Jumat, 16 Januari 2015

Antigravitasi Kosmologis


Oleh Lawrence M. Krauss (Sumber: Scientific American, Special Edition – The Once and Future Cosmos, 31 Desember 2002, hal. 30-39)

Konstanta kosmologis yang lama dicemooh—penemuan Albert Einstein—mungkin dapat menjelaskan perubahan laju perluasan alam semesta.

Novelis dan kritikus sosial George Orwell menulis pada 1946, “Untuk melihat apa yang ada di depan hidung kita diperlukan perjuangan terus-menerus.” Perkataan ini tepat mendeskripsikan cara kerja kosmologi modern. Alam semesta berada di sekeliling kita—kita bagian darinya—tapi ilmuwan terkadang harus menatap setengah [luas alam semesta] untuk memahami proses-proses yang menghasilkan eksistensi kita di bumi. Dan walaupun periset percaya bahwa prinsip pokok alam bersifat sederhana, menyingkapnya merupakan soal lain. Petunjuk di langit bisa amat halus. Adagium Orwell berlaku untuk kosmolog yang bergelut dengan observasi mutakhir terhadap bintang-bintang meledak yang jauhnya ratusan juta tahun-cahaya. Bertentangan dengan sebagian besar ekspektasi, mereka menemukan bahwa perluasan alam semesta mungkin bukan melambat melainkan mencepat.

Astronom sudah tahu bahwa visible universe (alam semesta tampak) sedang mengembang sejak sekurangnya tahun 1929, tatkala Edwin P. Hubble mendemonstrasikan bahwa galaksi-galaksi jauh sedang saling berpisahan seolah seluruh kosmos menggembung secara seragam. Gerakan keluar ini dinetralkan oleh gravitasi kolektif gugus-gugus galaksi dan semua planet, bintang, gas, dan debu yang dikandungnya. Bahkan tarikan kecil gravitasi, katakanlah sebuah penjepit kertas, sedikit memperlambat perluasan kosmik. Satu dekade silam, kesesuaian teori dan observasi mengindikasikan bahwa ada cukup penjepit kertas dan materi lain di alam semesta untuk hampir, tapi tidak sepenuhnya, menghentikan perluasan. Dalam istilah geometris yang dianjurkan Albert Einstein kepada para kosmolog, alam semesta kelihatannya “flat”.

Alam semesta flat adalah pertengahan antara dua geometri lain yang masuk akal, yakni “terbuka” dan “tertutup”. Di kosmos di mana materi memang berjuang melawan outward impulse  (impuls keluar) dari big bang, geometri terbuka melambangkan kemenangan perluasan: alam semesta akan terus mengembang selamanya. Dalam geometri tertutup, gravitasi berkuasa, dan alam semesta akhirnya akan kolaps kembali, berujung dalam “big crunch” berapi. Skenario terbuka, tertutup, dan flat analogis dengan peluncuran roket yang lebih cepat dari, lebih lambat dari, atau sama dengan kecepatan pelarian bumi—kecepatan yang diperlukan untuk mengatasi tarikan gravitasi planet kita.

Bahwa kita hidup di alam semesta flat, sebuah keseimbangan kekuatan yang sempurna, itu merupakan salah satu prediksi teori inflasi standar, yang mempostulatkan periode awal perluasan pesat untuk merekonsiliasi beberapa paradoks dalam rumusan konvensional big bang. Walaupun kandungan tampak kosmos tidak cukup menjadikan alam semesta flat, dinamika angkasa mengindikasikan bahwa ada jauh lebih banyak materi daripada yang kita ketahui. Sebagian besar material di galaksi dan kumpulan galaksi pasti tak terlihat oleh teleskop. Pada satu dekade lalu saya menerapkan istilah “quintessence” pada dark matter ini, meminjam istilah Aristoteles untuk eter—materi tak tampak yang diduga merembesi seluruh ruang [lihat “Dark Matter in the Universe”, tulisan Lawrence M. Krauss, Scientific American, Desember 1986].

Tapi banyak bukti kini mengimplikasikan bahwa materi tak tampak pun tidaklah cukup untuk menghasilkan alam semesta flat. Jika begitu, konstituen utamanya bukanlah materi tak tampak, dark matter, atau radiasi. Malah, alam semesta pasti tersusun sebagian besar dari bentuk energi yang lebih halus lagi yang menempati ruang hampa, termasuk yang berada di depan hidung kita.

Tarikan Fatal

Ide tentang energi semacam itu memiliki sejarah panjang dan berganti-ganti, yang berawal ketika Einstein menyelesaikan teori relativitas umumnya, lebih dari satu dekade sebelum Hubble mendemonstrasikan secara meyakinkan bahwa alam semesta sedang mengembang. Dengan menyatukan ruang, waktu, dan materi, relativitas menjanjikan apa yang sebelumnya mustahil: pemahaman ilmiah tentang alam semesta, bukan cuma dinamika objek-objek di dalamnya. Hanya saja ada satu persoalan. Tak seperti gaya-gaya fundamental lain yang dirasakan oleh materi, gravitasi bersifat menarik secara universal—ia hanya menarik, tidak mendorong. Tarikan tiada henti gravitasi materi dapat menyebabkan alam semesta akhirnya kolaps. Jadi Einstein, yang menduga alam semesta bersifat statis dan stabil, menambahkan suku tambahan pada persamaannya, “suku kosmologis”, yang dapat menstabilkan alam semesta dengan menghasilkan gaya baru berjangkauan luas di seantero ruang. Jika besarannya positif, suku tersebut melambangkan gaya tolak—sejenis antigravitasi yang bisa menahan alam semesta di bawah bobotnya sendiri.

Sialnya, lima tahun kemudian Einstein membuang solusi jelek ini, yang dia sebut sebagai “blunder terbesar”. Stabilitas yang ditawarkan oleh suku ini ternyata ilusi, dan, yang lebih penting, bukti-bukti mulai menggunung bahwa alam semesta sedang mengembang. Pada awal 1923, Einstein menulis dalam sebuah surat untuk matematikawan Hermann Weyl bahwa “Jika tidak ada dunia quasi-statis, maka enyahlah suku kosmologis!” Seperti eter sebelumnya, suku ini masuk ke tong sampah sejarah.

Fisikawan senang hidup tanpa pengganggu tersebut. Dalam teori relativitas umum, sumber gaya gravitasi (baik menarik atau menolak) adalah energi. Materi merupakan satu bentuk energi. Tapi suku kosmologis Einstein berbeda. Energi yang diasosiasikan dengannya tidak bergantung pada posisi atau waktu—karenanya namanya “konstanta kosmologis”. Gaya yang ditimbulkan oleh konstanta ini bahkan beroperasi dalam ketiadaan materi atau radiasi sama sekali. Oleh sebab itu, sumbernya pasti merupakan energi aneh yang terdapat di ruang hampa. Konstanta kosmologis, seperti halnya eter, memberkahi kehampaan dengan aura metafisik. Dengan kematiannya, alam kembali masuk akal. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar