Oleh Lawrence M. Krauss (Sumber: Scientific
American, Special Edition – The Once
and Future Cosmos, 31 Desember 2002,
hal. 30-39)
Konstanta kosmologis yang lama
dicemooh—penemuan Albert Einstein—mungkin dapat menjelaskan perubahan laju
perluasan alam semesta.
Novelis dan kritikus
sosial George Orwell menulis pada 1946, “Untuk melihat apa yang ada di depan
hidung kita diperlukan perjuangan terus-menerus.” Perkataan ini tepat
mendeskripsikan cara kerja kosmologi modern. Alam semesta berada di sekeliling
kita—kita bagian darinya—tapi ilmuwan terkadang harus menatap setengah [luas
alam semesta] untuk memahami proses-proses yang menghasilkan eksistensi kita di
bumi. Dan walaupun periset percaya bahwa prinsip pokok alam bersifat sederhana,
menyingkapnya merupakan soal lain. Petunjuk di langit bisa amat halus. Adagium
Orwell berlaku untuk kosmolog yang bergelut dengan observasi mutakhir terhadap
bintang-bintang meledak yang jauhnya ratusan juta tahun-cahaya. Bertentangan
dengan sebagian besar ekspektasi, mereka menemukan bahwa perluasan alam semesta
mungkin bukan melambat melainkan mencepat.
Astronom sudah tahu bahwa visible universe (alam semesta tampak) sedang
mengembang sejak sekurangnya tahun 1929, tatkala Edwin P. Hubble
mendemonstrasikan bahwa galaksi-galaksi jauh sedang saling berpisahan seolah
seluruh kosmos menggembung secara seragam. Gerakan keluar ini dinetralkan oleh gravitasi
kolektif gugus-gugus galaksi dan semua planet, bintang, gas, dan debu yang
dikandungnya. Bahkan tarikan kecil gravitasi, katakanlah sebuah penjepit
kertas, sedikit memperlambat perluasan kosmik. Satu dekade silam, kesesuaian
teori dan observasi mengindikasikan bahwa ada cukup penjepit kertas dan materi
lain di alam semesta untuk hampir, tapi tidak sepenuhnya, menghentikan
perluasan. Dalam istilah geometris yang dianjurkan Albert Einstein kepada para
kosmolog, alam semesta kelihatannya “flat”.
Alam semesta flat adalah
pertengahan antara dua geometri lain yang masuk akal, yakni “terbuka” dan
“tertutup”. Di kosmos di mana materi memang berjuang melawan outward impulse (impuls keluar) dari big bang, geometri terbuka melambangkan kemenangan
perluasan: alam semesta akan terus mengembang selamanya. Dalam geometri
tertutup, gravitasi berkuasa, dan alam semesta akhirnya akan kolaps kembali,
berujung dalam “big crunch” berapi. Skenario
terbuka, tertutup, dan flat analogis dengan peluncuran roket yang lebih cepat
dari, lebih lambat dari, atau sama dengan kecepatan pelarian bumi—kecepatan
yang diperlukan untuk mengatasi tarikan gravitasi planet kita.
Bahwa kita hidup di alam
semesta flat, sebuah keseimbangan kekuatan yang sempurna, itu merupakan salah
satu prediksi teori inflasi standar, yang mempostulatkan periode awal perluasan
pesat untuk merekonsiliasi beberapa paradoks dalam rumusan konvensional big bang. Walaupun kandungan tampak kosmos tidak cukup
menjadikan alam semesta flat, dinamika angkasa mengindikasikan bahwa ada jauh
lebih banyak materi daripada yang kita ketahui. Sebagian besar material di
galaksi dan kumpulan galaksi pasti tak terlihat oleh teleskop. Pada satu dekade
lalu saya menerapkan istilah “quintessence” pada dark matter ini, meminjam istilah Aristoteles untuk
eter—materi tak tampak yang diduga merembesi seluruh ruang [lihat “Dark Matter
in the Universe”, tulisan Lawrence M. Krauss, Scientific American, Desember
1986].
Tapi banyak bukti kini
mengimplikasikan bahwa materi tak tampak pun tidaklah cukup untuk menghasilkan
alam semesta flat. Jika begitu, konstituen utamanya bukanlah materi tak tampak,
dark matter, atau radiasi. Malah, alam semesta pasti
tersusun sebagian besar dari bentuk energi yang lebih halus lagi yang menempati
ruang hampa, termasuk yang berada di depan hidung kita.
Tarikan Fatal
Ide tentang energi semacam
itu memiliki sejarah panjang dan berganti-ganti, yang berawal ketika Einstein
menyelesaikan teori relativitas umumnya, lebih dari satu dekade sebelum Hubble
mendemonstrasikan secara meyakinkan bahwa alam semesta sedang mengembang.
Dengan menyatukan ruang, waktu, dan materi, relativitas menjanjikan apa yang
sebelumnya mustahil: pemahaman ilmiah tentang alam semesta, bukan cuma dinamika
objek-objek di dalamnya. Hanya saja ada satu persoalan. Tak seperti gaya-gaya
fundamental lain yang dirasakan oleh materi, gravitasi bersifat menarik secara
universal—ia hanya menarik, tidak mendorong. Tarikan tiada henti gravitasi
materi dapat menyebabkan alam semesta akhirnya kolaps. Jadi Einstein, yang
menduga alam semesta bersifat statis dan stabil, menambahkan suku tambahan pada
persamaannya, “suku kosmologis”, yang dapat menstabilkan alam semesta dengan
menghasilkan gaya baru berjangkauan luas di seantero ruang. Jika besarannya
positif, suku tersebut melambangkan gaya tolak—sejenis antigravitasi yang bisa
menahan alam semesta di bawah bobotnya sendiri.
Sialnya, lima tahun
kemudian Einstein membuang solusi jelek ini, yang dia sebut sebagai “blunder
terbesar”. Stabilitas yang ditawarkan oleh suku ini ternyata ilusi, dan, yang
lebih penting, bukti-bukti mulai menggunung bahwa alam semesta sedang
mengembang. Pada awal 1923, Einstein menulis dalam sebuah surat untuk
matematikawan Hermann Weyl bahwa “Jika tidak ada dunia quasi-statis, maka
enyahlah suku kosmologis!” Seperti eter sebelumnya, suku ini masuk ke tong
sampah sejarah.
Fisikawan senang hidup
tanpa pengganggu tersebut. Dalam teori relativitas umum, sumber gaya gravitasi
(baik menarik atau menolak) adalah energi. Materi merupakan satu bentuk energi.
Tapi suku kosmologis Einstein berbeda. Energi yang diasosiasikan dengannya
tidak bergantung pada posisi atau waktu—karenanya namanya “konstanta
kosmologis”. Gaya yang ditimbulkan oleh konstanta ini bahkan beroperasi dalam
ketiadaan materi atau radiasi sama sekali. Oleh sebab itu, sumbernya pasti
merupakan energi aneh yang terdapat di ruang hampa. Konstanta kosmologis,
seperti halnya eter, memberkahi kehampaan dengan aura metafisik. Dengan
kematiannya, alam kembali masuk akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar