Senin, 19 Januari 2015

Kita Hidup di Era Disinformasi




Disampaikan pada Diskusi Publik “Pembangunan Etika dan Budaya Politik” yang diselenggarakan oleh LSM MP Banten dan Kemendagri di Anyer, Serang, Banten 23 Agustus 2014.

Oleh Sulaiman Djaya (Esais dan penyair)

Dalam artikel menariknya yang berjudul Globalisasi Terpilih dan Globalisasi-globalisasi Hegemonik (Lihat Oliver Leaman [ed], Pemerintahan Akhir Zaman, Al-Huda 2005, hal. 64), Sayid Reza Ameli Menulis: “Globalisasi merupakan hasil dari munculnya industri komunikasi global yang dianggap sebagai hal vital bagi munculnya berbagai bentuk globalisasi lahiriah, dalam tampilan budaya, dan secara samar, dalam orientasi kognitif”. Apa yang dikatakan Sayid Reza Ameli itu cukup menarik bagi kita saat ini, mengingat jaman kita ini, sebagaimana sama-sama kita sadari, bukan hanya jaman meruahnya informasi secara massif dan cepat, namun juga derasnya arus dis-informasi (baca: penyesatan atau penghasutan) baik berupa berita atau pun opini yang digerakkan oleh motif dan ambisi politik, seperti “upaya” menarik simpati dan dukungan bagi ISIS yang didesign oleh Barat (Amerika, Israel, Ingris dkk) yang mendapat kecaman dunia karena kekejaman yang mereka lakukan, semisal tak segan-segan menyembelih manusia itu, apa pun agama, mazhab, atau ras orang-orang yang mereka sembelih. Tentu saja alatnya adalah “citra” dan “pencitraan”. Sebagai contoh ISIS yang diciptakan oleh Barat itu dicitrakan sebagai kelompok yang “memperjuangkan Islam” demi mendapatkan dukungan dan legitimasi kaum muslimin dunia. Dalam hal ini, Barat menggunakan “Islam” justru ketika ingin mengekspansi Islam demi kepentingan dan keuntungan Barat (baca: Amerika, Israel, Ingris dkk).

Meski belakangan ummat Islam sadar dengan “manipulasi atasnama Islam” oleh ISIS dan Barat itu, namun sesungguhnya ada literatur yang menurut beberapa kalangan dianggap dan dipercaya sebagai ramalan akan munculnya kelompok-kelompok seperti ISIS tersebut, yaitu perkataan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah yang terdapat dalam kitab Kanzul Ummal yang dihimpun oleh Ulama Besar Ahlus Sunnah yang bernama Al Muttaqi Al Hindi pada riwayat nomor 31.530: "Jika kalian melihat bendera-bendera hitam, tetaplah kalian di tempat kalian berada, jangan beranjak dan jangan menggerakkan tangan dan kaki kalian (artinya tetap tenang, jangan menyambut seruan mereka, jangan larut dalam euforia mendukung pasukan itu), kemudian akan muncul kaum lemah (lemah akal sehat dan imannya), tiada yang peduli pada mereka, hati mereka seperti besi (hati keras membatu jauh dari cahaya hidayah), mereka akan mengaku sebagai Ashabul Daulah (pemilik Negara, saat ini ISIS telah mengumumkan berdirinya Daulah Islam di Iraq dan Syam), mereka tidak pernah menepati janji, mereka berdakwah pada Al Haq (kebenaran) tapi mereka bukan Ahlul Haq (pemegang kebenaran), namanya dari sebuah julukan, marganya dari nama daerah, rambut mereka tak pernah dicukur, panjang seperti rambut perempuan, jangan bertindak apapun sampai nanti terjadi perselisihan di antara mereka sendiri, kemudian Allah mendatangkan kebenaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya." Namanya adalah julukan (Nama yang diawali dengan kata "Abu"). Marganya dari nama daerah (Al-Baghdadi) merujuk kepada ibu kota Iraq saat ini, yakni Baghdad. Dengan demikian, Abu Bakar Al-Baghdadi, yaitu pemimpin ISIS yang telah mengumumkan dirinya sebagai khalifah itu bukan nama yang sebenarnya, dan bila kita mengikuti perkembangan berita dan ulasannya, ternyata adalah agen MOSSAD Israel yang bernama Shimon Elliot.

Lalu apa hubungannya ISIS (yang di sini sekedar contoh saja) dengan jaman citra dan tekno sains, era kita saat ini? Tak lain bahwa berkat “rekayasa media” yang dimiliki kelompok ISIS dan para pendukung mereka, mereka dapat menyebarkan dan menciptakan “opini” dan “citra” mereka sebagai “mujahidin”, padahal motif dan perang mereka ternyata berbagi, bahkan bekerjasama, dengan kepentingan Barat (yang dalam hal ini Amerika, Israel, Ingris, Rezim Saud, dkk). Mereka, sebagai contoh, mengklaim diri sebagai “mujahidin” agar dapat menarik simpati dan dukungan kaum muslim, meski perang mereka sesungguhnya berdasarkan kepentingan dan skenario Amerika dan para sekutunya. Inilah contoh yang akan disebut oleh Sayid Reza Ameli itu sebagai “Globalisasi Hegemonik” alias “Globalisasi yang Sepihak dan Menindas”, yang dalam bahasa Jacques Derrida (Lihat Giovanna Borradori, Philosophy in the Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas 2005, hal. 232-236) disebut sebagai “mondialisasi”, yaitu pendesakkan atau pemaksaan ideologi dan kekuatan politik dan ekonomi dari dunia yang satu (yang dalam hal ini Dunia Barat) terhadap dunia lainnya, yang seringkali motifnya adalah kepentingan material dan ekonomis (semisal perebutan minyak).

Selain seperti yang dikatakan oleh Sayid Reza Ameli dan Jacques Derrida itu, Anthony Giddens memiliki istilah sendiri untuk menyebut era globalisasi dan kapitalisme lanjut jaman kita ini, yaitu apa yang disebutnya “modernitas kedua”, sedangkan Jean Baudrillard menyebutnya sebagai “Era Simulacra”, yaitu  suatu jaman ketika “citra” dan “gambar-gambar visual” adalah motor utama penggerak pikiran dan perilaku kita dalam hidup keseharian kita. Suatu jaman ketika “realitas” dimanipulasi dan direkayasa oleh media serta “hasrat pasar” yang cepat dan massif di era mutakhir kita ini. Tak terkecuali juga ketika hasrat-hasrat politik menggunakan tekno-sains untuk melakukan dis-informasi (pemanipulasian dan penghasutan), semisal ketika ISIS dan Barat membajak Islam dan “Jihad” demi mengelabui sekaligus demi mendapatkan dukungan dan legitimasi pihak-pihak yang justru ingin mereka “taklukkan”, yaitu Islam dan kaum muslim. Sedangkan “modernitas kedua” yang dimaksud Anthony Giddens, meminjam paparannya Sindhunata di majalah Basis Edisi Januari-Februari Tahun 2000 halaman 7 adalah “suatu periode peralihan masyarakat, di mana peralihan itu terjadi dengan menggelisahkan, ketika yang lama dirobohkan di saat yang baru belum dibangun”.

Dengan demikian, di era tekno sains dan jaman citra kita ini, kita dituntut untuk menjadi orang-orang cerdas dan cermat yang akan mampu memilah dan membedakan antara informasi (pengetahuan dan informasi yang objektif) dengan dis-informasi (penyesatan, penghasutan, dan pemanipulasian) yang acapkali digerakkan oleh hasrat-hasrat politik sepihak. Sebagai contoh, yang dalam hal ini kita akan kembali mengambil contoh ISIS yang mencitrakan diri sebagai para “mujahidin” itu, ternyata adalah “agen” dan “pion” Barat (Amerika, Ingris, Israel, Rezim Saud, dkk) dalam ranah persaingan dengan Iran, Rusia, dkk di kawasan Timur Tengah.

Mereka (Barat) menamakan rencananya itu dengan istilah Timur Tengah Baru. Istilah Timur Tengah Baru sendiri diperkenalkan ke dunia pada bulan Juni 2006 di Tel Aviv oleh Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice. Pergeseran (pemetaan) ini dalam ungkapan kebijakan luar negeri bertepatan dengan peresmian Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) Terminal Minyak di Mediterania Timur. Proyek ini, yang telah dalam tahap perencanaan selama beberapa tahun, terdiri dalam menciptakan busur ketidakstabilan, kekacauan, dan kekerasan yang membentang dari Libanon, Palestina, dan Suriah ke Irak, Teluk Persia, Iran, dan perbatasan Afghanistan. Peta Timur Tengah baru, atau dalam realitasnya adalah Peta jalan militer Anglo-Amerika di Timur Tengah ini, adalah penciptaan sebuah entri untuk dapat masuk ke Asia Tengah (serangan terhadap Rusia) melalui Timur Tengah. Dalam hal inilah Timur Tengah, Afghanistan, dan Pakistan akan menjadi batu loncatan untuk memperluas pengaruh Amerika Serikat terhadap posisi Rusia dan Republik bekas Soviet di Asia Tengah. Selain itu, desain ulang yang terkandung dalam peta tersebut diposisikan juga untuk memecahkan masalah kontemporer Timur Tengah, yang sesuai dengan keinginan Israel, Amerika, dan Ingris. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar