Oleh Syed
Husain Mohammad Jafri, Ph.D
Dalam mukaddimah yang ringkas ini, tak ada
maksud atau niat, juga mustahil, untuk membahas secara terperinci kepribadian
Ali –perpaduan sifat berani dan sifat ksatria, sifat mengutamakan kepentingan
orang lain, serta pendukung paling gigih Rasulullah dan Islam. Pemimpin yang
tak pernah mengorbankan prinsip, dan sungguh merupakan pengejawantahan
cita-cita moralitas al Qur’an dan sunnah Rasulullah. Semua orang percaya pada
sikap filosofis Ali dan menganggapnya sebagai ahli sastra yang tak tertandingi,
seorang jenius, dan ahli pendidikan yang tiada banding. Pidato, orasi, surat,
dan peribahasanya yang banyak jumlahnya itu, yang seringkali dicatat oleh para
sejarawan dan para ahli biografi muslim dari jaman dahulu, membuktikan fakta
bahwa Ali tak ada bandingannya di bidang prestasi sastra di kalangan kaum
muslim.
Kualitas ini terutama terekspressikan dengan
sangat baik ketika Ali diminta oleh ummat –dengan suara mayoritas, untuk
mengemban tanggungjawab kekhalifahan, setelah terbunuhnya Utsman Ibn Affan.
Dalam masa yang singkat ini, yaitu sekira lima tahun kepemimpinan dan
kenegarawanannya, kita mengenal Ali sebagai orator Islam terhebat yang pernah
ada, dan tiada penggantinya sesudahnya. Juga tokoh terhebat dalam
mempromosikan, menjelaskan, menafsirkan, dan mempraktikkan pemikiran politik
dan prinsip-prinsip administrasi serta manajemen pemerintahan yang sebelumnya
tidak pernah sebegitu jelas dan hidup.
Dalam periode ini pula, disamping banyak
berpidato, berkhutbah, dan berorasi, Ali juga menulis banyak surat yang berisi
konsepnya tentang Negara dan pemerintahan, serta nasihatnya untuk para gubernur
dan para pejabatnya di setiap provinsi. Tujuh Puluh Sembilan di antaranya, yang
terserak di berbagai sumber awal, dikumpulkan oleh Syarif ar Radhi (wafat 405
hijriah / 1014 masehi) dalam koleksi termasyhur yang dikenal dengan nama Nahjul
Balaghah. Surat-surat ini, jika dipadukan, akan menjadi satu set ilmu politik
dan sistem administrasi bagi ilmuwan politik-administrasi dunia.
Di masyarakat Arab pada abad ke-7, ketika
orang hanya mau pada hal yang serba cepat, pada yang khusus atau individual,
dan pada yang konkret, Ali dengan pengetahuannya yang mendalam atas al Qur’an,
menjelaskan konsepsi tentang yang universal, yang menjadi basis bagi yang
khusus atau individual, dan pandangan tentang sejarah sebagai proses untuk
mewujudkan keharmonisan yang lebih besar dalam pergaulan manusia yang lebih
baik –dan melampaui batas-batas ras, agama, warna kulit, atau batas-batas
geografis.
Setelah merenungkan dan mengkaji dengan
seksama pandangan-pandangan Ali, seorang ilmuwan politik dan ahli teori
administrasi dunia abad ke-20 begitu terkejut ternyata seorang Arab yang hidup
abad ke-7 sudah melihat kebijakan Negara dengan mempertimbangkan sejarah
sebagai sebuah proses seleksi dan penyingkiran. Dalam proses ini, orang yang
tidak baik moralnya disingkirkan dan digantikan oleh orang yang tinggi kualitas
rohani dan moralnya. Proses ini, selain tentu saja tidak mengherankan, juga
pada saat ini sudah merupakan fakta yang sudah dapat diterima bahwa Islam telah
berhasil melakukan transformasi total atas masyarakat Arab abad ke-7.
Singkatnya, basis kebijakan Ali adalah
membentuk suatu masyarakat yang bermoral baik dan adil –sebuah masyarakat
orang-orang lurus yang tajam dan kuat kesadarannya akan Tuhan, sebuah
masyarakat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bagi seorang
muslim, kebijakan Negara dan pemerintahan Ali merupakan sebuah pemahaman atau lebih
tepatnya sebuah penerapan paling akurat ajaran al Qur’an dan sunnah Rasulullah,
sedangkan bagi seorang non-muslim atau bahkan seorang sekularis, dalam
kebijakan Ali tersebut ada prinsip-prinsip humanitarianisme dan
egalitarianisme. Ali, singkatnya, adalah seorang negarawan terbesar yang
berhasil menerapkan keadilan bagi muslim dan non-muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar