari perkembangan dan penyempurnaan – seperti diduga materialisme – atau merupakan fenomena yang bebas dari materi dan, bersama dengan manifestasi-manifestasinya, ditopang oleh keberadaan tertentu, sebagaimana dipahami secara filosofis dalam metafisika. Marxisme, sebagai aliran materialisme, tentu saja menekankan paham materialisme mengenai pikiran dan pengetahuan, seperti tampak nyata pada teks-teks berikut dari Marx, Engels, George Politzer dan Roger Garaudy. Berkata Marx: “Pikiran tak terpisahkan dari materi berpikir. Materi tersebut adalah substansi setiap perubahan.” [253]

Berkata Engels: “Kesadaran dan pikiran kita, betapapun keduanya tampak tinggi, tidak lain adalah produk organik material atau jasadi, yaitu otak.” [254] “Setiap hal yang mendorong manusia, niscaya melewati otak mereka. Bahkan begitu pula makan dan minum yang bermula dari rasa lapar atau haus. Rasa ini juga terasa oleh otak. Pengaruh-pengaruh alam eksternal kepada manusia terungkap di dalam otak manusia, dan tecermin dalam bentuk rasa, gagasan, dorongan, dan kehendak.” [255]

Berkata George Politzer: “Ilmu-ilmu alam menerangkan bahwa kekurangan perkembangan otak seorang individu adalah penghalang terbesar bagi perkembangan kesadaran dan pikirannya. Ini menyebabkan kebodohan. Pikiran adalah produk historis perkembangan alam dalam derajat tinggi kesempurnaan yang terjelma dalam organ-organ inderawi dan sistem syaraf spesies hidup, terutama pada bagian pusat tertinggi yang menguasai segenap entitas organik, yaitu otak.” [256] Berkata Roger Garaudy: “Formasi material pikiran mengemukakan kepada kita, seperti akan kita lihat, argumen-argumen yang pantas dipercayai dan diterima.” [257]

Paham filosofis mengenai pengetahuan bukanlah satu-satunya paham tentang pengetahuan yang patut diteliti dan ditelaah. Karena pengetahuan adalah titik temu banyak penelitian dan penelaahan. Setiap disiplin ilmiah memiliki pahamnya sendiri yang membahas salah satu problem pengetahuan, dan satu sisi dari rahasia-rahasia kehidupan intelektual yang kemisteriusan dan kerumitannya membuatnya menarik. Dibalik semua paham ilmiah tersebut adalah paham filsafat yang di dalamnya terjadi konflik antara materialisme dan metafisika, seperti sudah disebutkan. Jadi, masalah kita adalah subjek berbagai pembahasan filosofis dan ilmiah.

Banyak penulis dan peneliti berbuat kesalahan karena tidak membedakan antara segi-segi yang seyogianya harus diteliti dan dianalisis secara memadai, dan segi-segi yang di dalamnya pertimbangan filosofis berperan. Karena kesalahan itulah, lahir klaim materialisme yang mengatakan bahwa pengetahuan dalam paham filosofis metafisika bertentangan dengan pengetahuan dalam paham-paham ilmiah. Kita telah melihat bagaimana George Politzer berupaya membuktikan materialitas pengetahuan dari segi filosofis dengan dalil-dalil ilmu-ilmu alam. Demikian juga dilakukan oleh selain Politzer.


Karena itu, kami rasa perlu untuk menentukan posisi filsafat dalam masalah tersebut, agar dapat menghalangi usaha-usaha untuk mengacaukan bidang filsafat dan bidang ilmiah, dan untuk menyatakan bahwa penafsiran metafisis atas pengetahuan bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan bahwa ia menolak kebenaran-kebenaran dan ketetapan-ketetapan ilmu pengetahuan.

Dengan itu, kami akan memisahkan posisi umum (kami) terhadap pengetahuan, dan menerangkan berbagai riset ilmiah yang akan menentukan titik-titik perbedaan kita dengan materialisme secara umum dan dengan Marxisme secara khusus, sebagaimana ia akan menentukan segi-segi yang dapat dibahas dan dijelajahi oleh studi-studi ilmiah; sehingga hal ini akan menjelaskan bahwa studi-studi tersebut tidak dapat dianggap sebagai menopang materialisme dalam pertempuran intelektual yang dilancarkannya terhadap metafisika untuk menegakkan paham filosofis yang paling sempurna tentang pengetahuan.

Kami telah menyinggung bahwa segi-segi pengetahuan yang ditelaah studi-studi ilmiah itu banyak jumlahnya, (bukan) karena hubungan ilmu pengetahuan dengan berbagai segi pengetahuan, tetapi karena fakta bahwa ilmu pengetahuan memiliki berbagai macam aliran ilmiah, yang masing-masing menelaah pengetahuan dengan kaca mata khususnya. Riset-riset fisikawi dan kimiawi, misalnya, mempelajari segi-segi tertentu pengetahuan. Fisiologi juga ambil bagian di dalamnya. Begitu pula psikologi dengan berbagai alirannya, seperti aliran introspeksionisme (al-istibthaniyyah), [258] behaviorisme, fungsionalisme (al-wazhifiyyah) [259] dan lain sebagainya; semuanya mempelajari berbagai segi pengetahuan. Setelah itu, tibalah peranan psikologi filosofis untuk membicarakan pengetahuan dari perspektifnya sendiri. Ia menelaah apakah pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan material dari sistem saraf, atau ia adalah keadaan spiritual murni. Berikut ini kami akan menjelaskan berbagai segi itu selama diperlukan, sekadar untuk menerangi jalan pembahasan kita, dan menjelaskan posisi kita berkenaan dengan materialisme dan Marxisme.

Pengetahuan dalam Peringkat Fisika dan Kimia
Pada peringkat penelitian-penelitiannya sendiri, fisika dan kimia berusaha mendiagnosis peristiwa-peristiwa fisikawi-kimiawi yang sering mengikuti tindak kognisi. Peristiwa-peristiwa ini tampak pada refleksi sinar-sinar cahaya dari benda-benda visible, pengaruh vibrasi elektromagnetik pada mata sehat, perubahan kimiawi yang terjadi oleh karenanya, pantulan gelombang-gelombang suara dari benda-benda audible, partikel-partikel kimiawi yang keluar dari sesuatu yang berbau dan memiliki rasa, maupun rangsangan-rangsangan fisikawi dan perubahan-perubahan kimiawi yang serupa lainnya. Semua peristiwa tersebut berada di wilayah aplikasi ilmiah fisika dan kimia.

Pengetahuan dalam Peringkat Fisiologi
Berdasarkan eksperimen-eksperimen fisiologik, ditemukan sejumlah peristiwa-peristiwa dan proses yang terjadi pada organ-organ indera dan sistem saraf, termasuk otak. Meskipun peristiwa-peristiwa seperti itu memiliki watak fisikawi dan kimiawi, seperti proses-proses terdahulu, namun peristiwa-peristiwa itu berbeda dengan proses-proses tersebut, oleh karena peristiwa-peristiwa itu terjadi pada benda hidup. Peristiwa-peristiwa itu memiliki hubungan tertentu dengan watak benda-benda hidup.

Fisiologi, dengan penemuan-penemuan semacam itu, dapat menentukan fungsi-fungsi vital sistem saraf dan peranan yang dimainkan berbagai bagiannya dalam tindak kognisi (mengetahui). Menurut fisiologi, otak, misalnya, terbagi menjadi empat lobe (cuping): lobe frontal, lobe parietal, lobe temporal, dan lobe ocipital. Masing-masing lobe itu mempunyai fungsi fisiologik khasnya. Pusat-pusat motor berada di lobe frontal. Pusat-pusat indera, yang menerima pesan-pesan dari tubuh, berada di lobe parietal. Demikian pula indera raba dan tekan. Sedangkan pusat-pusat tertentu seperti rasa, penciuman dan pendengaran berada di lobe temporal; dan pusat-pusat penglihatan berada di lobe ocipital. Masih ada rincian-rincian lebih lanjut (tentang otak).

Biasanya, salah satu dari dua prosedur fisiologik utama, ablasi (al-isti’shal, agen atau sebab) dan stimuli (al-tanbih) digunakan untuk memperoleh informasi-informasi fisiologik tentang sistem saraf. Dalam prosedur pertama, bagian-bagian yang berbeda-beda dari sistem saraf itu diablasi. Kemudian perubahan-perubahan tingkah laku yang ditimbulkan oleh ablasi itu dipelajari. Pada prosedur kedua, pusat tertentu dalam kulit otak dirangsang dengan sarana listrik, dan kemudian perubahan-perubahan indera atau motor yang timbul darinya direkam.

Adalah jelas sekali bahwa fisika, kimia dan fisiologi, dengan sarana-sarana ilmiah dan metode-metode eksperimental mereka, tidak dapat mengungkapkan apa pun kecuali peristiwa-peristiwa dan kandungan-kandungan sistem saraf, termasuk proses-proses dan perubahan-perubahan yang dialaminya. Sedangkan penafsiran filosofis tentang realitas dan esensi pengetahuan bukanlah hak istimewa ilmu-ilmu tersebut. Karena ilmu-ilmu itu tidak dapat membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu tersebut adalah seperti yang kita ketahui sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman kita sendiri. Kebenaran yang tak dapat diragukan dan tak dapat diperdebatkan adalah bahwa peristiwa-peristiwa dan proses-proses fisikawi, kimiawi dan fisiologik itu memiliki hubungan dengan pengetahuan dan dengan kehidupan psikologik manusia. Mereka memainkan peranan penting dalam lapangan ini. Tetapi, ini tidak mengindikasikan kebenaran klaim materialisme yang menyatakan materialnya pengetahuan. Satu perbedaan yang jelas tampak antara pengetahuan sebagai sesuatu yang didahului atau dibarengi oleh proses-proses pendahuluan pada tingkat material, dan pengetahuan sebagai sesuatu yang pada esensinya adalah suatu fenomena material atau produk materi pada tahap tertentu pertumbuhan dan perkembangan, sebagaimana dinyatakan oleh aliran materialistik.

Jadi, studi ilmu-ilmu alam tidak menjangkau lapangan filsafat – lapangan pembahasan pengetahuan dalam realitas dan esensinya. Bahkan mereka bersikap negatif dalam segi ini, meskipun aliran behaviorisme dalam ilmu jiwa berupaya menerangkan pengetahuan dan pikiran berdasarkan penemuan-penemuan fisiologik, terutama perbuatan refleksif terkondisikan yang aplikasinya pada kehidupan psikologik mendatangkan pandangan mekanik murni terhadap manusia. Hal ini akan dibahas nanti.

Pengetahuan dalam Penelitian Psikologis
Penelitian-penelitian psikologis yang memecahkan problem-problem jiwa dan permasalahannya terbagi menjadi dua. Pertama, penelitian-penelitian ilmiah yang membentuk psikologi eksperimental. Kedua, penelitian filosofis yang atasnya psikologi filosofis atau filsafat psikologi bertanggung jawab. Psikologi dan filsafat masing-masing memiliki metode-metode dan prosedur-prosedurnya sendiri untuk penelitian dan eksplorasi.

Psikologi memulai ketika fisiologi berhenti. Ia membahas kehidupan mental dan proses-proses kejiwaannya. Dalam studi-studi praktisnya, psikologi memakai dua prosedur pokok. Yang pertama adalah introspeksi, yang dipakai banyak psikolog. Prosedur ini terutama merupakan tanda pembeda antara aliran introspeksionisme psikologis yang mengambil pengalaman subjektif sebagai sarana bagi penelitian ilmiahnya, dan yang menyerukan perasaan sebagai subjek psikologi. Yang kedua adalah pengalaman objektif. Prosedur ini pada akhirnya menduduki posisi terpenting dalam psikologi eksperimental. Nilai pentingnya terutama ditekankan oleh behaviorisme yang menganggap pengalaman objektif sebagai tiang pokok ilmu pengetahuan. Karena itu, behaviorisme mengklaim bahwa subjek psikologi adalah tingkah laku eksternal, sebab, itulah satu-satunya hal yang padanya pengalaman eksternal dan observasi objektif dapat diterapkan. Fakta-fakta yang dikemukakan psikologi adalah fakta-fakta yang dapat diungkapkan dengan introspeksi atau pengalaman lahiriah. Sedangkan fakta-fakta yang ada di luar batas-batas pengalaman tidaklah dapat menjadi pokok masalah psikologi eksperimental. Hal ini adalah untuk mengatakan bahwa aliran psikologi ini merentang sejauh mental berhenti, sebagaimana psikologi memulai langkah-langkah ilmiahnya ketika fisiologi berhenti.

Fungsi paling mendasar filsafat psikologi adalah berusaha mengungkapkan fakta-fakta yang ada di luar lapangan ilmiah dan eksperimental itu. Filsafat menuntut (tujuan) ini dengan menerima postulat-postulat psikologis yang diberikan oleh ilmu eksperimental, dan mempelajari berdasarkan hukum-hukum filosofis umum. Dan atas petunjuk hukum-hukum tersebut, filsafat memberikan kepada hasil-hasil ilmiah itu suatu penafsiran filosofis, dan membuat penjelasan yang lebih mendalam tentang kehidupan mental.

Jadi, hubungan antara psikologi dan filsafat psikologi adalah seperti hubungan antara ilmu-ilmu alam eksperimental dan filsafat ilmu-ilmu alam eksperimental. Ilmu-ilmu alam mempelajari berbagai fenomena arus dan medan listrik, kelambatan dan kecepatan listrik, dan hukum-hukum fisikawi lain berkaitan dengan listrik. Ia juga mempelajari fenomena berbeda dari materi dan energi. Sedangkan watak listrik dan materi atau energi menjadi perhatian riset filosofis. Demikian pula kehidupan mental. Penelitian ilmiah menangani fenomena-fenomena kejiwaan yang berada dalam kerangka pengalaman subjektif atau objektif. Pembicaraan tentang alam (watak) pengetahuan dan realitas kandungan internal proses-proses mental dipercayakan kepada filsafat psikologi atau psikologi filosofis.

Berdasarkan hal itu, kita selalu dapat membedakan antara sisi ilmiah dan sisi filosofis persoalan tersebut. Berikut adalah dua contoh hal tersebut, yang diambil dari subjek-subjek riset psikologi. Yang pertama adalah disposisi (pembawaan) mental, yang mengenainya kedua sisi filosofis dan psikologis bertemu. Sisi filosofis tecermin dalam teori disposisi yang menyatakan bahwa akal manusia dibagi menjadi daya-daya dan banyak disposisi untuk berbagai aktivitas, seperti perhatian, imajinasi, ingatan, kognisi, kehendak dan seterusnya. Gagasan ini berada dalam ruang lingkup filsafat psikologi. Itu bukan suatu gagasan ilmiah, dalam arti bahwa ia itu “ilmiah secara pengalaman”. Karena, apakah pengalaman itu subjektif, seperti introspeksi, maupun objektif, seperti observasi ilmiah atas tingkah-laku eksternal orang lain, ia tidak dapat secara ilmiah mengungkapkan multiplisitas atau unitas disposisi-disposisi; karena multiplisitas daya mental atau unitas daya mental tak dapat atasnya dilakukan eksperimen, bagaimanapun bentuknya.

Sedangkan sisi ilmiah persoalan disposisi menunjuk ke teori pelatihan formal dalam pendidikan. Teori ini menyatakan bahwa disposisi mental dapat dikembangkan secara keseluruhan, tanpa pengecualian, dengan melatih dalam satu materi subjek dan dalam satu jenis fakta-fakta. Teori ini telah diterima oleh sejumlah pakar psikologi pendidikan yang menerima teori disposisi yang menguasai pemikiran psikologi sampai abad ke-19. Mereka berasumsi bahwa jika suatu disposisi itu kuat atau lemah pada individu tertentu maka ia juga kuat atau lemah pada segala wilayah pada individu itu adalah jelas bahwa teori ini berada dalam ruang lingkup psikologi eksperimental. Ia adalah teori ilmiah, karena ia tunduk kepada kriteria-kriteria ilmiah. Jadi, adalah mungkin untuk mencoba mengetahui terpengaruhnya ingatan secara umum oleh suatu pelatihan untuk mengingat suatu materi subjek tertentu. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat memberikan penilaiannya berdasarkan eksperimen-eksperimen semacam ini. Lalu hasil ilmiah eksperimen tersebut diajukan kepada filsafat psikologi, agar filsafat ini dapat mempelajari makna filosofis hasil ini dan apa yang dimaksudkannya dengan multiplisitas atau unitas disposisi, berdasarkan hukum-hukum filsafat. Contoh kedua kita ambil dari inti topik yang kita coba pecahkan, yaitu tindak pencerapan penglihatan. Ia adalah salah satu topik pokok baik dalam lapangan ilmiah maupun lapangan filsafat.

Dalam riset ilmiah, terjadi perdebatan seru sekitar tafsir tindak pencerapan (persepsi) antara kaum asosiasionis (al-irtibathiyyin) [260] di satu pihak, dan para pendukung doktrin bentuk (Gestalt) [261] di pihak lain. Kaum asosiasionis adalah mereka yang menganggap pengalaman inderawi sebagai satu-satunya asas pengetahuan. Sebagaimana para pakar kimia menganalisis (mengurai) senyawa-senyawa kimiawi ke dalam unsur-unsur primitif mereka, maka kaum asosiasionis menganalisis berbagai:

Pengalaman mental ke dalam sensasi-sensasi primer yang dihubungkan dan disusun melalui proses instrumental dan mekanik, sesuai hukum-hukum asosiasi. Di dalam teori asosiasi ini ada dua segi. Yang pertama adalah bahwa sumber komposisi pengalaman mental adalah sensasi-sensasi primer, atau gagasan-gagasan sederhana yang dicerap indera. Yang kedua adalah bahwa komposisi ini maujud secara mekanik dan sesuai dengan hukum-hukum asosiasi. Segi yang pertama telah kita pelajari dalam bab “Teori Pengetahuan” ketika membicarakan sumber-primer konsepsi manusia dan teori empirikal John Locke yang dianggap sebagai pendiri aliran asosiasionisme. Dan kita telah berkesimpulan bahwa sumber beberapa unit konsepsi dan pikiran rasional bukanlah indera. Tetapi, unit-unit seperti itu dihasilkan oleh aktivitas positif dan efisien dari jiwa. Sedangkan segi kedua dikemukakan oleh aliran Gestalt yang menolak pendekatan analitis terhadap studi atas keadaan-keadaan sadar. Ia menanggapi penafsiran asosiasionistis dan mekanik terhadap tindak-tindak mengetahui dengan menekankan keniscayaan untuk mempelajari seperti pengalaman secara keseluruhan dan bahwa kemenyeluruhan bukanlah semata-mata pelelehan atau komposisi pengalaman-pengalaman inderawi. Tetapi, ia memiliki watak suatu tatanan rasional dinamis yang sesuai dengan hukum-hukum tertentu.

Mari kita lihat sekarang, setelah menjelaskan dua tendensi di atas, tentang penafsiran ilmiah mereka berkaitan dengan tindak pencerapan penglihatan. Berdasarkan tendensi asosiasionistis, dikatakan bahwa imaji tentang sebuah rumah, misalnya, yang terbentuk pada retina, dikirimkan ke otak bagian demi bagian. Nah, pada bagian tertentu otak, imaji terjumpai yang serupa dengan imaji yang terjadi pada retina tersebut. Akal lantas teraktifkan dan memberikan kepada imaji otak gagasan-gagasan dari pengalaman-pengalaman terdahulu di dalam benak yang secara mental berasosiasi dengan rumah. Ini tercapai sesuai dengan hukum-hukum mekanik asosiasi. Hasil dari hal ini adalah pengetahuan rasional imaji tentang rumah. Berdasarkan tendensi bentuk, sebaliknya, pengetahuan sejak awalnya bergantung pada hal-hal sebagai keseluruhan-keseluruhan dan pada bentuk-bentuk umum mereka, karena ada bentuk-bentuk primer di alam luar yang sesuai dengan bentuk-bentuk dalam benak. Maka, dapatlah kita menafsirkan tatanan kehidupan mental dengan tatanan hukum-hukum alam luar itu sendiri, bukan dengan komposisi dan asosiasi. Jadi, suatu bagian dalam suatu bentuk atau suatu keseluruhan hanya dapat diketahui sesuai dengan keseluruhan itu, dan berubah mengikuti perubahan bentuk tersebut.

Penafsiran tentang persepsi penglihatan semacam itu kami sebut dengan nama “penafsiran ilmiah”, karena ia termasuk dalam bidang eksperimen, atau observasi yang terorganisasikan. Karena itu, pengetahuan tentang bentuk dan perubahan suatu bagian yang mengikuti perubahan bentuk itu bersifat empiris. Itulah sebabnya aliran Gestalt membuktikan teorinya dengan eksperimen yang menjelaskan bahwa manusia tidak hanya mencerap bagian-bagian saja, tetapi mencerap sesuatu yang lain seperti bentuk atau nada. Karena itu, terkadang semua bagian datang bersama tanpa dicerapnya bentuk atau nada itu. Jadi, bentuk mengungkapkan semua bagian. Dan kami tidak hendak memperluas penjelasan dan telaah ilmiah tentang tindak pencerapan penglihatan. Tetapi, paparan di atas dimaksudkan untuk membantu kita menentukan posisi penafsiran filosofis yang kita upayakan untuk diberikan kepada tindakan semacam itu.

Sehubungan dengan ini, kami katakan bahwa setelah studi-studi ilmiah tersebut, timbul pertanyaan bagi kaum Gestalt dan asosiasionis. Yaitu pertanyaan tentang imaji yang dipersepsi benak dan yang terbentuk sesuai dengan hukum-hukum mekanik asosiasi, atau sesuai dengan hukum-hukum bentuk: “Apakah esensi imaji seperti itu? Apakah ia itu imaji material atau imaterial?” Pertanyaan mendasar ini membentuk problem filosofis yang harus ditelaah dan dipecahkan oleh psikologi filosofis. Materialisme dan metafisika menjawab pertanyaan ini dengan dua jawaban yang kontradiktif.

Kini tampak sangat jelas bahwa psikologi ilmah (psikologi eksperimental) tidak dapat menekankan penafsiran materialistis terhadap pengetahuan dalam bidang ini, dan tidak dapat mengingkari wujud sesuatu di dalam kehidupan mental yang ada di luar materi, sebagaimana yang dilakukan filsafat materialistis. Karena, eksperimen-eksperimen psikologis, baik yang subjektif maupun yang objektif, tidak menjangkau bidang mental tersebut.

Pengetahuan dalam Arti Filosofis
Sekarang, mari kita mulai studi kita tentang pengetahuan, setelah kita menjelaskan arti dan hubungannya dengan berbagai studi praktis, sesuai dengan metode filosofis studi-studi psikologis. Metode ini dapat dirangkum, seperti telah kita singgung, dalam pengambilan kebenaran-kebenaran ilmiah dan postulat-postulat eksperimental, dan dalam pembahasan atas kebenaran-kebenaran dan postulat-postulat ini berdasarkan hukum-hukum dan dasar-dasar yang diterima di dalam filsafat, sehingga dapat disimpulkan suatu kebenaran baru di balik kebenaran-kebenaran yang diungkapkan eksperimen-eksperimen.

Mari kita ambil persepsi mental suatu imaji visual sebagai contoh hidup kehidupan mental umum yang penafsirannya menjadi pokok perselisihan antara metafisika dan materialisme. Paham filosofis kita tentang pengetahuan didasarkan pada: pertama, sifat-sifat geometris imaji yang tercerap, kedua, fenomena-fenomena kestabilan dalam tindak-tindak persepsi penglihatan.

Sifat-Sifat Geometris Imaji yang Tercerap
Kita mulai dari kebenaran intuitif yang kita ambil dari kehidupan sehari-hari dan berbagai pengalaman keseharian kita. Yaitu kebenaran bahwa imaji yang diberikan kepada kita oleh operasi mental persepsi penglihatan itu mengandung sifat-sifat geometris seperti panjang, lebar dan dalam, dan tampak dalam berbagai bentuk dan volume. Mari kita andaikan bahwa kita mengunjungi suatu kebun yang memanjang beribu-ribu meter, dan kita berikan sekilas pandang saja kepadanya. Dalam pandangan yang sekilas itu, kita dapat mencerap (mempersepsi) kebun tersebut sebagai satu keseluruhan yang solid yang di dalamnya terhimpun pohon kurma, pepohonan lain, kolam air yang besar, dan bunga-bunga beserta dedaunan yang memancarkan berbagai bentuk kehidupan, dan kursi-kursi yang diletakkan dengan rapi di sekitar kolam air, dan burung-burung yang berkicau di atas ranting-ranting pepohonan. Pertanyaan yang kemudian timbul sekitar imaji yang indah ini yang sepenuhnya kita persepsikan dalam satu kali pandangan itu adalah: Apakah imaji yang kita persepsikan itu? Apakah ia sama dengan kebun dan realitas objektifnya itu sendiri, atau suatu imaji material yang ada pada suatu organ material tertentu dari sistem saraf kita, atau bukan itu dan bukan ini, tetapi suatu imaji imaterial yang menyerupai realitas objektif dan yang berbicara tentangya?

Sebuah teori kuno tentang melihat [262] menyatakan bahwa kebun dengan realitas eksternalnya adalah imaji yang tercermin dalam persepsi mental kita. Teori ini berasumsi bahwa manusia mempersepsi realitas objektif sesuatu itu sendiri karena keluarnya sinar tertentu dari mata yang menimpa objek yang dapat dilihat. Tetapi, teori ini tumbang dari perhitungan filsafat. Karena, ilusi indera yang membuat kita mempersepsi imaji-imaji tertentu dalam bentuk-bentuk tidak real tertentu membuktikan bahwa imaji yang terpersepsikan tersebut tidak sama dengan realitas objektif. Kalau tidak, maka apakah realitas objektif yang dipersepsikan dalam persepsi inderawi ilusif itu? Lalu teori ini dicampakkan dari ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan membuktikan bahwa sinar terpantul dari benda-benda yang dapat dilihat kepada mata, bukan sebaliknya; dan bahwa kita tidak memiliki apa pun dari sesuatu yang terlihat kecuali sinar-sinar yang terpantul pada retina. Bahkan ilmu pengetahuan membuktikan bahwa penglihatan kita akan sesuatu dapat terjadi bertahun-tahun setelah tidak adanya sesuatu itu. Misalnya, kita tidak melihat bintang Sirius di langit, kecuali ketika gelombang-gelombang cahaya yang keluar dari bintang itu sampai ke bumi beberapa tahun setelah berangkatnya gelombang-gelombang tersebut dari sumberya. Gelombang-gelombang cahaya itu menimpa retina mata. Lantas kita berkata bahwa kita melihat bintang Sirius. Namun gelombang-gelombang cahaya yang membuat kita melihat bintang Sirius itu memberitakan kepada kita informasi tentang Sirius sebagaimana ia ada beberapa tahun sebelumnya. Mungkin bintang itu telah lenyap dari langit jauh sepelum kita melihat-nya. Ini adalah bukti ilmiah bahwa imaji yang kita inderai sekarang itu bukanlah bintang Sirius di langit, yakni sebagai realitas objektif bintang tersebut.

Tinggal bagi kita sekarang untuk mempertimbangkan dua asumsi terakhir. Asumsi kedua, yang menyatakan bahwa imaji yang dipersepsikan itu adalah produk material pada organ persepsi dari sistem saraf, adalah asumsi yang menentukan doktrin filosofis materialisme. Asumsi ketiga, sebaliknya yang menyatakan bahwa imaji yang dipersepsikan atau kandungan mental tindak pencerapan itu tidak mungkin material, tetapi ia adalah suatu bentuk dari maujud metafisis di luar alam materi, adalah asumsi yang mewakili doktrin filosofis metafisika.

Dalam pembahasan ini kita dapat menganggap asumsi materialistis sebagai sepenuhnya mustahil. Hal itu karena imaji yang terpersepsi dengan volume, sifat-sifat geometris, dan panjang serta lebarnya, tak mungkin ada di dalam organ material kecil dari sistem saraf. Meskipun kita yakin bahwa sinar cahaya terpantul kepada retina dalam bentuk tertentu, kemudian dikirimkan oleh saraf-saraf indera ke otak, di mana suatu imaji yang menyerupai apa yang terjadi pada retina dihasilkan pada wilayah tertentu otak, tetapi imaji material tersebut bukanlah imaji mental. Karena, yang terakhir ini tidak memiliki sifat-sifat geometris yang dimiliki oleh imaji yang terpersepsi itu. Jadi, sebagaimana kita tidak dapat menurunkan pada secarik kecil dan tipis kertas potret kebun yang kita persepsi dalam sekilas pandang yang sama dengan kebun itu dalam keluasan, bentuk dan panjangnya, demikian pula kita tidak mungkin menurunkan pada seporsi kecil otak suatu gambar mental atau persepsional kebun ini yang menyerupai kebun itu baik dalam luas, bentuk maupun sifat-sifat geometrisnya. Karena, peneraan sesuatu yang besar pada sesuatu yang kecil adalah mustahil.

Jadi, niscaya kita mengambil asumsi berikut. Yaitu bahwa imaji yang dipersepsikan, yang adalah kandungan real operasi mental, merupakan suatu bentuk metafisis yang maujud secara imaterial. Inilah yang dimaksudkan oleh paham filosofis dan metafisis tentang pengetahuan. 

Di sini, terlintas pada sementara benak orang bahwa persoalan mempersepsi suatu imaji dengan bentuk, volume, dimensi dan jaraknya, telah dijawab oleh ilmu pengetahuan, dan juga telah dipecahkan oleh riset psikologi, yang menjelaskan bahwa ada beberapa faktor penglihatan dan otot yang membantu kita mencerap sifat-sifat geometris tersebut. Indera lihat tidak mencerap apa pun selain cahaya dan warna. Sedangkan mencerap sifat-sifat geometris segala sesuatu itu bergantung pada asosiasi indera raba dengan gerak-gerak dan sensasi-sensasi tertentu. Kalau kita memisahkan sensasi penglihatan dari setiap sensasi lain, tentu yang akan kita lihat hanyalah cahaya dan warna saja, dan kita tidak dapat mencerap bentuk dan volume, bahkan kita tidak mampu membedakan antara bola dan kubus. Hal itu karena bentuk-bentuk dan kualitas-kualias primer merupakan objek-objek indera raba. Dengan mengulang-ulang eksperimen rabaan, terjadilah kebersamaan antara kualitas-kualitas teraba tersebut dan beberapa sensasi penglihatan, seperti perbedaan-perbedaan tertentu dalam cahaya dan warna-warna kasat mata, dan beberapa gerak otot seperti gerak adaptasi mata untuk melihat sesuatu yang dekat dan yang jauh. Setelah kebersamaan itu terjadi, kita dapat tidak membutuhkan sensasi-sensasi raba dalam mencerap volume-volume dan bentuk-bentuk, berkat sensasi-sensasi dan gerak-gerak otot yang berasosiasi dengan mereka. Kalau kita melihat bola, setelah ini, dapatlah kita mengenali bentuk dan volumenya tanpa merabanya. Kita melakukan ini dengan bergantung pada sensasi-sensasi dan gerak-gerak otot yang berasosiasi dengan objek-objek yang teraba. Demikianlah, akhirnya kita mempersepsi sesuatu dengan sifat-sifat geometrisnya: yakni bukan dengan sensasi lihat saja, tetapi dengan penglihatan yang disertai gerak-gerak inderawi lain yang memiliki arti geometris karena berasosiasi dengan objek-objek raba. Hanya saja, kebiasaan mencegah kita dari memperhatikan hal tersebut.

Kami tidak hendak menelaah teori faktor-faktor otot dan penglihatan dari segi ilmiah karena kepentingan pembahasan filosofis. Maka, mari kita mengambilnya sebagai postulat ilmiah, dan mari kita asumsikan bahwa ia adalah benar. Asumsi ini tidak mengubah posisi filosofis kita sedikit pun. Hal itu tentu tampak jelas berdasarkan gambaran penelaahan filosofis dalam riset psikologis. Teori tersebut sama dengan pernyataan bahwa imaji yang dipersepsikan secara mental – dengan sifat-sifat geometris, panjang, lebar dan dalamnya – tidak maujud karena sensasi penglihatan sederhana saja, tetapi melalui kerja sama dengan sensasi-sensasi lain penglihatan dan gerak-gerak otot yang mendapatkan arti geometris melalui hubungan mereka dengan indera raba dan kebersamaan mereka dengannya dalam pengalaman-pengalaman yang berulang-ulang. Dan kita akan menghadapi, setelah mempercayai hal itu, pertanyaan filosofis pertama itu sendiri, yaitu pertanyaan tentang imaji mental yang dibentuk sensasi penglihatan dan sensasi-sensasi dan gerak-gerak lain: “Di mana imaji ini maujud? Apakah ia itu imaji material yang berada di dalam organ material, atau ia itu imaji metafisis yang terlepas dari materi?” Sekali lagi, kita harus mengambil cara-pandang metafisis. Karena, imaji tersebut, dengan sifat-sifat dan panjangnya yang beribu-ribu meter, tidak mungkin maujud di dalam organ materi yang kecil, sebagaimana ia tidak mungkin berada di atas kertas kecil. Nah, dengan demikian, ia tentu merupakan imaji imaterial. Hal ini berhubungan dengan fenomena sifat-sifat geometrik dari imaji mental yang dipersepsi.

Stabilitas Tindak-Tindak Persepsi Penglihatan
Adapun fenomena kedua yang menjadi tumpuan paham filsafat kita adalah fenomena stabilitas. Yang kita maksudkan dengan fenomena ini adalah bahwa imaji mental yang dipersepsi itu cenderung stabil dan tidak berubah mengikuti perubahan-perubahan imaji yang tecermin pada sistem saraf. Sebatang pena, ketika kita letakkan pada jarak sejauh satu meter dari kita, tecermin darinya imaji cahaya tertentu. Dan jika kita lipat-gandakan jarak yang memisahkan kita darinya dan kita melihatnya pada jarak sejauh dua meter, maka imaji yang dipantulkan pena itu akan semakin berkurang sampai separuh dari keadaan pertamanya. Padahal, perubahan persepsi kita terhadap volume pena tersebut kecil. Dapat dikatakan bahwa imaji mental kita tentang pena itu tetap stabil, meskipun imaji material yang tecermin itu berubah. Ini dengan jelas membuktikan bahwa benak dan pengetahuannya bukanlah material, dari bahwa imaji yang dipersepsi itu adalah metafisis. Adalah jelas bahwa penafsiran filosofis terhadap fenomena kestabilan ini tidak berlawanan dengan penafsiran ilmiah apa pun tentangnya yang dapat diajukan dalam hal ini. Karena itu, Anda dapat menafsirkan fenomena tersebut berdasarkan bahwa kestabilan objek-objek yang dipersepsi dalam manifestasi-manifestasinya yang bermacam-macam itu disebabkan pengalaman dan pengetahuan. Begitu pula, Anda dapat, kalau mau, berkata berdasarkan eksperimen-eksperimen ilmiah bahwa ada hubungan-hubungan antara stabilitas dalam berbagai manifestasinya dan tatanan ruang dari objek-objek luar yang kita persepsi. Namun, ini tidak memecahkan problem itu dari segi filsafat. Karena, imaji yang dipersepsi, yang tidak berubah mengikuti imaji material, tetapi tetap stabil sebagai hasil dari pengalaman terdahulu atau karena tatanan ruang tertentu tidak mungkin merupakan imaji yang tecermin dari realitas objektif pada materi sistem saraf. Karena imaji yang tecermin tersebut berubah mengikuti bertambahnya jarak antara mata dan realitas, sedang imaji yang terlihat itu tetap.

Kesimpulan filosofis yang kita tarik dari pembahasan ini adalah bahwa pengetahuan bukanlah material, seperti diklaim oleh materialisme. Karena, materialitas suatu objek adalah salah satu dari dua hal: objek itu pada esensinya adalah materi, atau ia adalah fenomena yang ada pada materi. Pengetahuan pada esensinya bukanlah materi, dan bukan pula fenomena yang ada pada, atau tecermin pada, organ material seperti otak. Karena, pengetahuan tunduk kepada hukum-hukum yang berbeda dengan hukum-hukum yang kepada hukum-hukum ini imaji material yang tecermin pada organ material tunduk. Pengetahuan, pertama-tama, memiliki sifat-sifat geometris, dan, kedua, memiliki stabilitas – sesuatu yang tidak dimiliki oleh imaji material yang tercermin pada otak. Berdasarkan itu, metafisika menyatakan bahwa kehidupan mental, dengan pengetahuan dan imaji-imajinya, adalah bentuk kehidupan yang paling kaya dan paling tinggi. Karena, ia berada di atas materi dan kualitas-kualitasnya.

Tetapi, persoalan filosofis lain yang muncul dari persoalan terdahulu adalah bahwa jika pengetahuan dan imaji-imaji yang membentuk kehidupan mental kita bukan berada pada organ material, maka di manakah ia berada? Pertanyaan ini menuntut ditemukannya kebenaran filosofis baru: yaitu bahwa imaji-imaji dan pengetahuan tersebut datang bersama atau bergerak beriring-iringan pada satu tingkat yang sama – yaitu tingkat manusia yang berpikir. Manusia itu sama sekali bukanlah sebentuk material, seperti otak. Tetapi, ia adalah suatu tingkat tertentu keberadaan imaterial yang dicapai entitas hidup melalui perkembangan dan penyempurnaannya. Jadi, yang mengetahui atau yang berpikir adalah manusia non-material tersebut.

Agar bukti mengenai hal ini menjadi jelas sejelas-jelasnya, kita harus tahu bahwa kita menghadapi tiga posisi. Yang pertama adalah bahwa pengetahuan kita tentang kebun tersebut atau bintang itu adalah imaji material yang ada pada sistem saraf kita. Kita menolak posisi ini dan telah memberikan alasan-alasannya. Yang kedua adalah bahwa pengetahuan kita bukanlah imaji material tetapi imaterial yang maujud secara mandiri di luar keberadaan kita. Ini adalah asumsi yang tidak masuk akal juga. Karena, jika imaji ini terlepas dari kita, maka apa hubungan kita dengannya? Bagaimana ia menjadi pengetahuan kita? Kalau kita menolak kedua pendangan di atas maka satu satunya yang masih tersisa adalah penafsiran ketiga. Yaitu bahwa keberadaan pengetahuan dan imaji mental tak terlepas dari manusia, sebagaimana keduanya bukan keadaan atau pantulan yang mandiri pada organ material. Tetapi, keduanya adalah fenomena-fenomena imaterial yang berada pada sisi imaterial dari manusia. Manusia yang imaterial atau spiritual tersebutlah yang mengetahui dan berpikir, bukan organ material, meskipun organ material itu menyiapkan kondisi-kondisi kognitif bagi hubungan yang kuat antara sisi spiritual dan sisi material manusia.

Sisi Spiritual Manusia

Di sini, kita sampai pada suatu kesimpulan penting: Manusia memiliki dua sisi. Yang pertama adalah sisi material yang terjelma dalam komposisi organiknya. Yang kedua adalah sisi spiritual atau nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental. Jadi, manusia bukan semata-mata suatu materi yang kompleks, tetapi personalitasnya adalah dualitas elemen material dan nonmaterial.

Dualitas tersebut membuat kita sulit mengetahui hubungan antara dua sisi material dan spiritual manusia. Pertama-tama kita tahu bahwa hubungan antara kedua sisi itu erat, sampai-sampai yang satu mempengaruhi yang lain secara terus-menerus. jadi, apabila seseorang membayangkan bahwa ia melihat hantu dalam kegelapan, maka gemetarlah ia; dan apabila ia diharuskan berpidato dalam pertemuan umum, keluarlah keringatnya; dan apabila salah seorang dari kita berpikir, terjadilah aktivitas tertentu dalam sistem sarafnya. Ini adalah pengaruh jiwa atas tubuh, sebagaimana tubuh juga mempengaruhi jiwa. Apabila ketuaan telah merayapi tubuh, lemahlah aktivitas mental, dan jika seorang pemabuk sedang tenggelam dalam minum-minum, ia akan melihat satu benda sebagai dua benda. Nah, bagaimana tubuh dan jiwa itu dapat saling mempengaruhi satu sama lain, jika keduanya itu berbeda, tidak memiliki satu kualitas bersama? Jadi, tubuh adalah sepotong materi yang memiliki kualitas-kualitas seperti berat, massa, bentuk dan volume. Ia tunduk kepada hukum-hukum fisika, sedangkan jiwa atau ruh, sebaliknya, adalah maujud nonmaterial yang bertalian dengan alam di batik alam materi.

Memikirkan jurang ini, yang memahkan kedua sisi itu, membuatnya sulit untuk menerangkan saling pengaruh antara keduanya. Dua potong batu dapat berbenturan dan berinteraksi, dan ini perlu dijelaskan. Mungkin sekali (kesulitan memberikan penjelasan seperti itu) menghalangi para pemikir Eropa modern dari mengambil paham dualisme, setelah menolak penjelasan Platonik klasik mengenai hubungan antara ruh dan badan sebagai hubungan antara kusir dan delman yang dikemudikannya.[263] Plato beranggapan bahwa ruh adalah substansi tua yang terlepas dari materi, yang maujud di alam supernatural. Kemudian ia turun ke tubuh untuk mengaturnya, seperti seorang kusir keluar dari rumahnya dan masuk ke delam untuk mengaur jalan nya. Adalah jelas bahwa dualisme yang murniatau jurang pemisah antara ruh dan tubuh, dalam penjelasan Plato, tidak dapat menerangkan hubungan yang erat antara keduanya, yang membuat setiap orang merasa bahwa ia adalah satu, bukan dua maujud yang datang dari dua alam yang berbeda yang kemudian berpadu.

Penjelasan Plato ini tetap tidak mampu memecahkan problem, meskipun telah direvisi oleh Aristoteles dengan memasukkan gagasan bentuk dan materi, dan oleh Descartes dengan memasukkan teori paralelisme (nazhariyyah al-muwazanah) antara jiwa dan tubuh, yang mengatakan bahwa jiwa dan tubuh (ruh dan materi) keduanya berjalan di sepanjang garis-garis yang paralel, dan setiap peristiwa yang terjadi pada salah satu dari keduanya selalu diiringi peristiwa yang paralel yang terjadi pada yang lain. Pengiringan niscaya antara peristiwa-peristiwa mental dan badaniah itu tidak berarti bahwa yang satu adalah sebab dari yang lain. Tidak ada artinya saling pengaruh antara sesuatu yang material dan nonmaterial. Tetapi, keseiringan niscaya antara dua jenis peristiwa tersebut disebabkan oleh Allah yang menghendaki agar rasa lapar selamanya disertai penggerakan tangan untuk mendapatkan makanan – tanpa rasa itu merupakan sebab bagi gerak ini. Adalah jelas bahwa teori paralelisme tersebut adalah ungkapan baru dualisme Plato dan jurang yang memisahkan antara jiwa dan raga.

Problem-problem yang muncul akibat penjelasan tentang manusia berdasarkan persatuan jiwa dan raga itu telah mendatangkan kristalisasi kecenderungan barn dalam pemikiran Eropa untuk menjelaskan manusia berdasarkan satu unsur. Lantas materialisme dalam psikologi filosofis mengatakan bahwa manusia adalah materi semata-mata, dan muncul pula tendensi idealistis yang cenderung memberikan penjelasan spiritual atas segenap wujud manusiawi.

Akhirnya, penjelasan tentang manusia berdasarkan dua unsur spiritual dan material, mendapatkan formulasinya yang sangat baik di tangan filosof Islam, Shadr Al-Muta’allihin Asy-Syirazi. Filosof besar ini telah menemukan gerak substansial dalam jantung alam. Gerak ini adalah sumber paling primer dari setiap gerak yang kasat inderawi yang terjadi di alam. Adalah jembatan yang ditemukan Asy-Syirazi di antara materi dan ruh. Materi dalam gerak substansialnya itu menyempurnakan wujudnya dan terus menyempurnakannya sampai ia terlepas dari materialitasnya di bawah syarat-syarat tertentu dan menjadi maujud yang bukan material, yakni maujud spiritual. Jadi, antara yang material dan spiritual tidak ada garis pemisah. Tetapi, keduanya adalah dua tingkat keberadaan. Meskipun ia non-material, ia memiliki hubungan material, karena ia adalah tahap tertinggi menyempumanya materi dalam gerak substansialnya.

Berdasarkan hal tersebut, kita dapat memahami hubungan antara ruh dan badan tampak jelaslah bahwa-jiwa dan badan (ruh dan materi) itu saling mempengaruhi, karena jiwa tidak terpisah dari materi dengan jurang yang lebar, sebagaimana dibayangkan oleh Descartes ketika ia me rasa harus mengingkari saling pengaruh antara keduanya dan menyatakan paralelisme keduanya semata-mata. Bahkan jiwa itu sendiri tidak lain hanyalah imaji material yang menjadi tinggi karena gerak substansial. Perbedaan antara materialitas dan spiritualitas adalah perbedaan derajat saja, seperti perbedaan panas yang tinggi dan panas yang rendah. Tapi, ini tak berarti bahwa jiwa adalah produk materi dan salah satu efeknya. Tetapi, ia adalah produk gerak substansial yang bukan berasal dari materi itu sendiri. Karena, setiap gerak adalah munculnya sesuatu dari potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur, seperti telah kita ketahui dalam pembahasan kita tentang perkembangan menurut dialektika. Potensialitas tidak dapat menciptakan aktualitas, dan kemungkinan tidak dapat menciptakan keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab di luar materi yang bergerak. Ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri, ia adalah jembatan antara materialitas dan spiritualitas.

Reflek dan Pengetahuan yang Terkondisikan

Perbedaan kita dengan Marxisme bukan terbatas pada paham materialistisnya tentang pengetahuan saja, karena meskipun paham filosofis tentang kehidupan mental adalah titik pokok perbedaan antara kita, kita berbeda juga dengannya mengenai hubungan pengetahuan dan kesadaran dengan lingkungan sosial dan kondisi-kondisi material eksternal. Marxisme mempercayai bahwa kehidupan sosial manusia adalah yang menentukan kesadaran-kesadaran dan pikiran-pikirannya, dan bahwa pikiran-pikiran itu berkembang mengikuti lingkungan sosial dan material. Tetapi karena lingkungan ini berkembang mengikuti faktor ekonomis, maka faktor ekonomis itu merupakan faktor primer di balik perkembangan pemikiran.

George Politzer telah berusaha membangun teori Marxis tersebut di atas kaidah ilmiah. Ia mendirikannya di atas asas aksi refleksif terkondisikan. Agar kita dapat memahami hal itu dengan baik, kita harus membicarakan aksi refleksif terkondisikan itu. Aksi ini ditemukan oleh Pavlov ketika ia berusaha mengumpulkan air aur anjing. Untuk itu, ia siapkan suatu perangkat. Ia memberikan makanan kepada hewan tersebut untuk membangkitkan air liurnya. Ia perhatikan bahwa air liur tersebut mulai mengalir dari anjing yang telah terlatih itu sebelum makanan itu benar-benar dimasukkan ke mulutnya, hanya karena anjing itu melihat tempat makanan itu, atau karena merasakan mendekatnya sang pelayan yang biasa membawa tempat makanannya. Adalah jelas bahwa datangnya seseorang atau langkah-langkahnya tidak mungkin di- anggap sebagai perangsang alami respon tersebut, seperti meletakkan makanan di mulut tetapi hal-hal itu tentu berhubungan dengan respon alamik selama perjalanan eksperimen sehingga digunakan sebagai tanda awal dari stimulus aktual.

Menurut hal itu, yaitu keluarnya air liur ketika meletakkan makanan di mulut, merupakan aksi refleksi alami yang dibangkitkan oleh stimulus alami. Sedangkan keluarnya air liur ketika pelayan mendekat atau terlihat, hal itu merupakan aksi Tefleksi terkondisikan yang dibangkitkan oleh stimulus terkondisikan yang digtmakan sebagai tanda stimulus alami. Kalau saja bukan karena terkondisikannya ia oleh stimulus alami, tentu ia tidak akan menyebabkan respon. 

Karena operasi-operasi pengkondisian seperti itu, maka makhluk hidup memperoleh sistem tanda pertamanya. Di dalam sistem ini, stimulus yang dikondisikan berperan menunjukkan stimulus alami, dan mengeluarkan respon untuk stimulus alami. Setelah itu, maujudlah sistem tanda kedua. Di dalam sistem ini stimulus terkondisikan dari sistem yang pertama diganti dengan tanda-tanda sekunder mereka sendiri yang telah mereka kondisikan dalam pengalaman yang berulang-ulang. Dengan demikian menjadi mungkin untuk mengeluarkan respon atau aksi refleksif dengan tanda-tanda sekunder, karena fakta bahwa tanda ini sudah dikondisikan oleh tanda primer, sebagaimana sistem tandaprimer dapat mengeluarkan respon yang sama melalui tanda primer, karena fakta bahwa tanda ini sudah dikondisikan oleh stimulus alami. Dan bahasa dianggap sebagai tanda sekunder dalam sistem tanda-tanda sekunder.

Inilah teori pakar fisiologi, Pavlov. Behaviorisme memanfaatkan teori tersebut. Ia mengklaim bahwa kehidupan mental tidak lebih hanya merupakan aksi-aksi refleksif belaka. Jadi, berpikir itu tersusun dari respon-respon kebahasaan internal yang dibangkitkan oleh stimulus eksternal. Demikianlah, behaviorisme menerangkan pikiran, sebagaimana ia menerangkan aksi anjing mengeluarkan air liurnya ketika mendengar langkah-langkah pelayan. Jadi, kalau berliur adalah reaksi fisiologis terhadap stimulus terkondisikan, yaitu langkah pelayan, maka demikian pula pikiran, ia adalah reaksi fisiologis terhadap stimulus terkondisikan, seperti bahasa, misalnya, yang dikondisikan oleh stimulus alami.

Tetapi adalah jelas bahwa eksperimen-eksperimen fisiologis terhadap aksi refleksif terkondisikan tidak mungkin membuktikan bahwa aksi refleksif adalah esensi pengetahuan dan kandungan real aksi (mengetahui) itu, karena mungkin bahwa pengetahuan itu memiliki realitas di batik batas-batas eksperimen.

Tambahan pula bahwa behaviorisme, dalam berpegang Pada pendapat. bahwa pikiran-pikiran adalah respon-respon terkondisikan, meniadakan dirinya sendiri dan kemampuan mengungkapkan realitas dan nilai objektif, bukan hanya dari semua pikiran, tetapi juga dari behaviorisme itu sendiri, karena ia adalah suatu paham yang tunduk kepada penjelasan behavioristis. Karena, penjelasan behavioristis terhadap pikiran manusia mempunyai pengaruh yang berarti Pada teori pengetahuan determinasi pengetahuan, nilai, dan kemampuan pengetahuan untuk mengungkapkan realitas. Jadi, menurut penjelasan behavioristis, pengetahuan tidak lebih dari respon niscaya terhadap stimulus terkondisikan, seperti mengalirnya air liur dari mulut anjing dalam eksperimen-eksperimen Pavlov. Pengetahuan, lantas, bukan hasil dari bukti dan pembuktian, dan pada gilirannya, setiap pengetahuan menjadi ungkapan tentang adanya stimulus terkondisikan darinya, bukan tentang adanya kandungannya di dalam realitas eksternal. Tetapi paham behaviorisme itu sendiri tidak terlepas dari kaidah umum tersebut dan tidak berbeda dengan semua gagasan lain dalam hal dipengaruhi oleh penjelasan behavioristis, reduksi dalam nilainya, serta tidak adanya kemungkinan untuk dipertanyakan dalam corak apa pun.

Faktanya adalah kebalikan dari apa yang dimaksud oleh behaviorisme. Pengetahuan dan pikiran bukanlah, sebagaimana diklaim kaum behavioris, aksi fisiologis yang memantulkan stimulus terkondisikan, seperti keluarnya air liur. Tetapi, keluarnya air liur itu sendiri menunjukkan sesuatu yang bukan semata-mata reaksi refleksif, ia menunjukkan pengetahuan. Pengetahuan adalah penyebab stimulus terkondisikan yang membangkitkan respon refleksif itu. Jadi, pengetahuan adalah realitas di batik reaksi-reaksi terhadap stimulus terkondisikan, dan bukan bentuk dari reaksi-reaksi tersebut. Yang kami maksudkan dengan hal ini adalah bahwa keluarnya air liur anjing ketika terjadi stimulus terkondisikan bukan semata-mata aksi mekanik murni, seperti diyakini behaviorisme. Tetapi, itu adalah akibat anjing mengetahui arti stimulus terkondisikan. Langkah-langkah pelayan, yang diiringi datangnya makanan dalam eksperimen-eksperimen yang berulang-ulang, mulai menunjukkan kedatangan makanan. Dengan demikian anjing menjadi menyadari datangnya makanan ketika mendengar langkah-langkah pelayan. Anjing itu lantas mengeluarkan air liurnya sebagai persiapan untuk situasi yang pendekat- annya ditunjukkan oleh stimulus terkondisikan. Demikian pula, seorang bayi tampak lega pada waktu ibu bersiap-siap untuk menyusuinya. Hal yang sama terjadi pada saat dikabarkan kepadanya tentang kedatangan ibunya, jika ia memahami bahasa. Kelegaan tersebut bukan semata-mata aksi fisiologis yang ditimbulkan oleh sesuatu eksternal yang berhubungan dengan sebab alami. Tetapi, ia timbul karena sang bayi mengetahui arti stimulus terkondisikan, karenanya ia lalu bersiap-siap untuk disusui, dan merasa 1ega. Karena itu kita mendapatkan perbedaan dalam derajat kelegaan antara kelegaan yang disebabkan oleh stimulus alami itu sendiri dan kelegaan yang disebabkan oleh stimulus terkondisikan. Ini karena yang pertama adalah kelegaan otentik dan yang kedua adalah kelegaan karena ada harapan.

Secara ilmiah kita dapat membuktikan tidak memadainya penjelasan behavioristis tentang pemikiran melalui eksperimen-eksperimen yang menjadi landasan doktrin Gestalt dalam psikologi. Eksperimen-eksperimen terse but membuktikan bahwa adalah mustahil bagi kita untuk menjelaskan esensi pepgetahuan atas dasar behavioristis murni dan sebagai semata-mata respon terhadap stimulus material yang pesan pesannya diterima oleh otak dalam bentuk sejumlah stimulus saraf yang terpisah. Tetapi, agar kita dapat menjelaskan secara lengkap esensi pengetahuan, kita harus mempercayai benak dan peranan positif aktifnya di balik reaksi-reaksi dan respon syaraf yang dibangkitkan oleh stimulus. Ambillah persepsi inderawi sebagai contoh. Eksperimen-eksperimen Gestalt membuktikan bahwa penglihatan kita akan warna-warna dan karakteristik-karakteristik segala sesuatu sangat bergantung pada latar (scene) penglihatan umum yang kita jumpai dan latar belakang yang mengitari hal-hal tersebut. Maka kita dapat melihat dua garis sebagai paralel atau sama dalam sekumpulan garis yang kita jumpai sebagai suatu situasi dan keseluruhan yang bagian-bagiannya berpadu. Kemudian kita melihatnya dalam kumpulan lain sebagai tidak paralel atau tidak sama, karena situasi umum yang dijumpai persepsi penglihatan kita di sini berbeda dengan situasi terdahulu. Ini menunjukkan bahwa persepsi kita pertama-tama terpusat pada keseluruhan. Secara visual kita mencerap bagian-bagian ketika kita mempersepsi keseluruhan. Karena itu, persepsi inderawi kita terhadap bagian berbeda-beda sesuai dengan keseluruhan atau kelompok yang mencakupnya. Jadi, ada tatanan hubungan-hubungan di antara segala sesuatu yang memisahkan segala sesuatu ke dalam kelompok-kelompok, menentukan posisi segala sesuatu dalam hubungannya dengan kelompok tertentunya, dan mengembangkan pandangan kita akan sesuatu sesuai dengan kelompoknya sesuatu itu.

Pengetahuan kita akan segala sesuatu dalam tatanan ini tidak dapat dijelaskan secara behavioristis, dan tidak dapat dikatakan bahwa ia adalah respon material atau keadaan jasmani yang muncul akibat stimulus tertentu. Jika ia adalah keadaan jasmani atau fenomena material yang dihasilkan oleh otak, tentu kita tidak akan dapat mempersepsi segala sesuatu secara visual sebagai keseluruhan yang terorganisasikan yang bagian-bagiannya berhubungan secara khusus, sehingga persepsi kita terhadap bagian-bagian itu akan berbeda jika kita melihatnya dalam hubungan-hubungan lain. Karena, semua yang sampai pada otak dalam pengetahuan itu terdiri atas sekumpulan pesan yang terbagi ke dalam sejumlah stimulus saraf yang datang ke otak dari berbagai organ tubuh. Nah, bagaimana kita dapat mengetahui tatanan hubungan-hubungan di antara segala sesuatu, dan bagaimana mungkin pengetahuan dapat dipusatkan pada, pertama-tama, keseluruhan, sehingga kita tidak mengetahui segala sesuatu kecuali di dalam suatu keseluruhan yang terajut kuat, sebagai ganti dari mengetahui segala sesuatu secara terpisah-pisah, sebagaimana mereka datang ke otak? Bagaimana semua hal tersebut mungkin, jika tidak ada peran positif-aktif benak di balik reaksi-reaksi dan situasi-situasi jasmani yang terbagi-bagi? Dengan kata lain, sesuatu yang eksternal itu dapat mengirimkan pesan-pesan kepada benak. Menurut behaviorisme, pesan-pesan ini adalah respon-respon kita terhadap stimulus eksternal. Behaviorisme kiranya ingin mengatakan bahwa respon-respon atau pesan-pesan material tersebut yang berjalan melewati saraf-saraf ke otak adalah kandungan hakiki pengetahuan kita. Tetapi, apa yang hendak dikatakan behaviorisme tentang pengetahuan kita akan tatanan hubungan-hubungan di antara segala sesuatu, yang membuat kita menginderai, pertama-tama, keseluruhan'sebagai menyatu sesuai dengan hubungan-hubungan tersebut, padahal tatanan hubungan-hubungan ini bukan sesuatu yang material yang dapat membangkitkan reaksi material dalam tubuh orang yang berpikir, atau respon atau keadaan jasmani tertentu? Maka kita tidak dapat menjelaskan pengetahuan kita akan tatanan tersebut, clan pada gilirannya pengetahuan kita akan segala sesuatu di dalam tatanan ini atas dasar behavioristis murni.

Sedangkan Marxisme telah mengambil teori Pavlov dan menyimpulkan dari teori itu sebagai berikut: Pertama, kesadaran itu berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal. Hal ini karena ia adalah hasil dari aksi-aksi relfeksif terkondisikan yang dibangkitkan oleh stimulus eksternal. Berkata George Politzer: “Dengan metode ini, Pavlov membuktikan bahwa apa yang secara primer menentukan kesadaran manusia bukanlah sistem organik. Tetapi, sebaliknya, yang menentukan adalah masyarakat yang di dalamnya manusia itu hidup, dan pengetahuan yang didapat dari masyarakat tersebut. Jadi, kondisi-kondisi sosial dalam kehidupan adalah pengorganisasi-pengorganisasi real kehidupan organik mental.”[264]

Kedua, lahirnya bahasa adalah peristiwa mendasar yang membawa manusia ke tahap pikiran. Karena, berpikir tentang sesuatu di dalam benak hanya muncul akibat stimulus eksternal terkondisikan. Jadi, tidak akan mungkin bagi manusia untuk berpikir tentang sesuatu kalau bukan karena fakta bahwa sarana seperti bahasa melaksanakan reran stimulus terkondisikan. Berkata Stalin: “Dikatakan bahwa pikiran-pikiran datang di dalam jiwa manusia sebelum terekspresikan dalam bahasa, dan bahwa pikiran-pikiran lahir tanpa sarana bahasa. Tetapi ini sama sekali salah. Bagaimanapun juga, pikiran-pikiran yang muncul dalam jiwa manusia itu tidak mungkin lahir atau diarahkan kecuali berdasarkan sarana-sarana bahasa. Jadi, bahasa adalah realitas langsung pikiran.”[265]

Kita berbeda dengan Marxisme dalam kedua hal tersebut di atas. Kita tidak mengakui instrumentalitas dalam pengetahuan manusia. Karena itu, pikiran-pikiran dan pengetahuan bukan semata-mata reaksi refleksif yang dihasilkan oleh lingkungan eksternal, seperti diklaim behaviorisme. Mereka juga bukan produk reaksi-reaksi tersebut yang! ditentukan oleh lingkungan eksternal dan yang berkembang sesuai dengan lingkungan ini, seperti diyakini Marxisme. Mari kita jelaskan dalam contoh berikut. Zayd dan ‘Amr bertemu pada hari Sabtu, lantas bercakap-cakap untuk beberapa saat, kemudian keduanya berusaha berpisah, dan Zayd berkata kepada ‘Amr: Tunggulah aku Jumat pagi besok di rumahmu keduanya lalu berpisah masing-maing kembali kepada kehidupan sehari-harinya. Hari-hari pun berlalu sampai tibalah saat janji untuk berkunjung. Dan masing-masing ingat janjinya dan mengetahui posisinya secara berbeda satu dengan lainnya. ‘Amr tetap tinggal di rumahnya, menanti, sementara Zayd keluar dari rumahnya bermaksud mengunjungi ‘Amr. Nah, apakah stimulus terkondisikan eksternal yang menyebabkan dua persepsi yang berbeda-beda pada Zayd dan ‘Amr, setelah berlalunya beberapa hari sejak pertemuan itu, dan pada saat ini sendiri? Kalau percakapan tempo hari itu cukup untuk stimulasi ini, maka mengapa sekarang keduanya tidak ingat semua percakapan yang terjadi antara keduanya? Dan mengapa percakapan-percakapan tersebut tidak melakukan peran sebagai stimuli dan sebab?

Contoh lain: Anda keluar dari rumah setelah meletakkan sepucuk surat di dalam tas Anda dengan maksud untuk memasukkannya ke dalam kotak pos (bis surat). Dan ketika sedang menuju ke sekolah, Anda melihat bis surat, Anda pun segera tahu bahwa surat tersebut harus dimasukkan ke dalamnya. Setelah itu, Anda menjumpai beberapa bis surat yang sama sekali tidak menarik perhatian Anda. Nah, stimulus apakah yang menyebabkan, Anda sadar ketika melihat bis surat yang pertama? Anda mungkin mengatakan bahwa sebab tersebut adalah melihat bis surat itu sendiri, dalam arti bahwa Anda telah mengkondisikannya dengan stimulus alami. Jadi, ia adalah stimulus terkondisikan. Tetapi, bagaimana kita dapat menjelaskan ketidaksadaran kita akan bis-bis surat yang lain? Mengapa pengkondisian itu tiba-tiba hilang ketika terpenuhinya kebutuhan kita?

Berdasarkan contoh-contoh tersebut, Anda tahu bahwa pikiran adalah suatu aktivitas positif lagi efisien dari jiwa, dan bukan sesuatu yang terpasrah kepada reaksi-reaksi fisiologis, sebagaimana ia bukanlah realitas langsung sebab, seperti diklaim Marxisme. Tetapi, bahasa adalah sarana untuk saling bertukar pikiran. Ia sendiri bukanlah yang membentuk pikiran. Karena itu, kita terkadang memikirkan sesuatu, dan lama mencari kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Dan kita terkadang berpikir tentang sesuatu masalah selagi kita sedang berbicara tentang sesuatu masalah lain.

Dalam studi kami yang terinci tentang materialisme-historis di dalam buku Iqtishaduna, kami telah melontarkan kritik yang ekstensif terhadap teori-teori Marxisme tentang pengetahuan manusia, (khususnya) hubungan pengetahuan dengan kondisi-kondisi sosial dan material, dan penjelasan pengetahuan berdasarkan kondisi-kondisi ekonomi. Kami juga membicarakan secara terinci pendapat Marx yang menyatakan bahwa pikiran dihasilkan oleh bahasa dan bergantung pada bahasa. Karena itu, kini kami anggap apa yang ada di dalam cetakan pertama buku ini cukup sebagai ringkasan telaah terinci kami dalam seri kedua, Iqtishaduna.

Jadi, kehidupan kemasyarakatan dan kondisi-kondisi material tidak secara mekanik menentukan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sadar manusia. melalui stimulus-stimulus eksternal. Benar bahwa manusia terkadang bebas membentuk pikiran-pikirannya menurut lingkungan dan komunitasnya, seperti yang diserukan aliran fungsionalisme di dalam psikologi, karena terpengaruh oleh teori evolusinya Lamark [266] dalam biologi. Jadi, sebagaimana entitas hidup beradaptasi secara organik dengan lingkungannya, demikian pula ia secara ideasional beradaptasi dengan cara yang sama. Namun, kita harus tahu bahwa: Pertama, adaptasi tersebut adalah suatu bagian dari pikiran praktis yang fungsinya adalah mengorganisasikan kehidupan eksternal. Dan tidak mungkin ia adalah suatu bagian dari pikiran-pikiran reflektif yang fungsinya adalah mengungkapkan realitas. Jadi, prinsip-prinsip logika dan matematik, dan juga pikiran.pikiran reflektif lain, bersumber dari benak, dan tidak dibentuk menurut tuntutan-tuntutan komunitas sosial. Kalau tidak tentu setiap kebenaran pasti akan menjadi keraguan filosofis mutlak. Karena, jika semua pikiran reflektif dibentuk oleh faktor-faktor tertentu lingkungan, dan jika berubah mengikuti faktor-faktor itu, maka tak ada pikiran atau kebenaran yang tak berubah atau diganti. Kedua, adaptasi pikiran-pikiran praktis dengan tuntutan-tuntutan komunitas dan kondisi- kondisinya bukanlah mekanik. Tetapi, ia dipilih dengan bebas. Ia timbul dari kehendak bebas manusia yang membuat manusia menciptakan suatu sistem yang selaras dengan komunitas dan lingkungannya. Dengan demikian, hilanglah sama sekali pertentangan antara aliran fungsionalisme dan instrumentalisme dalam psikologi.

Dalam buku Mujtama’una (Masyarakat Kita), kami akan menelaah watak adaptasi tersebut dan batas-batasnya berdasarkan konsep-konsep Islam tentang masyarakat dan negara, karena ini tennasuk persoalan-persoalan mendasar yang menjadi perhatian telaah dan analisis atas masyarakat-masyarakat. Dalam telaah tersebut, kami akan mcmbahas secara terinci segala hal yang kami ikhtisarkan dalam pembahasan ini tentang pengetahuan.

Dan akhirul kalam, Alhamdulillahi Rabbil-‘Alamin.

Catatan:

253. Al-Maddiyyah Al-Dialaktikiyyah wa Al-Maddiyyah Al-Tarikhiyyah, h.19.
254. Ludwig Feuerbadl, h. 57.
255. Ibid., h. 64.
256. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah li AI-Falsalah, h. 74-5.
257. Ma Hiya Al-Madda, h. 32.
258. Introspeksionisme adalah suatu aliran yang menyerukan pemikiran tentang, atau pengamatan subjektif atas, proses dan keadaan mental. Behaviorismenya Watson menolak intropeksi. Ia memandang keadaan sadar hanya sebagai data teramati.
259. Fungsionalisme adalah suatu tendensi dalam psikologi yang menyatakan bahwa pikiran, proses mental, persepsi inderawi dan emosi adalah adaptasi-adaptasi organise biologis. Di antara pendukung tendensi ini adalah W. James, C.T. Ladd, C.S Hall, J. Dewey dan J.R. Angell.
260. Asosiasionisme adalah suatu tendensi yang menyatakan bahwa segenap keadaan mental dapat dianalisis ke dalam elemen-elemen sederhana. Locke adalah pelopor asosiasionisme dalam psikologi.
261. Dalam bahasa Jerman, Gestalt adalah “bentuk”. Aliran Gestalt dalam psikologi didirikan di Jerman sekitar 1912 oleh Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Ia menafsirkan pengalaman orang sebagai keseluruhan-keseluruhan terorganisasikan. Melalui keseluruhanlah bagian itu maujud dan memiliki karakter. Tanpa keseluruhan, bagian tidak maujud. Ini jelas menolak tendensi analitis atau atomisme kaum asosiasionis.
262. Teori kuno tentang melihat ini dianut oleh Empedocles.
263. Plato, Phaedrus, 246 abff.
264. Al-Maddiyyah wa Al-Mitsaliyyah fi Al-Falsafah, h. 78-9.
265. Ibid., h. 77.
266. Jean Bapwte Lamark, naturalis Prancis (1744-1829). Pendiri Zoologi invertebrata modern. Pencipta kata “vertebrata” dan “invertebrata”. Terkenal dengan teorinya tentang evolusi. Meskipun bukan yang pertama mengemukakan perkembangan evolusioner spesies hidup, ia adalah yang pertama berbicara eecara berani dan terbuka tentang pandangan bahwa spesies itu berubah. Makhluk hidup menggunakan bagian-bagian tertentu tubuhnya sangat sedikit, sementara menggunakan bagian-bagian tertentu lainnya sangat sering. Bagian-bagian yang sering digunakan akal, berkembang, sedang yang jarang digunakan akan melenyap. Berkembang atau melenyap yang dialami suatu bagian ditransmisikan ke keturunannya. Dengan demikian, sifat-sifat yang didapat itu terwariskan. Karya-karya terpentingnya adalah Natural History of the Invertebrates dan Zoological Philosophy.

Sumber:  Sayyid Muhammad Baqir as Shadr,
FALSAFATUNA
Penerjemah : M. Nur Mufid bin Ali
Penerbit : Mizan
Tahun Penerbitan : Jumada Al-Awwal 1415/Oktober 1994



Tidak ada komentar:

Posting Komentar