Oleh
Michael Moyer. Foto-foto oleh Matt Siber (Sumber: Scientific American, Februari 2012, hal 30-36)
Sebuah eksperimen yang sedang dibangun di luar Chicago akan
berupaya mengukur hubungan intim antara informasi, materi, dan ruangwaktu. Jika
berhasil, ini bisa menulis ulang kaidah-kaidah fisika abad 21.
Craig Hogan percaya dunia ini seperti bulu.
Ini bukan kiasan. Hogan, fisikawan di Universitas Chicago dan direktur Fermilab
Particle Astrophysics Center dekat Batavia, Illinois, menduga andai kita
mengintip subdivisi ruang dan waktu terkecil, kita akan mendapati alam semesta
dipenuhi kerlipan intrinsik, dengungan statis yang sibuk. Dengungan ini bukan
berasal dari partikel-partikel yang melambung muncul dan lenyap atau jenis-jenis
omong-kosong quantum lain yang diperdebatkan fisikawan di masa lalu. Derau
Hogan timbul jika ruang tidak halus dan tidak malar (smooth and
continuous), bukan seperti asumsi lama kita; menjadi latar untuk
tarian medan-medan dan partikel-partikel. Derau Hogan timbul jika ruang terbuat
dari bongkah-bongkah. Blok-blok. Bit-bit. Derau Hogan mengimplikasikan alam
semesta ini digital.
Suatu sore di awal musim gugur, berangin
sepoi, Hogan mengajak saya melihat mesin yang dibangunnya untuk menemukan derau
ini. Bangsal biru cerah menjulang dari padang rumput kecokelatan kampus
Fermilab, satu-satunya tanda konstruksi baru di fasilitas berumur 45 tahun ini.
Sebuah pipa selebar kepalan tangan membentang 40 meter dari bangsal menuju
bunker panjang tegak lurus, bekas rumah sorot yang selama berdekade-dekade
menembakkan partikel-partikel subatom ke Minnesota di utara. Bunker ini
dijadikan, kata Hogan, sebagai Holometer, perangkat yang dirancang untuk
memperkuat kerlipan di struktur ruang.
Dia mengeluarkan sepotong tebal kapur trotoar
dan mulai menulis pada samping bangsal biru langit tersebut, kuliah dadakan
yang memperinci bagaimana beberapa laser yang melambung lewat pipa-pipa dapat
memperkuat struktur halus ruang. Dia mengawali dengan menjelaskan bagaimana dua
teori tersukses di abad 20—mekanika quantum dan relativitas umum—tak mungkin
bisa direkonsiliasikan. Pada skala terkecil, keduanya runtuh menjadi bualan.
Tapi, untuk alasan lain, skala ini juga rupanya istimewa: ia kebetulan
terhubung intim dengan sains informasi—0 dan 1-nya alam semesta. Selama
beberapa dekade terakhir, fisikawan telah membongkar pemahaman mendalam tentang
bagaimana alam semesta menyimpan informasi—bahkan mereka menyatakan bahwa
informasi, bukan materi dan energi, merupakan satuan eksistensi paling dasar.
Informasi menunggang bit-bit kecil; dari bit-bit inilah kosmos berasal.
Jika kita mengambil serius garis pemikiran
ini, kata Hogan, semestinya kita mampu mengukur derau digital ruang. Maka dari
itu, dia telah merancang sebuah eksperimen untuk mengeksplorasi dengungan pada
skala paling fundamental di alam semesta. Dia akan menjadi orang pertama yang
memberitahu Anda bahwa ini mungkin tidak bekerja—bahwa dia mungkin tidak
melihat apa-apa sama sekali. Upayanya merupakan eksperimen dalam pengertian paling
sejati—sebuah percobaan, sebuah penyelidikan hal-hal tak dikenal. “Anda tak
bisa memakai fisika ruangwaktu yang sudah teruji dan fisika mekanika quantum
yang sudah teruji lalu mengkalkulasi apa yang akan kita lihat,” ujar Hogan.
“Tapi bagi saya, itulah alasan melakukan eksperimen ini—untuk masuk dan
melihat.”
Lantas jika dia betul-betul melihat kerlipan
ini? Maka ruang dan waktu tidak seperti yang kita pikirkan. “Ini mengubah
arsitektur fisika,” kata Hogan.
Singkatnya
Ruang mungkin tidak lembut dan malar. Justru
kemungkinan ia digital, terdiri dari bit-bit kecil. Fisikawan berasumi bit-bit
ini terlampau kecil untuk diukur dengan teknologi sekarang.
Tapi salah seorang ilmuwan merasa menemukan
cara untuk mendeteksi struktur ruang mirip bit. Mesinnya—kini sedang
dikonstruksi—akan berupaya mengukur sifatnya yang seperti butir.
Eksperimen ini salah satu yang pertama
menyelidiki prinsip bahwa alam semesta timbul dari informasi—rincinya,
informasi yang tercetak pada lembar dua-dimensi.
Jika sukses, eksperimen ini akan menggeser
fondasi segala yang kita ketahui tentang ruang dan waktu, menyediakan pandangan
fisika baru yang dapat menggantikan pemahaman kita saat ini.
Selama bertahun-tahun, fisika partikel tidak
membedah model eksplorasi jenis ini. Para ilmuwan menghabiskan akhir 1960-an
dan awal 1970-an dengan mengembangkan jejaring teori dan pemahaman yang kini
kita kenal sebagai Standard Model fisika partikel. Selama berdekade-dekade,
sejak saat itu, eksperimen-eksperimen mengujinya dengan kedalaman dan presisi yang
kian meningkat. “Polanya adalah, komunitas teori sudah menelurkan sebuah
ide—contoh, boson Higgs—dan kita memperoleh model. Dan model membuat prediksi,
lalu eksperimen menyingkirkannya atau tidak,” kata Hogan. Teori duluan,
eksperimen menyusul.
Konservatisme ini eksis untuk alasan yang
sangat bagus: eksperimen fisika partikel bisa amat mahal. Large Hadron Collider
(LHC) di CERN dekat Jenewa membutuhkan sekitar $5 miliar untuk dirakit dan
sekarang menyita perhatian ribuan fisikawan di seluruh dunia. Ia adalah
kompleks paling canggih dan mesin paling presisi yang pernah dibangun. Ilmuwan
terang-terangan bertanya apakah particle collider generasi berikutnya—dengan energi
lebih tinggi, ukuran lebih besar, dan biaya lebih mahal—terlalu ambisius.
Manusia pantas menolak membiayainya.
Eksperimen tipikal di LHC melibatkan lebih
dari 3.000 periset. Di Fermilab, Hogan telah membangun tim longgar yang terdiri
dari kira-kira 20 orang, sudah termasuk para penasehat senior di Massachusetts
Institute of Technology dan Universitas Michigan yang tidak berpartisipasi
dalam pekerjaan harian di lokasi. Hogan utamanya adalah fisikawan
teoritis—tidak terlalu familiar dengan tingkah aneh pompa vakum dan laser
status-padat (solid-state
laser)—jadi dia menunjuk Aaron Chou, eksperimentalis yang kebetulan
tiba di Fermilab hampir bersamaan dengan pengajuan proposal Hogan, sebagai
wakil pimpinan. Musim panas lalu, mereka dihadiahi $2 juta, yang kalau di LHC
hanya cukup untuk membeli magnet superkonduktif dan secangkir kopi. Uang ini akan
mendanai seluruh proyek. “Kami tidak akan mengerjakan urusan high-tech
jika low-tech
mencukupi,” ujar Hogan.
Eksperimen ini begitu murah sebab pada
dasarnya merupakan pembaruan eksperimen yang terkenal meruntuhkan kearifan
kokoh abad 19 tentang latar belakang eksistensi. Menjelang awal 1800-an,
fisikawan tahu bahwa cahaya berperilaku sebagai gelombang. Dan ilmuwan mengenal
gelombang. Dari riakan di kolam sampai bunyi di udara, semua gelombang berbagi
beberapa fitur esensial. Seperti seni ukir, gelombang selalu memerlukan
medium—suatu substrat fisik yang harus ditempuh gelombang. Karena cahaya adalah
gelombang, lanjut pemikiran ini, ia juga pasti memerlukan medium, zat gaib yang
merembesi alam semesta. Ilmuwan menyebut medium tersembunyi ini sebagai eter.
Pada 1887, Albert Michelson dan Edward Morley
merancang eksperimen yang akan mencari eter ini. Mereka membuat sebuah
interferometer—perangkat berbentuk L dengan dua lengan, dioptimisasi untuk
mengukur perubahan. Satu sumber cahaya menempuh panjang kedua lengan, memantul
dari cermin-cermin di ujung, lalu bergabung kembali di titik awal. Jika lama
waktu yang diperlukan cahaya untuk menyusuri tiap lengan berubah sepecahan
mikrodetik saja, maka cahaya rekombinasi akan lebih gelap. Michelson dan Morley
membangun interferometer mereka dan memonitor cahaya tersebut selama
berbulan-bulan sementara bumi mengelilingi matahari. Tergantung pada arah mana
yang ditempuh bumi, eter stasioner semestinya mengubah waktu yang diperlukan
cahaya untuk melambungi lengan-lengan tegak lurus. Ukur perubahan ini, maka
Anda temukan eter.
Tentu saja, eksperimen ini tidak menemukan hal
demikian, hingga mengawali keruntuhan kosmologi berumur ratusan tahun. Tapi
seperti hutan yang dilalap api, menyingkirkan eter memungkinkan tumbuhnya
ide-ide baru dan revolusioner. Tanpa eter, cahaya berjalan dengan kecepatan
yang sama, tak peduli bagaimana Anda bergerak. Berdekade-dekade kemudian,
Albert Einstein menangkap pengertian ini untuk mendapatkan teori-teori
relativitasnya.
Interferometer milik Hogan akan mencari latar
belakang yang sangat mirip eter—substrat gaib (dan mungkin imajiner) yang
merembesi alam semesta. Dengan memakai dua interferometer Michelson yang
ditumpuk, dia bermaksud menyelidiki skala-skala terkecil di alam semesta, jarak
di mana mekanika quantum dan relativitas runtuh—kawasan di mana informasi hidup
sebagai bit-bit.
Skala Planck tak hanya kecil—ia paling kecil.
Jika Anda mengurung sebuah partikel di dalam kubus yang panjang tiap sisinya
kurang dari satu panjang Planck, relativitas umum menyebut beratnya lebih dari black hole
berukuran sama. Tapi hukum mekanika quantum menyatakan black hole
yang lebih kecil dari panjang Planck harus memiliki kurang dari satu quantum
energi, yang mana mustahil. Pada panjang Planck terdapat paradoks.
Tapi panjang Planck lebih dari sekadar ruang
di mana mekanika quantum dan relativitas ambruk. Pada beberapa dekade lalu,
sebuah argumen mengenai sifat black hole telah menyingkap pemahaman yang sama sekali
baru tentang skala Planck. Teori-teori terbaik kita mungkin runtuh di sana,
tapi di tempat mereka, muncullah sesuatu yang lain. Esensi alam semesta adalah
informasi, demikian bunyi garis pemikiran ini, dan bit-bit fundamental
informasi yang melahirkan alam semesta hidup pada skala Planck.
“Informasi berarti pembedaan benda-benda,”
jelas fisikawan Universitas Stanford, Leonard Susskind, dalam sebuah kuliah di
Universitas New York musim panas lalu. “Ada sebuah prinsip fisika amat dasar
bahwa pembedaan tak pernah hilang. Mereka mungkin berdesakan atau bercampur
aduk, tapi mereka tak pernah lenyap.” Bahkan setelah majalah [Scientific
American] ini dilarutkan menjadi bubur kertas di pabrik daur ulang, informasi
di halaman-halaman ini akan tersusun kembali, bukan terhapus. Secara teori,
pembusukan dapat dibalik—bubur kertas direkonstruksi menjadi tulisan dan
foto—sekalipun, secara praktek, tugas ini terasa mustahil.
Fisikawan sudah lama menyepakati prinsip ini
kecuali dalam satu kasus khusus. Bagaimana seandainya majalah ini dilempar ke
dalam black
hole? Bagaimanapun tak ada yang pernah muncul dari black hole.
Lempar halaman-halaman ini ke dalam black hole, maka black hole tersebut terlihat nyaris sama persis
seperti sebelumnya—barangkali beberapa gram lebih berat. Bahkan setelah Stephen
Hawking menunjukkan pada 1975 bahwa black hole dapat meradiasikan materi dan energi (dalam
bentuk yang kini kita sebut radiasi Hawking), radiasi ini tak berstruktur,
[cuma suara] embékan datar di kosmos. Dia menyimpulkan black hole
pasti menghancurkan informasi.
Omong-kosong, sanggah sejumlah kolega Hawking,
di antaranya Susskind dan Gerard ‘t Hooft, fisikawan di Universitas Utrecht,
Belanda, yang kemudian memenangkan Hadiah Nobel. “Struktur segala yang kita
kenal akan hancur jika Anda membuka pintu sesedikit apapun untuk gagasan hilangnya
informasi,” jelas Susskind.
Namun Hawking tak mudah diyakinkan. Jadi
selama dua dekade berikutnya fisikawan mengembangkan sebuah teori baru yang
dapat menerangkan selisih tersebut. Inilah prinsip holografi, berpandangan
bahwa ketika sebuah objek jatuh ke dalam black hole, materi di dalamnya mungkin hilang, tapi
informasi objek entah bagaimana tercetak pada permukaan sekeliling black hole.
Dengan alat yang tepat, secara teoritis Anda dapat merekonstruksi majalah ini
dari black
hole selayaknya dari bubur kertas di pabrik daur ulang. Horizon
peristiwa black
hole—titik tanpa kembali—bertugas ganda sebagai bukubesar.
Informasi tidak hilang.
Prinsip ini lebih dari sekadar trik akuntansi.
Ia mengimplikasikan bahwa sementara dunia sekeliling kita tampak menempati tiga
dimensi, semua informasi tentangnya tersimpan pada permukaan yang memiliki dua
dimensi saja [lihat “Informasi di Alam Semesta Holografis”, tulisan Jacob D.
Bekenstein, Scientific American, Agustus 2003]. Lebih jauh, ada batasan untuk
jumlah informasi yang dapat disimpan pada area permukaan tertentu. Jika Anda
membagi permukaan seperti papan permainan dam, di mana tiap persegi memiliki
sisi dua panjang Planck, kandungan informasi akan selalu kurang dari jumlah
persegi.
Dalam serangkaian makalah di tahun 1999 dan
2000, Raphael Bousso, kini di Universitas California, Berkeley, menunjukkan
cara memperluas prinsip holografi ini di luar permukaan-permukaan sederhana
sekitar black
hole. Dia membayangkan sebuah objek dikelilingi bohlam-bohlam
potret (flashbulb)
yang padam dalam gelap. Cahaya yang berjalan ke dalam menetapkan satu
permukaan—gelembung yang kempis dengan kecepatan cahaya. Pada permukaan
dua-dimensi inilah—yang disebut tilam cahaya—semua informasi tentang Anda (atau
virus flu atau supernova) tersimpan [lihat boks di bawah].
Tilam cahaya ini, menurut prinsip holografi,
melakukan banyak pekerjaan. Ia berisi informasi posisi setiap partikel di dalam
tilam, setiap elektron, quark, dan neutrino, dan setiap gaya yang beraksi
terhadap mereka. Tapi keliru jika Anda membayangkan tilam cahaya sebagai
sepotong film, secara pasif merekam kejadian nyata yang berlangsung di dunia.
Justru tilam cahaya duluan. Ia memproyeksikan informasi yang terkandung di
permukaannya ke dunia, menciptakan segala yang kita lihat. Dalam beberapa
interpretasi, tilam cahaya bukan hanya menghasilkan semua gaya dan partikel—ia
melahirkan struktur ruangwaktu itu sendiri. “Saya yakin ruangwaktulah yang
muncul,” kata Hermant Verlinde, fisikawan di Universitas Princeton dan bekas
mahasiswa ‘t Hooft. “Ia akan keluar dari segerombol 0 dan 1.”
Satu masalah: walaupun fisikawan hampir
sepakat bahwa prinsip holografi itu benar—bahwa informasi pada permukaan
sekitar mengandung semua informasi tentang dunia—mereka tidak tahu bagaimana
informasi tersebut dienkode, atau bagaimana alam memproses 1 dan 0, atau
bagaimana hasil pemrosesan tersebut melahirkan dunia. Mereka curiga alam
semesta bekerja seperti komputer—informasi menghasilkan apa yang kita
persepsikan sebagai realitas fisik—tapi kali ini komputernya adalah kotak hitam
besar.
Puncaknya, alasan mengapa fisikawan begitu
bergairah dengan prinsip holografi, alasan mengapa mereka menghabiskan
berdekade-dekade untuk mengembangkannya—tentu saja selain untuk meyakinkan
Hawking bahwa dirinya keliru—adalah karena prinsip ini mengartikulasikan
hubungan mendalam antara informasi, materi, dan gravitasi. Pada akhirnya,
prinsip holografi dapat mengungkap cara merekonsiliasikan dua pilar fisika abad
20 yang sangat sukses tapi tidak rukun: mekanika quantum dan relativitas umum.
“Prinsip holografi adalah papan penunjuk jalan menuju gravitasi quantum,” kata
Bousso, sebuah tinjauan yang mengarah pada teori yang akan menggantikan
pemahaman terkini kita akan dunia. “Mungkin kita butuh lebih banyak papan
penunjuk jalan.”
Ke dalam kekacauan inilah Hogan masuk, tanpa theory of
everything yang hebat, bersenjatakan Holometer sederhana. Tapi
Hogan tidak butuh teori hebat. Dia tak harus memecahkan semua persoalan sulit
ini. Dia hanya perlu memahami satu fakta fundamental: apakah alam semesta
adalah dunia mirip bit, atau bukan? Jika dia bisa melakukannya, dia akan
menghasilkan satu papan penunjuk jalan—anak panah raksasa yang menunjuk ke arah
alam semesta digital, dan fisikawan akan tahu arah mana yang harus ditempuh.
Menurut Hogan, di dunia mirip bit, ruang
sendiri [bersifat] quantum—ia muncul dari bit-bit diskret terquantisasi pada
skala Planck. Dan jika ia quantum, ia pasti mengidap ketidakpastian mekanika
quantum yang inheren. Ia tidak duduk diam, latar halus untuk kosmos.
Sebaliknya, fluktuasi-fluktuasi quantum menjadikan ruang meremang dan
bervibrasi, menggeser dunia bersamanya. “Alih-alih alam semesta ala eter
klasik, transparan, bertipe kristal,” kata Nicholas B. Suntzeff, astronom di
Texas A&M University, “pada skala amat sangat kecil, terdapat
fluktuasi-fluktuasi kecil mirip buih. Ini mengubah tekstur alam semesta secara
luar biasa.”
Triknya adalah turun ke level buih ruangwaktu
ini dan mengukurnya. Dan di sini kita menjumpai persoalan panjang Planck.
Holometer Hogan merupakan usaha untuk melancarkan serbuan besar-besaran
terhadap panjang Planck—satuan yang demikian kecil, sampai-sampai untuk
mengukurnya dengan eksperimen konvensional (semisal akselerator partikel) perlu
membangun mesin seukuran Bima Sakti.
Dahulu, ketika Michelson dan Morley
menyelidiki eter (khayali), interferometer mereka mengukur perubahan
kecil—perubahan pada kecepatan cahaya sementara bumi mengelilingi
matahari—dengan membandingkan dua sorot cahaya yang berjalan lumayan jauh.
Praktisnya, jarak tersebut melipatgandakan sinyal. Demikian pula dengan
Holometer Hogan. Strateginya untuk turun ke [level] panjang Planck adalah
dengan mengukur akumulasi error yang bertambah ketika berurusan dengan sistem
quantum berkerlip-kerlip.
“Jika saya memandang TV atau monitor komputer,
segalanya tampak indah dan halus,” kata Chou. “Tapi jika Anda memandangnya dari
dekat, Anda bisa melihat piksel-piksel.” Begitu pula dengan ruangwaktu. Pada
level yang nyaman bagi kita manusia—skala orang, bangunan, dan mikroskop—ruang tampak
halus dan malar. Kita tak pernah melihat mobil melaju di jalan raya dengan
melompat seketika dari satu tempat ke tempat sebelahnya seolah disinari dengan
lampu strob Tuhan.
Tapi di dunia holografis Hogan, persis inilah
yang terjadi. Ruang sendiri [bersifat] diskret—atau, menurut istilah di zaman
kita, “terquantisasi” [lihat “Atom Ruang dan Waktu”, tulisan Lee Smolin,
Scientific American, Januari 2004]. Ia timbul dari suatu sistem yang lebih
dalam, suatu sistem quantum secara fundamental, yang belum kita pahami.
“Rasanya saya seperti menipu, sebab saya tidak punya teori,” kata Hogan. “Tapi
ini baru langkah pertama. Saya bisa katakan kepada para teoris gravitasi, ‘Hei,
kalian, pikirkan cara kerjanya.’”
Holometer Hogan dibentuk sangat mirip dengan
buatan Michelson dan Morley, sekiranya Michelson dan Morley punya akses ke
mikroelektronika dan laser dua watt. Laser mengenai sebuah pembelah sorot yang
memisahkan cahaya menjadi dua. Sorot-sorot ini menempuh dua lengan
interferometer berbentuk L sepanjang 40 meter, memantul dari cermin di tiap
ujung, lalu kembali ke pembelah sorot dan bergabung kembali. Tapi bukannya
mengukur gerak bumi menerobos eter, Hogan justru mengukur perubahan panjang
jalur sebagai akibat dari terdorong-dorongnya pembelah sorot di struktur ruang.
Jika pada skala Planck, ruangwaktu menggelepar-gelepar seperti laut bergolak,
maka pembelah sorot adalah sampan yang terhempas-hempas menerobos buih. Selama
waktu yang dihabiskan sinar laser untuk melintas keluar dan kembali lewat
Holometer, pembelah sorot akan telah bergoncang [sejauh] panjang Planck untuk
terdeteksi [lihat
boks di bawah].
CARA KERJA
Mikroskop Panjang Planck
Mikroskop Panjang Planck
Dengan Holometernya, Hogan akan mencoba
mengukur kerlipan di ruangwaktu pada skala terkecil. Perangkat ini terdiri dari
dua interferometer, instrumen yang memperkuat perubahan kecil pada jarak [bawah satu].
Terdeteksinya kerlipan mengindikasikan ruangwaktu adalah digital—terbagi
menjadi paket-paket diskret [bawah dua].
Tentu saja Anda dapat membayangkan banyak
penyebab kenapa pembelah sorot bergerak ke sana kemari sejauh beberapa panjang
Planck—gemuruh mesin mobil di luar gedung, misalnya, atau angin kencang
Illinois yang menggoncang fondasi.
Urusan seperti ini telah menyusahkan para
ilmuwan di balik proyek interferometer lainnya, detektor kembar Laser
Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO) di luar Livingston, Los
Angeles, dan Hanford, Washington. Eksperimen-eksperimen masif ini didirikan
untuk mengobservasi gelombang gravitasi—riakan di ruangwaktu yang muncul setelah
bencana kosmik seperti tubrukan bintang neutron. Sial bagi ilmuwan LIGO,
gelombang-gelombang gravitasi menggoncang tanah pada frekuensi yang sama dengan
benda-benda yang tidak begitu menarik—truk lewat dan pohon jatuh misalnya.
Dengan demikian, detektor harus diisolasi total dari derau dan getaran.
(Proposal pembangunan ladang turbin angin dekat fasilitas Hanford menimbulkan
kekhawatiran di kalangan fisikawan sebab getaran sirip-siripnya saja akan
membanjiri detektor dengan derau.)
Goncangan yang dicari Hogan berlangsung jauh
lebih cepat—vibrasi yang berkerlap-kerlip sejuta kali per detik. Dengan
demikian, ini tidak rentan terhadap derau tadi—namun ada kemungkinan
interferensi dari stasiun-stasiun radio AM sekitar yang bersiaran pada
frekuensi sama. “Tak ada yang bergerak pada frekuensi tersebut,” kata Stephen
Meyer, fisikawan Universitas Chicago dan veteran LIGO yang sedang mengerjakan
Holometer. “Jika kami menemukan ada pergerakan, kami akan menganggapnya sebagai
isyarat pasti” bahwa kerlipan memang nyata.
Dan di dunia fisika partikel, isyarat pasti
sulit didapat. “Ini agak kuno,” kata Hogan. “Gaya kuno fisika ini dimintai
bantuan, dengan kata lain, ‘Kami akan mencaritahu apa yang alam lakukan, tanpa
prasangka.’” Sebagai ilustrasi, dia suka menceritakan perumpamaan asal-usul
relativitas dan mekanika quantum. Einstein menemukan teori relativitas umum
dengan duduk di mejanya dan mengerjakan matematikanya dari prinsip-prinsip
pertama. Ada beberapa kebingungan eksperimen yang dipecahkan—padahal, uji
eksperimen riil pertamanya baru datang bertahun-tahun kemudian. Mekanika
quantum, di sisi lain, dibebankan kepada teoris dengan hasil-hasil eksperimen
membingungkan. (Tak ada teoris berotak waras yang mau menemukan mekanika
quantum kecuali kalau dipaksa oleh data,” ujar Hogan.) Tapi ini telah menjadi
teori tersukses dalam sejarah sains.
Sama halnya, para teoris telah bertahun-tahun
membangun teori-teori menawan seperti teori string, walaupun belum jelas
bagaimana atau apakah ia dapat diuji. Hogan memandang tujuan Holometer ini
sebagai jalan untuk menciptakan data membingungkan yang harus dijelaskan oleh
teoris di masa mendatang. “Keadaan sudah lama tersendat,” katanya. “Bagaimana
Anda melancarkannya? Terkadang dilancarkan dengan eksperimen.”
Craig Hogan (1), direktur
Fermilab Center for Particle Astrophysics, beristirahat di kantornya. Hogan dan
timnya sedang membangun Holometer di sebuah lokasi sekitar satu kilometer dari
situ. Eksperimen ini akan mengirim sinar laser menempuh pipa sorot sepanjang 40
meter (2)
di bawah kondisi vakum. Satu set pipa sorot ditempatkan di dalam bunker yang
dulunya dipakai untuk sorot partikel; set lainnya menjulur menuju daerah
pedalaman, berakhir di bangsal biru yang menampung cermin dan optik pemfokus (3).
Peralatan optik presisi (4) dipakai untuk memfokuskan dan menyejajarkan
sorot-sorot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar