Minggu, 25 Januari 2015

Menafsir Fotografi


Oleh Sulaiman Djaya (Esais dan penyair)



Dari segi budaya massa, tahun 70-an bisa dibilang sebagai eranya The Beatles dan Rock N Roll, ketika generasi muda mengenakan busana yang lebar di ujung kakinya dan ketat di bagian paha mereka. Sebuah masa yang bukan milik saya, dan karena itu tak banyak yang bisa saya ketahui di tahun-tahun 70-an, selain mereka-reka, dan itulah yang saya lakukan, ketika membuka album foto-foto keluarga, yang sebagian besar sudah agak kusam dan sudah tak lagi mencerminkan jepretan pertama.

Namun di dalam hati, saya diam-diam merasa kagum dan berterimakasih kepada fotografi, yang meski saya lahir di pedesaan, keluarga saya bisa dikatakan sadar dokumentasi.Dalam keadaan seperti itu, saya hanya bisa tersenyum-senyum sendiri di ruangan tempat saya menulis dan membaca ketika memandangi foto-foto keluarga dan membaca-baca majalah-majalah di tahun-tahun 70-an dan 80-an yang saya dapatkan dari paman dan sepupu saya itu.

Dalam foto-foto itu, saya adalah antara lain seorang bocah yang baru bisa merangkak dan seorang siswa kelas satu sekolah dasar dengan kondisi punggung yang masih tegak, tidak seperti sekarang ini yang mudah lelah dan merasa sakit bila tidak bersandar.

Bersamaan dengan itu, saya tiba-tiba tergoda untuk membayangkan dan mengingat-ingat malam-malam di desa di tahun-tahun 80-an yang masih menggunakan lampu-lampu minyak. Saya tergoda untuk kembali membayangkan dan mengingat-ingat keheningan malam yang begitu panjang, sepanjang jalan dan sungai, sepanjang pohon-pohon rimbun, di mana suara-suara serangga dalam kegelapan selepas hujan semakin menambah keheningan itu sendiri.

Rasa ingin membayangkan kembali masa silam itu justru tersulut di saat-saat saya memandangi foto-foto yang tersimpan di album keluarga, di saat-saat saya membaca-baca majalah-majalah era 70-an dan 80-an, yang di saat tidak menceritakan semuanya, tapi pada saat yang sama menyimpan banyak hal, yaitu ingatan itu sendiri.

Kemudian saya seolah mendapatkan suatu kesan bahwa sebuah gambar, ternyata, sama-sama bisa bercerita banyak hal sebagaimana satu buku sejarah, atau bahkan bisa lebih banyak bercerita ketimbang satu buku sejarah, justru karena ia rentan dan selalu memiliki kemungkinan untuk ditafsirkan. Seperti halnya sebuah komposisi musik yang ingin selalu Anda dengarkan, karena ada sesuatu yang ingin Anda ceritakan dengannya, meski untuk anda sendiri. Dan sebuah foto bercerita banyak kepada Anda sekaligus tetap menyimpan dan menyembunyikan yang lainnya.

Seperti itulah, sebuah foto yang saya pandangi sanggup membuat saya tergoda untuk mengingat-ingat sejumlah kenangan yang menyenangkan dan yang menyedihkan. Memancing rasa sentimentil saya untuk membayangkan masa silam yang telah tak ada. Rasa sentimentil yang tersulut begitu saja ketika saya merasa bosan atau jenuh dengan apa yang tengah saya lakukan dalam kesendirian.

Mungkin, pada saat-saat itu, Anda tak perlu membaca kembali catatan harian Anda, itu pun bila Anda punya catatan harian. Atau ketika Anda ingin merenungi sejenak perjalanan hidup Anda, mungkin cukup memandangi foto-foto dalam album fotografi milik Anda.

Sementara, bagi saya sendiri, ketika memandangi foto-foto di album keluarga, seperti yang telah saya katakan itu, saya tiba-tiba membayangkan kembali masa-masa ketika malam terasa begitu panjang dan hujan membuat keheningan terasa semakin kental di pedesaan, di saat saya hanya bertemankan selampu minyak di meja belajar. Katakanlah, sebuah foto atau sebuah gambar bisu tentang diri Anda, justru yang seakan-akan sanggup menghentikan dan menyandra masa lalu untuk siap menghadirkannya kembali ke masa sekarang di mana Anda hidup dan memandanginya.

Pada kasus tersebut, sebuah foto menjadi intim dan berarti bukan karena sebuah foto baru jadi atau baru dicetak, tetapi karena ia sudah tersimpan lama dan sekaligus telah menyimpan tahun-tahun yang pernah Anda jalani dalam hidup, tahun-tahun yang dalam keadaan tertentu dalam hidup Anda mungkin terasa belum jauh dan serasa baru beberapa waktu saja.

Dan utamanya untuk kasus saya sendiri, foto-foto di album keluarga itu tak menerakan tanggal dan tahun kapan foto itu diambil dan dibuat oleh si fotografernya, hingga saya mesti mereka-reka sendiri tentang masa dan waktu pembuatan dan pencetakannya.

Karena itu, bila saya boleh menyimpulkan, sebuah foto bisa mengatakan sesuatu yang tak bisa dilakukan atau diceritakan oleh lembar-lembar halaman catatan harian. Contohnya adalah wajah-wajah yang sedih atau riang dalam sebuah foto atau gambar, tetap saja memancarkan keunikannya sendiri yang berbeda-beda pada setiap orang atau wajah, pada setiap moment atau kondisi-kondisi tertentu.

Bersama sebuah foto, ingatan yang memang sebenarnya hanya angan-angan kita, diberi kesempatan untuk memuaskan apa yang ingin direka dan digambarnya kembali. Meski pada saat yang sama juga ia hanya bisa mengembarai kegelapan dan khayalan-khayalannya sendiri. Tetapi, mungkin karena hal itu pula, rasa senang senantiasa direkonstruksi, di saat anda ingin mengingat-ingat kembali kejadian dan peristiwa yang pernah ada atau yang melatarbelakangi keberadaan foto itu sendiri, di saat foto itu sendiri sebenarnya sudah terbebas dari peristiwa atau kejadian yang pernah anda alami atau yang pernah anda rasakan.

Persis seperti itulah, dengan dan bersama sebuah foto, apa yang saya lakukan adalah mengarang kembali sejarah dan perjalanan hidup saya. Anggaplah sebuah foto tak ubahnya satu puisi singkat yang bisa menceritakan banyak hal sekaligus menyamarkannya pada saat bersamaan. Fungsi figuratifnya telah membuatnya menjadi kecil sekaligus longgar dan terbuka untuk selalu ditafsirkan.

Namun, di atas semua yang telah saya katakan itu, ada juga mungkin sesuatu yang lain. Sebutlah ketika Anda memandangi foto diri Anda, terutama diri Anda di suatu masa yang telah berlalu bertahun-tahun, ada sesekali perasaan bahwa Anda tengah memandangi orang lain, disadari atau tidak disadari. Dan pada saat itu pula, Anda pun tengah mengagumi diri Anda yang lain, seperti ketika Anda memandangi diri Anda di cermin, di mana sebuah cermin berfungsi sebagai pemantul sekaligus pemisah (pemecah) diri Anda. Hanya saja sebuah foto diri Anda di masa silam mengajak untuk kembali menemukan diri Anda, dan itulah yang bisa kita sebut sebagai ingatan yang disandera sekaligus diceritakan oleh sebuah foto yang telah lama tersimpan.

Ingatan dan sebuah foto paling pribadi milik Anda, sebagaimana sebuah puisi romantis yang bukan lagi milik penyairnya, telah memiliki kehidupannya sendiri, kehidupan yang telah berpisah sekaligus masih dibagi dengan diri Anda, atau katakanlah, merebut figur Anda demi keberadaan dirinya sendiri. Karena itu, yang Anda lakukan tak lebih mengarang kembali ketika Anda ingin memasuki ingatan, atau ketika Anda mengingat-ingat kejadian yang telah berlalu bertahun-tahun. Meski pada kadar yang paling sentimentil, Anda merasa seakan-akan waktu tak beranjak, apa yang lazim disebut sebagai daya-tarik kesedihan dan keriangan sesaat.

Hingga bisa dikatakan, sebuah foto, sebagaimana sebuah cermin, menjadi ada karena bukan hanya mampu menampilkan citra Anda, tetapi lebih dari itu, ia mampu menunjukkan dan menghadirkan “orang lain”, orang lain yang anehnya terus-menerus Anda identifikasi sebagai diri Anda. Dalam kajian historiografi, contohnya, sebuah foto telah mampu menghadirkan kembali kejadian-kejadian atau pun peristiwa-peristiwa di masa lalu yang sebenarnya sudah tidak ada.

Sementara itu, bagi saya sendiri, sebuah foto yang saya pandangi seakan mengajak saya kembali untuk menyusuri jejalan setapak sungai di bawah barisan pohon-pohon rindang yang mirip sebuah terowongan kota-kota metropolitan sekarang ini. Jejalan setapak sepanjang sungai yang sebenarnya hanya bisa saya khayalkan. Dan diri saya yang saya ingat-ingat itu pun sebenarnya tak lebih orang lain yang telah tak ada. Sedangkan dorongan khayalan itu sendiri adalah perasaan cacat dan tak lengkap dalam diri saya sendiri, atau mungkin dalam diri Anda. Itulah yang lazim disebut sebagai ironi dan dilema Narcissus: “permainan kehilangan dan menemukan”.

Pada konteks seperti itu, nilai makna dan arti sebuah foto terletak pada kemampuannya untuk membangkitkan sentimentalitas personal. Ketika detil dan ketaklengkapan telah membebaskan dirinya untuk ditafsirkan oleh saya atau Anda sendiri. Ketika ia membiarkan dirinya untuk terus direkonstruksi sejauh menyangkut kejadian dan latarbelakang yang menyediakan peluang bagi ingatan untuk melakukan tugasnya dalam pengembaraan-pengembaraan permainan kehilangan dan menemukan itu.

Kita juga sebenarnya sudah begitu tahu, dari sudut historiografis, fotografi telah menjalankan fungsi artifak dan hiorieglif, situs dan prasasti, meski yang diceritakan kepada kita lebih merupakan pecahan, potongan, dan kepingan kejadian, yang dari itu, kita sendiri yang mesti merangkai keutuhan dan kelengkapannya. Di sini dikatakan, misalnya, detil-detil sebuah foto akan mampu memberikan materi untuk upaya rekonstruksi kejadian dan pemahaman peristiwa, meski sebenarnya tak pernah berhasil menemukan keutuhan.

Sebagai contoh lainnya misalnya dikatakan, dari kualitas warna dan cahaya, kita bisa mereka-reka apakah sebuah foto yang kita pandangi dibuat dan diambil pada waktu pagihari, sianghari, sorehari, ataukah malamhari. Sementara itu, detil-detil material dan situasi sebuah tempat yang tersimpan dan tertangkap sebuah foto akan juga mengatakan kepada kita tentang situasi sebuah jaman, trend yang sedang berlaku, atau juga situasi sosial-budaya yang bisa dicontohkan dengan materi dan situasi busana, arsitektur tempat, produk-produk industri-ekonomi, dan lain sebagainya. Sesuatu yang dulu orang-orang purba gambarkan kepada kita melalui ukiran, lukisan, simbol-simbol, dan rumus-rumus seperti yang dicontohkan dengan baik oleh hieroglif orang-orang Mesir purba, yang adalah juga para seniman grafis yang cakap secara matematis dan estetis.

Tetapi, karena ketaklengkapannya itu, dan ini pun diakui oleh para arkeolog dan sejarawan, sebuah prasasti, hieroglif, atau pun fotografi, hanya memberikan kepingan cerita, bukan keseluruhan peristiwa atau pun kejadian historis yang padu dan lengkap. Pada celah itulah dibutuhkan interpretasi alias penafsiran dan angan-angan sang arkeolog atau pun sang sejarawan, atau apa yang saya sendiri akan menyebutnya sebagai upaya “mengarang kembali” peristiwa dan kejadian.

Hingga karena demikian, historiografi sekalipun tak pernah terbebas dari angan-angan, justru karena setiap fakta dan bukti historiografis pada akhirnya mesti ditafsirkan, di saat yang hadir kepada kita hanya pecahan dan kepingan, bukan peristiwa atau kejadian yang utuh. Ia ada sebagai sesuatu yang cacat dan tak lengkap.

Tepat pada saat itulah, Anda hanya berusaha mengangankan dan mengarang kembali kejadian atau pun latarbelakang sebuah foto yang anda pandangi atau yang tengah anda selidiki, di saat figur anda yang ada dalam foto tersebut telah menjadi orang lain yang milik masa lalu. Di saat milik Anda yang sesungguhnya hanyalah angan-angan itu sendiri. Dan karena itu, semakin tak lengkap sebuah foto, semakin kreatif pula angan-angan Anda untuk mengarang kembali sebuah peristiwa atau kejadian yang dapat membuat sebuah foto berarti bagi Anda, di saat Anda sendiri hanya bisa mengangankan kembali gambar-gambar buram ingatan.

Seperti itu pulalah historiografi, sebagaimana dipahami Homerus, Virgilius, dan Plutarch, tak sekadar dokumentasi prosaik, tetapi sebuah deskripsi yang hidup, yang karenanya Homerus dan Virigilius menuliskannya dalam bentuk teater puitis melalui media puisi, di mana ingatan menjadi demikian hidup karena dituliskan dan digambarkan secara teatrikal. Sebab itu tidak berlebihan, ketika Shakespeare mengaku diri lebih banyak belajar tentang sejarah dari puisi-puisi dan drama-drama Yunani, atau dari epik-epik lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar